• Tidak ada hasil yang ditemukan

RESISTENSI TERHADAP HAK PEREMPUAN YANG MERASA DIABAIKAN

5.6. Meninggalkan peran

Bentuk resistensi ini dilakukan oleh informan saya yaitu Ibu Priska Sirait. Akibat dari suaminya yang tidak juga mendapatkan pekerjaan yang menyebabkan sering terjadinya masalah rumah tangga antara keduanya, Ibu Priska Sirait memutuskan untuk tidak lagi mengerjakan pekerjaan rumah yang biasanya dilakukan olehnya.

“ya terakhirnya kutinggalkan aja kayak gitu semua, rumah

ga peduli aku semua kotor, berantakan, kutinggalkan aja

langsung.” (Priska Sirait, 47 tahun)

Ibu Priska Sirait yang sebelumnya selalu meninggalkan rumah dengan keadaan bersih dan rapi berubah menjadi mengabaikan semuanya begitu saja karena merasa capek dengan peran beban ganda yang dijalankannya.

Hasil dari resistensi tersebut awalnya adalah ketidakterimaan suaminya yang kemudian menjadi penyebab cekcok antara mereka lagi. Namun Ibu Priska Sirait mengutarakan pendapatnya pada suaminya dan tetap pada keputusannya yang tidak mau lagi mengurus pekerjaan rumah. Dan setelah itu, suami Ibu Priska Sirait pun menjadi mengerjakan pekerjaan yang sebelumnya merupakan tugas yang harus dikerjakan Ibu Rumah Tangga yaitu istrinya. Pekerjaan yang akan dilakukan suami Ibu Priska Sirait adalah membersihkan dan membereskan rumah dan mencuci piring dan pakaian.

Sampai sekarang yang bekerja mencari nafkah pun masih Ibu Priska Sirait. Ibu Priska Sirait yang membiayai semua kebutuhan rumah tangga dan biaya untuk sekolah anak bahkan untuk semua keperluan suaminya. Hal ini pun menjadikan suami Ibu Priska Sirait yang mengerjakan semua pekerjaan rumah sejak Ibu

Priska Sirait tidak mau lagi menjalankan peran gandanya yaitu berperan di bidang publik maupun domestik.

Dengan kondisi seperti ini Ibu Priska Sirait merasa lebih baik karena lebih baik ia bekerja dan suaminya mengerjakan pekerjaan rumah tangga daripada suaminya tidak ada usaha sama sekali. Sejak suaminya bekerja di rumah pula, Ibu Priska Sirait mengaku lebih banyak mengambil keputusan dalam rumah tangga karena dirinya yang mengatur keuangan sehingga Ibu Priska Sirait yang lebih banyak menentukan.

Sebagaimana yang dikatakan oleh James Scott mengenai apa yang

disebutnya sebagai ‘everyday forms’ of women’s resistance (bentuk perlawanan

sehari-hari) berdasarkan kajiannya di kalangan para petani. Bahwa penolakan yang dilakukan para petani dalam menghadapi ambiguitas dan kontradiksi dalam hukum negara sehingga menyebabkan tidak efektifnya perubahan hukum Negara menciptakan kesetaran antara perempuan dan laki-laki. Menjadi penyebab perempuan pada akhirnya melakukan penolakan dengan caranya sendiri.

“Such forms of resistance required little or no-coordination or planning; they can be classed as a type of self-help; and they avoid any direct questioning of the

authority or the norms of dominant/elite groups” (Scott dalam Irianto, 2003, hal.2).

Scott memaparkan bahwa penolakan perempuan petani berupa

penyimpangan kolektif yang seketika dan berciri “senjata biasa” dari kelompok- kelompok yang relatif tidak berdaya, dengan cara seperti keterlambatan, pembakaran dengan sengaja, sabotase, pencopetan, gosip dan sebagainya. Bahwa

adalah bahwa mereka tidak boleh diabaikan. Perlawanan yang dilakukan perempuan tidak merupakan konfontasi langsung, karena perempuan memahami lemahnya kedudukan mereka, dan segan terlibat dalam konfrontasi terbuka ketika keadaan sudah menjadi genting. Kepasrahan seperti halnya perlawanan harus dipandang sebagai sebuah strategi, bagian dari satu proses tawar-menawar yang tidak mempunyai awal dan akhir. Sementara, sifat eksploitatif masih tetap berlangsung dari hubungan-hubungan kelas tersebut.

Sedangkan Perlawanan De Witt (1979) mengatakan bahwa dalam suatu komunitas, konsensus tidak pernah tercapai seratus persen dan mereka yang tidak setuju pada suatu saat akan mengadakan perlawanan yang dilakukan secara nyata dan diam-diam. (De Witt dalam Ni Nyoman Sukeni, SH. Msi.- Hegemoni Negara dan Resistensi Perempuan dalamPelaksanaan Program Keluarga Berencana di Kecamatan Tejakula Kabupaten Buleleng Bali)

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa resistensi muncul setelah informan tidak bisa lagi menghadapi beban yang sudah terlalu sulit untuk diterima setiap hari oleh informan. Sehingga muncullah perlawanan dan setiap perempuan memiliki bentuk-bentuk resistensi yang berbeda satu sama lain dalam menunjukkan perlawanannya terhadap haknya yang dirasa diabaikan. Resistensi tersebut ada yang berhasil merubah sikap suami informan menjadi lebih memperhatikan hak dari informan dan memperlakukannya menjadi lebih baik, namun ada juga yang tidak mempengaruhi keadaan sebelumnya sama sekali karena sistem Patriarkhi yang sudah sangat mengakar pada Keluarga Batak Toba.

Lila Abu-Lughod mengungkapkan dalam sebuah tulisannya mengenai resistensi sebagai berikut.

“...resistance is, I would argue, a growing disaffection with ways we have

understood power, and the most interesting thing to emerge from this work on resistance is a greater sense of the complexity if the nature and forms of

domination.” (...perlawanan, saya berpendapat, sebuah ketidakpuasan yang

berkembang dengan cara-cara kita memahami kekuatan, dan hal paling menarik yang muncul dari ini bekerja pada resistensi adalah rasa yang lebih besar dari kompleksitas sifat dan bentuk-bentuk dominasi).

Dari beberapa fakta yang didapatkannya mengenai bentuk perlawanan perempuan terhadap kuasa laki-laki dalam struktur sosial, ia mengungkapkan bahwa sesungguhnya untuk mempelajari hal tersebut diperlukan interpretasi dalam memotret fenomena sehingga akan membawa kita pada berbagai bentuk relasi di dalam sebuah struktur komunitas yang saling bertalian. Lila juga menganjurkan resistensi sebagai sebuah strategi untuk menganalisa kuasa (resistance as a diagnostic of power). Hal tersebut ia dapat setelah terinspirasi dari tulisan Foucault, sesungguhnya dimana ada kekuasaan disitu terdapat resistensi (where there is power, there is resistance).12

Dapat dilihat dari informan yang telah melakukan perlawanan / resistensi yang kemudian menjadi cenderung adanya menunjukkan kekuasaan yaitu Ibu L. Simatupang dengan perlawanan diamnya memunculkan kekuasaan yang membuat suaminya berubah atas sikapnya selama ini yang membebani Ibu L. Simatupang. Begitu juga dengan Ibu Priska Sirait yang melakukan perlawanan dengan cara

12

Lila Abu-Lughod, The Ro a ce of Resista ce: Traci g Tra sfor atio of Power Through

tidak mau lagi mengerjakan pekerjaan rumah yang akhirnya mau tidak mau suaminya pun menjadi mengerjakannya.

Walaupun masih ada juga tidak selalu berhasil karena patriarkhi oleh sistem patrilineal yang telah mengakar pada budaya Batak seperti kasus Ibu M. Sihombing yang harus ditinggalkan oleh suaminya dan awalnya mendapat dukungan dari mertuanya namun pada akhirnya mertuanya malah memihak pada suami dan keluarga baru suaminya.

BAB VI

PENUTUP

6.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang diteliti oleh penulis, dapat disimpulkan bahwa:

1. Dalam budaya Batak Toba, kerentanan akan hak-hak perempuan yang diabaikan disebabkan oleh ideologi patriarki masih sangat mewarnai berbagai aspek kehidupan dan struktur masyarakat yang mengakibatkan pengabaian hak perempuan, ketimpangan dan ketidakadilan gender, hubungan dalam keluarga, teknologi, kewarisan, ekonomi dan masih banyak bidang lainnya. Posisi perempuan dinomorduakan setelah laki-laki dan laki-laki dianggap sebagai pemimpin dan lebih rasional daripada perempuan sehingga perlakuan terhadap laki-laki lebih diutamakan dibandingkan perempuan.

2. Dengan adanya sistem Patriarkhi, Hak Perempuan yang cenderung tidak diindahkan menimbulkan adanya beban dalam kehidupan Perempuan dalam Keluarga Batak Toba. Perempuan seakan memiliki keterbatasan- keterbatasan akibat bentukan sistem patrilineal yang berlaku.

3. Setiap perempuan yang haknya terabaikan memiliki bentuk-bentuk resistensi yang berbeda satu sama lain dalam menunjukkan perlawanannya terhadap budaya patriarki. Akan tetapi, resistensi tersebut tidak selalu berhasil karena sistem patriarkhi yang telah mengakar pada budaya Batak

6.2. Saran

Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan yang sebelumnya peneliti uraikan, maka peneliti memiliki beberapa saran, yaitu:

1. Penelitian sebaiknya dapat merubah pandangan tentang pentingnya Hak perempuan Batak dan melalui penelitian ini masyarakat dapat merubah sikap untuk lebih memperhatikan Hak perempuan. Peneliti harus dapat merasakan yang dirasakan informan, agar lebih mudah dalam mencari informasi serta bisa mengerti apa yang dijelaskan informan. Peneliti juga harus betul-betul merasakan bahwa penelitian bukan sekedar syarat untuk mendapat gelar sarjana, akan tetapi penelitian dapat menambah ilmu yang tidak didapat diperkuliahan. Bukan hanya sekedar memahami, peneliti juga harus mencintai penelitiannya karena peneliti tidak akan merasa terbebani dan memiliki pengalaman yang menarik.

2. Diskriminasi dalam berbagai bentuk terhadap perempuan haruslah dihilangkan, karena akan merugikan perempuan, selain itu usaha perempuan sangat besar untuk dapat menghidupi keluarganya sehingga hal tersebut harus lebih dihargai

3. Saran akademis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi pengetahuan baru untuk lebih mengetahui tentang bagaimana hak perempuan di Keluarga Batak Toba.

4. Peneliti berikutnya perlu untuk memiliki kreatifitas dalam memunculkan gagasan dan fenomena baru untuk penelitian.

5. Memiliki keterampilan untuk mengkomunikasikan hasil penelitian baru kepada masyarakat luas.

Dokumen terkait