• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hak Perempuan di Keluarga Batak Toba (Studi tentang Kerentanan) Chapter III VI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hak Perempuan di Keluarga Batak Toba (Studi tentang Kerentanan) Chapter III VI"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

PEMAHAMAN HAK PEREMPUAN MENURUT PEREMPUAN

BATAK TOBA

3.1. Hak Perempuan secara umum menurut Perempuan Batak

Toba

Pemahaman informan tentang hak perempuan menurut informan saya cukup beragam. Namun, hampir semua menganggap hak perempuan adalah hal yang penting dan serius.

“Hak perempuan itu menurutku banyaklah, dinafkahi,

diberi kebebasan berpendapat, dilindungi, dihargai sebagai

perempuan.”

(Basaria Sitorus, 55 tahun)

“Hak kita ya sangat penting untuk dipenuhi, jangan waktu

sebelum nikah aja suami kita janji ini janji itu tapi setelah menikah kita diperlakukan seenaknya aja. Kalau mau hubungan dalam keluarga itu baik-baik aja berarti istri harus bisa mendapat hak-haknya, karena jadi perempuan

itu gak mudah, banyak perjuangannya.”

(Basaria Sitorus, 55 tahun)

Menurut Ibu Basaria sebagai istri dirinya berhak mendapat apapun yang ia butuhkan dari suami, mulai dari kebutuhan sehari-hari untuk kebutuhan rumah tangga, kebutuhan pribadinya, sampai kebutuhan lain seperti kebutuhan uang untuk arisan yang dilaksanakannya dengan teman-temannya.

(2)

“Sebagai perempuan saya menganggap hak perempuan itu

penting untuk dipenuhi karena jadi ibu rumah tangga itu ga mudah ya, kelihatannya aja mudah tapi yang harus diatur itu banyak dari anak, suami, sampai kebutuhan lainnya. Jadi ibu rumah tangga itu pokoknya berpengaruh sekali di suatu keluarga jadi hak seorang perempuan itu dikeluarga sangat penting untuk diperhatikan apalagi

kayak saya ini yang juga mencari nafkah”

(L. Simatupang, 47 tahun)

Bagi Ibu L. Simatupang apabila seorang perempuan di penuhi hak-haknya di sebuah keluarga, keluarga tersebut akan menjadi keluarga yang baik karena sosok perempuan merupakan sosok yang sangat penting karena perannya yang besar.

Selain itu ada juga yang menganggap Hak Perempuan itu tidak merupakan hal yang besar tapi penting

“Hak ku sebagai perempuan ya dinafkahi oleh suami,

paling itu saja, selain itu saya cuma kebanyakan kewajiban sebagai ibu rumah tangga ini”

(Priska Sirait, 47 tahun)

Menurut Ibu Priska Sirait, sebagai perempuan ia tidak memiliki banyak hak, ia hanya perlu untuk dinafkahi oleh suami setiap hari, selain itu ia hanya memiliki banyak kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai perempuan. Dan kewajibannya yang banyak tersebut disadarinya memang sebagai perannya tersendiri sebagai perempuan.

(3)

“Ya kalo hak pastinya ya kita dikasih uang belanja

sebenarnya tapi ya uang belanjapun dari aku juganya. Tapi kalo misalnya kewajiban banyak namanya juga udah kita kerja, kita juga Ibu Rumah Tangga jadi pasti banyaklah

kerjaan” (Rosmika Siahaan, 51 Tahun)

Bagi Ibu Rosmika Siahaan hak perempuan merupakan hal yang sangat penting diperhatikan karena banyaknya hal yang harus dikerjakan oleh seorang perempuan apalagi bagi beliau yang juga merupakan perempuan pencari nafkah.

Selain itu, menurut Ibu M. Sitinjak hak perempuan juga penting. Namun tidak seperti informan kebanyakan lainnya, Hak perempuan yang paling penting baginya adalah dihargai, dihormati, dan disayangi. Ia merasa sangat penting untuk diperlakukan dengan baik agar tetap bisa beraktifitas dengan baik tanpa merasa terbebani akibat perlakuan yang tidak baik dari suaminya.

“Hak saya sebagai perempuan itu yang paling penting

menurutku dihormati dan dihargai ya dek karena kalaupun ga dinafkahi aku ga akan susah karna aku juga punya

pekerjaan sendiri” (M. Sitinjak, 43 Tahun)

Selain itu, Ibu M. Sihombing berpendapat bahwa Hak Perempuan sangat penting karena besarnya perjuangan perempuan dalam rumah tangga.

“Hak perempuan menurutku ya semua yang berhak kita

dapatkan dek kayak diberi uang bulanan sama suami.”

(M. Sihombing, 43 tahun)

“Hak perempuan itu menurut saya penting sekali karena

(4)

mengurus anak-anak di keluarga pun perempuan lagi jadi pasti pentinglah dipenuhi hak-haknya”

(M. Sihombing, 43 tahun)

Berdasarkan pendapat-pendapat informan saya yaitu perempuan Batak tentang Hak Perempuan, semua mengatakan bahwa Hak Perempuan itu sangatlah penting untuk dipenuhi dan tidak diabaikan karena tidak mudahnya menjadi seorang perempuan dengan banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan belum lagi kalau perempuan tersebut adalah juga pencari nafkah.

Hampir semua informan juga berpendapat bahwa hak yang paling penting untuk mereka dapatkan adalah dinafkahi oleh suami. Selain itu hak lainnya yang tidak kalah penting menurut informan adalah hak untuk diperlakukan dengan baik.

3.2. Hak Perempuan dalam Keluarga Batak Toba Menurut

Pandangan Informan

1. Basaria Sitorus

Menurut Basaria Sitorus haknya dalam keluarga yaitu Keluarga Batak Toba tidak terlalu banyak namun ia pernah merasakan haknya yang sedikit tersebut cenderung dikesampingkan.

’Kalo hak saya dikeluarga itu adalah mendapat tanggung jawab dari kepala rumah tangga. Apapun yang kita perlukan harusnya dipenuhi sama kepala rumah tanggalah. Contohnya menafkahi keluarga sehari—hari.’

(5)

pekerjaan rumah, kelima anaknya, dan suaminya yang berprofesi sebagai supir angkot. Namun kemudian berkurangnya sewa angkutan membuat keadaan finansial dari keluarga Ibu Basaria semakin memburuk karena anak-anaknya yang juga yang membutuhkan banyak biaya untuk pendidikan. Menyadari hal tersebut Ibu Basaria pun menyarankan agar suaminya, Pak Pangaribuan untuk mencari pekerjaan lain, namun Pak Pangaribuan tidak dapat menemukan pekerjaan lain. Sehingga karena semakin merasa kurangnya uang untuk kebutuhan mereka, Ibu Basaria pun melatih lagi kemampuannya dalam membuat lampet yang sebelumnya telah dipelajarinya dari orangtuanya ketika ia masih gadis. Pada awalnya Ibu Basaria hanya berjualan lampet di sekitaran rumahnya saja berjalan kaki dan berkeliling mengitari gang-gang di sekitar lingkungan rumahnya yaitu kelurahan Kenangan. Dan ternyata usaha Ibu Basaria memberikan hasil yang baik. Ia bisa mendapatkan tambahan uang untuk membantu meringankan kebutuhan sehari-hari dan bahkan sampai melebihi penghasilan dari suaminya sebagai Supir Angkot yang sedikit bahkan tidak ada karena Pak Pangaribuan akhirnya berhenti bekerja karena menurut pengakuannya ia capek bekerja tapi tidak mendapatkan uang karena tidak adanya sewa. Mengetahui hal tersebut, Ibu Basaria merasa keberatan karena disitulah ia merasa haknya yang sudah dikesampingkan oleh suaminya karena tidak lagi dinafkahi melainkan ia yang menafkahi keluarganya dari usaha lampet yang digelutinya. Sejak saat itu Ibu Basaria harus bekerja keras dari pagi subuh sampai tengah malam untuk membuat dan menjual lampet.

(6)

sedangkan suami teman-temannya / tetangganya pagi-pagi telah meninggalkan rumah untuk bekerja untuk keluarganya.

“Saya dulu suka merasa iri sama teman-teman saya yang tidak harus repot bekerja keras seperti ini dan suaminya bisa menafkahi keluarganya istilahnya kalo di dalam bahasa batak itu “mangapian”kita melihat mereka”

Ibu Basaria mengaku ia kadang merasa iri melihat temannya / ibu rumah tangga di keluarga lain karena ia harus tetap bekerja setiap saat tidak berhenti karena pekerjaan rumah juga yang tidak kalah banyaknya seperti masak, mencuci pakaian, membersihkan rumah dan mengurus anak-anaknya.

“Ya bisalah kau bayangkan dek kayak mana kita rasa melihat suami nganggur, uang gak ada, anak minta uang

gak ada yang bisa dikasih”

Hal tersebutlah yang dirasa Ibu Basaria Sitorus tidak adil, sebagai perempuan ia berhak untuk dinafkahi namun ia tidak bisa mendapatkan haknya tersebut bahkan ia harus melakukan beban ganda dimana selain mencari nafkah, bekerja dari pagi sampai malam, ia juga harus mengurus anak dan kegiatan urusan rumah tangga.

Belum lagi hal lain yang bisa membuat Ibu Basaria semakin sedih dan berat menjalani harinya yaitu apabila lampet yang telah dibuat oleh Ibu Basaria banyak tidak laku terjual, pesanan orang yang ternyata tidak jadi / dibatalkan dan anak-anaknya yang tidak bisa diatur.

(7)

karena Ibu Basaria Sitorus berpikir bahwa ia harus kembali pada kenyataan bahwa kalau ia berhenti bekerja keras maka keluarganya tidak bisa makan dan sebagai perempuan Batak, ia tidak bisa banyak mengeluh dan menuntut kepada suami

karena ia merasa sudah “dibeli” oleh pihak laki-laki / suami.

2. Priska Sirait

Bagi Ibu Priska Sirait, istri dari Pak Siregar yang tidak memiliki pekerjaan sudah sejak 5 tahun dan sebagai sebagai seorang Ibu tiga anak yang mencari nafkah sendiri untuk kehidupan sehari-harinya yaitu berdagang pakaian bekas di pasar loak yaitu Pajak sambu sejak dari pagi jam 7 pagi sampai jam 8 malam. Beliau merasakan bahwa Haknya sebagai perempuan sangat dikesampingkan.

“Ibaratnya kan udah hanya saya yang merawat anak dari kecil, mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga, ikut mencari nafkah bahkan uang rokoknya pun dari saya, aturan kan saya yang minta uang dari dia, tapi udah gitupun tetap suami saya sikapnya suka kasar berarti hak saya sebagai perempuan hampir tidak ada saya dapat

malah saya merasa terbebani”

(8)

Namun bagi Ibu Priska Sirait, semuanya ia terima dengan ikhlas saja daripada berdiam diri dirumah saja, ia lebih memilih untuk mengalah walaupun sebenarnya ia merasa tak adil, karena motivasi beliau yang paling besar adalah ketiga anaknya yang masih duduk di bangku SD. Menurut Ibu Priska Sirait, kekuatannya yang didapat dari ketiga anaknya sangat besar dan bisa membuatnya semangat untuk tetap bekerja demi keluarganya, terlebih ketiga anak Ibu Priska Sirait sangat condong atau jauh lebih dekat pada beliau dari pada dengan ayahnya. Selain anak-anaknya Ibu Priska Sirait juga menjadikan Tuhan sebagai motivasinya, Ibu Priska Sirait selalu berdoa dan selalu mengikuti ibadah di gereja dan ibadah “partangiangan” setiap hari Kamis malam dan berharap suaminya bisa terbuka hatinya dan bisa mencari pekerjaan supaya suaminya tidak hanya berdiam dirumah saja, ke kedai tuak, dan lebih memerhatikan hak Ibu Priska Sirait sebagai seorang isteri khususnya dinafkahi dan diperlakukan lebih baik.

Diluar dari hal itu, apabila Ibu Priska Sirait bisa dinafkahi dan suaminya memperlakukan beliau dengan lebih baik, Ibu Priska Sirait akan merasa nyaman sebagi seorang istri. Ia senang mengurus anak-anak dan rumah tangganya dengan baik termasuk mencari nafkah, Ibu Priska Sirait juga tidak mau menceritakan ketidakadilan yang ia alami di rumahtangganya kepada pihak keluarga suami karena Ibu Priska Sirait sadar dan sangat merasakan bahwa ia sudah “dibeli” oleh pihak keluarga suaminya dengan sinamot, jadi ia merasa harus menjadi perempuan yang bekerja keras dan baik di mata mertua dan keluarga dari pihak suaminya.

(9)

Ibu Priska Sirait juga memiliki adik laki-laki yang nantinya istrinya juga harus lebih mengabdi pada orangtua suaminya daripada orangtuanya sendiri. Namun ia hanya berharap sikap suaminya yang kasar bisa berubah menjadi lebih baik dalam memperlakukannya karena apabila suaminya mau berubah, Ibu Priska Sirait tidak akan merasa terbebani lagi dalam menjalani perannya sebagai perempuan di Keluarga Batak Toba.

3. L. Simatupang

Menurut Ibu L. Simatupang Hak Perempuan baik dari suku bangsa Batak ataupun suku bangsa lainnya adalah sesuatu hal yang penting dan perlu untuk dipenuhi. Walaupun menurutnya ia sebagai perempuan Batak belum mendapatkan hak yang seharusnya ia dapat di keluarga yaitu dari suaminya. Hak tersebut adalah dalam hal Hak dinafkahi dan Hak diperlakukan dengan baik.

“Ya pastinya ada lah ya dek pengaruh dari patriarki itu, karena kita kan sebagai perempuan sudah “dibeli” tapi

saya sebagai perempuankan juga punya hak. Jangan hak laki-laki saja yang harus dipenuhi juga, tapi hak

perempuan juga harus diperhatikan.”

(10)

Ibu L. Simatupang harus mencari pekerjaan. Sehingga ia berinisiatif membuka yayasan yang menyalurkan Baby Sitter yang disarankan oleh Kakak perempuannya. Setelah itu Ibu L. Simatupang juga mengajari suaminya agar suaminya bisa membantu Ibu L. Simatupang dalam menjalankan bisnis mereka tersebut dan agar Ibu L. Simatupang tetap menunggu sampai suaminya mendapatkan pekerjaan yang lebih bagus. Namun bagi Ibu L. Simatupang, suaminya tidak banyak membantu dalam bisnis yang dibukanya tersebut dan pekerjaan juga tetap tidak bisa didapatkan oleh suaminya.

Lelah menanti Ibu L. Simatupang pun mempertanyakan hal tersebut kepada suaminya. namun jawaban yang didapat oleh Ibu L. Simatupang hanya bentakan dan perlakuan kasar dari suaminya. dan sejak saat itu mereka sangat sering bertikai dan semakin sering dalam adu pendapat. Sejak saat itulah Ibu L. Simatupang merasakan bahwa Hak nya sebagai perempuan diabaikan dan hubungan antara keduanya memburuk.

“Perasaanku ya sedih sekalilah dek digitukan, udah aku

yang nyari nafkah, ditambah sikap dia yang kasar, ya aku makin sering ngamuk-ngamuk sejak saat itu.”

(11)

4. Rosmika Siahaan

Menurut Ibu Rosmika Siahaan haknya yang dirasa terabaikan adalah hak dinafkahi. Ibu Rosmika Siahaan pernah tidak dinafkahi selama 6 tahun oleh suaminya 3 tahun lalu. Dan selama 6 tahun tersebut juga Ibu Rosmika Siahaan dan suaminya sering bercekcok dan selisih pendapat karena suaminya yang tidak memiliki pekerjaan. Sebelumnya suami Ibu rosmika Siahaan pernah bekerja sebagai buruh bangunan namun karena tidak mendapat panggilan lagi suami Ibu Rosmika Siahaan pun hanya menghabiskan waktu di rumah dan tidak mencari pekerjaan.

Ibu Rosmika Siahaan yang merupakan perempuan pekerja keras yang melaksanakan pekerjaannya yaitu pedagang cabai di Pajak Suka Ramai yang akan mulai bekerja mulai dari dijemput mobil pick up bersama temannya pedagang lain untuk belanja dari pukul 12.00 sampai jam 01.00 pagi di Pasar Induk, Tuntungan kemudian dilanjutkan berdagang cabai yang dibelinya tersebut sampai malam pukul 20.00.

Namun sekarang Ibu Rosmika Siahaan tidak merasakan hak nya yang diabaikan tersebut seperti 3 tahun yang lalu karena suaminya telah bekerja yaitu ikut membantu Ibu Rosmika Siahaan dalam berdagang cabai di Pajak Suka Ramai tersebut.

(12)

tidak perlu berangkat mulai bekerja mulai dari pukul 12.00 subuh seperti dirinya tapi hanya dari pukul 06.00 pagi.

Bagi Ibu Rosmika Siahaan budaya patriarki didalam suku Batak juga merupakan salah satu pengaruh dalam hal haknya yang terabaikan yaitu dinafkahi.

“Kalo di orang batak inikan yang paling berkuasa pihak

laki-laki dek, jadi tidak boleh ditentang, kita harus nurut karena mereka yang mengatur, kita perempuan ya bisanya

mengalah aja.”

Ibu Rosmika Siahaan menyadari bahwa ia adalah seorang perempuan

Batak yang sudah “dibeli” oleh pihak laki-laki sehingga tidak bisa banyak menuntut kepada suami. Saat haknya tersebut dirasa tidak diindahkan Ibu Rosmika Siahaan merasa tersiksa dan capek karena pekerjaan yang banyak yang harus dikerjakannya, namun karena sudah terbiasa sehingga Ibu Rosmika Siahaan pun kadang mampu menutupi rasa sedihnya dengan kesibukan yang dijalaninya baik bekerja di luar yaitu sebagai pedagang maupun dirumah sebagai Ibu rumah Tangga mengurus keluarganya.

Ibu Rosmika Siahaan bahkan kadang akan menasihati anak-anak perempuannya agar suatu saat apabila mereka ingin menikah mereka tidak usah menikah dengan laki-laki dari suku Batak Toba karena menurutnya sebagai

perempuan yang sudah “dibeli” seperti sistem perkawinan di Suku Batak Toba

harus banyak mengalah dan banyak perjuangannya seperti yang dialaminya, sehingga anak perempuannya kelak tidak merasakan hal yang sama.

5. M. Sitinjak

(13)

bekerja sejak pukul 08.00 pagi sampai jam 22.00 malam setiap harinya dan kadang mulai sejak pukul 08.00 pagi sampai 02.00 pagi apabila sedang banyak jahitan contohnya di hari hari besar / hari raya contohnya Hari Natal atau Tahun Baru. Ibu M. Sitinjak juga merupakan perempuan Batak Toba yang tahu rasanya bagaimana hak sebagai perempuan diabaikan di Keluarga Batak Toba karena ia sendiri pernah mengalaminya. Haknya sebagai perempuan yang pernah dikesampingkan adalah hak untuk dihargai.

Ibu M. Sitinjak pernah hampir dipulangkan kepada orangtuanya oleh pihak suaminya karena tidak bisa memberikan anak untuk hadir dikeluarga mereka setelah 6 tahun. Hal tersebut membuat pihak dari keluarga suami Ibu M. Sitinjak merasa kecewa. Ditambah pula pada saat itu hubungan antara Ibu M. Sitinjak dan suaminya sedang tidak baik karena suami Ibu M. Sitinjak yang ingin Ibu M. Sitinjak mengusahakan agar cepat mengandung anak, sedangkan Ibu M. Sitinjak tidak mau dan hanya mau menunggu dengan sabar karena ia merasa apabila sudah saatnya maka Tuhan akan mengaruniakan mereka anak tanpa tergesa-gesa.

Pada saat itu Ibu M. Sitinjak merasa sangat tertekan batin sampai jatuh sakit karena baik suami dan mertuanya selalu menuntut hal yang sama seakan-akan Ibu M. Sitinjak adalah perempuan yang tidak layak untuk dijadikan istri dan pikiran bahwa ia akan dipulangkan kepada orangtuanya membuat Ibu M. Sitinjak semakin merasa sedih dan tidak bisa melakukan apa-apa. Pada saat itu Ibu M. Sitinjak sempat tidak dapat bekerja selama 1 bulan karena sakit akibat dari banyaknya pikiran.

(14)

ngasih kita anak mau gimana dibuat. Padahal aku juga kerjanya, semua kukerjain bahkan gajiku lebih besar, tapi

cuma karna anak aku mau dipulangkan”

Namun pada akhirnya Ibu M. Sitinjak tidak jadi dipulangkan kepada orangtuanya karena kondisi mertua dari Ibu M. Sitinjak pada saat itu sakit yang kemudian meninggal. Sejak saat itupun baik suami dan keluarga dari pihak suami dari Ibu M. Sitinjak sepakat tidak pernah lagi menuntut agar Ibu M. Sitinjak untuk memiliki anak.

Sejak saat itu hubungan antara Ibu M. Sitinjak pun menjadi membaik kembali dan pada tahun 2015, Ibu M. Sitinjak diminta untuk merawat anak balita dari adik perempuannya yang berasal dari Sidikalang. Ibu M. Sitinjak pun setuju dan sudah mendapat izin dari suaminya untuk merawat anak dari adiknya tersebut dan menganggapnya seperti anak kandung walaupun anak tersebut merupakan anak yang memiliki kebutuhan khusus dan bukan anak kandung mereka. Sampai sekarang anak tersebutpun tinggal dan dirawat dirumah Ibu M. Sitinjak dan suaminya.

6. M. Sihombing

Menurut Ibu M. Sihombing haknya sebagai perempuan di Keluarga Batak Toba juga pernah dirasa diabaikan. Haknya yang pernah cenderung dikesampingkan yaitu Hak dinafkahi, dihargai, dan tidak diberi kebebasan dalam bekerja.

(15)

Sihombing harus berhenti dari pekerjaannya adalah karena sebagai perempuan suaminya ingin Ibu M. Sihombing hanya fokus mengurus anak dan urusan rumah tangga saja. Dan hal tersebut harus diterima oleh Ibu M. Sihombing karena ia merasa suaminya adalah kepala keluarga sehingga ia harus setuju dengan keputusan suaminya walaupun Ibu M. Sihombing sebenarnya mencintai pekerjaannya karena ia senang sudah memiliki banyak teman di Kantor sebelumnya dan senang melakukan pekerjaanya di kantor tersebut. Namun Ibu M. Sihombing menyadari posisinya hanyalah seorang istri yang harus terima apa kata dari suaminya. Sehingga walaupun merasa sedih ia tetap meninggalkan pekerjaannya dan melakukan apa yang dikatakan suaminya untuk hanya fokus pada keluarganya saja.

Setelah 20 tahun kemudian, Ibu M. Sihombing kembali harus merasakan hak yang tidak diindahkan oleh suaminya yaitu tidak dihargai sebagai seorang istri dan tidak dinafkahi. Ibu M. Sihombing merasa sangat terpukul karena ia mengetahui bahwa ternyata suaminya telah bersama dengan perempuan lain sementara mereka masih terikat dalam suatu hubungan suami istri yang memiliki 3 anak. Selain itu Ibu M. Sihombing juga semakin kecewa dan tersiksa karena setelah mereka cekcok akibat keretakan rumah tangga mereka, sejak saat itu suaminya tidak mau tingggal serumah lagi dan tidak mau menafkahi Ibu M. Sihombing dan anak-anaknya.

(16)

Ibu M. Sihombing juga harus mau mencari pekerjaan lagi untuk menafkahi anak-anaknya sendiri.

“Semualah berubah dek, rumah pindah, anak pindah

sekolah, aku harus belajar naik kereta untuk bisa ngantar anak-anak sekolah, untuk bisa kerja, untuk bisa makan,

semua cuma saya sendiri yang urus”

Saat ini Ibu M. Sihombing bekerja sebagai pemegang uang jula-jula yang dilaksanakannya dengan temannya ibu-ibu yang kebanyakan berdagang di Pajak Enggang di Perumnas Mandala. Ibu M. Sihombing akan mendapat komisi 10% dari jula-jula tersebut yang akan diperoleh sekali dalam sepuluh hari. Pekerjaan inilah yang bisa dilakukannya karena ia tidak harus meninggalkan rumah sangat lama meninggalkan anaknya yang masih duduk di Sekolah Dasar dan anak ketiganya yang memiliki kebutuhan khusus.

Sosok anak sangat menyemangati Ibu M. Sihombing ditengah masalah yang dihadapinya. Ibu M. Sihombing mau melakukan apa saja asal anaknya bisa makan dan sekolah. Hal tersebut juga ditunjukkan dengan anak pertama Ibu M. Sihombing yang saat ini sedang kuliah di Perguruan Tinggi walaupun biaya kuliah yang dibutuhkan sangat banyak Ibu M. Sihombing selalu bekerja keras untuk bisa membiayainya sendiri.

(17)

dirinya namun kemudian malah mendukung suaminya yang diduga Ibu M. Sihombing karena suaminya merupakan anak laki-laki sehingga selalu diutamakan.

3.3. Kekeliruan membedakan antara Hak dan Kewajiban

Hak adalah segala sesuatu yang harus di dapatkan oleh setiap orang yang telah ada sejak lahir bahkan sebelum lahir. Di dalam Kamus Bahasa Indonesia hak memiliki pengertian tentang sesuatu hal yang benar, milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah ditentukan oleh undang-undang, aturan, dsb), kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu, derajat atau martabat. Sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang wajib dilaksanakan, keharusan (sesuatu hal yang harus dilaksanakan).

(18)
(19)

BAB IV

HAK PEREMPUAN BATAK TOBA

4.1. Hak dinafkahi

Hak untuk dinafkahi yang dibahas didalam subbab ini berdasarkan hasil wawancara dengan informan ada 2 yaitu nafkah lahir (material) dan nafkah batin (immaterial). Nafkah itu sendiri adalah kata yang berasal dari bahasa Arab yaitu

nafaqah, yang memiliki arti biaya, belanja atau pengeluaran. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, nafkah adalah belanja untuk hidup; uang pendapatan, selain itu juga berarti bekal hidup sehari-hari, rezeki.

Nafkah lahir terhadap isteri yang dimaksud disini adalah segala hal yang berkaitan dengan kebutuhan sehari-hari dan lebih kepada material dan dapat dilihat langsung yang didapat istri dari suami.

4.1.1. Nafkah Lahir

4.1.1.1. Sandang

Sandang merupakan pakaian yang berfungsi sangat penting dalam kehidupan, yang antara lain menutup aurat, pelindung tubuh, dipakai untuk ibadah, dan lain-lain. Sehingga perempuan memiliki hak untuk mendapat pakaian yang layak dengan fungsi-fungsi tersebut dari suaminya.

4.1.1.2. Pangan

(20)

mendapatkan nafkah pangan yang dimana suami akan memberi uang bulanan yang nantinya akan diatur dan diolah sampai menjadi makanan dan juga termasuk didalamnya Sembilan bahan pokok dan minuman. Makanan yang akan dikonsumsi pun diperhatikan gizinya oleh perempuan. Tidak berlebihan, sesuai dengan biaya yang ada, dan tetap bernutrisi agar keluarga tetap sehat setiap hari. Yang paling diutamakan yaitu nasi, lauk pauk dan sayur.

4.1.1.3. Papan

Papan berarti rumah ataupun tempat tinggal, papan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang bagi informan juga merupakan hak yang wajib dipenuhi oleh suami. Baik melalui rumah milik pribadi maupun rumah sewaan dan hal lainnya yang berhubungan dengan rumah atau tempat tinggal. Rumah yang diinginkan juga tidak harus mewah atau besar, yang terpenting rumah tersebut bisa ditempati agar terlindungi dari hujan, panas, angin malam yang dingin, binatang yang buas, dan pencuri.

4.1.1.4. Biaya pendidikan anak

Nafkah lainnya yang mesti dipenuhi oleh suami dan dituntut oleh perempuan adalah biaya pendidikan. Fungsi pendidikan adalah untuk membekali pengetahuan kepada anak agar kualitas kehidupannya terjaga. Selain itu informan juga mengatakan pendidikan anak sangat penting agar hidup anak mereka tidak sesulit hidup yang mereka jalani sekarang. Namun biaya pendidikan juga disesuaikan dengan anggaran pemasukan yang ada agar nantinya tidak kesulitan dalam membayar semua hal yang berkaitan dengan pendidikan anak.

(21)

Memelihara dan menjaga kesehatan keluarga memang sudah selayaknya diperhatikan dan biaya pengobatan tersebut menjadi salah satu bentuk perlindungan dan pemeliharaan yang diharapkan oleh perempuan oleh suami. Biaya perawatan kesehatan ini juga sama pentingnya dengan kebutuhan pokok. Dan karena bisa dibutuhkan kapan saja maka persiapannya juga harus sebaiknya dipersiapkan setiap saat biayanya.

.

Kelima hak diatas pun akan terpenuhi apabila suami memberi perempuan nafkah dalam berupa uang untuk semua keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya yang biasanya didapat setiap bulan dan diatur oleh perempuan agar semua kebutuhan tercukupi dan bisa disisihkan sebagian untuk ditabung.

Pengaturan nafkah dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) kita dapat melihatnya dalam Pasal 34 ayat (1) UU Perkawinan. Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Dalam pengaturan UU Perkawinan, tidak ditetapkan besarnya nafkah yang harus diberikan, hanya dikatakan sesuai dengan kemampuan si suami.

(22)

yang dianut oleh pasangan suami isteri tersebut). Selain itu Hak untuk menafkahi keluarganya tersebut juga terdapat di Hak Reproduksi Perempuan yang dimuat di Kesepakatan Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan tahun 1994 di Kairo.

Hal nafkah tersebut juga memang seharusnya sudah menjadi hak perempuan baik di dalam sistem patrilineal yang ada di Suku Batak Toba. Dilihat dari Karya Sastra Ende Siboru yang ditafsirkan oleh Baiduri dalam Paradoks Perempuan Batak Toba yaitu Suatu Penafsiran Hermeunetik terhadap Karya Sastra Ende Siboru yang ditandai dengan situasi bahwa secara kultural orang Batak Toba dengan sistem Patrilinealnya menempatkan laki laki sebagai pemeran utama dalam berbagai bidang kehidupan yang termasuk dalam hal nafkah juga seharusnya akan diperolehnya dari suami yang akan menjamin kehidupannya.9 Sehingga sangat pantas apabila perempuan memperjuangkan hak-haknya tersebut apalagi ditambah dengan beban ganda yang dialaminya.

4.1.2. Nafkah Batin

Apabila nafkah lahir berupa benda dan dapat dilihat. Maka nafkah batin sebaliknya, tidak bisa dilihat dan tidak berbentuk barang dan lebih dimaksudkan kepada pemenuhan kebutuhan biologis hubungan suami dan istri.

Dan dari hasil wawancara dengan semua informan, tidak ada informan yang merasa memiliki masalah dengan hal nafkah batin.

4.2. Hak diperlakukan dengan baik

9Ratih Baiduri,

(23)

Menurut informan, perlakuan suami pada mereka dalam sikap dan bertutur kata hendaknya dijaga. tidak membentak, jika itu memang tidak diperlukan sama sekali. Cerdas berbahasa, lemah lembut, lugas, memilih bahasa yang bisa dipahami dan tidak merendahkan atau mengejek/menghina istri jika berbuat kesalahan. Walaupun dalam sistem patrilineal perempuan diwajibkan untuk tunduk dan patuh pada suami, bukan berarti perempuan tersebut juga harus menerima adanya perlakuan yang semena-mena dari suaminya. Bentuk-bentuk perlakuan yang baik lainnya juga mencakup:

4.2.1. Hak untuk dihargai pendapatnya

Laki-laki mempunyai jiwa pemimpin, maka seorang suami berhak mengatur rumah tangganya. Namun bukanlah berarti suami hanya terus mempertahankan egonya. Contohnya dalam menentukan sekolah untuk anak, perempuan juga harus didengar pendapatnya karena perempuan juga merupakan ibu dari anak tersebut. Walaupun sebagai pemimpin dalam keluarga namun sebagai manusia, laki-laki juga tak luput dari kesalahan. Sehingga sebaiknya menerima masukan juga dari perempuan.

4.2.2. Hak untuk dihormati serta diperlakukan dengan wajar

(24)

baik. Selain itu perempuan diperlakukan dengan baik juga dimaksud dengan dibantu sesekali dalam mengerjakan tugas-tugasnya dirumah.

4.2.3. Hak untuk disayangi

Selain itu yang tidak kalah penting adalah hak untuk disayangi. Suami menjadi tempat untuk bergantung, mencurahkan dan berbagi semua rasa. Saling berbagi cinta, kasih sayang dan kemesraan antara kedua belah pihak. Perempuan ingin suami menjadi pendengar yang baik, memberi suatu perhatian penuh agar perempuan bisa menyampaikan perasaannya, ceritanya, keluhannya, kesedihannya, dan impiannya. Selain itu, mendampingi istri saat senang atau susah, merawat istri saat sakit, menguatkan saat terpuruk. Dan menghargai pengorbanan perempuan. Dengan begitu perempuan pun bisa merasa lebih bahagia menjalani perannya sebagai perempuan.

4.2.4. Hak untuk dipercaya

Hak untuk dipercaya ini contohnya dalam memberikan kepercayaan penuh untuk mengelola keuangan. Selain memberi nafkah untuk kebutuhan sehari-hari. Suami juga sebaiknya terbuka terhadap istrinya tentang hal keuangan. Keterbukaan dan komunikasi menjadi hal yang amat penting agar tidak terjadi kesalahpahaman. Sehingga hendaknya suami memberi kepercayaan kepada istri untuk mengelola keuangan rumah tangga dan tidak mencurigai apalagi mengungkit-ungkit nominal.

4.2.5. Hak untuk diberi kebebasan

(25)

menjalani perannya dalam mengurus rumah tangga. Sehingga perempuan juga bisa mengembangkan kemampuan dirinya dan tidak terbatasi oleh suami.

Begitu pula untuk tidak melakukan kekerasan fisik dalam rumah tangga meski dalam keadaan terpaksa sekalipun karena perempuan mengaku tidak bisa berbuat banyak untuk melindungi dirinya sendiri.

Pemerintah telah mengesahkan undang – undang UU No 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Dalam undang-undang kekerasan dalam rumah tangga memperlihatkan kalau tindakan tersebut bukan masalah internal di rumnh tangga saja, tapi merupakan penghormatan terhadap hak azazi manusia, keadilan dan kesetaraan gender non diskiriminasi dan perlindungan korban yang kesemua ini juga diatur dalam konvensi CEDAW10.

Selain CEDAW, ditaraf internasional perjanjian – perjanjian atau pun konfrensi telah banyak yang membahas tentang hak-hak untuk perempuan, bahkan didalam Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia) tahun 1948 telah ada dimuat , kemudian ada International Covenant on Civil and Political Rights (Kovensi Hak Sipil dan Politik) tahun 1966), International Covenant on Economic, Social & Cultural Rights (Konvensi Hak Ekonomi Sosial dan Budaya) tahun 1966, Vienna Declaration (1986),

Declaration on the Elimination of Violence Against Women (Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan) tahun 1994, dan yang paling monumental adalah Beijing Declaration and Platform for Action (1995).

10

(26)

Yang menjadi perhatian adalah hak atas persamaan, kebebasan, dan keamanan setiap orang, kebebasan dari perbudakan, siksaan atau perlakuan yang merendahkan martabat manusia, pengakuan sebagai seorang pribadi di depan hukum mencari keadilan, dan kebebasan untuk berekspresi dan partisipasi politik Disamping pasal – pasal tersebut berbagai hak yang relevan dengan perempuan misalnya hak memilih pasangan, menikah dan mempunyai hak yang sama dalam perkawinan, dan di saat perceraian, memiliki harta sendiri, hak atas upah yang sama hak perawatan dan bantuan istimewa.

Kedua hak diatas tidak ada bedanya dengan hak yang dimiliki oleh perempuan pada umumnya. Perempuan Batak memiliki hak yang sama dengan perempuan dari suku bangsa lain walaupun tidak semua perempuan menyadari akan semua hak-haknya secara detail seperti yang tertulis pada perjanjian atau konferensi yang diakui secara internasional, karena apabila penulis menyinggung tentang hak-hak tersebut, maka informan menghubungkannya dengan dua hak yang telah disebutkannya tersebut.

Namun dari semua pendapat, hampir semua informan merasakan bahwa sistem patrilineal memang mempengaruhi hak perempuan di keluarga Batak Toba yang cenderung diabaikan dalam beberapa contoh seperti kasus masing-masing dari informan. Dimana kekuasaan ada di pihak laki-laki sehingga pihak perempuan tidak dapat menuntut dan berbuat banyak akan ketidakadilan yang diterimanya.

(27)

keterbatasan- keterbatasan akibat bentukan sistem patrilineal yang berlaku. Seperti yang dikatakan oleh Irianto, 2005:185, Budaya Patriakhat mengontrol kehidupan para perempuan Batak. Kontrol patriarkhi yang dilakukan secara kolektif dan terus menerus menyebabkan perempuan sangat terpuruk secara ekonomi (terutama) dan sosial.

Seperti yang dikatakan Muniarti pula (2004:199-200), ideologi gender hasil konstruksi masyarakat dapat menimbulkan berbagai masalah dalam keluarga karena tidak adanya kesetaraan dalam relasi antar manusia. Pemahaman bahwa setelah menikah istri adalah milik suami, mengundang perilaku suami untuk menguasai istri. Sehingga dianggapnya bahwa istri adalah hak milik suami. Istri akan menjadi tergantung karena ia dimiliki dan harus dilindungi. Padahal dalam kenyataannya belum tentu laki-laki sebagai seorang pribadi memiliki kemampuan untuk itu.

Walaupun begitu sebagai perempuan mereka tetap bekerja keras dan melakukan banyak perjuangan untuk keluarganya contohnya mencari nafkah selain melakukan pekerjaan sehari-hari dirumah yang juga tidak kalah banyak.

Ihromi, 1990:79 dalam beberapa penelitian tentang keluarga inti yang pernah dilakukan, diungkapkan bahwa dalam keluarga dan rumah tangga, perempuan pada dasarnya sering kali berperan ganda yaitu sebagai ibu rumah tangga yang melakukan pekerjaan rumah tangga dan sebagai pencari nafkah (pokok atau tambahan). Jadi disini dapat dilihat kemampuan perempuan Batak yang sebenarnya tidak terbatas pada urusan rumah tangga saja.

(28)

perempuan yang bekerja tetapi ia tetap tidak melupakan hal lain yang juga merupakan kewajibannya yaitu mengurus anak-anaknya. Para perempuan tahu bagaimana cara menggunakan waktu dan berapa banyak kegiatan yang dapat dikerjakan selama dua puluh empat jam. Hal tersebut dapat dilihat dari informan yaitu perempuan Batak yang selain bisa mengurus anak-anak dengan sekolahnya, perempuan Batak juga mengurus pekerjaan rumah, dan bahkan bekerja di luar rumah. Itulah mengapa perempuan batak memang di kenal sebagai wanita yang gagah dan perkasa, mereka akan rela berjuang mati-matian membantu suami mereka demi menghidupi rumah tangga mereka.

Selain itu faktor lain yang dirasa oleh informan merupakan penyebab hak mereka tersebut terabaikan yaitu karena mereka sebagai perempuan / istri Batak

sudah “dibeli” oleh pihak laki-laki yang memang merupakan sistem dalam perkawinan masyarakat Batak Toba.

(29)

perempuan karena ia akan diambil dari keluarganya. Dalam teori sistem kekerabatan sistem perkawinan itu disebut sebagai bride price.

Perempuan dianggap sebagai “tenaga kerja” yang potensial dalam

keluarganya oleh karena itu apabila ada pihak yang menginginkan perempuan untuk dijadikan istri, pihak tersebut harus membayarkan tuhor uang boli kepada pihak keluarga perempuan.

Dalam illustrasi pernyataan Nommensen pada saat berada di tanah Batak pernah menyatakan bahwa orang Batak lahir dari “perjualbelian” perempuan. Oleh karena apabila terjadi perceraian maka istri kembali kepada orang tuanya atau kelompok marganya, tetapi anak yang dilahirkan tetap berada dalam kelompok suami dan tidak boleh dibawa ibu (Simanjuntak, 2006: 117-118).

Disini kelihatan bagaimana lemah dan tersubordinasinya kedudukan perempuan Batak Toba karena adanya mahar/mas kawin (tuhor uang boli) seakan-akan perempuan sudah dibeli pihak keluarga laki-laki. Lemahnya kedudukan perempuan tersebut bisa dilihat dari Kasus Ibu M. Sitinjak yang terancam akan dipulangkan kepada orangtuanya karena tidak bisa memiliki anak dan informan lain yang tidak berani berbuat banyak karena merasa sudah dibeli oleh pihak laki-laki.

(30)

Tujuan utama dari perkawinan menurut orang Batak adalah untuk mendapatkan anak. Seorang istri yang telah melahirkan anak laki-laki dianggap sudah menunaikan tugas sejarahnya dan mendapatkan anak laki-laki adalah keinginan yang utama. Suami akan berterima kasih kepadanya dan akan semakin menghormatinya atas anak laki-laki yang dilahirkannya. Istri yang seperti ini biasa disebut orang Batak Toba sebagai boru naung gabe (perempuan yang sudah diberkati). Oleh karena itu penghormatan dan penghargaan untuk seterusnya seharusnya akan diperolehnya dari suami yang akan menjamin kehidupannya (Vergouwen, 1986: 248-249).

Namun sebenarnya hak untuk melahirkan memang merupakan hak dari perempuan yang memiliki rahim seperti yang tertulis di Hak Reproduksi Perempuan yang dimuat di Kesepakatan Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan tahun 1994 di Kairo yaitu:

1. Hak untuk mendapatkan informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi Setiap perempuan berhak untuk mendapatkan informasi dan pendidikan yang jelas dan benar tentang berbagai aspek terkait dengan masalah kesehatan reproduksi, termasuk banyaknya pilihan alat kontrasepsi yang dapat dipilih oleh perempuan atau laki-laki dan efek samping dari berbagai alat kontrasepsi.

2. Hak untuk mendapatkan pelayanan dan perlindungan kesehatan reproduksi Setiap perempuan berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan perlindungan yang memadai bagi kehidupan reproduksinya, termasuk agar terhindar dari kematian akibat proses reproduksi, misalnya jaminan kesehatan agar perempuan terhindar dari kematian akibat kehamilan atau melahirkan.

(31)

Setiap perempuan berhak untuk mengungkapkan pikiran dan keyakinannya untuk menjaga kesehatan dan kehidupan reproduksinya tanpa paksaan dan siapa pun. 4. Hak untuk menentukan jumlah anak dan jarak kelahiran

Setiap perempuan berhak unutk menentukan jumah anak yang akan dilahirkannya serta menentukan jarak kelahiran anak yang diinginkannya, tanpa paksaan dari siapa pun.

5. Hak untuk hidup, yaitu hak untuk dilindungi dari kematian karena kehamilan dan proses melahirkan

Setiap perempuan hamil dan yang akan melahirkan berhak untuk mendapatkan perlindungan , termasuk pelayanan kesehatan yang baik sehingga ia dapat mengambil keputusan secara cepat mengenai kelanjutan kehamilannya bila proses kelahirannya beresiko kematian atau terjadi komplikasi.

6. Hak atas kebebasan dan keamanan berkaitan dengan kehidupan reproduksi Artinya setiap perempuan harus dijamin agar tidak mengalami pemaksaan, pengucilan, dan tekanan yang menyebabkan kebebasan dan keamanan yang diperolehnya tidak dapat digunakan, termasuk kebebasan memilih alat kontrasepsi yang dianggappnya paling aman.

7. Hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk , termasuk perlindungan dari perkosaan, kekerasan, penyiksaan, dan pelecehan seksual

(32)

8. Hak untuk mendapatkan manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan yang terkait dengan kesehatan reproduksi

Setiap perempuan berhak untuk memanfaatkan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan terkait dengan kesehatan reproduksi, misalnya informasi yang jelas dan benar serta kemudahan akses untuk mendapatkan alat kontrasepsi baru.

9. Hak atas kerahasiaan pribadi dengan kehidupan reproduksinya

Setiap perempuan berhak untuk dijamin kerahasiaan kesehatan reproduksinya, misalnya informasi tentang kehidupan seksualnya, masa menstruasi, jenis alat kontrasepsi yang digunakan.

10. Hak untuk membangun dan merencanakan keluarga

Setiap perempuan berhak untuk menentukan kapan, di mana, dengan siapa, serta bagaimana ia akan membangun perkawinan atau keluarganya.

11. Hak atas kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam politik yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi

Setiap perempuan berhak untuk menyampaikan pendapat atau aspirasinya mengenai kehidupan reproduksi secara pribadi atau melalui organisasi atau partai. 12. Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam kehidupan berkeluarga dan kehidupan reproduksi

Setiap perempuan berhak untuk terbebaskan dari perlakuan diskriminasi berdasarkan gender/perbedaan jenis kelamin, ras, status perkawinan atau kondisi sosial-ekonomi, agama/keyakinannya dalam kehidupan keluarga dan proses reproduksinya.

(33)

dengan bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan unsur kekerasan fisik, psikis, dan ekonomi.

Menurut Sanituti dalam Ihromi, 1995: 509 bahwa kecenderungan meningkatnya kasus perlakuan sewenang-wenang terhadap wanita, baik secara fisik maupun fsikis, seringkali lebih berkisar sebagai ’isu’ dalam pembicaraan ataupun pemberitaan di media massa. Kedudukan perempuan dalam keluarga tidak terlepas dari sistem sosial masyarakat yang melingkupinya. Subordinasi wanita dalam masyarakat sebenarnya sudah berlangsung sangat lama dan bersifat universal. Kondisi tersebut sering dikaitkan dengan tradisi posisi subordinasi wanita terhadap laki-laki yang menimbulkan sikap-sikap pasrah dan menutup diri. Seorang istri sampai berupaya menutupi sikap kasar yang dilakukan oleh laki-laki terhadap dirinya. Dan alasan dilakukannya hal tersebut adalah untuk menjaga keseimbangan rumah tangga, keluarga serta masyarakat.

Begitu juga dengan pengakuan informan yang akan merasa malu jika diketahui orang lain bahwa mereka cekcok. Jika terjadi cekcok, akan ada pihak yang mencemooh sehingga, inilah juga yang mendorong wanita Batak untuk berinisiatif bekerja keras untuk ikut mencari nafkah atau bahkan mencadi pencari nafkah utama dan tidak hanya mengharapkan suaminya saja seperti informan yang menjadi pedagang di pasar, meminjamkan uang, dsb.

(34)

diabaikan sebagai perempuan. Bagi informan-informan saya anak adalah segalanya, melihat anak-anaknya sehat dapat membuatnya bahagia. Membesarkan anaknya sendiri seperti memberikan banyak semangat dan motivasi besar untuknya.

Mengenai hubungan yang terjadi antara ibu dan anak ini dapat dikaitkan dengan pendapat Malinowski dalam Moore (1998:48), yang menyatakan unit ibu-anak saat ini menyajikan kerangka kerja yang penting bagi pengasuhan ibu-anak; unit-unit tersebut membentuk ikatan yang istimewa dan berbeda dari unit-unit serupa lainnya, menempati kedudukan fisik tertentu dan berbagi ikatan emosional khusus yang mendalam. Hal ini sekaligus juga menjelaskan secara psikologis tentang upaya yang dilakukan perempuan untuk membesarkan anaknya diantara tekanan yang muncul.

Seorang ibu yang melahirkan anak-anaknya merupakan suatu kondisi hubungan keluarga yang paling jelas dari fakta biologis, hubungan antara ibu dan

anak sangatlah alami. Barnes dalam Moore (1998:48) menekankan bahwa “ayah” tidaklah demikian nyata sebagaimana “ibu”, ia selalu menyimpulkan “ fatherhood” (genitor) merupakan status sosial tidak seperti “motherhood”

(genetrix) yang lebih nyata disebabkan oleh proses alami.

Seperti yang dikatakan oleh Ihromi (1995: 225) bahwa wanita sebagai istri mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan suaminya, guna menciptakan dan membina keluarga sehat, sejahtera dan bahagia serta keutuhan keluarga sebagai unit sosial terkecil.

(35)

profesi masing-masing. Seorang suami dalam keluarga juga harus mencintai, mengasihi dan mau menghormati hak-hak yang dimiliki oleh istrinya / perempuan.

4.3. Solusi atas masalah hak perempuan yang terabaikan

Solusi atas permasalahan rumah tangga Batak Toba atau “riak-riak rumah tangga”, contohnya bila terjadi perselisihan antara suami dan istri atau termasuk dalam hal ini hak perempuan yang diabaikan, secara adat yaitu si istri tersebut berkunjung ke Tulangnya suami, dan sangat pantang bila istri mengadu kepada orangtuanya atau keluarga pihak Hulahula.

Patuan Raja Bonar Siahaan, seorang budayawan Batak Toba yang tinggal di Siboruon, Kecamatan Balige, Kabupaten Toba Samosir, menyebutkan, pada pesta perkawinan orang Batak Toba, kedua belah pihak pengantin selalu

memberikan sejumlah uang terhadap “tulang” (paman) mempelai laki-laki yang

disebut tintin marangkup. Istilah tintin marangkup berasal dari kata “tarintin marangkup” yang digunakan sebagai tanda pada anak ternak yang telah dipilih agar kelak menjadi miliknya. Setelah anak ternak yang dipilih telah dapat dipisah dari induknya, pada saat itulah diberikan uang atau apa pun sesuai kesepakatan,

dan itu dinamai “tobus tarintin”.11

Dalam adat masyarakat Batak Toba, lanjut Bonar Siahaan, laki-laki yang

akan menikah selalu lebih dulu “manulang tulang” untuk memohon doa restu agar

dia kelak serasi dan bahagia dengan calon isteri serta mendapat keturunan putera dan puteri. Akan tetapi, bila pada saat manulangi tulang anak gadis tulangnya

11

(36)

tidak ada yang tepat, baik boru tulang na marhaha-maranggi maka tulang

merestui berenya untuk mempersunting perempuan lain dengan memberikan “ulos tali-tali laho mangoli”. Karena itu timbul ungkapan mengatakan,”Hot pe jabu i hot margulang-gulang, manang ise pe dialap bere i, tong doi boru ni tulang”.

Artinya, perempuan mana pun yang dipersunting bere (keponakan) nya dia (tulang) menganggap bahwa perempuan tersebut adalah borunya (anak atau putri nya) sendiri.

(37)

BAB V

RESISTENSI TERHADAP HAK PEREMPUAN YANG

MERASA DIABAIKAN

5.1. Diam Saja

Bentuk resistensi ini dilakukan oleh Ibu L. Simatupang. Salah satu bentuk resistensi / perlawanan yang dilakukannya ini adalah bentuk perlawanan yang paling lama yang pernah ia lakukan sebagai dampak dari hak Ibu L. Simatupang yang dirasa dikesampingkan oleh suaminya yaitu tidak dinafkahi dan tidak diperlakukan dengan baik. Ibu L. Simatupang pernah diam saja selama 2 tahun pada tahun 2009 sampai tahun 2011. Bentuk perlawanan ini dilakukan Ibu L. Simatupang setelah ia melakukan bentuk perlawanan lainnya dari bercekcok / adu mulut sampai melarikan dari rumah.

Awalnya Ibu L. Simatupang berkomunikasi dengan suaminya baik-baik saja namun apabila muncul masalah yang berkaitan dengan perlakuan suaminya yang tidak baik, Ibu L. Simatupang akan berhenti bicara / diam saja kepada suaminya karena merasa capek, letih, dan penat. Namun setelah beberapa jam hanya diam saja dan tidak berkomunikasi lagi dengan suaminya untuk menghentikan cekcok, Ibu L. Simatupang akan kembali berbicara dan komunikasi kembali berjalan seperti biasanya.

(38)

padahal saat itu ia sangat membutuhkan suaminya untuk menjemput karyawan dari desa asal karyawan tersebut yang akan bekerja di yayasan mereka. Ibu L. Simatupang tidak bisa menjemput karena sedang sakit dan nantinya tidak ada yang bisa menjaga rumah karena anaknya yang masih balita juga anak yang berkebutuhan khusus tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Akhirnya karena tidak ada pilihan lain Ibu L. Simatupang pun harus pergi menjemput karyawan tersebut di wilayah Amplas yang letaknya jauh dari rumahnya walaupun sedang sakit dan terpaksa meninggalkan dua anaknya dirumah walaupun dengan resiko akan terjadi sesuatu apabila dua anaknya mengetahui ibunya pergi dan rumah ditinggal begitu saja.

Setelah keesokan harinya, suami Ibu L. Simatupang pun pulang ke rumah dan terjadi cekcok antara mereka karena tidak pulangnya suaminya tersebut. Ibu L. Simatupang semakin sedih dan marah karena suaminya tidak mau mengatakan ia dari mana setelah tidak pulang satu hari satu malam dan mengapa ia tidak menjawab telefon. Namun ketika Ibu L. Simatupang melihat adanya nomor-nomor yang mencurigakan di handphone milik suaminya dan mencium bau tuak dari pakaiannya, pada saat itupun Ibu L. Simatupang tahu nomor-nomor tersebut adalah nomor togel dan ia telah mengetahui suaminya telah berjudi, mabuk-mabukan dan tidur di kedai tuak tempat ia bermain togel tersebut. Mengetahui hal itu, Ibu L. Simatupang merasa sangat sedih dan terus menangis saat cekcok dengan suaminya.

“Bayangin ajalah dek sakitnya, udah kita yang punya

(39)

Jangankan hak, sebagai perempuan pun sama sekali aku

ga dihargai.”

L. Simatupang (47 tahun)

Sehingga masalah tersebutlah yang sangat membuat Ibu L. Simatupang naik pitam dan memutuskan untuk diam dan tidak mau untuk bicara dengan suaminya dalam waktu yang sangat lama. Hal tersebut dikarenakan rasa sakit yang Ibu L. Simatupang alami sangat membuatnya terpukul dan terbebani. Ibu L. Simatupang juga mengatakan kepada suaminya untuk melakukan apa yang ia lakukan saja dan tidak usah berbicara pada Ibu L. Simatupang lagi karena ia tidak perduli sama sekali dengan suaminya lagi.

Bagi Ibu L. Simatupang ia sudah merasa cukup dengan perlakuan suaminya yang tidak bisa ia terima lagi dan yang ternyata sanggup untuk membuat Ibu L. Simatupang tidak berbicara dengan suaminya dalam waktu yang sangat lama. Apabila suaminya bertanya tentang sesuatu, Ibu L. Simatupang akan diam. Hal apapun itu, baik pertanyaan ataupun pernyataan tentang apapun, Ibu L. Simatupang tidak akan menggubris. Tidak jarang suaminya akan marah sendiri dan menuntut Ibu L. Simatupang untuk menjawab pertanyaannya apabila tidak ada jawaban namun Ibu L. Simatupang akan tetap diam tidak menghiraukan.

(40)

berkomunikasi dengan suaminya dalam kegiatan berjualan tersebut. Ibu L. Simatupang akan mendapat pesanan dari orang yang memesan dan ia harus memberi tahu kepada suaminya agar suaminya mengantar bensin pesanan. Komunikasi yang terjalin kembali tersebut tidak berjalan secara cepat, Ibu L. Simatupang mau berbicara kembali kepada suaminya tapi hanya bicara tentang hal-hal penting saja misalnya hal tentang pekerjaan. Ibu L. Simatupang juga merasa setelah ia mau berbicara kembali dan sebelumnya telah melakukan perlawanannya yaitu diam, perlakuan suaminya mengalami perubahan menjadi lebih baik dan lebih menghargai istrinya dan lebih rajin dalam bekerja.

Bagi Ibu L. Simatupang bentuk resistensi inilah yang paling mempengaruhi suaminya untuk berubah menjadi lebih baik dibandingkan dengan bentuk resistensi yang pernah dilakukan sebelumnya seperti adu pendapat, melarikan diri dari rumah, dan mengadu pada pihak keluarga suaminya. Walaupun suaminya tetap tidak menemukan pekerjaan diluar namun Ibu L. Simatupang tetap bersyukur suaminya sekarang bisa membantu dirinya bekerja yaitu berdagang karena menurut Ibu L. Simatupang suaminya sudah berusaha untuk berubah dalam perilakunya baik dalam pekerjaan dan sikap kasarnya yang sudah mulai berkurang sehingga Ibu L. Simatupang bisa menjalani harinya dengan lebih baik karena haknya sebagai perempuan tidak lagi dikesampingkan begitu saja seperti sebelumnya yang menyebabkan banyak efek negatif pada diri Ibu L. simatupang seperti sedih, merasa depresi, bahkan pernah dilarikan ke rumah sakit.

(41)

Ibu M. Sihombing. Namun bentuk resistensi tersebut hanya dilakukan sehari atau dua hari, tidak dalam waktu yang jauh lebih lama seperti Ibu L. Simatupang.

5.2. Melarikan diri dari rumah

Bentuk resistensi ini pernah dilakukan oleh dua informan saya yaitu Ibu L. Simatupang dan Ibu Priska Sirait. Ibu L. Simatupang pernah melarikan diri dari rumahnya ke rumah bibinya yang berada di Tanjung Morawa selama seminggu karena tidak sanggup lagi menghadapi suaminya yang selalu diam di rumah namun tetap bersikap kasar seperti membentak bahkan sampai bersikap kasar dalam hal fisik kepada Ibu L. Simatupang yang akan membuat Ibu L. Simatupang sedih, kesal dan marah. Dirumah bibinya di Tanjung Morawa, Ibu L. Simatupang mencoba untuk menenangkan diri karena merasa tidak tahan lagi dengan perlakuan suaminya yang sering menyebabkan percekcokan antara mereka.

Selama berada di Tanjung Morawa tanpa sepengetahuan suaminya, Ibu L. Simatupang juga dihubungi lewat telefon agar pulang oleh suaminya namun tidak dihiraukan oleh Ibu L. Simatupang. Setelah seminggu kemudian, Ibu L. Simatupang pun kembali kerumahnya bersama anak bungsunya karena sudah rindu kepada dua anaknya yang lain. Namun setelah tinggal kembali di rumah, Ibu L. Simatupang tidak merasa melihat adanya perubahan pada suaminya yang tetap bersikap cuek dan kasar dan juga tidak mengubah kebiasaan buruknya yaitu pergi ke kedai tuak walupun Ibu L. Simatupang selalu bekerja keras dalam menafkahi keluarganya.

(42)

kerumah adiknya yang berada di Belawan bersama ketiga anaknya. Namun, sampai di persimpangan gang rumah, teman / tetangga Ibu Priska Sirait menghentikannya dan mengajak Ibu Priska Sirait untuk menceritakan apa yang terjadi dan bermaksud untuk menolong Ibu Priska Sirait untuk menetap di rumahnya dahulu untuk menenangkan pikiran dari permasalahan rumah tangganya. Teman dari Ibu Priska Sirait tersebut menghentikan dirinya dan anaknya yang sedang berjalan karena sebelumnya mendengar suara dari Ibu Priska Sirait dan suaminya yang keras ketika beradu mulut.

Jadi, setelah Ibu Priska Sirait bercerita tentang apa yang terjadi pada temannya, temannya tersebut pun mencoba untuk memberi solusi kepada Ibu Priska Sirait yaitu agar ibu Priska Sirait lebih sabar dalam menghadapi suaminya dan tidak meninggalkan rumah karena akan berdampak negatif pada anak-anaknya. Karena mengingat akan hal itu dan menyadari bahwa anak-anaknya juga harus sekolah, Ibu Priska Siraitpun akhirnya kembali kerumahnya keesokan harinya agar bisa bekerja kembali dan anak-anaknya bisa sekolah. Ibu Priska Sirait mengaku hanya anak-anaknya lah yang bisa menguatkan hatinya walaupun ia selalu merasa haknya yang selalu diabaikan oleh suaminya.

Namun setelah kembali kerumah, Ibu Priska Sirait tidak juga mendapat perlakuan baik dari suaminya seakan istrinya melarikan diri dari rumah bukan merupakan masalah besar.

5.3. Bertikai / bercekcok / adu pendapat

(43)

tersebut terjadi atas ke tidak terimaan dari perempuan kepada pihak laki-laki atas perlakuannya yang dirasa tidak adil dan mengabaikan hak-hak nya.

Namun pada bentuk resistensi ini, adapula yang disertai dengan perlakuan kasar / kekerasan dari suami informan. Walaupun bertikai dan bercekcok dianggap biasa terjadi pada rumah tangga, bertikai ini dianggap bentuk resistensi juga karena pada saat bertikai, informan saya mengutarakan pendapatnya yang berupa perlawanan atas hak mereka yang diabaikan dalam kasus masing-masing.

Hasil dari bentuk resistensi ini juga ada yang berhasil dan ada yang tidak. Namun dari semua informan, lebih banyak yang tidak berhasil untuk mendapat haknya kembali walaupun sudah terus beradu pendapat, bertikai terus menerus dalam jangka waktu yang lama.

5.4. Mengadu pada Keluarga

Mengadu pada keluarga merupakan salah satu bentuk perlawanan yang pernah dilakukan oleh informan saya yaitu Ibu L. Simatupang, Ibu M. Sihombing, dan Ibu Rosmika Siahaan. Bentuk perlawanan ini dilakukan karena informan ingin pihak keluarga dari laki-laki bisa mengetahui bagaimana perasaan yang dialaminya akibat dari perlakuan suaminya sehingga pihak dari keluarga laki-laki tersebut bisa lebih mengerti dan bisa memberi tahu lebih baik kepada suami dari perempuan yang merasa haknya kurang diperhatikan agar lebih menjadi lebih baik sebagai seorang suami.

(44)

suaminya yang dari desa asalnya hanya untuk mengadu tentang masalahnya dengan suaminya saja namun untuk kepentingan lain yaitu untuk menghadiri suatu acara namun karena sudah tidak bisa menahan masalahnya sendiri lagi, jadi Ibu L. Simatupang menceritakan semuanya sampai menangis dan mengatakan bahwa ia sudah merasa sangat tertekan dan ia juga tidak tahu lagi cara lain agar suaminya bisa berubah. Selain itu Ibu L. Simatupang juga takut untuk bercekcok dengan suaminya lagi karena takut akan mendapat perlakuan kasar.

Pada awalnya bentuk resistensi ini memang berhasil membuat suami dari Ibu L. Simatupang berubah namun tidak untuk waktu yang lama. Ibu L. Simatupang kembali mendapat perlakuan kasar dan masalah yang dihadapi terkait haknya sebagai perempuan tidak juga terselesaikan.

(45)

patriarki karena walaupun suaminya yang bersalah, namun karena ia merasa telah

“dibeli” dan arti anak sangat besar di keluarga Batak Toba yaitu suaminya. Maka

ia harus menerima beban yang berat tersebut.

Sedangkan Ibu Rosmika Siahaan menceritakan masalah yang dihadapinya kepada kakak iparnya atau disebut juga dengan Eda dalam bahasa Batak. Ibu Rosmika Siahaan minta tolong kepada kakak iparnya tersebut agar kakak iparnya bisa menasihati suaminya lebih baik supaya suaminya mau mencari pekerjaan untuk membantu Ibu Rosmika Siahaan mencari nafkah.

Setelah mendengar pengakuan dari Ibu Rosmika Siahaan, kakak iparnya tersebut pun langsung mengerti atas kejadian yang dialami oleh adik iparnya dan langsung menemui adiknya yaitu suami Ibu Rosmika Siahaan dan membicarakan hal yang membuat Ibu Rosmika Siahaan tertekan tersebut.

(46)

5.5. Memberi ancaman

Bentuk perlawanan ini dilakukan oleh Ibu M. Sihombing dimana ia sempat mengadu dengan cara mengancam akan memberitahu kepada pimpinan kantor tempat suaminya bekerja dengan resiko suaminya akan dipecat dari pekerjaanya yang dimana pekerjaan tersebut akan sangat disayangkan apabila suaminya diberhentikan karena tidak mudahnya untuk menjadi PNS. Bentuk ancaman ini juga pernah ditegur dan dilarang oleh pihak dari keluarga suami Ibu M. Sihombing.

Namun bentuk ancaman tersebut pun tidak berhasil menyelamatkan rumah tangga Ibu M. Sihombing karena suaminya telah menikah dengan orang lain. Namun karena takut dipecat oleh pihak kantornya, suami Ibu M. Sihombing pun menjadi berubah dan memberi nafkah pada anak-anaknya. Awalnya Ibu M. Sihombing menolak hal tersebut namun karena anak pertamanya yang membutuhkan banyak uang untuk kuliah sehingga pada akhirnya Ibu M. Sihombing setuju untuk menerima nafkah lagi walaupun Ibu M. Sihombing tidak peduli lagi dengan keadaan rumah tangga yang membuatnya harus menjadi orangtua tunggal tanpa suami.

Walaupun haknya yang sudah terabaikan sebagai seorang istri yaitu dihargai dan dicintai. Ibu M. Sihombing tetap bersyukur suaminya sekarang tetap menafkahi anak-anaknya karena bagi Ibu M. Sihombing, anak-anaknya lah yang paling penting karena menjadi motivasi utama hidupnya.

(47)

Bentuk resistensi ini dilakukan oleh informan saya yaitu Ibu Priska Sirait. Akibat dari suaminya yang tidak juga mendapatkan pekerjaan yang menyebabkan sering terjadinya masalah rumah tangga antara keduanya, Ibu Priska Sirait memutuskan untuk tidak lagi mengerjakan pekerjaan rumah yang biasanya dilakukan olehnya.

“ya terakhirnya kutinggalkan aja kayak gitu semua, rumah

ga peduli aku semua kotor, berantakan, kutinggalkan aja

langsung.” (Priska Sirait, 47 tahun)

Ibu Priska Sirait yang sebelumnya selalu meninggalkan rumah dengan keadaan bersih dan rapi berubah menjadi mengabaikan semuanya begitu saja karena merasa capek dengan peran beban ganda yang dijalankannya.

Hasil dari resistensi tersebut awalnya adalah ketidakterimaan suaminya yang kemudian menjadi penyebab cekcok antara mereka lagi. Namun Ibu Priska Sirait mengutarakan pendapatnya pada suaminya dan tetap pada keputusannya yang tidak mau lagi mengurus pekerjaan rumah. Dan setelah itu, suami Ibu Priska Sirait pun menjadi mengerjakan pekerjaan yang sebelumnya merupakan tugas yang harus dikerjakan Ibu Rumah Tangga yaitu istrinya. Pekerjaan yang akan dilakukan suami Ibu Priska Sirait adalah membersihkan dan membereskan rumah dan mencuci piring dan pakaian.

(48)

Priska Sirait tidak mau lagi menjalankan peran gandanya yaitu berperan di bidang publik maupun domestik.

Dengan kondisi seperti ini Ibu Priska Sirait merasa lebih baik karena lebih baik ia bekerja dan suaminya mengerjakan pekerjaan rumah tangga daripada suaminya tidak ada usaha sama sekali. Sejak suaminya bekerja di rumah pula, Ibu Priska Sirait mengaku lebih banyak mengambil keputusan dalam rumah tangga karena dirinya yang mengatur keuangan sehingga Ibu Priska Sirait yang lebih banyak menentukan.

Sebagaimana yang dikatakan oleh James Scott mengenai apa yang

disebutnya sebagai ‘everyday forms’ of women’s resistance (bentuk perlawanan

sehari-hari) berdasarkan kajiannya di kalangan para petani. Bahwa penolakan yang dilakukan para petani dalam menghadapi ambiguitas dan kontradiksi dalam hukum negara sehingga menyebabkan tidak efektifnya perubahan hukum Negara menciptakan kesetaran antara perempuan dan laki-laki. Menjadi penyebab perempuan pada akhirnya melakukan penolakan dengan caranya sendiri.

“Such forms of resistance required little or no-coordination or planning; they can

be classed as a type of self-help; and they avoid any direct questioning of the

authority or the norms of dominant/elite groups” (Scott dalam Irianto, 2003,

hal.2).

Scott memaparkan bahwa penolakan perempuan petani berupa

penyimpangan kolektif yang seketika dan berciri “senjata biasa” dari kelompok -kelompok yang relatif tidak berdaya, dengan cara seperti keterlambatan, pembakaran dengan sengaja, sabotase, pencopetan, gosip dan sebagainya. Bahwa

(49)

adalah bahwa mereka tidak boleh diabaikan. Perlawanan yang dilakukan perempuan tidak merupakan konfontasi langsung, karena perempuan memahami lemahnya kedudukan mereka, dan segan terlibat dalam konfrontasi terbuka ketika keadaan sudah menjadi genting. Kepasrahan seperti halnya perlawanan harus dipandang sebagai sebuah strategi, bagian dari satu proses tawar-menawar yang tidak mempunyai awal dan akhir. Sementara, sifat eksploitatif masih tetap berlangsung dari hubungan-hubungan kelas tersebut.

Sedangkan Perlawanan De Witt (1979) mengatakan bahwa dalam suatu komunitas, konsensus tidak pernah tercapai seratus persen dan mereka yang tidak setuju pada suatu saat akan mengadakan perlawanan yang dilakukan secara nyata dan diam-diam. (De Witt dalam Ni Nyoman Sukeni, SH. Msi.- Hegemoni Negara dan Resistensi Perempuan dalamPelaksanaan Program Keluarga Berencana di Kecamatan Tejakula Kabupaten Buleleng Bali)

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa resistensi muncul setelah informan tidak bisa lagi menghadapi beban yang sudah terlalu sulit untuk diterima setiap hari oleh informan. Sehingga muncullah perlawanan dan setiap perempuan memiliki bentuk-bentuk resistensi yang berbeda satu sama lain dalam menunjukkan perlawanannya terhadap haknya yang dirasa diabaikan. Resistensi tersebut ada yang berhasil merubah sikap suami informan menjadi lebih memperhatikan hak dari informan dan memperlakukannya menjadi lebih baik, namun ada juga yang tidak mempengaruhi keadaan sebelumnya sama sekali karena sistem Patriarkhi yang sudah sangat mengakar pada Keluarga Batak Toba.

(50)

“...resistance is, I would argue, a growing disaffection with ways we have

understood power, and the most interesting thing to emerge from this work on

resistance is a greater sense of the complexity if the nature and forms of

domination.” (...perlawanan, saya berpendapat, sebuah ketidakpuasan yang

berkembang dengan cara-cara kita memahami kekuatan, dan hal paling menarik

yang muncul dari ini bekerja pada resistensi adalah rasa yang lebih besar dari

kompleksitas sifat dan bentuk-bentuk dominasi).

Dari beberapa fakta yang didapatkannya mengenai bentuk perlawanan perempuan terhadap kuasa laki-laki dalam struktur sosial, ia mengungkapkan bahwa sesungguhnya untuk mempelajari hal tersebut diperlukan interpretasi dalam memotret fenomena sehingga akan membawa kita pada berbagai bentuk relasi di dalam sebuah struktur komunitas yang saling bertalian. Lila juga menganjurkan resistensi sebagai sebuah strategi untuk menganalisa kuasa (resistance as a diagnostic of power). Hal tersebut ia dapat setelah terinspirasi dari tulisan Foucault, sesungguhnya dimana ada kekuasaan disitu terdapat resistensi (where there is power, there is resistance).12

Dapat dilihat dari informan yang telah melakukan perlawanan / resistensi yang kemudian menjadi cenderung adanya menunjukkan kekuasaan yaitu Ibu L. Simatupang dengan perlawanan diamnya memunculkan kekuasaan yang membuat suaminya berubah atas sikapnya selama ini yang membebani Ibu L. Simatupang. Begitu juga dengan Ibu Priska Sirait yang melakukan perlawanan dengan cara

12

Lila Abu-Lughod, The Ro a ce of Resista ce: Traci g Tra sfor atio of Power Through

(51)

tidak mau lagi mengerjakan pekerjaan rumah yang akhirnya mau tidak mau suaminya pun menjadi mengerjakannya.

(52)

BAB VI

PENUTUP

6.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang diteliti oleh penulis, dapat disimpulkan bahwa:

1. Dalam budaya Batak Toba, kerentanan akan hak-hak perempuan yang diabaikan disebabkan oleh ideologi patriarki masih sangat mewarnai berbagai aspek kehidupan dan struktur masyarakat yang mengakibatkan pengabaian hak perempuan, ketimpangan dan ketidakadilan gender, hubungan dalam keluarga, teknologi, kewarisan, ekonomi dan masih banyak bidang lainnya. Posisi perempuan dinomorduakan setelah laki-laki dan laki-laki dianggap sebagai pemimpin dan lebih rasional daripada perempuan sehingga perlakuan terhadap laki-laki lebih diutamakan dibandingkan perempuan.

2. Dengan adanya sistem Patriarkhi, Hak Perempuan yang cenderung tidak diindahkan menimbulkan adanya beban dalam kehidupan Perempuan dalam Keluarga Batak Toba. Perempuan seakan memiliki keterbatasan- keterbatasan akibat bentukan sistem patrilineal yang berlaku.

(53)

6.2. Saran

Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan yang sebelumnya peneliti uraikan, maka peneliti memiliki beberapa saran, yaitu:

1. Penelitian sebaiknya dapat merubah pandangan tentang pentingnya Hak perempuan Batak dan melalui penelitian ini masyarakat dapat merubah sikap untuk lebih memperhatikan Hak perempuan. Peneliti harus dapat merasakan yang dirasakan informan, agar lebih mudah dalam mencari informasi serta bisa mengerti apa yang dijelaskan informan. Peneliti juga harus betul-betul merasakan bahwa penelitian bukan sekedar syarat untuk mendapat gelar sarjana, akan tetapi penelitian dapat menambah ilmu yang tidak didapat diperkuliahan. Bukan hanya sekedar memahami, peneliti juga harus mencintai penelitiannya karena peneliti tidak akan merasa terbebani dan memiliki pengalaman yang menarik.

2. Diskriminasi dalam berbagai bentuk terhadap perempuan haruslah dihilangkan, karena akan merugikan perempuan, selain itu usaha perempuan sangat besar untuk dapat menghidupi keluarganya sehingga hal tersebut harus lebih dihargai

3. Saran akademis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi pengetahuan baru untuk lebih mengetahui tentang bagaimana hak perempuan di Keluarga Batak Toba.

(54)

Referensi

Dokumen terkait

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS BRAWIJAYA.

Lain lagi dengan Fetter (1988: 459-460) mengemukakan bahwa resapan buatan yang efektif adalah dengan cara pembangunan bendungan sehingga banyak air dapat meresap masuk

Pengaruh Harga, Kualitas Produk dan Citra Merek. terhadap

Menurut Galton, analisis regresi berkenaan dengan studi ketergantungan dari suatu varibel yaitu variabel tak bebas ( dependent variable ) satu atau lebih variabel

(4 control picture untuk menampilkan citra asal, citra hasil perubahan brightness, citra hasil perubahan kontras, dan citra hasil histogram equalisasi, 4 control picture

Koefisien determinasi adalah salah satu nilai statistik yang dapat digunakan untuk mengetahui apakah ada hubungan pengaruh antar variabel. Studi yang membahas derajat

Inilah paradigma yang harus dipahami oleh setiap elemen pendidikan, sehingga implementasi pendidikan multikultural dalam pendidikan dan persekolahan tidak memerlukan

Barang dan Jasa (PPBJ) Satker Dinas Kesehatan Kabupaten Lebong Tahun Anggaran 2014 mengumumkan Penyedia Pengadaan Jasa untuk. Nama Pekerjaan : Pengadaan