• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TERORISME DAN IMPERIALISME

B. Mengenal Konsep Imperialisme

Imperialisme memang kosa kata yang sering didengar dan dibaca dari berbagai tulisan kebudayaan, politik dan ekonomi. Sekilas kata ini mengandung makna peyoratif, menunjukkan proses jahat di balik rangkaian kata-katanya. Oleh sebab itu, imperialisme sering dijadikan propaganda efektif bagi sebagian orang untuk menentang prilaku atau kebijakan yang dijalankan oleh pihak yang tidak disenangi.

24

Hiperteroris adalah sebutan bagi teroris yang menguasai dan memanfaatkan berbagai bentuk teknologi mutahir, teknologi pengamatan, pengawasan, teknologi interaktif dan teknologi komunikasi.

25

M. Hilaly Basya dan David K. Alka, Amerika Serikat Perangi Teroris Bukan Islam, h. 41.

Orang-orang yang tidak senang terhadap Inggris pada awal abad ke-20 akan menyebut setiap kebijakan luar negeri Inggris sebagai kebijakan yang imperialistik. Begitu juga orang yang benci Rusia akan mengatakan bahwa kebijakan luar negeri Rusia sebagai kebijakan yang imperialistik. Dan sekarang pendukung gerakan anti-Amerika Serikat juga dengan mudah mengatakan bahwa Amerika Serikat Serikat adalah negara imperialis, karena kebijakan luar negerinya yang berusaha memperluas kekuasaan yang sudah ada.

Penyebutan-penyebutan seperti itu membuat istilah imperialisme menjadi kosa kata murahan yang bisa diklaim begitu saja. Oleh karena itu, dalam tulisan ini perlu diberikan penjelasan manakah yang bisa disebut imperialisme dan mana pula yang bukan imperialisme serta aspek-aspek lain yang terkait.

Hans Morganthau menyebutkan ada beberapa salah pengertian yang paling dikenal dalam penggunaan istilah imperialisme ini. Pertama, tidak semua tujuan politik luar negeri untuk meningkatkan kekuasaan suatu bangsa merupakan manifestasi imperialisme yang penting26. Hans membedakan antara politik imperialistik dengan politik konsolidasi atau

status quo. Imperialisme adalah sebutan bagi politik yang bertujuan untuk menumbangkan status quo, mengubah pola hubungan kekuasaan yang sudah ada dan menatanya menjadi susunan baru. Sedangkan politik status quo

adalah sebuah usaha untuk mempertahankan kekuasaan pada sebuah wilayah yang sudah menjadi bagian daerah kekuasaannya. Imperialisme

26

Hans Morganthau, Politik Antar Bangsa, Edisi VI, Buku Pertama, Penerjemah S. Maimoen (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1990), h. 80.

ingin mengubah tatanan yang sudah ada, sedangkan status quo hanyalah proses konsolidasi.

Kedua, tidak semua politik luar negeri yang bertujuan memelihara imperium yang telah berdiri adalah imperialisme27. Banyak orang mengindentifikasikan apa saja yang dilakukan oleh negara-negara besar untuk memelihara posisinya yang lebih kuat di daerah tertentu dianggap sebagai imperialisme. Akan tetapi, imperialisme sebetulnya lebih cocok diidentifikasikan pada proses mendapatkan wilayah baru, bukan pada proses pemeliharaan kekuasaannya.

Istilah “imperialisme” sendiri sesungguhnya muncul pertama kali di Inggris pada akhir Abad XIX. Ide ini dipakai oleh kaum konservatif di bawah pimpinan Disraeli dalam kampanye pemilihan tahun 187428. Ide imperialisme seperti yang difahami Disraeli dan dikembangkan oleh Joseph Chamberlian serta Sir Winston Churchiil ternyata bertentangan dengan apa yang disebut oleh kelompok konservatif sebagai kosmopolitanisme dan internasionalisme oleh kaum liberal. Golongan oposisi takut kalau-kalau politik Disraeli itu akan menimbulkan krisis-krisis internasional29. Karena itu mereka menghendaki pemusatan perhatian pemerintah pada pembangunan dalam negeri dari pada berkecimpung dalam soal-soal luar negeri. 27 Ibid., h. 81. 28 Ibid., h. 81. 29

Yang direncanaan oleh Disraeli dalam federasi imperialnya adalah (1) penyatuan dan integrasi Inggris serta miliknya ke dalam suatu imperium ang disatukan melalui bantuan perdagangan yang bersifat protektif, (2)pencadangan tanah jajahan yang leluasa bagi orang Inggris; (3) angkatan bersenjata yang disatukan dan (4) badan perwakilan pusat di London (lihat Hans Morganthau, Politik Antar Bangsa, Edisi VI, Buku Pertama, Penerjemah S. Maimoen, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1990), h. 81-82).

Golongan oposisi ini disebut golongan "Little England" dan golongan Disraeli (Joseph Chamberlain, Cecil Rhodes) disebut golongan

"Empire" atau golongan "Imperialisme". Timbulnya perkataan imperialis atau imperialisme, mula-mula hanya untuk membedakan golangan Disraeli dari golongan oposisinya, kemudian mendapat isi lain hingga mengandung arti seperti yang kita kenal sekarang.

Imperialisme berasal dari kata Latin "imperare" yang artinya "memerintah". Hak untuk memerintah (imperare) disebut "imperium". Orang yang diberi hak itu (diberi imperium) disebut "imperator". Yang lazimnya diberi imperium itu ialah raja, dan karena itu lambat-laun raja disebut imperator dan kerajaannya (ialah daerah dimana imperiumnya

berlaku) disebut imperium30. Pada zaman dahulu kebesaran seorang raja diukur menurut luas daerahnya, maka seorang raja selalu ingin memperluas kerajaannya dengan merebut wilayah-wilayah lain. Tindakan raja inilah yang disebut imperialisme oleh orang-orang sekarang, dan kemudian ditambah dengan pengertian-pengertian lain hingga perkataan imperialisme mendapat arti-kata yang kita kenal sekarang ini.

Imperialisme dalam kacamata politik ialah usaha untuk menguasai (dengan paksaan) seluruh dunia untuk kepentingan diri sendiri yang dijadikan sebagai imperiumnya. "Menguasai" disini tidak perlu berarti merebut dengan kekuatan senjata, tetapi dapat dijalankan dengan kekuatan ekonomi, kultur, agama dan ideologi. Imperium disini pun tidak perlu

30

berarti suatu gabungan dari daerah jajahan-jajahan, tetapi dapat berupa daerah-daerah pengaruh, asal saja untuk kepentingan diri sendiri.

2. Teori-Teori Ekonomi Tentang Imperialisme

Mengenal imperialisme dari perspektif ekonomi juga sangat penting dalam menganalisa hubungan antar bangsa di era modern ini. Teori-teori ekonomi tentang imperialisme ditelurkan ke dalam tiga mazhab yaitu Mazhab Marxis, Mazhab Liberal dan Mazhab ‘Iblis”.

a. Mazhab Marxis

Mazhab Marxis berpegangan pada anggapan bahwa segala aktifitas politik merupakan refleksi dari kekuatan ekonomi31. Alur fikiran ini pada akhirnya menganggap gejala politis imperialisme merupakan hasil dari sistem ekonomi yang di dalamnya mengandung sumber kapitalisme. Sebagaimana logika marxisme bahwa masyarakat kapitalis telah kekurangan sumber bahan mentah dan wilayah untuk mendistribusikan hasil produksinya, untuk alasan inilah, maka imperialisme menjadi pilihan yang memungkinkan.

b. Mazhab Liberal

Berbeda dengan Mazhab Marxis, mazhab liberal memperhatikan bahwa imperialisme bukanlah tuntunan kapitalisme. Malah dengan adanya imperialisme, akan timbul –bukan perluasan kapitaslisme- ketidak mampuan sistem untuk menyesuaikan diri dengan kapitalisme

31

yang sudah mapan. Dengan demikian, imperialisme akan menghambat laju kapitalisme.

c. Mazhab “Iblis”

Lain halnya dengan Mazhab “Iblis” yang bekerja pada tingkat intelektual yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan dua mazhab rekanannya32. Teori ini muncul dari penyelidikan Komite Nye atas nama senat Amerika Serikat Serikat tentang campur tangan pihak Amerika Serikat Serikat dalam masalah industri dan ekonomi negara lain. Penyelidikan ini memunculkan fakta bahwa terdapat golongan-golongan tertentu yang memperoleh keuntungan besar dari fenomena dan intervensi Amerika Serikat terhadap dunia internasional33. Sebut saja dalam kasus peperangan, dalam perang pasti terdapat pihak pabrikan yang menyediakan pesawat dan senjata bagi Amerika Serikat. Tentu pengadaan ini mendatangkan keuntungan besar bagi pabrikan termasuk juga banker internasional (wallstreet) dan sebagainya. Oleh karena mereka memperoleh keuntungan dari peperangan tersebut, mereka cenderungan menghasut supaya peperangan itu terjadi terus agar bisa memperkaya diri.

3. Dorongan Untuk Imperialisme

a. Perang yang pasti berakhir dengan kemenangan

32

Ibid., h. 85.

33

Potensi dorongan seperti ini biasanya terjadi antara dua negara yang terlibat perang. Dimana satu negara memiliki potensi dan keyakinan yang kuat untuk memenangkan peperangan. Negara tersebut memilih jalur politik ini untuk mengubah pola hubungan yang sudah ada dengan membuat perjanjian-perjanjian yang pada akhirnya mempertahankan cengkeraman imperialistiknya34.

Potensi seperti ini biasanya dibarengi dengan perasaan bahwa mereka adalah bangsa istimewa di dunia ini (racial superiority). Tiap bangsa mempunyai harga diri. Jika harga diri ini menebal, mudah menjadi kecongkakan dan kemudian menimbulkan anggapan, bahwa merekalah bangsa teristimewa di dunia ini, dan berhak menguasai, atau mengatur bahkan memimpin bangsa-bangsa lainnya

b. Kalah Perang

Selain keyakinan akan menang dalam peperangan, imperialisme dalam arti perjuangan untuk mengubah status quo juga berpotensi muncul pada pihak yang kalah perang35. Dengan kata lain politik imperialisme yang diciptakan oleh pemenang mungkin menimbulkan politik imperialisme dari pihak yang kalah

Imperialisme dalam tipe ini bisa dicontohkan pada imperialisme Jerman dari Tahun 1935 sampai akhir perang dunia II. Status quo yang berkuasa di Eropa saat itu adalah aliansi negara-negara besar seperti Perancis, Inggris, Jerman, Inggris dan Rusia. Namun seiring kemenangan sekutu dan perjanjian-perjanjian perdamaian sesudah itu, lahirlah

34

Ibid., h. 92.

35

Perancis sebagai status quo baru yang menguasai aliansi dan sebagian besar Eropa Timur dan Eropa Tengah yang baru saja dibentuk.

Jerman Tahun 1919 sampai 1939 berupaya menggulingkan status quo ini. Usaha inilah yang kemudian memperbaiki posisi internasional Jerman. Dan sejak berkuasanya kaum nasionalis sosialis di Jerman, maka seluruh usaha Jerman dalam mengubah status quo ini berhasil menciptakan imperialisme baru.

c. Sebab Ekonomi

Tiap bangsa ingin menjadi jaya. Menjadi bangsa yang terbesar di seluruh dunia (ambition, eerzucht). Jika suatu bangsa tidak dapat mengendalikan keinginan ini, bangsa itu mudah menjadi bangsa imperialis. Karena itu dapat dikatakan, bahwa tiap bangsa memiliki benih imperialisme36. Sebab-sebab ekonomi inilah yang merupakan sebab yang terpenting dari timbulnya imperialisme, teristimewa imperialisme modern.

Labih rinci, motif ekonomi ini bisa berupa (1) keinginan untuk mendapatkan kekayaan dari suatu negara, (2) ingin ikut dalam perdagangan dunia, (3) ingin menguasai perdagangan dan (4) keinginan untuk menjamin suburnya industri.

d. Menyebarkan Ideologi dan Agama

36

Hasrat untuk menyebarkan agama atau ideologi dapat menimbulkan imperialisme. Tujuannya bukan imperialisme itu sendiri, tetapi agama atau ideologi. Imperialisme di sini dapat timbul sebagai “efek samping” saja. Tetapi jika penyebaran agama itu didukung oleh pemerintah atau negara, maka sering tujuan pertama terdesak dan merosot menjadi alasan untuk membenarkan tindakan imperialisme. e. Kelemahan suatu Negara

Imperialisme juga bisa didorong oleh adanya negara-negara yang lemah yang menjadi daya tarik bagi negara-negara kuat37. Pola hubungan yang tercipta antara negara yang kuat dan negara yang lemah akan memperlihatkan hubungan yang tidak seimbang, dalam arti kata bahwa pihak yang lemah diekploitasi dan diintervensi dalam segala bidang.

4. Tujuan Imperalisme

a. Imperium Dunia

Sejarah memang sudah mencatat berbagai fakta ambisi imperial sekelompok orang atau negara. Beberapa yang terkenal adalah politik ekspansionis Alxander Agung, Roma, Arab pada abad ke-7 M, Napoleon dan Hitler. Kekuatan-kekuatan ini akan terus memperluas wilayah kekuasaannya selama mereka belum dikalahkan. Dorongan untuk menguasai ini tidak akan habis selama masih ada daerah yang mungkin bisa didominasi.

37

Ambisi klasik itu menurut Kanneth Walt masih ada saat ini, untuk pertama kali nya sejak Roma, satu negara bisa menguasai politik dunia. Sang penguasa tersebut adalah Amerika Serikat Serikat. Tidak adanya penyeimbang kekuatan seperti uni soviet pada beberapa dekade lalu, menyebabkan terciptanya bahaya yang potensial bagi negara lain. Sebuah negara yang sangat kuat –dan Amerika Serikat Serikat melakukannya- akan berfikir dan mendaulat dirinya sebagai pihak yang bertanggung jawab membawa kedamaian, keadilan dan stabilitas dunia. Semangat sepihak ini bisa saja bertentangan dengan kepentingan negara lain. Sewaktu terjadi clash antara kekuatan besar dan kekuatan kecil, maka terjadi potensi atau dorongan untuk imperialistik38.

b. Imperium Kontinental

Imperium Kontinental berbeda dari imperium dunia dalam cakupan wilayah. Kalau imperium dunia merupakan ambisi menguasai seluruh wilayah di dunia, maka imperium kontinental hanya berambisi menguasai satu kontinental (benua) saja39. Tipe ini jelas sekali terlihat dalam hubungan negara-negara eropa pada era awal abad 20-an. Masing-masing negara berusaha menguasai negara lain dalam kawasan tersebut c. Pengaruh Lokal

Yang dimaksud dengan pengaruh lokal adalah keinginan untuk mengubah status qou dan membangun kekuasaan politik yang lebih besar dalam sebuah negara, bukan kontinental dan bukan dunia. Dengan

38

Wawancara Harry Kreisler dengan Kanneth Walt dengan tema “Conversations with History” 10 Februari 2003 di UC. Berkeley, diakses dari http//en.wikipedia.org/wiki/Kenneth Waltz

39

demikian perbedaan antara ketiga tujuan ini hanyalah permasalahan luas wilayah, namun substansinya tetap sama yaitu ingin mengubah status quo dan membangun pola kekuasaan yang baru.

5. Imperialisme Modern

Imperialisme Modern (Modern Imperialism) adalah usaha untuk menguasai (dengan paksaan) seluruh dunia untuk kepentingan diri sendiri yang dijadikan sebagai imperiumnya. "Menguasai" disini tidak perlu berarti merebut dengan kekuatan senjata, tetapi dapat dijalankan dengan kekuatan ekonomi, kultur, agama dan ideologi. Imperium disini pun tidak perlu berarti suatu gabungan dari daerah jajahan-jajahan, tetapi dapat berupa daerah-daerah pengaruh, asal saja untuk kepentingan diri sendiri.

Gagasan imperialisme modern bermula dari kemajuan ekonomi. Imperialisme modern timbul sesudah revolusi industri. Industri besar-besaran (akibat revolusi industri) membutuhkan bahan mentah yang banyak dan pasar yang luas. Mereka mencari jajahan untuk dijadikan sumber bahan mentah dan pasar bagi hasil-hasil industri, kemudian juga sebagai tempat penanaman modal bagi kapital surplus.

Imperialisme modern bisa diwujudkan dalam beberapa bentuk:

1. Imperialisme politik. Negara imperialis tersebut menguasai politik sebuah bangsa. Menguasai dalam arti mempengaruhi atau mendikte pemerintahan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

2. Imperialisme Ekonomi. Sang imperialis hendak menguasai hanya ekonomi sebuah negara. Jika suatu negara tidak mungkin dapat dikuasai

dengan jalan imperialisme politik, maka negara itu masih dapat dikuasai jika ekonominya bisa dikendalikan oleh imperialis. Imperialisme ekonomi inilah yang sekarang sangat disukai oleh negara-negara tertentu untuk menggantikan imperialisme politik.

3. Imperialisme Kebudayaan. Tipe ini menghendaki penguasaan atas jiwa

(de geest, the mind) negara lain. Dalam kebudayaan terletak jiwa suatu bangsa. Jika kebudayaannya dapat diubah, berubahlah jiwa bangsa. Menguasai budaya suatu bangsa berarti mengusai segala-galanya. Imperialisme kebudayaan ini adalah imperialisme yang sangat berbahaya, karena infiltrasinya mudah, dan jika sebuah bangsa telah “terbudayakan” sesuai budaya imperialis, maka akan sulit membebaskan diri.

4. Imperialisme Militer (Military Imperialism). Di mana para imperialis hendak menguasai kedudukan militer suatu negara. Ini dijalankan untuk menjamin keselamatan mereka untuk kepentingan agresif atau ekonomi. Tidak perlu seluruh negara diduduki sebagai jajahan, cukup hanya menempati lokasi-lokasi yang strategis sehingga de facto-nya berarti menguasai seluruh negara.

Imperialisme modern inilah yang banyak menggambarkan prilaku negara kuat (Amerika Serikat) dewasa ini seperti yang akan dibahas pada bab-bab berikutnya.

Dokumen terkait