• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mengembangkan Kultur Demokratis

Kelompok/Organisas

PERANAN PENDIDIKAN DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

C. Mengembangkan Kultur Demokratis

Pemberdayaan daerah dalam upaya mengelola pendidikan merupakan salah satu perwujudan dari demokratisasi pendidikan. Dengan cara itu yang bertanggungjawab atas perkembangan pendidikan bukanlah pemerintah pusat seperti selama ini berlangsung, tetapi seluruh lapisan masyarakat yang menjadi stakeholder pendidikan sebagaimana dibahas di muka. Secara lebih operasional penerapan manajemen berbasis sekolah, merupakan wahana strategis untuk mewujudkan kultur demokratis dalam dunia pendidikan. Kultur ini seyogyanya dibangun meliputi seluruh tataran proses pendidikan, termasuk didalamnya perencanaan pendidikan, pengembangan kurikulum, penyiapan sarana belajar, perekrutan, penempatan, dan pembinaan SDM, penciptaan lingkungan sekolah yang kondusif, proses belajar dan pembelajaran, dan hubungan sekolah dan masyarakat. Nilai dan prinsip demokrasi yang seyogyanya ditumbuh-kembangkan dalam lingkungan sekolah antara lain: pengambilan keputusan bersama (shared decision making), kerjasama, tanggung jawab, orientasi mutu, efisiensi dan efektivitas, kolegialisme, partisipasi sosial, profesionalisme, kepemimpinan yang demokratis, dan akuntabilitas sosial.

Nilai-nilai tersebut dapat terwujud bila semua stakeholder sekolah memahami konsep dan makna nilai-nilai tersebut, mau dan committed untuk mewujudkan nilai tersebut dalam prilaku sehari-hari sesuai dengan kedudukan

dan perannya dalam konteks persekolahan, dan memiliki visi membangun masa depan sekolah dan masyarakat yang semakin demokratis dan bermutu.

Demokratisasi atau debirokratisasi pendidikan adalah paradigma sistem pendidikan yang digagas oleh dunia pendidikan kita di era Indonesia baru ini. Gagasan ini mengemuka setelah melihat realita bahwa sistematisasi pendidikan kita di era Orde Baru lalu cenderung memaksakan kebijakan kepada para praktisi pendidikan, yakni guru, siswa, kepala sekolah, dan masyarakat konsumen pendidikan, terutama di daerah-daerah.

Di antara kebijakan sistem birokratisasi pendidikan yang merugikan warga belajar ialah penyeragaman kurikulum, gurusentris, tertutupnya ruang demokratisasi pembelajaran dalam kelas, dan sebagainya. Akibat yang muncul kemudian sudah bisa ditebak, pendidikan kita mengalami degradasi mutu, stagnasi peran dan fungsi. Juga ketidakberdayaannya dalam mengentaskan berbagai persoalan bangsa, yang sejatinya bagian dari tugas pendidikan. Pendidikan kita tidak mampu menghasilkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas, yang mampu menghadapi tantangan globalisasi dewasa ini dan masa mendatang. Oleh karena itu, demokratisasi pendidikan dikedepankan dalam usaha mengatasi permasalahan pendidikan tersebut. Sementara itu, sampai saat ini, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) masih saja mencari format ideal bagi demokratisasi pendidikan yang akan diterapkan dalam sistem pendidikan nasional kita.

Model demokratisasi dalam bingkai proses pembelajaran (PBM) (disebut juga model demokratisasi tingkat praksis). Model demokratisasi pertama merupakan bentuk penolakan terhadap kebijakan sistem birokrasi yang diterapkan selama masa pemerintahan Orde Baru. Yang pada praktiknya sangat membebani warga belajar, baik peserta didik, guru, maupun pengelola pendidikan, lebih-lebih masyarakat konsumen pendidikan di berbagai daerah.

Sistem birokrasi juga telah menyebabkan kotor dan amburadulnya manajemen dan administrasi pendidikan kita. Kebocoran dana pendidikan, ujian catur wulan dan ujian akhir negara, pungutan liar terhadap para calon pegawai negeri sipil (PNS), para guru yang (akan) naik pangkatnya, dan lain- lain merupakan hal lumrah, yang disikapi secara 'arif' dan 'bijaksana' oleh para pengambil kebijakan pendidikan kita. Para pelanggarnya pun tidak dikenakan sanksi apa-apa. Hal inilah yang kemudian memberikan citra buruk bahwa dunia pendidikan kita adalah 'sarang kriminalitas'.Hal demikian berdampak terhadap kekaburan tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Sehingga banyak kebijaksanaan pendidikan nasional yang ditetapkan hanya bertengger di atas keputusan-keputusan makro. Dan hampir-hampir tidak terlaksana di tingkat mikro (grass root/masyarakat kebanyakan), yakni sekolah.

Melihat kenyataan demikian, seharusnya ada proyeksi yang harus diperbarui dalam kebijakan-kebijakan birokrasi yang menyesakkan dada pendidikan kita. Dan menggantinya dengan pendekatan demokratis, yang

memberikan ruang kebebasan kepada seluruh elemen pendidikan untuk bebas berpartisipasi dalam pengelolaan dan administrasi pendidikan atas dasar nilai- nilai hak asasi manusia.

Dengan demokratisasi pendidikan, sudah saatnya pemerintah memberikan keleluasaan kepada masyarakat dalam pengelolaan pendidikan. Sehingga tidak terjadi lagi suatu kebijakan seperti saat Orde Baru, yang tidak menyentuh realitas kehidupan masyarakat. Padahal pada akar rumput inilah sesungguhnya pendidikan sedang berjalan.Pemberian kebebasan pemerintah dalam pengelolaan pendidikan, sejatinya juga diiringi komitmen pemerintah untuk terlaksananya demokratisasi pendidikan. Salah satunya adalah dengan cara lebih memperhatikan anggaran pendidikan pada tingkat grass root, baik sekolah-sekolah negeri maupun sekolah-sekolah (swasta) yang dikelola oleh masyarakat sendiri. Sementara itu, upaya pemerintah memberdayakan masyarakat dalam pengelolaan pendidikan, seperti dengan dibentuknya dewan/komite sekolah melalui program school based management (SBM) dan community based education (CBE) dan dukungan teknologi informasi (TI), diasumsikan akan mampu mengurangi berbagai kebocoran dan pelanggaran pendidikan yang diakibatkan ulah para birokrat pendidikan selama ini.

Model demokratisasi kedua merupakan bentuk perlawanan dari sistem pembelajaran gaya lama, dengan guru menjadi pusat belajar (teacher oriented). Sementara peserta didik/murid dianggap 'robot' yang hanya datang, duduk, dan mencatat informasi yang disampaikan guru. Demokratisasi dalam kegiatan belajar mengajar ini dapat dilakukan dengan pendekatan 'pembelajaran atas dasar peserta didik' --meminjam istilah Marcel J Mandagi-- dan pada pendekatan model ini terjadi interaksi antara berbagai pengetahuan yang dipelajari siswa dan pengalaman diri yang diperoleh melalui usaha-usaha kreatif individu siswa. Guru juga tidak dibenarkan mengajar para siswanya dengan 'gaya bank', yang pada kenyataannya mematikan kreativitas dan inovasi mereka. Sebaliknya, guru hendaknya menerapkan pendekatan belajar yang diistilahkan oleh tokoh pendidikan terkemuka Paulo Freire dengan pendekatan pembelajaran 'hadapi masalah' yang efektif dalam mendorong siswa untuk berdialog, mengadakan refleksi terhadap berbagai informasi, tanggap terhadap fenomena sosial yang terjadi, serta mampu mengatasi berbagai problema yang dihadapi. Dengan demikian, peran guru dalam pembelajaran yang demokratis adalah mendorong terciptanya kondisi yang mendukung minat dan keasyikan siswa untuk belajar dan benar-benar menjadi mitra siswanya.Jika dua model demokratisasi pendidikan di atas dapat diterapkan secara sinergis, insya Allah dunia pendidikan kita akan menjadi arena terbuka bagi pembukaan pikiran manusia Indonesia.

Demokrasi bukanlah sebuah wacana, pola pikir, atau perilaku politik yang

dapat dibangun sekali jadi, bukan pula ―barang instan‖.Demokrasi butuh

memanusiakan manusia. Bukan demokrasi yang carut-marut dan memahaminya lewat cara-cara dan perilaku anarkis bahkan sampai pada pola perilaku acrobat politik yang kadangkala membuat kita miris. Demokrasi kini hanya menjadi jargon verbalistik, jauh dari makna demokrasi dalam arti yang sebenarnya.44

Demokrasi sesungguhnya adalah seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan, tetapi juga mencakup seperangkat praktek dan prosedur yang terbentuk melalui sejarah panjang dan sering berilku-liku sehingga demokrasi sering disebut suatu pelembagaan dari kebebasan.

Dalam UU No 20/2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional telah dinyatakan bahwa“Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinyamelalui proses pembelajaran dan/atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh

masyarakat.”

Perwujudan sistem pendidikan yang demokratis sudah menjadi keniscayaan yang harus disikapi secara positif oleh seluruh komponen yang terlibat di dalamnya. Apakah itu kebijakan pemerintah, institusi pendidikan itu

44Diakses dari http://smantostop.blogspot.com/2011/11/artikel-normal-0-false-false-false- en.html, Agustus 2013

sendiri, maupun oleh orang-orang yang terlibat di dalamnya. Karena bagaimanapun juga, sebuah sistem pendidikan melibatkan banyak pihak dengan berbagai kompleksitasnya. Selanjutnya yang perlu ditekankan adalah peningkatan sistem pendidikan di Indonesia semestinya dapat menempatkan dirinya secara independen, dalam artian tidak banyak dicampur-tangani oleh penguasa, yang hanya menjadikan pendidikan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan. Adalah penting, bila kita melakukan proses membangun pendidikan untuk demokrasi. Karena bagaimanapun, batasan antara pendidikan, kesadaran politik, mentalitas, dan kultur demokrasi adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Akhirnya bisa disimpulkan bahwa, demokrasi dalam dunia pendidikan adalah sebuah keharusan yang tidak bisa ditawar lagi, dan demokrasi dalam dunia pendidikan adalah sebuah keniscayaan yang harus disikapi secara positif pada seluruh komponen bangsa.

BAB VIII