• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menjalani usaha di Akediri : Menata asa,menggapai masa depan

 Memilih Usaha Yang Tepat Di Wilayah Konflik

Akediri sebagai suatu sentra perdagangan baru yang kemunculanya tidak terlepas dari konflik Jailolo, tentu dengan latar konteks demikian turut mempengaruhi pilihan bidang-bidang usaha yang digeluti oleh pelaku-pelaku usaha di wilayah seperti itu.

Untuk mengetahui apa saja jenis-jenis usaha yang digeluti para informan, peneliti akan sajikan dalam tabel berikut ini :

120

Data penelitian diolah 2013

Jika melihat jeni-jenis usaha yang di geluti para informan, terlihat bahwa umumnya mereka memilih usaha yang berkaitan dengan kebutuhan dasar konsumtif rumah tangga seperti beras,gula, pakaian,perabotan rumah tangga, maupun material bangunan. Semua pilihan-pilihan usaha ini bukan tanpa alasan.

Tabel 3.

Jenis-jenis usaha yang digeluti oleh informan

No Jenis Usaha Ib ra h im Sa m u el F lo ry R oh an i M .A Sa fi an i O d e R at n a Al im in Sa b ri D am is P as u m a 1 Sembilan bahan pokok (sembako) * * * * 2 Pembelian Kopra * * 3 Penjualan Perabotan rumah tangga * 4 Penjualan Pakaian * 5 Usaha Jasa angkut barang * 6 Penjualan asesoris dan perlengkapan kosmetik * 7 Penjualan material bahan bangunan * 8 Penjualan Voicer Handpon *

121 Menurut om Yon Flori, bu Damis, Tante Ratna, maupun ibu Rohani M.Ahmad, bidang usaha yang paling relefan saat itu adalah bisnis sembako (Sembilan bahan pokok), sebab dalam kondisi seperti itu bahan keperluan konsumsi rumah tangga menjadi barang langka dan karena itu nilainya pun melonjak naik. Permintaan yang tinggi tetapi persedian sedikit, hal itu bukan saja karena sulitnya perhubungan, melainkan hanya sedikit pelaku usaha yang berani berinvestasi.

Hal lain yang patut diingat bahwa selain untuk memenuhi kebutuhan para konsumen, mereka juga ingin memperoleh keuntungan finasial, dan menjamin kebutuhan mereka sendiri. Hal itu sebagai langkah antisipasi keadaan tidak stabil yang kapan saja dapat terjadi dan itu beresiko pada kebutuhan mereka juga.

Begitu juga dengan bisnis pakaian yang di tekuni om Aba, maupun usaha penjualan alat perabotan rumah tangga oleh ibu Safiani Ode, termasuk Alimin Sabri, memiliki motif yang tak jauh bedanya yakni, memenuhi kebutuhan konsumen, mengejar pendapatan, dan untuk menjamin kebutuhan mereka juga. Tetapi dalam perjalanan usaha para pedagang ini, hanya beberapa dari mereka yang terlihat mampu melakukan konversi usaha, seperti ibu Rohani, dari bisnis sembako, ia merambat ke bisnis kopra, dan akhirnya beranjak ke bisnis penjualan bahan material bangunan.

Menurut ibu Rohani, pengembangan usaha yang dilakukan Ia dan suaminya, hal itu merupakan bentuk respon mereka terhadap kebutuhan konsumen yang dibaca sebagai peluang usaha. Hal yang sama juga dilakukan oleh bu Damis Pasuma, dari bisnis sembako, kemudian merambah ke bisnis kopra, hingga meningkat ke usaha transportasi jasa angkut barang.

Keputusan untuk melakukan penambahwan jenis usaha, kata bu Damis, hal itu merupakan bentuk respon mereka melihat peluang usaha yang ada, tegas Damis Pasuma (Wawancara, 10 Mei 2012).

Begitu juga dengan Alimin Sabri, dari bisnis aksesoris, Ia kemudian merambah ke usaha penjualan bahan-bahan tatarias dan

122

akhirnya menambah usaha penjualan Voucher Handpone. Penambahan jenis usaha bagi Alimin merupakan suatu keputusan yang mesti ada dalam diri pengusaha, selain sebagai bentuk respon terhadap permintaan pasar, baginya langkah itu dilakukan agar Ia tidak ketinggalan mengisi peluang usaha. Tutur Alimin Sabri kepada peneliti (Wawancara,26 Januari 2012).

Keputusan untuk tidak menambah jenis usaha, seperti terjadi pada ibu Safiani adalah, karena Ia belum mendapat jenis usaha lain yang potensial untuk di jalankan, tegas ibu Safiani (wawancara, 25 Januari 2013). Lain halnya dengan tante Ratna, Ia dan suaminya tidak merambah ke usaha lain bukan karena tidak ada peluang usaha, melainkan mereka memilih untuk tidak menambah usaha lain selain sembako, begitu cerita tante Ratna (Wawancara, 25 Januari 2013).

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam memilih jenis usaha yang akan di jalani, umumnya para pelaku usaha, berpatokan pada kebutuhan pasar, sebagai barometer untuk mengukur peluang satu usaha.

 Memilih Tempat Usaha : Antara letak, historis, dan pelayanan Dari ketuju informan yang diwawancarai, dua di antaranya masuk dan berdagang di Akediri setelah kondisi keamanan sudah membaik, kedua orang itu adalah Alimin Sabri yang masuk pada tahun 2007, dan ibu Safiani Ode pada tahun 2005. Sedangkan lima orang lainnya merupakan pelaku-pelaku usaha yang dapat dikatakan pedagang generasi pertama hingga terbentuknya pasar di Akediri.

Terkait tempat usaha Alimin Sabri punya cerita tersendiri, menurutnya Ia berjualan di Akediri pertama pada tahun 2007, awalnya Ia dan tiga orang teman patungan mengontrak satu tempat usaha yang dipetak menjadi tiga bagian, namun dalam perjalan kongsi tersebut pecah di tengah jalan, hanya karena pembagian tanggungjawab sewa kontrak tidak lagi sesuai ketika pembicaraan di awal mereka mengontrak tempat tersebut.

Buntut dari persoalan tersebut akhirnya Alimin memilih untuk mengontrak tempat sendiri. Tempat yang Ia pilih masih berada di

123 pinggiran ruas jalan utama, dengan nilai kontrak satu juta pertahun dengan ukuran 2x2 m persegi. Pemilihan tempat di pinggir jalan utama hal itu bukan tanpa alasan, menurutnya pertimbangan utama dari keputusan tersebut adalah, agar tempat usahanya mudah terlihat dan dijangkau para pembeli. Demikian kata Alimin Sabri (Wawancara,26 Januari 2013).

Lain halnya dengan ibu Safiani Ode, terkait hal ini terdapat kisah menarik untuk disimak. Ketika ibu Safiani memutuskan untuk memulai usaha, Ia memilih berdagang peralatan rumah tangga seperti yang di jalani oleh orang tuanya. Bukan tampa alasan Ia memilih usaha yang sama dengan orang tuanya. Dengan memilih usaha itu ibu Safiani bukan saja mengincar tempat jualan yang ditinggalkan oleh orang tuanya.

Tetapi lebih dari itu, keputusan itu didasarkan pada pertimbangan bahwa tempat jualan yang ditinggalkan orang tuanya telah diketahui orang, alias sudah ada pelanggan. Dengan posisi tempat usaha yang terletak dipinggiran jalan utama menjadikan tempat itu menjadi sangat strategi. Serba mudah di akses oleh konsumen.

Karena itu Ia memilih usaha yang sama di tempat yang sama, sehingga sekalipun telah berganti pemilik usaha namun hal itu tidak terasa asing oleh pelanggan dari orang tua mereka.

Ibu safiani nampaknya tidak ragu untuk mengambil tempat tersebut, walau harus berdampingan dengan kakak perempuannya yang juga menjalani usaha yang sama. Keputusan ibu Safiani terbilang cemerlang, dua tahun kemudian ia sudah bisa mengontrak tempat sendiri, dan berpisah tempat dengan saudaranya.

Ketika konflik terjadi dan Akediri menjadi pusat pengungsian, tak lama kemudian munculah pedagang-pedagang kecil yang terbilang tidak sedikit jumlahnya, berkembang dari waktu ke waktu. Mereka awalnya terkonsentrasi di dalam lokasi militer dan saling berhimpitan.

Dari sekian banyak pedagang yang ada itu, terdapat bebrapa orang yang peneliti wawancarai terkait pemilihan tempat usaha mereka. Seperti bu Damis pasuma, Ia memulai usaha sembako

124

tepatnya tahun 2002. Awalnya mereka membeli tempat jualan berupa lapak kecil yang berada di depan gereja kalvari Akediri, yang berbatasan dengan asrama tentara kompi’B’ seharga satu juta setengah. Karena penertiban lapak-lapak pedagang, yang diinisiasi oleh pihak desa bekerjasama dengan tentara, dan pengurus posko pengungsi yang ada di Akediri, akhirnya para pedagang itu semua di pusatkan jadi satu di lingkungan militer. Kebijakan itu diambil atas dasar pertimbangan keamanan para pedagang, karena masih terjadi penyerangan ke Akediri oleh pasukan jihad.

Dalam perkembangan kemudian, terjadi beberapa kali upaya relokasi pedagang pasar Akediri. Setelah perundingan damai berjalan dan mencapai kesepakatan, relokasi pertama diinisiasi oleh aparat keamanan yang bermarkas di Kantor Kejaksaan desa Hatebicara.

Para serdadu itu membangun pasar rekonsiliasi pada pertengahan 2001 setelah perundingan damai. Namun upaya itu gagal karena pihak nasrani baik pedagang maupun pembeli belum berani memasuki wilayah yang dikuasai oleh komunitas muslim Jailolo. Akhirnya pasar tersebut perlahan hilang dengan sendirinya.

Pada tahun 2003 Dandim Maluku Utara Letkol Inf. P.Oloan Sianturi, bersama muspika kecamatan Jailolo mencoba merelokasi kembali pedagang pasar Akediri ke pasar induk di Jailolo, tetapi lagi-lagi upaya tersebut gagal. Keterbatasan tempat dan ketidaknyamanan yang masih membayang para pedagang nasrani menjadi alasan mereka enggan berjualan di pasar Jailolo. Hal yang memilukan dan memprihatinkan ialah, ketika 70 nama pedagang pasar Akediri yang didaftarkan agar di undi untuk memperoleh tempat usaha, namun tak satupun nama mereka keluar dalam pengundian tersebut.

Setelah selang beberapa tahun kemudian tepatnya pada 2007 pemerintah daerah kembali melakukan upaya relokasi pedagang keluar dari lingkungan militer dan di arahkan ke pasar Akelamo. Lagi-lagi upaya tersebut gagal. Keterbatasan fasilitas, kedudukan pasar yang tidak strategis, menyebabkan sebagian besar pedagang tidak turut

125 dalam relokasi ketika itu. Dengan bergulirnya waktu, lambat laun akhirnya para pedagang itu kembali ke pasar Akediri.

Walaupun berkali-kali mengalami upaya relokasi tempat usaha, tetapi dalam benak para informan mereka selalu merebut tempat usaha yang strategis disetiap kesempatan.

Pada umumnya para informan dalam memilih tempat usaha selalu berusaha memilih tempat usahanya di lokasi yang strategi, baik itu di pinggiran jalan utama, atau lapak yang paling terdepan. Hal ini untuk memudahkan akses, duluan terlihat, dan mudah diingat oleh konsumen tegas om Yon Flory (Wawancara,26 Januari 2013), bu Damis Pasuma (Wawancara,10 Mei 2012), juga oleh ibu Rohani, dan tante Ratna (Wawancara,25 Januari 2013) dan om Aba (Wawancara,26 Januari 2013).

Dengan kedudukan pasar Akediri yang umumnya berderet sebelah-menyebelah di tengah perkampungan desa Akediri, membuat para pedagang berebutan untuk mencari lokasi di pinggiran jalan utama untuk membangun tempat usahanya.

 Strategi Pengadaan Barang : Berdagang melalui tangan, dan dana orang lain

Konflik Jailolo telah menyebabkan terputusnya perhubungan laut maupun darat, baik ke luar Jailolo atau masuk ke Jailolo, khususnya mereka yang beragama nasrani. Hal ini disebabkan karena desa-desa di Jailolo telah terbagi dalam dua wilayah ‘kekuasaan’, yakni deda-desa pantai khsusnya yang berada di pusat ibu kota kecamatan Jailolo dikuasai oleh komunitas muslim, sedangkan desa-desa bukan pantai di pedalaman dikuasai oleh kelompok nasrani.

Keberadaan pusat pemerintahan kecamatan maupun pusat perhubungan dan perdagangan laut yang berada dibawah kekuasaan kelompok muslim, berdampak terhadap aktifitas perdagangan warga nasrani di pedalaman Jailolo. Situasi ini memaksa para pengusaha, baik pedagang kecil maupun besar mencari jalur lain untuk dapat memasok berbagai kebutuhan dasar konsumtif rumah tangga.

126

Selain untuk pengadaan barang jalur itu juga dipakai untuk perdagangan hasil-hasil kebun mereka, seperti kopra, pala dan kakao, ke Bitung, Manado atau ke Tobelo.

Dari ke tujuh pelaku usaha yang peneliti wawancarai, masing-masing memiliki strategi pengadaan barang dagangannya. Seperti om Yon Flory, Ia mengatakan bahwa sebelum jalur perdagangan laut melalui pantai Susupu di kecamatan Sahu, pantai Adu dan pantai Bataka di wilayah Ibu dijadikan sebagai pelabuhan alternatif.

Ia pertama-tama membangun kerjasama dengan pihak Koperasi tentara yang ada di Akediri yakni Kompi ‘B’. Walau sebagai anggota TNI-AD, tetapi karena beragama Kristen, anggota yang mengelola koperasi tentara itu tidak berani mengambil resiko untuk berbelanja ke Ternate. Di tengah kondisi itulah ahirnya Pa Agus Susanto suami dari ibu Rohani M. Ahmad ditugaskan untuk berbelanja barang-barang koperasi ke Ternate. Melalui kerjasama denga koperasi tentara dan juga dengan pa Agus Susanto, akhirnya om Yon bisa memperoleh bahan-bahan daganganya.

Sebagai tentara yang beragama muslim pa Agus dapat berbelanja baik ke Jailolo maupun Ternate, sehingga lewat jalur itulah Ia dapat memasok berbagai kebutuhan pangan. Namun hubungan kerja itu tidak berjalan mulus. Di tengah jalan muncul isu adanya formalin, yang disuntikan dalam barang-barang seperti rokok, bula, dan barang konsumtif lainya yang dipasik dari Ternate, mengakibatkan warga nasrani tidak mau berbelanja barang-barang yang dipasok Ternate. Tutur om Yon Flori (Wawancara, 26 Januari 2013).

Hubungan dagang yang sudah terbangun dengan koperasi Kompi dan juga dengan Pak Agus hanya bias berlangsung dari tahun 2000 – 2002. Untuk menghadapi isu formalin itu, akhirnya om Yon harus berangkat ke Manado membangun kerjasama dengan salah satu agen distribusi barang. Tetapi karena perceraian yang terjadi pada agen mereka, akhirnya kerja sama itu hanya berjalan dari tahun 2003-2005 kemudia terhenti.

127 Menurut om Yon Flory, Ia hanya sekali ke Manado untuk membangun kerjasama denga agen distribusi barang-barang dagangannya. Selanjutnya untuk memesan barang dagangan, Ia hanya mengirim melalui Fax email daftar barang dan bukti pengiriman bank harga barang yang dipesan. Kemudian barang-barang itu akan dikirim dengan kapal laut dan om Yon hanya menunggu di pelabuhan Adu atau Bataka di kecamatan ibu (Wawancara,26 Januari 2013).

Setelah tidak memasok barang dari Manado, akhirnya om Yon, kembali berbelanja di Ternate, setelah jalur perdagangan melalui pelabuhan Jailolo terbuka untuk komunitas nasrani. Namun aktifitas itu berjalan hanya dari tahun 2006-2010, persoalan utama yang dikeluhkan oleh om Yon adalah, mahalnya biaya buruh pelabuhan di Ternate menurutnya :

... “ mungkin biaya bongkar muat buruh yang termahal di Indonesia adalah ongkos buruh Ternate-Jailolo, masakan hanya angkut satu dos supermi saja mereka minta upahnya Rp.5000. kalau seperti itu bagai manamungkin kita bisa dapat untung lagi” (Wawancara, 26 Januari 2013).

Menyadari besarnya biaya yang Ia keluarkan jika berbelanja ke Ternate, akhirnya om Yon memutuskan untuk berbelanja pada salah satu agen lokal di Jailolo. Keputusan ini ditempuh demi untuk menghindari biaya transport yang besar, selain itu jika ada barang yang cacat atau melewati masa jual akan lebih mudah untuk ditukarkan kembali.

Lain om Yon, lain juga cerita bu Damis Pasuma tentang strategi mereka memasok barang dagangan ketika itu. Waktu itu kata bu Damis, ketika mereka memutuskan untuk membangun usaha pada tahun 2002, dan mereka belum bisa berbelanja ke Jailolo atau ke Ternate, Ia menggunakan oknum anggota TNI-AD yakni mas Yanto yang beragama muslim dan bertugas di Kompi ‘B’ Akediri.

Sejak itulah mas Yanto diminta untuk berbelanja ke Manado melalui pelabuhan Adu maupun Bataka di kecamatan Ibu. Kerjasama itu berjalan dari tahun 2002-2004. Setelah itu bu Damis tidak lagi berbelanja ke Manado, melainkan Ia hanya berbelanja di Sahu setelah

128

ko Joksan salah satu pengusaha keturunan tionghoa memasok barang dari Manado, kecamatan yang berbatasan dengan Jailolo, dan hal itu berlangsung dari 2005-2007.

Dalam perkembangan selanjutnya ketika tidak berhubungan dengan ko Joksan, bu Damis memutuskan untuk berbelanja pada agen lokal di Jailolo yakni pada Kiyai dan ci Fani di Akediri, hal ini berlajan dari tahun 2008 sampai saat ini (Wawancara, 10 Mei 2012).

Menurut bu Damis, jika dibanding-bandingkan belanja di Manado atau di Ternate, keuntungannya hanya beda tipis, jika belanja di Jailolo atau Akediri dan kalau ada barang yang rusak atau telah melampaui masa jual Ia tidak kesulitan untuk mengembalikan. Selain itu tidak membutuhkan butuh waktu lama untuk mendapatkan barang yang dipesan.

Walau keuntungannya kecil tetapi yang penting perputaran barangnya cepat terjual, pasti untung juga. Prinsip belanja yang diterapkan bu Damis pada agen-agen lokal di Jailolo dan Akediri mereka aka terlebih dahulu melakukan survei harga setiap barang yang mau di belanjakan, baru kemudian berbelanja pada anggen yang menjual dengan harga yang terendah, demikian kata bu Damis Pasuma (Wawancara, 10 Mei 2012).

Seperti bu Damis demikian juga tante Ratna menerapkan cara yang sama. Sejak mereka memutuskan untuk memulai usaha, tante Ratna hanya berbelanja pada agen local di Jailolo. Sebagai golongan muslim, sebenarnya mereka memiliki keleluasaan berbelanja baik di Jailolo atau ke Ternate.

Keputusan tante Ratna untuk membelanjakan barang-barang dagangan mereka pada agen barang di Jailolo, tidak terlepas dari prinsip dagang yang mereka terapkan. Jika para informan lainya memilih untuk berbelanja ke Ternate atau ke Manado, demi untuk mendapatkan harga barang yang lebih murah, sehingga member keuntungan yang lebih besar pula.

Namun tidak dengan tante Ratna, Ia dan suaminya menyadari bahwa walau keuntungan kecil jika membelanjakan barang dagangan

129 di Jailolo, karena selisih harga yang lebih tinggi dari pasar di Ternate atau Manado, hal itu diabaikan. Sebab yang menjadi prioritas mereka adalah kecepatan perputaran barang. Kalau harus ke Ternate atau ke Manado untuk membelanjakan barang dagangan mereka hal itu butuh waktu dan butuh biaya besar, belum lagi resiko barang rusak.

Itu sebabnya walau keuntungan yang didapat kecil persatuan barang yang dijual, tetapi dengan perputara barang cepat terjual, juga memberi keuntungan. Walau hanya berbelanja barang dagangannya di Jailolo, mereka tetap melakukan survey harga terlebih dahulu. Sehingga pilihan berbelanja barang dijatuhkan pada harga yang terendah. Itulah cara tante Ratna membelanjakan barang dagangannya yang Ia tuturkan kepada peneliti (Wawancara, 25 Januari 2013).

Kisah menarik selanjutnya datang dari ibu Rohani M. Ahmad. Karena suaminya adalah anggota TNI-AD dan beragama muslim, hal itu memudahkan aktifitas mereka baik ke Jailolo atau ke Ternate. Ketika suaminya ditugaskan untuk mengurus barang-barang koperasi Kompi ‘B’ di Ternate, bersamaan dengan itu banyak juga warga yang menitipkan uang untuk membelanjakan berbagai kebutuhan mereka.

Hubungan yang tercipta itu, akhirnya menimbulkan minat berdagang, sehingga kemudian Pak Agus dan ibu Rohani memutuskan untuk membelanjakan barang dagangan mereka ketika ke Ternate membelanjakan barang-barang Koperasi. Ternyata langkah tersebut diambil, tidak hanya untuk mengintensifkan waktu, tetapi juga sebagai siasat meminimalisir biaya transportasi pengadaan barang-barang dagangan, tutur bu Rohani M. Ahmad (Wawancara, 25 Januari 2013).

Setelah situasi keamanan di Jailolo makin membaik, selain berbelanja di Ternate ibu Rohani mencoba berbelanja ke Manado, awalnya Ia berlangganan barang dengan dengan pemilik toko Iktiar dan kemudian bekerja sama dengan ko Siong pememilik kapal yang menyinggahi pelabuhan Jailolo.

Seperti tante Ratna, ibu Rohani juga berbelanja atau memesan barang menurut harga yang termurah, setelah melakukan survei harga barang terlebih dahulu. Jika harga beras lebih murah di Manado

130

ketimbang di Ternate, pilihan akan jatuh ke Manado, begitu sebaliknya. Ketika menjalin kerjasama dengan agen pengadaan barang di Manado, pesanan barang dan transaksi usaha dilakukan melalui media elekronik, fax email dan bank.

Selanjutnya barang siap dikirim dan mereka hanya menjemputnya di pelabuhan Jailolo atau di pelabuhan Adu dan Bataka kecamatan Ibu Selatan. Dalam perkembang kemudian, ibu Rohani juga berlangganan dengan ko Hengki pemilik kapal dan juga sebagai agen pengadaan barang, setelah kapal milik ko Siong tidak lagi menyinggahi pelabuhan Jailolo, Adu dan Bataka.

Lewat kerja sama itu barang yang dibelanjakan pada ko Hengki Ia tidak mengenakan biaya pengiriman, tetapi ibu Rohani hanya mengurus kegiatan bongkar muat dan biaya buruh, baik di pelabuhan Jailolo, Adu atau Bataka, kata ibu Rohani (Wawancara, 25 Januari 2013).

Dalam membangun hubungan bisnis dengan agen pengiriman di Manado maupun di Ternate, ketika memesan barang tidak selalu harus disertai dengan pengiriman uangnya. Melainkan barang itu dapat dikirim lebih dahulu, sedangkan uangnya menyusul kemudian sesuai kesepakatan waktu pelunasanya, untuk menegaskan pentingnya kepercayaan Ia mengatakan :

...“kita yang berdagang seperti inikan tergantung mulut kita juga,... sebab kalau kita pesan barang dan menjanjikan bahwa satu minggu akan di lunasi, tetapi tertunda sampi berbulan-bulan kita akan kehilangan kepercayaan Wawancara, 25 Januari 2013)”...

Demikian bu Rohani menuturkan strategi pengadaan barang yang mereka jalankan dalam usaha mereka (Wawancara, 25 Januari 2013).

Setelah rencana relokasi pedagang kecil yang ada di pasar Akediri gencara digalakan pemerintah Halmahera Barat, hal itu cukup memusingkan para pedagang kecil. Dalam suasana itu peneliti menghampiri salah satu lapak tempat jualan peralatan rumah tangga

131 milik ibu Safiani Ode, dalam kecemasan Ia menceritakan bagaimana Ia membangun dan mengelola usahanya di Akediri.

Lanjut ceritanya kepada peneliti, bahwa di awal usaha Ia di topang oleh orang tuanya, barang-barang dagangan yang Ia jual di awal usaha semuanya milik bapak dan ibunya. Ibu Safiani memutuskan untuk membangun usahanya baru pada tahun 2005, dimana kondisi keamanan sudah jauh lebih aman, sehingga Ia tidak kesulitan berbelanja di Jailolo atau ke Ternate, apalagi beragama muslim dan suaminya seorang anggota TNI-AD.

Dengan bermodalkan barang-barang orang tuanya, dalam perjalanan kemudian melalui adik laki-laki ibunya, ibu Safiani diperkenalkan dengan langgananya di Ternate. Lewat pertemuan itulah mula-mula ibu Safiani secara rutin berbelanja hingga, akhirnya mendapat keparcayaan sebagai langganan. Kini menurut ibu Safiani, Ia dapat mengambil barang-barang jualannya dan baru dibayar kemudian.

Artinya dari jumlah harga barang yang Ia ambil ibu Safiani dapat memberikan sebagian atau setengah dari harga barang-barang

Dokumen terkait