adalah kafir. Tetapi kenapa dalam kasus pengingkaran terhadap seorang wali tidak demikian? Mereka beranggap-an bahwa mengingkari seorberanggap-ang wali tidak akberanggap-an menyebab-kan kerugian (iman). Mereka menganggap hal itu merupa-kan perkara yang biasa. Bumerupa-kankah iman tidak rusak dengan perkara semacam itu? Demikian kata mereka.
Padahal, pada hakekatnya pengingkaran terhadap se-orang waliyullah bisa juga menjadi penyebab hilangnya iman. Barangsiapa merenungkan perkara ini, akan tampak jelas, seperti jelas tampaknya sesuatu di dalam cermin.
Hendaklah diperhatikan, iman bisa hilang melalui dua macam cara. Pertama, karena mengingkari para nabi.
Kedua, karena mengingkari para waliyullah dan orang-orang yang ditunjuk atau diangkat Allah. Hilangnya iman karena menyatakan pengingkaran terhadap para nabi, adalah perkara yang sangat jelas dan dimengerti oleh semua orang. Siapapun tak menyangkal perkara ini dan tak mem-perdebatkannya.
Tapi hendaklah diperhatikan juga, terkait dengan per-kara yang pertama ini. Iman bisa hilang dalam hal ini bila seseorang ingkar atas klaim para nabi, bahwa mereka telah datang dari sisi Allah Ta’ala. Sebab, Allah berfirman bahwa apa saja yang mereka katakan adalah firmanNya. Inilah nabi-nabiKu, berimanlah kepada mereka, berimanlah kepa-da kitab-kitabNya, kepa-dan laksanakanlah perintah-perintah-Nya. Barangsiapa tak beriman kepada Kitab Allah, dan tak mengamalkan wasiat dan hukum yang dijelaskan di dalam-nya, berarti dia mengingkari Kitab itu dan menjadi kafir.
Orang yang kehilangan iman karena mengingkari para waliyullah keadaannya tak berbeda. Dalam satu Hadits Qudsi, Allah Ta’ala berfirman: man ‘aada lii waliyyan faqad aadzantuhu bil harb, “Barangsiapa yang memusuhi waliKu, maka Aku akan berperang dengannya.” (HR Bukhari, Ha-dits Qudsi no. 25).
Katakanlah, ada orang yang sangat mencintai seseorang lainnya, seperti halnya seorang ayah yang mencintai anak-nya. Jika ada orang yang mendoakan sang anak dengan ke-burukan, atau mengutarakan kata-kata yang menyakitkan hati dan menyedihkannya, niscaya sang ayah tidak akan senang dengan itu, dan tidak mungkin dia akan mencintai orang yang menyakiti anaknya itu.
Para waliyullah adalah “anak-anak”-nya Allah. Karena mereka telah melepaskan jubah ‘kedewasaan lahiriah’, dan mendapatkan pemeliharaan dan pengasuhan dalam rahmat pelukan Allah Ta’ala. Allah sendiri yang mengatur, menja-min dan memperhatikan mereka.
Karena itu, bila ada orang, sekalipun dia melaksanakan shalat dan puasa, tetapi bila dia memusuhi dan menyakiti waliyullah, Allah pasti akan marah dan murka kepadanya.
Manzur Ilahi/Malfuzat Ahmadiyyah jld. 2, hlm. 154-155
J
alan terbuka lebar bagi siapa pun yang hendak meng-gapai kesempurnaan insani dan kedudukan wali, seperti yang diisyaratkan oleh Allah dalam firman-Nya:“Pimpinlah kami pada jalan yang benar.”
(Al-Fatihah, 1:5).
Allah Ta’ala tak mungkin mengajarkan induk doa (ummul ad’iyah) ini kepada kita, tanpa menyiapkan sarana keleng-kapan untuk mengijabahinya. Dimana Allah mengajarkan doa, di situ pula Dia sediakan sarana dan prasarana untuk memenuhinya.
Di dalam surat sesudahnya (Al-Baqarah), terdapat isya-rat tentang terkabulnya doa tersebut. Allah berfirman:
Induk Segala Doa 35
“Kitab ini, tidak ada keragu-raguan di dalamnya, adalah petunjuk bagi orang yang bertakwa.”
(Al Baqarah, 2:2)
Dengan demikian, doa di dalam Al-Fatihah di atas men-jadi doa yang sarana pemenuhannya seakan-akan telah di-siapkan sebelumnya.
Singkat kata, bila manusia bisa memanfaatkan kekuatan untuk takwa yang diberikan kepadanya, maka dia tentu bisa menjadi seorang waliyullah. Dalam umat ini, tidak ada yang menyangkalnya, telah datang orang yang mem-punyai kekuatan besar, yang pribadinya penuh dengan cahaya, kebenaran dan ketulusan. Oleh karena itu, jangan-lah ada orang yang menganggap dirinya tidak mendapat kekuatan takwa itu.
Adakah Allah Ta’ala telah mengeluarkan suatu daftar, yang dengannya dapat diketahui bahwa kita tidak akan mendapatkan bagian dari berkah-berkah itu? Allah Ta’ala Maha Pemurah. KemurahanNya seluas samudra, yang airnya tak akan pernah habis. Orang yang mencari kemu-rahan Allah tidak akan tertolak. Oleh sebab itu, hendaklah engkau bangun pada waktu malam, berdoalah dan carilah karuniaNya.
Dalam setiap shalat ada kesempatan untuk kita berdoa, pada waktu ruku’, berdiri, duduk, sujud, dsb. Padahal, dalam sehari-semalam kita melaksanakan shalat lima kali:
Subuh, Dzuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya’. Selain itu, dapat
juga ditingkatkan atau ditambah dengan shalat Isyraq dan Tahajud. Ini semua kesempatan untuk berdoa.
Maksud utama dan inti shalat adalah doa. Sungguh, ber-doa kepada Allah Ta’ala sangatlah sesuai dengan sunatullah.
Secara umum kita bisa melihat, tatkala anak menangis terisak dan menunjukkan kegelisahan, maka sang ibu dengan tak sabar segera memberi air susu kepadanya. Ada semacam hubungan antara Tuhan dengan hamba, yang tidak setiap orang bisa mengerti.
Tatkala manusia datang bersimpuh di hadapan Allah Ta’ala, dengan khusyu’ dan khudu’ mengutarakan keadaan-nya, dan memohon apa yang menjadi kebutuhankeadaan-nya, maka meluaplah kemurahan Allah, dan dia diberi rahmat oleh-Nya. Tangisan kita diperlukan juga untuk memperoleh ‘air susu’ rahmat Allah.
Oleh karena itu, tunjukkanlah tetesan air matamu di hadapan Allah. Sebagian orang menganggap bahwa dengan menangis di hadapan Allah Ta’ala, kita tidak akan mendapat-kan apa-apa. Anggapan itu salah sama sekali. Orang yang beranggapan demikian tidak beriman pada keberadaan Allah Ta’ala dan sifat Maha KuasaNya. Seandainya mereka mempunyai iman yang hakiki, mereka tidak akan berani mengatakan seperti itu.
Apabila manusia datang ke hadirat Allah Ta’ala, dengan melaksanakan taubat yang sebenarnya, Allah senantiasa akan memberikan rahmat padanya.
Manzur Ilahi/Malfuzat Ahmadiyyah jld. 2, hlm. 159-160
R
enungkanlah. Dalam surat Al-Fatihah Allah Ta’ala dengan gamblang telah menunjukkan kepada kita jalan untuk memperoleh karunia. Dalam surat yang disebut juga Khatamul Kutub dan Ummul Kitab ini, telah diterangkan dengan jelas apa tujuan hidup manusia, dan bagaimana cara untuk mencapainya.Kalimat iyyaaka na’budu (kepada Engkau kami meng-abdi), seolah-olah menjadi tuntutan dan tujuan utama fitrah manusia. Kalimat itu mendahului kalimat iyyaaka nasta’iin (kepada Engkau kami mohon pertolongan). Ini mengisya-ratkan bahwa pertama-tama manusia dengan sepenuh ke-kuatan, semangat, dan pengetahuannya harus berikhtiar dan berjuang di jalan yang diridhai Allah Ta’ala, dengan memanfaatkan sepenuhnya kekuatan pemberian Allah Ta’ala. Kemudian, hendaklah berdoa kepada Allah Ta’ala