• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 PENDAHULUAN

2.2 Konsepsi Daya Dukung PPK

2.2.4 Mengukur Daya Dukung PPK dengan Ecological

Konsep ecological footprint pertama kali diperkenalkan oleh Wackernagel dan Rees (1996) dalam bukunya yang berjudul : Our Ecological Footprint:

Reducing Human Impact on the Earth. Setiap diri kita memerlukan lahan untuk

konsumsi pangan dan papan (footprint pangan dan papan), untuk bangunan, jalan,

TPA (degraded land footprint), dan perlu hutan (dan juga lautan) untuk

mengabsorbsi kelebihan CO2 pada saat membakar BBM (energy footprint).

Ecological footprint (eco-footprint) diekspresikan dalam konteks (satuan)

produktivitas global (dunia). Jadi jika misalnya produktivitas sereal dunia adalah 2,5 ton/ha/th, maka jika seseorang menkonsumsi 1 ton sereal per tahun berarti mempunyai ”cereal footprint” sebesar 0,4 ha/cap. Namun Ferguson (2002) dalam

PKSPL (2005) telah menunjukkan bahwa menggunakan produktivitas global dapat mendistorsi hasil perhitungan dan oleh karenanya Ferguson (2002) menyarankan menggunakan produktivitas lokal. Secara konseptual maka

ecological footprint tidak boleh melebihi biocapacity. Biocapacity dapat diartikan

sebagai daya dukung biologis, atau daya dukung saja. Ferguson (2002) dalam

PKSPL (2005) mendefinisikan biocapacity sebagai sebuah ukuran ketersediaan lahan produktif secara ekologis. Sementara itu daya dukung lingkungan dalam kaitan ini dapat disajikan dalam bentuk jumlah orang yang dapat hidup di lokasi tersebut, dapat didukung oleh biocapacity yang ada. Daya dukung lingkungan

(carrying capacity) adalah total biocapacity dibagi dengan total ecological

footprint.

Untuk menjelaskan konsep ecological footprint ini dalam kaitannya dengan daya dukung lingkungan, PKSPL (2005) membuat contoh sebagai berikut. Misalnya di sebuah pulau bahwa setiap orang mengkonsumsi 2 ton jagung dan 0,2 ton pepaya per tahun. Diketahui ternyata di pulau ini telah digunakan 20.000 ha lahan untuk menumbuhkan jagung dan 500 ha untuk menanam pepaya. Produktivitas lahan jagung adalah 10 ton/ha/th, sementara produktivitas lahan pepaya adalah 40 ton/ha/th. Apabila kenyataannya penduduk di pulau ini kebutuhanya akan pepaya dan jagung terpenuhi maka daya dukung yang dihitung dari produksi jagung dan daya dukung yang dihitung dari produksi pepaya haruslah sama. Dapat dilihat bahwa jika 20.000 ha menghasilkan jagung dengan

produktivitas 10 ton/ha/th maka akan diproduksi jagung sebanyak 200.000 ton/tahun. Karena kebutuhan setiap orang adalah 2 ton per tahun, maka jumlah orang yang dapat dicukupi (carrying capacity) adalah (200.000/2) = 100.000 orang. Jika daya dukung ini dihitung dari produksi pepaya, maka dapat kita lihat bahwa produksi pepaya dalam satu tahun adalah 500 x 40 = 20.000 ton/tahun. Karena konsumsi setiap orang adalah 0,2 ton pepaya per tahun maka daya dukung lingkungannya adalah (20.000 /0,2) = 100.000 orang. Daya dukung harus sama walaupun dihitung dari jenis konsumsi yang berbeda.

Daya dukung lingkungan juga dapat dihitung dari biocapacity dan

ecological footprint. Pada contoh di atas maka ecological footprint dari jagung

adalah (konsumsi per capita / produktivitas) = 2/10 = 0,2 ha. Sementara itu

ecological footprint dari pepaya adalah = 0,2/40 = 0,005 ha. Dengan demikian

total ecological footprint adalah 0,205 ha.

Ecological footprint mewakili kebutuhan kapital alam yang sangat

diperlukan dari suatu populasi dalam artian luasan lahan yang produktif secara ekologis. Luas lahan footprint tersebut bergantung pada besarnya populasi, standar hidup material, pemanfaatan teknologi, dan produktivitas ekologis (Wackernagel et al., 1999). Untuk sebagian besar wilayah yang telah maju (daerah industri) sebagian lahan footprint ini melebihi yang tersedia di tempat (wialayah lokal) tersebut. Hal ini berarti memerlukan bantuan kecukupan

(appropriation) dari daya dukung (carrying capacity) dunia (global). Ditekankan

oleh Wackernagel et al. (1999) ecological footprint tidak bias tumpang tindih

(overlap), daya dukung lingkungan yang dialokasikasikan untuk kecukupan

(appropriated) seseorang (atau satuan ekonomi) tidak bisa tersedia bagi orang

lain. Dengan demikian orang-orang berkompetisi (bersaing) untuk ecological

space. Perhitungan ecological footprint didasarkan pada 2 fakta sederhana :

pertama adalah bahwa semua sumberdaya yang dihabiskan (konsumsi) dan

limbah yang dihasilkan dapat ditelusuri; dan kedua, kebanyakan aliran

sumberdaya dan limbah tersebut dapat dikonversi ke luasan lahan yang secara biologis produktif yang diperlukan untuk mengakomodasi fungsi-fungsi (produksi

dan penyerapan limbah) tersebut. Dengan demikian ecological footprint

Ecological footprint telah digunakan untuk menghitung lahan yang diperlukan untuk kecukupan kebutuhan ekologis seseorang baik pada tingkat lokal, negara, regional, dan bahkan dunia. Konsep ini juga telah digunakan sebagai indikator yang mengukur pasokan (supply) dan permintaan (demand)

sumberdaya alam yang dapat pulih (renewable resources) untuk menjamin

keberlanjutan (sustainability) sistem manusia. Namun demikian konsep

ecological footprint juga telah dikritik kelemahannya pada saat digunakan sebagai

indeks keberlanjutan sistem produksi akuakultur (Roth et al., 2000) dalam PKSPL (2005).

2.3 Pembangunan dan Kemiskinan

Perkembangan teori pembangunan hadir setelah teori-teori tentang kapitalisme. Oleh karena dalam banyak pembahasannya, teori pembangunan lebih banyak dipengaruhi oleh perkembangan teori kapitalisme, baik yang mendukung maupun para pengkritiknya. Sejak kaum merkantilis dan Adam Smith, Ricardo dan Thomas Maltus sampai Marx, Keynes, Paul Baran sampai Gunnar Myrdal dan Amarty Sen, banyak membicarakan tentang pembangunan ekonomi. Pemikiran pembangunan tersebut selanjutnya oleh Damanhuri (1997) diklasifikasi dalam tiga jenis pemikiran yaitu teori liberal, teori kritis atau radikal dan teori heterodox. Pandangan para pemikir ekonomi tersebut senantiasa mengkaitkan dengan perkembangan politik. Deliarnov (2005) mengklasifikasi para pemikir ekonomi politik dengan melihat sejarah pemikiran ekonomi dalam beberapa jenis meliputi ekonomi politik liberal klasik, sosialisme, neo klasik, strukturalisme dan dependensia, kelembagaan, ekonomi politik baru dan neo liberalisme.

Namun perbedaannya, sejak zaman merkantilis, Adam smith, Marx dan Keynes, perhatian kepada pembangunan ekonomi lebih bersifat statis dan umumnya dikaitkan dengan kerangka acuan lembaga budaya atau sosial eropa barat. Baru sejak tahun empat puluhan atau tepatnya pasca perang dunia II yang ditandai dengan kebangkitan gelombang politik bangsa Asia-Afrika, para ahli ekonomi banyak mencurahkan perhatiannya pada masalah negara terbelakang. Bagi negara-negara tersebut kemiskinan di suatu tempat merupakan bahaya bagi

kemakmuran di manapun (Jhingan, 1975). Bagi Meier dan Baldwin dalam

Jhingan (1975) pengkajian mengenai kemiskinan bangsa-bangsa bahkan lebih terasa mendesak daripada pengkajian kemakmurannya.