• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model MBS Di Indonesia

Dalam dokumen pengantar pendidikan teori konsep dan aplikasi (Halaman 120-130)

Kelompok/Organisas

MODEL PENGELOLAAN SEKOLAH KONTEMPORER A Komparasi Model MBS

B. Model MBS Di Indonesia

Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 tentang Pemerintah Daerah (Otonomi Daerah) tahun 1999 yo UU nomor 32 tahun 2004 beserta sejumlah Peraturan Pemerintah (PP) sebagai pedoman pelaksanaannya terutama PP No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Propinsi dan Kota/Kabupaten, maka digulirkan pula otonomi pendidikan dengan model MBS. Model MBS di Indonesia pada awalnya disebut Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). MPMBS diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih tinggi kepada sekolah, fleksibilitas, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan atau kemandirian, yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri dan tidak

tergantung. Otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku12. Sementara itu, pengambilan keputusan

partisipatif adalah suatu cara untuk mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demoktratis di mana warga sekolah didorong untuk terlibat secara langsung dalam proses pengambilan keputusan yang dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan sekolah.

Dalam konteks otonomi pendidikan, sekolah mempunyai keleluasaan untuk berinovasi dan berimprovisasi sebagai bentuk kreativitas yang bisa dikembangkannya. Dalam hal ini sekolah pada dasarnya mendapat kesempatan untuk menentukan sendiri kebijakan-kebijakan dalam bidang pendidikan, dengan tujuan lebih meningkatkan kualitas dan daya tarik sekolah tersebut. Dengan otonomi, berbagai kebijakan yang bisa dilakukan oleh sekolah antara lain sebagai berikut:

1. Menentukan sendiri guru-guru yang akan direkrut;

2. Menentukan sendiri kriteria dan jumlah calon peserta didik yang akan diterima;

3. Menentukan sendiri sistem penilaian kinerja guru dan peserta didik;

4. Menentukan sendiri kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan dalam rangka pendidikan;

5. Menentukan sendiri biaya-biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh orang tua peserta didik;

6. Menentukan sendiri metodologi pembelajaran dan kurikulum pendidikan yang akan dipakai;

7. Menentukan sendiri buku-buku paket yang akan dipakai, dan sebagainya. Dengan memperhatikan hal-hal tersebut, jelas tidak diperlukan adanya penyeragaman antara sekolah yang satu dengan sekolah yang lain, atau daerah yang satu dengan daerah yang lain. Meskipun demikian, kemandirian- kemandirian itu harus bersifat inklusif dan tidak boleh eksklusif. Semuanya mempunyai tujuan akhir yang sama, yaitu demi mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Peran pemerintah dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah dan otonomi pendidikan lebih bersifat pemberi inspirasi, koordinator, dan fasilitator. Pemerintah tidak lagi menjadi pemain utama dalam keseluruhan sistem pendidikan yang ada. Jadi, kemajuan sekolah sangat ditentukan oleh kreativitas dan daya inovasi warga sekolah.

Tujuan implementasi MBS adalah:

1. Meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan kemandirian, fleksibilitas, partisipasi, keterbukaan, kerja sama, akuntabilitas, sustainabilitas, dan inisiatif sekolah dalam mengelola, memanfaatkan, dan

memberdayakan sumber daya yang tersedia;

2. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan secara bersama;

3. Meningkatkan tanggung-jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah untuk meningkatkan mutu sekolah;

4. meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah dalam meningkatkan kualitas pendidikan

Melalui MBS, pemecahan masalah internal sekolah, baik yang menyangkut proses pembelajaran maupun sumber daya pendukungnya cukup dibicarakan di dalam sekolah dengan masyarakatnya sehingga tidak perlu diangkat ke tingkat pemerintah daerah apalagi sampai ke pemerintah pusat. Tugas pemerintah (pusat dan daerah) adalah memberikan fasilitasi dan bantuan pada saat sekolah dan masyarakat menemui jalan buntu dalam suatu pemecahan masalah. Fasilitasi bisa berbentuk capacity building, bantuan teknis pembelajaran atau manajemen sekolah, subsidi bantuan sumber daya pendidikan, serta kurikulum nasional dan pengendalian mutu pendidikan baik tingkat daerah maupun pusat.

Paradigma MBS beranggapan bahwa satu-satunya jalan yang terdekat menuju peningkatan mutu dan relevansi adalah demokratisasi, partisipasi, dan akuntabilitas pendidikan. Kepala sekolah, guru, dan masyarakat adalah pelaku utama dan terdepan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah, sehingga segala keputusan mengenai penanganan persoalan pendidikan pada tingkatan mikro harus dihasilkan melalui interaksi dari ketiga pihak tersebut. Dengan adanya program sekolah yang relevan, diharapkan sekolah akan mampu menggali partisipasi masyarakat untuk berperan serta dalam pengembangan sekolah, sehingga masyarakat mempunyai rasa memiliki terhadap sekolah. Untuk selanjutnya, konsep Komite Sekolah amat diperlukan baik dalam arti keanggotaan maupunperannya.

Munculnya konsep MBS memang menjadi suatu kebutuhan bagi sekolah di Indonesia atas berbagai perubahan yang terjadi sejak otonomi daerah digulirkan. Dalam Panduan MBS (Depdiknas, 2003) dikemukakan beberapa kebutuhan mendesak untuk dikaji ulang tentang fungsi sekolah sebagai pusat pembelajaran sebagai berikut.5

Pertama, ketika perubahan yang sangat cepat terjadi seperti sekarang ini, kumpulan pengetahuan dan pengalaman masa lalu yang digunakan untuk membimbing anak-anak, ternyata tidak dapat memenuhi harapan untuk mencapai tujuan tersebut. Sesungguhnya orang tua sering kali tidak merasa pasti dibandingkan dengan anak-anaknya, demikian pula keadaan bagi komunitas orang dewasa pada umumnya. Nilai-nilai tradisional dan kebiasaan yang diwarisi kenyataannya telah kehilangan otoritas terhadap anak-anak

muda, dan sebagai suatu bimbingan untuk mengambil tindakan yang tepat di dalam suatu lingkungan yang sedang mengalami perubahan ternyata juga tidak memadai.

Kedua, sekolah hendaknya menyesuaikan diri dengan kenyataan bahwa pengetahuan baru yang menembus keluar dinding yang membatasinya tidak saja mencapai dalam jumlah yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan apa yang dikuasai sekolah, melainkan juga jauh lebih penting bagi kehidupan riil peserta didiknya. Dalam konteks ini, sekolah tidak saja harus memperbarui persediaan pengetahuannya, tetapi juga harus dapat menyesuaikan diri terhadap fungsi baru cara mengajar siswa agar mereka dapat menguasai pengetahuan yang akan mereka jumpai di dalam kehidupan sehari-hari di luar lingkungan sekolahnya.

Ketiga, di dalam operasional persekolahan dan di dalam pelaksanaan pembaruan sekolah yang diperlukan adalah kemampuan guru. Kemampuan guru ini penting, mengingat guru sebagai ujung tombak pendidikan di sekolah memiliki peran yang sangat penting dalam kaitannya dengan proses pembelajaran peserta didik.

Memperhatikan berbagai tantangan dan peluang tersebut, setiap sekolah diharapkan semakin dapat mengoptimalkan pemanfaatan semua sumber daya yang ada. Sekolah juga dapat mengetahui kebutuhannya, khususnya peserta didik, sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhannya.

Bertolak dari semua ini, MBS yang diterapkan dituntut dapat memandirikan dan memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan (otonomi) yang lebih luas. Dengan demikian, sekolah-sekolah dengan model MBS diharapkan akan menjadi sekolah mandiri, yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) tingkat kemandiriannya tinggi, bersifat adaptif, antisipatif dan proaktif, (2) memiliki jiwa kewirausahaan tinggi, (3) bertanggung jawab terhadap kinerja sekolah, (4) memiliki kontrol yang kuat terhadap input manajemen dan sumber dayanya, (5) memiliki kontrol yang kuat terhadap kondisi kerja, (6) komitmen yang tinggi pada dirinya, dan (7) prestasi merupakan acuan bagi penilaiannya.5

Menjelang tahun ketujuh sejak uji coba MBS di Indonesia tahun 1999, nampaknya masih banyak hal yang harus dibenahi terutama belum jelasnya kewenangan apa saja yang harus diberikan kepada masing-masing sekolah. Para birokrat pendidikan di pusat masih enggan untuk melimpahkan kewenangan kepada sekolah secara langsung. Para pejabat pendidikan di daerah yang baru saja menjabat, lebih cenderung ingin menguasai pendidikan. Hal ini tampak dari berbagai pernyataan bupati/wali kota bahwa mati hidupnya para guru berada di tangan mereka.

Munculnya MBS di Indonesia tidak berasal dari inisiatif warga masyarakat, tetapi dari pemerintah sehingga eksistensi MBS berbeda dengan negara-negara lain yang idenya justru berasal dari masyarakat. Kondisi ini bisa dimengerti karena setelah 32 tahun Indonesia berada dalam cengkeraman pemerintahan

otoriter yang membuat warganya takut untuk mengeluarkan pendapat dan inisiatif. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan pun berbeda dengan negara-negaran lain yang peran serta masyarakatnya sudah tinggi. Di Indonesia, penerapan MBS diawali dengan dikeluarkan-nya Undang-Undang Nomor 25 tahun 2000 tentang Rencana Strategis Pembangunan Nasional tahun 2000-2004.

Empat faktor penting yang perlu diperhatikan dalam implementasi MBS di Indonesia, yakni kewenangan, pengetahuan dan keterampilan, sistem informasi, serta sistem penghargaan.22

a. Kewenangan yang dimiliki oleh sekolah

Kepala sekolah memiliki kewenangan yang lebih besar untuk mengambil keputusan berkaitan dengan kebijakan dibandingkan dengan sistem manajemen pendidikan yang dikontrol oleh pusat. Besarnya

kewenangan sekolah bergantung bagaimana MBS dapat

diimplementasikan. Pemberian kewenagan secara utuh tidak mungkin dilaksanakan sekaligus, tetapi memerlukan proses transisi dari manajemen terpusat ke MBS. Kewenangan lebih besar yang dimiliki sekolah dalam pengambilan keputusan perlu dilaksanakan secara demokratis, antara lain dengan melibatkan semua pihak khususnya guru dan orang tua peserta didik; membentuk tim pengambil keputusan dalam hal-hal yang relevan dengan tugasnya; serta menjalin kerjasama dengan masyarakat dan dunia kerja.

b. Pengetahuan dan Keterampilan

Seluruh warga sekolah perlu memiliki pengetahuan untuk meningkatkan prestasi, memahami dan melaksanakan berbagai teknik, seperti quality assurance, quality control self-assessment, school review, benchmarking, dan analisis SWOT. Untuk itu, sekolah harus memiliki sistem pengembangan sumber daya manusia (SDM) yang diwujudkan melalui pelatihan dan studi lanjut.

c. Sistem Informasi yang Jelas

Sekolah yang melaksanakan MBS perlu memiliki informasi yang jelas tentang program yang netral dan transparan, karena dari informasi tersebut seseorang akan mengetahui kondisi sekolah. Informasi ini diperlukan untuk monitoring, evaluasi, dan akuntabilitas sekolah. Informasi yang amat penting untuk dimiliki sekolah, antara lain berkaitan dengan kemampuan guru, prestasi peserta didik, kepuasan orang tua dan peserta didik, serta visi dan misi sekolah.

d. Sistem Penghargaan

Sekolah yang melaksanakan MBS perlu menyusun sistem penghargaan bagi warganya yang berprestasi, untuk mendorong kariernya. Sistem ini diharapkan mampu mening-katkan motivasi dan produktivitas kerja dari kalangan warga sekolah. Oleh karena itu, sistem penghargaan

yang dikembangkan harus proporsional, adil, dan transparan. Selain itu, pemberlakuan punishment bagi staf yang melanggar harus ditegakkan sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan.

Sedangkan menurut Brown implementasi MBS di sekolah akan berjalan efektif apabila menjalankan prinsip MBS yang mencakup otonomi, fleksibilitas, responsibilitas, kerja sama, dan peningkatan partisipasi warga sekolah dan masyarakat.8

a. Otonomi Sekolah

Sebagaimana dikemukakan terdahulu, otonomi diartikan sebagai kemandirian, yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri dan tidak tergantung dengan orang lain. Kemandirian dalam program dan pendanaan merupakan tolok ukur utama kemandirian sekolah. Pada gilirannya, kemandirian yang berlangsung secara terus-menerus akan menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan sekolah (sustainabilitas). Istilah otonomi juga sama dengan istilah "swa", misalnya swasembada, swakelola, swadana, swakarya, dan swalayan. Jadi, otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri, berdasarkan aspirasi warga sekolah dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku.

Kemandirian sekolah yang dimaksudkan harus didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu: (a) kemampuan mengambil keputusan yang terbaik; (b) kemampuan berdemokrasi menghargai perbedaan pendapat; (c) kemampuan memobilisasi sumber daya; (d) kemampuan memilih cara pelaksanaan terbaik; (e) kemampuan berkomunikasi dengan cara efektif; (f) kemampuan memecahkan persoalan-persoalan sekolah; (g) kemampuan adaptif dan antisipatif; (h) kemampuan bersinergi dan berkolaborasi; dan (i) kemampuan memenuhi kebutuhannya sendiri.8

b. Fleksibilitas

Fleksibilitas dapat diartikan sebagai keluwesan-keluwesan yang diberikan kepada sekolah untuk mengelola, memanfaatkan, dan

memberdayakan sumber daya sekolah seoptimal mungkin untuk

meningkatkan mutu sekolah. Dengan keluwesan-keluwesan yang lebih besar diberikan kepada sekolah, sekolah akan lebih lincah dan tidak harus menunggu arahan dari atasannya untuk mengelola, memanfaatkan, dan memberdayakan sumber dayanya. Dengan cara ini, sekolah akan lebih responsif dan lebih cepat dalam menanggapi segala tantangan yang dihadapi. Namun demikian, keluwesankeluwesan yang dimaksud harus tetap dalam koridor kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang ada.

Menurut Brown, MBS menekankan kepada manajemen sekolah yang fleksibel dan responsif. Fleksibilitas di sini dimaksudkan adalah kemampuan sekolah melakukan inovasi dan kreativitas dalam mengelola lingkungan

sekolah dan memotivasi para staf dan guru. Fleksibilitas juga merupakan kemampuan melakukan perubahan dan kecepatan mengikuti perkembangan IPTEK dan fasilitas yang dipergunakan sekolah, serta responsif yakni cepat tanggap dan mampu melayani kebutuhan masyarakat akan pendidikan. Keseluruhannya sangat berpengaruh terhadap kinerja sekolah.

c. Kerja Sama

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang mampu meningkatkan kualitas pendidikan menuntut adanya kerja sama dan kolaborasi antara staf yang ada di dalam sekolah. Dampaknya akan menguntungkan anak didik, khususnya pentingnya team work dalam pembelajaran. Menurut Little, bahwa guru-guru yang "terisolasi" di dalam kelas, pengalaman menunjukkan bahwa banyak guru yang broken (gagal dalam mengajar). Keuntungan lebih jauh adanya kerja sama dan pertemanan antar staf adalah persiapan guru mengajar akan lebih meningkat, pembelajaran lebih lama, mendalam, dan fleksibel.

Selanjutnya Little menegaskan bahwa kualitas pembelajaran melalui kerja sama dan pertemanan antar staf ini dapat ditempuh melalui empat cara, yaitu (a) ketika guru mengajar perlu adanya monitoring, evaluasi, dan super- visi, untuk selanjutnya diberikan komentar perbaikan; (b) sekolah melakukan koordinasi dan perencanaan yang konsisten khususnya untuk persiapan dan skenario pembelajaran; (c) minimal setiap guru/kelas (rombongan belajar) disediakan satu kelas ruangan; dan (d) guru-guru belajar bersama (sekarang yang lebih dikenal dengan KKG) dan atau mentraining satu dengan lainnya. d. Peningkatan Partisipasi

Peningkatan partisipasi yang dimaksud adalah penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratis. Warga sekolah dan masyarakat (orang tua peserta didik, tokoh masyarakat, ilmuwan, usahawan, dll) didorong untuk terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai dari pengambilan keputusan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan.

Peningkatan mutu pendidikan dengan peningkatan partisipasi masyarakat di landasi dengan keyakinan bahwa jika seseorang berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan pendidikan, maka yang bersangkutan akan mempunyai "rasa memiliki" terhadap sekolah sehingga mereka juga akan bertanggungjawab dan berdedikasi sepenuhnya untuk mencapai tujuan sekolah. Dengan demikian, semakin besar tingkat partisipasi, semakin besar pula rasa memiliki; semakin besar rasa memiliki, semakin besar pula rasa tanggung jawab; dan semakin besar rasa tanggung jawab, semakin besar pula dedikasinya. Tentu saja pelibatan warga sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah harus mempertimbangkan keahlian, batas kewenangan, dan relevansinya dengan tujuan partisipasi.8

Peningkatan partisipasi warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan sekolah akan mampu menciptakan keterbukaan, kerja sama

yang kuat, akuntabilitas, dan demokrasi pendidikan. Keterbukaan yang dimaksud adalah keterbukaan dalam program dan keuangan. Kerja sama yang

dimaksud adalah adanya sikap dan perbuatan lahirlah

kebersamaan/kolektifitas untuk meningkatkan mutu sekolah. Kerja sama sekolah yang baik ditunjukkan oleh hubungan antar warga sekolah yang erat, hubungan sekolah dengan masyarakat erat, dan adanya kesadaran bersama bahwa" output sekolah merupakan hasil kolektif teamwork yang kuat dan cerdas. Akuntabilitas sekolah merupakan pertanggungjawaban sekolah kepada warga sekolahnya, masyarakat, dan pemerintah melalui pelaporan dan pertemuan yang dilakukan secara terbuka. Sementara itu, demokrasi pendidikan adalah kebebasan yang terlembagakan melalui musyawarah dan mufakat dengan menghargai perbedaan, hak asasi manusia, serta kewajibannya dalam rangka untuk meningkatkan mutu pendidikan.

Dengan memperhatikan hal-hal pokok dalam model MBS tersebut, sekolah memiliki kewenangan (kemandirian) lebih besar dalam mengelola sekolahnya, seperti: (1) menetapkan sasaran peningkatan mutu; (2) menyusun rencana peningkatan mutu; (3) melaksanakan rencana peningkatan mutu; dan (4) melaksanakan evaluasi pelaksanaan peningkatan mutu. Di samping itu, juga akan memiliki fleksibilitas pengelolaan sumber daya sekolah, dan memiliki partisipasi yang lebih besar dari kelompok-kelompok yang berkepentingan dengan sekolah.

Pelaksanaan MBS dengan desentralisasi pendidikan memiliki beberapa faktor yang perlu diperhatikan, antara lain:8

1. Sekolah dituntut mampu menampilkan pengelolaan sumber daya secara transparan, demokratis, tanpa monopoli, serta tanggung jawab terhadap masyarakat dan pemerintah.

2. Peranan pemerintah merumuskan kebijakan yang menjadi prioritas dan merumuskan pelaksanaan MBS. Sekolah menjabarkannya sesuai dengan potensi lingkungannya.

3. Perlu dibentuk School Council (dewan sekolah/komite sekolah) yang keanggotaannya terdiri dari guru, kepala sekolah, orang tua peserta didik, dan masyarakat.

4. MBS menuntut perubahan perilaku kepala sekolah, guru, dan tenaga administrasi menjadi lebih profesional dan manajerial dalam pengoperasian sekolah.

5. Dalam meningkatkan profesionalisme dan kemampuan manajemen yang terkait dengan MBS perlu diadakan kegiatan-kegiatan seperti pelatihan dan sejenisnya.

6. Keefektifan MBS dapat dilihat dari indikator-indikator sejauh mana sekolah dapat mengoptimalkan kinerja organisasi sekolah, proses pembelajaran, pengelolaan sumber daya manusia dan administrasi. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa penerapan model

MBS di Indonesia bukan atas prakarsa masyarakat melainkan inisiatif dari pemerintah sebagai warisan otoriterisme pada jaman Orde Baru, maka dalam penerapannya memerlukan upaya-upaya maksimal untuk menyamakan pandangan semua warga sekolah, masyarakat dan stakeholder lainnya. Mengubah pendekatan manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis sekolah bukanlah merupakan one-shot and quick-fix, akan tetapi merupakan proses yang berlangsung secara terus menerus dan melibatkan semua unsur yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan persekolahan. Oleh karena itu, strategi utama yang perlu ditempuh dalam melaksanakan manajemen berbasis sekolah adalah sebagai berikut.17

1. Mensosialiasikan konsep manajemen berbasis sekolah ke seluruh warga sekolah, yaitu guru, peserta didik, wakil kepala sekolah, karyawan dan unsur-unsur terkait lainnya (orangtua murid, pengawas, wakil Dinas P dan K Kabupaten/Kota, wakil Dinas Pendidikan Provinsi, dsb.) baik melalui seminar, diskusi, forum ilmiah, maupun media masa. Hendaknya dalam sosialisasi ini juga dibaca dan dipahami sistem, budaya, dan sumber daya sekolah yang ada secermat-cermatnya dan direfleksikan kecocokannya dengan sistem, budaya, dan sumber daya yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan manajemen berbasis sekolah.

2. Melakukan analisis situasi internal sekolah dan eksternal sekolah yang hasilnya berupa tantangan nyata yang harus dihadapi oleh sekolah dalam rangka mengubah manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis sekolah. Tantangan adalah selisih (ketidaksesuaian) antara keadaan sekarang (manajemen berbasis pusat) dan keadaan yang diharapkan (manajemen berbasis sekolah). Karena itu, besar kecilnya ketidaksesuaian antara keadaan sekarang (kenyataan) dan keadaan yang diharapkan (idealnya) memberitahukan besar kecilnya tantangan (loncatan).

3. Merumuskan tujuan situasional yang akan dicapai dari pelaksanaan manajemen berbasis sekolah berdasarkan tantangan nyata yang dihadapi (butir 2). Segera setelah tujuan situasional ditetapkan, kriteria kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya ditetapkan. Kriteria inilah yang akan digunakan sebagai standar atau kriteria untuk mengukur tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya.

4. Mengidentifikasi fungsi-fungsi yang perlu dilibatkan untuk mencapai tujuan situasional dan yang masih perlu diteliti tingkat kesiapannya. Untuk mencapai tujuan situasional yang telah ditetapkan, maka perlu diidentifikasi fungsi-fungsi mana yang perlu dilibatkan untuk mencapai tujuan situasional dan yang masih perlu diteliti tingkat kesiapannya. Fungsi-fungsi yang dimaksud meliputi antara lain: pengembangan kurikulum, pengembangan tenaga kependidikan dan nonkependidikan, pengembangan peserta didik, pengembangan iklim akademik sekolah,

pengembangan hubungan sekolah-masyarakat, pengembangan fasilitas, dan fungsi-fungsi lain.

5. Menentukan tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya melalui analisis SWOT (Strength, Weaknes, Opportunity, and Threat). Analisis SWOT dilakukan dengan maksud mengenali tingkat kesiapan setiap fungsi dari keseluruhan fungsi yang diperlukan untuk mencapai tujuan situasional yang telah ditetapkan. Berhubung tingkat kesiapan fungsi ditentukan oleh tingkat kesiapan masing-masing faktor yang terlibat pada setiap fungsi, maka analisis SWOT dilakukan terhadap keseluruhan faktor dalam setiap fungsi, baik faktor yang tergolong internal maupun eksternal. Tingkat kesiapan harus memadai, artinya, minimal memenuhi ukuran kesiapan yang diperlukan untuk mencapai tujuan situasional, yang dinyatakan sebagai: kekuatan, bagi faktor yang tergolong internal; peluang, bagi faktor yang tergolong faktor eksternal. Sedang tingkat kesiapan yang kurang memadai, dinyatakan bermakna: kelemahan, bagi faktor yang tergolong faktor internal; dan ancaman, bagi yang tergolong faktor eksternal.

6. Memilih langkah-langkah pemecahan (peniadaan) persoalan, yakni tindakan yang diperlukan untuk mengubah fungsi yang tidak siap menjadi fungsi yang siap. Selama masih ada persoalan, yang sama artinya dengan ada ketidaksiapan fungsi, maka tujuan situasional yang telah ditetapkan tidak akan tercapai. Oleh karena itu, agar tujuan situasional tercapai, perlu dilakukan tindakan-tindakan yang mengubah ketidaksiapan menjadi kesiapan fungsi. Tindakan yang dimaksud lazimnya disebut langkah- langkah pemecahan persoalan, yang hakekatnya merupakan tindakan mengatasi makna kelemahan dan/atau ancaman, agar menjadi kekuatan dan/atau peluang, yakni dengan memanfaatkan adanya satu/lebih faktor yang bermakna kekuatan dan/atau peluang.

7. Berdasarkan langkah-langkah pemecahan persoalan tersebut, sekolah membuat rencana strategis sekolah, beserta program-programnya untuk merealisasikan rencana strategis tersebut. Sekolah tidak selalu memiliki sumber daya yang cukup untuk melaksanakan manajemen berbasis sekolah yang ideal, sehingga perlu dibuat skala prioritas.

8. Melaksanakan program-program untuk merealisasikan rencana strategis manajemen berbasis sekolah. Dalam pelaksanaan, semua input yang diperlukan untuk berlangsungnya proses (pelaksanaan) manajemen berbasis sekolah harus siap. Jika input tidak siap/tidak memadai, maka tujuan situasional tidak akan tercapai. Yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan adalah pengelolaan kelembagaan, pengelolaan program, dan pengelolaan proses pembelajaran.

9. Memonitoring terhadap proses dan evaluasi terhadap hasil manajemen berbasis sekolah perlu dilakukan. Hasil pantauan proses dapat digunakan sebagai umpan balik bagi perbaikan penyelenggaraan dan hasil evaluasi

Dalam dokumen pengantar pendidikan teori konsep dan aplikasi (Halaman 120-130)