• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mewakafkan Hidup 5

Dalam dokumen Sentuhan Ruhani Imam Zaman 1 (Halaman 35-40)

belum menjauh, belumlah muncul pula kelezatan iman dan kedamaian jiwa, maka itu berarti belum ada iman yang benar dan sempurna dalam dirimu.

Karena itu, Allah Ta’ala berfirman, hendaklah engkau istiqamah dalam pengabdian, hingga tingkat kesempurnaan iman tercapai, semua tabir kegelapan hilang, dan lantas engkau bangun sebagai makhluk baru yang berbeda dengan keadaan sebelumnya. Itulah kehidupan kedua, yang disebut oleh para ahli tasawuf sebagai kehidupan baqa’.

Tatkala manusia mencapai tingkatan baqa’, maka Allah meniupkan ruh kepadanya, dan malaikat pun turun ke-padanya. Dalam arti inilah Rasulullah saw. bersabda ber-kenaan dengan Abu Bakar r.a. Beliau menyatakan, jika ada orang yang ingin melihat orang mati berjalan di atas bumi, maka lihatlah Abu Bakar. Derajat Abu Bakar r.a. tidak dinilai dari amal lahiriahnya, melainkan dari hal-hal yang ada di dalam hatinya.

Ingatlah! Dalam hal iman, ada rahasia di antara orang beriman dengan Allah Ta’ala. Tak ada yang dapat mengeta-huinya kecuali orang beriman itu sendiri. Orang yang tak dapat mengakses ilmu Allah dan makfirat kepadaNya, dan karena ketidaktahuannya tentang hubungan seorang muk-min dengan Allah Ta’ala, maka dia merasa heran melihat sebagian keadaan mereka, misalnya masalah rezeki dan penghidupannya. Terkadang rasa heran ini berkembang dan mengarah pada buruk sangka dan sesat fikir. Ini disebabkan oleh pandangannya yang sempit, karena tak memahami rahasia antara seorang mukmin dengan Allah Ta’ala.

Aku berharap, ada rahasia antara para sahabatku dengan Allah Ta’ala, selayaknya yang terjadi pada para sahabat Nabi saw. yang mulia. Singkatnya, hendaklah manusia mewakaf-kan hidupnya di jalan Allah Ta’ala. Aku membaca dalam beberapa surat kabar, diwartakan bahwa orang Arya ter-tentu mewakafkan hidupnya untuk Arya Samaj, dan pendeta tertentu membaktikan sepanjang umurnya untuk missio-narisme. Lantas, mengapa kaum muslimin tak mau me-wakafkan hidup-nya di jalan Allah dan untuk melayani Islam? Lihatlah pada zaman Rasulullah saw. yang diberkati.

Betapa Rasulullah saw. dan para sahabat mewakafkan hidup-nya untuk kehidupan Islam.

Inilah perniagaan yang tak akan menimbulkan kerugian, tetapi justru menghadirkan keuntungan yang tak terbatas.

Semoga kaum muslimin menyadari manfaat dan keuntung-an perniagakeuntung-an ini. Orkeuntung-ang ykeuntung-ang mewakafkkeuntung-an hidupnya untuk Allah, untuk agama-Nya, apakah kehidupannya akan hancur? Sama sekali tidak. Melalui wakaf untuk Allah, dia akan mendapatkan ganjaran dari Tuhannya, dan diselamat-kan serta dibebasdiselamat-kan dari segala macam ketakutan, pen-deritaan dan kesedihan (lihat Al-Baqarah, 2:112).

Bila setiap insan secara naluriah menginginkan kedamai-an, selamat dari ketakutkedamai-an, penderitaan dan kesedihkedamai-an, lalu apa sebabnya ketika disampaikan resep yang teruji keam-puhannya untuk penyakit itu, dia tak memperhatikannya?

Bukankah resep ini terbukti ampuh sejak dahulu?

Apakah para sahabat Rasulullah saw. yang mulia, karena wakaf itu, tak berhak mewarisi kehidupan suci dan abadi?

Lalu apa sebabnya orang enggan mengambil manfaat dari resep itu?

Persoalannya, orang tak menyadari kebenaran ini, dan tak mengetahui kenikmatan yang akan diperoleh dari perkara ini. Andaikata dia dapat merasakan kenikmatannya sedikit saja, tentu ia akan tergopoh-gopoh memasuki medan juang ini.

Aku pun secara pribadi menyusuri jalan ini, dan semata karena anugerah Allah, aku menikmati kemudahan dan kenikmatan di dalamnya. Andaikata aku mati dan kemudian dihidupkan kembali, maka aku berharap hidup lagi untuk mewakafkan diri kembali di jalan Allah, sebab hasratku akan kenikmatan ini kian bertambah-tambah.

Aku mengalami benar kenikmatan itu, dan Allah Ta’ala menganugerahkan semangat kepadaku untuk menjalani wakaf ini. Andai dikatakan padaku bahwa dalam wakaf ini tak ada pahala dan faedahnya, melainkan hanya akan ada penderitaan dan kesusahan, aku masih terus dan tetap tak akan berhenti dalam melayani Islam. Karena itu, aku merasa wajib mewasiatkan perkara ini kepada para pengikutku.

Selan-jutnya pilihan ada pada masing-masing orang, apakah dia mendengarkannya atau tak mendengarkannya.

Bilamana ada orang yang menginginkan kehidupan suci serta kehidupan abadi, hendaklah dia mewakafkan hidupnya untuk Allah. Setiap orang seharusnya senantiasa berpikir dan berusaha untuk mencapai tingkatan itu, dan menyata-kan dengan sebenarnya bahwa hidupnya, matinya, pengor-banannya, dan salatnya semata-mata untuk Allah Ta’ala.

Layaknya Ibrahim as. yang berseru,

“Aku berserah diri kepada Tuhan serwa sekalian alam.” (Al-Baqarah, 2:131).

Selama manusia tidak melebur dalam Allah, tidak hidup dan mati dalam Allah, ia tak dapat menemukan kehidupan baru itu. Kalian yang senantiasa bersentuhan denganku menjadi saksi bahwa aku menganggap perkara mewakafkan hidup untuk Allah ini adalah tujuan utama hidupku.

Lalu, lihatlah dalam diri kalian sendiri! Di antara kalian, berapa yang menyukai perbuatan dan menghargai perkara ini?

Malfuzat Ahmadiyyah, jilid 1, hlm. 115-117

D

oa adalah perkara yang besar. Sayangnya, banyak orang tak memahami hakikat doa. Sebagian orang menganggap bahwa setiap doa yang dipanjatkan sesuai dengan cara dan keadaannya, pasti dikabulkan.

Karena itu, ketika mereka memanjatkan doa, dan kemudian tak terpenuhi sesuai dengan maksud dalam hatinya, dia menjadi putus asa dan berburuk sangka pada Allah Ta’ala.

Padahal, kebesaran hati seorang mukmin tampak ketika ia tak berputus asa tatkala secara lahiriah hasrat dalam doa-nya tak tercapai. Sebab, boleh jadi menurut Allah Yang Maha Pemurah, doa itu tak bermanfaat baginya.

Perhatikanlah! Jika seorang anak ingin memegang bara api, maka ibunya akan berlari mencegahnya. Bahkan tak segan sang ibu akan memukul anak yang bersikeras melaku-kannya.

Dalam dokumen Sentuhan Ruhani Imam Zaman 1 (Halaman 35-40)

Dokumen terkait