• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 Ibrahim Suami * Istri *

2 Samuel Flory Suami * Istri * 3 Rohani M.

Ahmad

Istri * Suami * 4 Safiano Ode Istri * Suami * 5 Ratna Istri * Suami * 6 Alimin Sabri Suami * Istri * 7 Damis Pasuma Suami *

109 komunitas kristen lebih banyak di sana. Berbekal pengalaman yang ada Ia memberanikan diri masuk ke Akediri pada 2007, setelah mendengar bahwa wilayah ini memiliki potensi usaha yang tinggi, dari teman-teman yang sudah duluan menetap di desa ini (Wawancara,26 Januari 2013).

Begitu juga dengan om Yon Flory, Ia mengatakan walaupun dirinya hanya berpendidikan SD, tetapi Ia bisa menggeluti berbagai usaha. Baik dari berdagang cabai di pinggiran jalan hingga sampai bersentuhan dengan para pejabat, baik sipil maupun militer, kenangnya ketika masih menggeluti dunia kontraktor yang kerap mendapat pekerjaan yang disubkontrakan.

Filosofi hidup yang ditanamkan ayahnya sejak Ia masih kanak-kanak di maknai sebagai pelajaran berharga, yang membuat Ia terus mencari usaha yang tepat sebagai dasar untuk membangun dan mengokohkan ekonomi keluarganya. Karena itu setiap kegagalan yang Ia alami dijadikan sebagai pelajaran, dan memandangnya sebagai seni dalam berusaha (Wawancara,23 Januari 2013).

Dengan hanya berbekal pendidikan dasar menengah pertama, Ibrahim muda akhirnya memutuskan merentau meninggalkan kampung halamanya. Menurut om Aba sapaan akrab untuknya, Ia keluar dari Gorontalo menuju Manado itu pada tahun 1971, selama di Manado Ia bekerja sebagai kulih bangunan. Kemudian pada tahun 1984 Ia mengikuti teman-temannya ke Ternate, yang sudah lebih duluan berdagang pakaian di Ternate.

Usaha di Ternate lanjut om Aba, dapat dikatakan cukup mengguntungkan, katanya Ia bisa kontrak bangunan untuk buat toko, menangani sejumlah agen-agen penjualan di bawa bendera simpati bersama. Selain itu saya juga bekerja sama dengan pabrik minyak goreng Bimoli sebagai agennya, tetapi ketika bercerai dengan istrinya om Aba meninggalkan beberapa aset hasil usaha bersama pada mantan istri di Ternate yakni, tiga unit speed bood Harian star dan usaha sembako (Wawancara,26 Januari 2013).

110

Jika dikaitkan dengan pendidikannya, rasanya tidak sebanding dengan apa yang pernah Ia capai, kata om Aba. Kata om Aba sebelum memutuskan untuk menetap dan berdagang di Akediri, awalnya Ia menuju ke wilayah Ibu untuk berdagang pakaian, tetapi tidak lama di wilayah tersebut akhirnya om Aba kembali ke Akediri dan akhirnya menetap hingga kini.

Keberuntugan di Akediri tentu berbeda dengan di Ternate, tetapi itu semua tergantung bagaimana kita tekun, kata om Aba,dan bagaimana kita menjaga kepercayaan dalam menjalani setiap usaha. walau harus di akui bahwa ada banyak persoalan yang mesti di hadapi di pasar Akediri, tutur om Aba ketika itu (Wawancara.25 Januari 2013).

Bagi ibu Rohani, membangun usaha itu tidak tergantung pada tinggi rendahnya pendidikan kita. Ia dan suaminya hanya menamatkan pendidikan SMA, tetapi dengan pendidikan setingkat itu mereka dapat membangun dan mengembangkan usaha hingga sukses. Lebih lanjut Ia menegaskan bahwa hal itu hanya sederhana, yang penting punya minat, tekun, bergaul dengan orang dan menjaga kepercayaan. Intinya adalah :

,…“bisnis ini hanya menjaga mulut saja, kalau sudah janji lunasi tiga bulan kedepan ya, harus diusahakan” kata ibu Rohani (Wawancara,25 Januari 2013).

Pernyataan senada juga datang dari Ibu Safiani Ode, Ia dan suaminya hanya berpendidikan SMA. Ketika menikah dengan suaminya seorang Tentara dan tinggal di dalam Asrama Kompi ‘B’ Akediri, Ia merasa tidak mempunyai waktu untuk membangun usaha, Keinginan itu baru dapat tercapai ketika suaminya pindah tugas ke Koramil dan mereka keluar dari asrama.

Menurutnya tidak banyak yang Ia dapatkan dari pendidikannya, justru belajar dari orang tua dan keluargalah yang membuat Ia tertarik dan berani membangun usaha. Tegas Ibu Safiani Ode (Wawancara,25 Januari 2013).

111 Sebagai orang yang memiliki latar belakang ilmu manejemen, karena menamatkan pendidikan SMEA negeri di Ternate, bu Damis pernah dipercayakan sebagai pejabat kepala desa Hoku-hoku Kie, dan pernah bekerja pada koperasi simpan pinjam sebelum konflik terjadi.

Bagi bu Damis pengetahuan berdagang dan bagaimana bermitra dalam bisnis kopra, yang secara arif menghindari resiko dengan memilih mengumpulkan nota timbang dari pada menampung kopra, didapat melalui pengalaman-demi pengalaman yang Ia alami dalam usaha tersebut. Demikian tutur bu Damis Pasuma (Wawancara,10 Mei 2012).

Begitu juga dengan usi Doriana Tjira, atau yang akrab dipanggil usi Teker istri bu Damis Pasuma. Sejak menempuh Pendidikan keterampilan keperempuanan yang Ia dapat di bangku pendidikan SKKP, Ia sudah tertarik untuk melakukan sesuatu yang dapat menghasilkan uang. Dorongan untuk memiliki pendapatan sendiri untuk membantu biaya studinya di Ternate, waktu luang di malam hari Ia pergunakan untuk berjualan rokok dan kacang goreng di depan Bioskop Benteng Ternate.

Semangat dan pengalaman itulah yang Ia bawa sampai ke kampung halaman. Sebelum menikah usi Teker sudah memiliki usaha sendiri di rumah orang tuanya, Ia menjajakan sejumlah kebutuhan bahan pokok rumah tangga, seperti sabun, gula, garam, dan kebutuhan lainya di rumah orang tuanya. Setelah menika, usaha yang Ia rintis adalah bisnis ronti bakar, untuk membangun usaha ini Ia bahkan menggadaikan perhiasannya untuk mendapatkan modal usaha. Dari hasil penjualan roti, Ia kemudian merambah ke usaha pembuatan es mambo, usahan ini baru terhenti ketika rusuh terjadi, kata usi Teker (Wawancara, 10 Mei,2012).

Lingkungan keluarga : Belajar dari orang terdekat

Pengaruh lingkungan, baik lingkungan keluarga maupun lingkungan tempat tinggal terhadap pembentukan minat seseorang merupakan fakta yang tak jarang kita jumpai, sebagai pembentuk minat

112

khususnya dalam dunia usaha. Hal ini dapat kita temukan dalam ketuju informan yang peneliti wawancarai.

Seperti om Yon misalnya, dengan mengutip kata-kata orang tuanya, Ia hendak menegaskan bahwa jiwa usahanya diturunkan melalui keluarga dan itu tidak terlepas dari garis keturunan suku bangsa nenek moyang mereka yakni Cina. Kata-kata itu seperti berikut ini :

... “ yang turunan orang cina, anak yang masih dalam kandungan itu, jangan dulu ajarkan dia kerja, tetapi ajari dia berhitung, sebab orang bisa bekerja tetapi kalau salah hitung akan susah”...

...“ usaha seperti dagang ini, percaya anak sendiri saja itu mata buta sebelah, artinya kalau mata sebelah kanan buta, orang ambil di sebelah torang (kita) sudah tidak lia (lihat)... Nah kalau percaya orang lain itu berarti mata buta-dua-dua,... apalagi beli oto (mobil), itu laci satu orang bawa-bawa, torang tidak tau (kita tidak tahu) uang jatuh berapakah”... (Wawancara, 23 Januari 2013).

Dari kata-kata ini menunjukan bahwa, dalam menjalani usaha om Yon meletakan filosofi hidup orang Cina yang diturunkan oleh bapaknya sebagai spirit dalam berdagang. Karena itu sikap positif menanggapi kegagalan-kegagalan dalam usahanya hal itu dapat dipahami dari spirit, bahwa kegagalan yang Ia alami dalam usaha dengan melibatkan orang lain merupakan konsekuensi yang tak terbantahkan, yang sebenarnya sudah diingatkan bapaknya.

Saat ini om Yon hanya fokus menjalankan bisnis sembilan bahan pokok (sembako), dan pengelolaannya benar-benar ditangani oleh Ia dan istrinya, tenaga kerja hanya dilibatkan untuk urusan bongkar muat barang, dan sebagai pembantu rumah tangga. Selain lingkungan keluarga, keputusan membangun usaha di Akediri kuat dipengaruhi oleh lingkungan tempat berusaha, baik sebelum maupun setelah konflik terjadi.

113 Dengan adanya dua basis militer di desa ini, serta penduduk yang terbilang padat, menjadikan Akediri sebagai wilayah yang memiliki pangsa pasar yang tinggi, dan itu lebih signifikan terjadi paskah rusuh di Jailolo, kata om Yon Flory (Wawancara, 23 Januari 2012).

Dibesarkan dari keluarga pedagang perabotan alat rumah tangga asal Buton, membuat Ibu Safiani Ode, tak canggung ketika masuk ke dunia usaha. Sebelum rusuh orang tuanya sudah berjualan di pasar Jailolo, setelah konflik meredah dan aktivitas dagang terbentuk di Akediri orang tuanya memilih untuk berjualan di rumah milik adik iparnya. Ketika ibu Safiani menikah dan mereka tinggal di asrama Kompi ‘B’ Yonif 732 Banau, niat untuk berdagang sangat kuat bergelora, namun karena keterbatasan waktu, keinginan itu baru terwujud setelah mereka keluar dari asrama karena suaminya pindah tugas ke Koramil Sahu.

Niat untuk berdagang ternyata mendapat dukungan dari orang tuanya, mereka memberikan modal kepadanya dalam bentuk barang-barang dagangan. Dukungan lain juga diberikan oleh salah satu kerabat dekat keluarganya yang juga menjalani usaha yang sama, lewat pamanya itu Ia diperkenalkan dengan salah satu pengusaha di Ternate. Sehingga dari pertemuan itu akhirnya terbentuklah jalinan kerjasama.

Ibu Safiani kemudian dapat mengambil barang terlebih dahulu, dan baru membayarnya setelah barang sudah terjual. Menurut ibu Safiani hubungan kerjasama itu berjalan hingga kini. Selain dukungan keluarga, ternyata minat berusaha ibu Safiani juga di pengaruhi oleh lingkunganya, sebagai istri Tentara Ia memiliki teman-teman wanita yang cukup banyak di asrama maupun di Koramil. Jaringan konsumne antara mereka dengan orang tuanya sudah terbentuk, ketika orang tuanya kembali berjualan ke pasar Jailolo dan meninggalkan tempat jualan di Akediri. Hal itu dicermati oleh Ibu Safiani bahwa orang tuanya tidak meninggalkan tempat kosong, melainkan juga meninggalkan jejaring konsumen yang sudah terbentuk.

Karena itu ketika memutuskan untuk berjualan Ia memilih menempati tempat yang pernah ditempati oleh orang tuanya, sekalipun

114

harus berdampingan dengan saudara perempuanya yang kebetulan menekuni usaha yang sama. Dengan keyakinan bahwa konsumen milik orang tuanya dapat tetap terlayani dan tidak beralih tempat membelanjakan kebutuhan mereka.

Pendidikan rendah ternyata bukan penghalang bagi Alimin Sabri. Sekalipun tidak dibesarkan dari kedua orang tua yang bukan berprofesi sebagai pedagang, namun langkah untuk terjun ke dunia bisnis justru dipengaruhi oleh kerabat keluarga yang lain. Menurut Alimin, pada tahun 1990 Ia berangkat ke Ternate karena diajak oleh salah seorang sanak saudaranya, yang sudah duluan berjualan pakaian di Ternate. Selain berjualan di Ternate, mereka juga menyasar pasar Tobelo pada bulan Desember, sebab di wilayah itu dikuasai oleh komunitas nasrani.

Setelah konflik reda, Alimin akhirnya memilih untuk memulai usaha sendiri, dengan berbekal pengalaman yang ada, yang ia miliki ketika bersama-sama membantu usaha saudara. Merupakan modal untuk ikut teman-temannya yang lain berdagang ke Pasar Akediri. Sekalipun memutuskan untuk membangun usahanya sendiri hubungannya tidak terputus dengan saudaranya di Ternate, saat ini Alimin telah menjalin kerja sama dengan salah satu pengusaha asal Jawa, sehingga barang-barang dagangan semuanya ambil dari mereka, terkait pembayaran akan dicicil setelah barangnya laku terjual. Kata Alimin Sabri (Wawancara,26 Januari 2013)

Alimin juga memanfatkan saudaranya yang ada di Ternate sebagai perantara, untuk mengurus permintaan barang-barang yang Ia pesan untuk diambil pada langganannya, melalui saudaranya barulah barang-barang itu kemudian dikirim ke Akediri. Kerjasama ini masih terjalin hingga kini kata Alimin.

Jika om Yon, ibu Safiani dan Alimin Sabri, menuturkan kisah-kisah membangun usaha mereka tidak terlepas dari pengaruh maupun dukung langsung dari keluarga mereka. Hal berbeda tetapi memiliki kemiripan kisah yang terjadi pada bu Damis, tante Ratna, om Ibrahim, juga ibu Rohaini M. Ahmat, ketika mereka memutuskan untuk

115 membangun usaha. Menurut tante Ratna, Ia dan suaminya tidak berasal dari orang tua yang memiliki usaha, tetapi keputusan untuk berdagang, itu muncul karena adanya potensi usaha yang besar di Akediri tempat tinggal mereka.

Cerita yang sama juga datang dari bu Damis Pasuma. Menurutnya, selain desakan pemenuhan kebutuhan hidup, peluang usaha di tempat pengungsian yang ada di Akediri sangat besar, keadaan yang tidak stabil menyebabkan pengusaha besar tidak berani memasok berbagai kebutuhan hidup dalam jumlah besar.

Selain itu pengalaman berdagang sebelumnya, merupakan pengetahuan awal yang mendorong dan menuntun mereka ketika memutuskan untuk membangun usaha di Akediri. Inilah dorongan internal yang mendesak mereka terjun ke dunia usaha ketika itu.

Bagitu juga dengan ibu Rohaini M. Ahmat. Menurutnya, ketika itu suaminya yang bertugas sebagai Tentara di Kompi ‘B’ Yonif 732 Banau Akediri. Suaminya hanya menjabat sebagai komandan regu, dan ketika Ia diminta untuk membantu untuk mengurus barang-barang koperasi kompi ke Ternate hal itu dilihat sebagai peluang untuk membangun usaha.

Sejak itulah baik masyarakat maupun sesama anggota tentara khususnya yang nasrani menitipkan kebutuhan mereka untuk dibelanjakan ketika beliau ke Ternate. Karena makin banyak titipan, akhirnya mereka berdua memutuskan untuk membelanjakan sejumlah kebutuhan tahap demi tahap, hingga akhirnya semua kebutuhan dapat kami sediakan.

Dengan demikian mereka tidak lagi menitipkan barang untuk di belanjakan, melainkan beralih menjadi langganan, begitu kata ibu Rohaini (Wawancara,25 Januari 2013).

Nampaknya peluang usaha di Akediri juga terdengar oleh om Aba di Ternate, namun ketika memutuskan ke Jailolo Ia tidak langsung menetap di Akediri, melainkan Ia meneruskan perjalanannya ke kecamatan Ibu. Setelah mencoba keberuntungan di sana, akhirnya Ia

116

memilih kembali ke Akediri dan selanjutnya menetap untuk memulai usaha di desa ini.

Menurut pengakuannya, Akediri berada pada letak yang strategis, dimana mereka yang dari kecamatan Ibu, Loloda maupun Sahu pasti akan melalui desa ini jika datang ke Jailolo, begitu juga sebaliknya dari Jailolo menuju Sahu, Ibu atau Loloda.

Kalau berjualan di Ibu misalnya tidak mungkin orang dari Jailolo atau Sahu akan ke sana, inilah yang menyebabkan om Aba memutuskan kembali ke Akediri untuk menetap dan berdagang demikian kata om Aba (Wawancara,26 Januari 2013).

Memulai Usaha Dengan Modal Sendiri

Dari ketujuh pedagang yang diwawancarai, enam orang diantaranya menggunakan modal sendiri ketika memulai usahanya, dan hanya satu orang yang benar-benar ditopang oleh orang tuanya dalam bentuk modal barang dagangan.

Sebut saja ibu Safiano Ode. Ia berasal dari keluarga pedagang asal Buton, ketika mereka keluar dari asrama tentara di Akediri, Ia melihat bahwa ini saatnya untuk memulai usaha. Selain mendapat restu dari suaminya, keinginan itu ternyata disambut baik oleh ibu dan bapaknya. Dengan haru ibu Safiani Ode mengatakan bahwa, awal memulai usaha dagang, semua barang-barang itu adalah milik orang tuanya.

Menurut Ibu Safiani ia diberikan barang-barang dagangnya oleh orang tuanya, bagi mereka masalah bayaran akan dicicil kemudian jika sudah terjual. Dengan demikian ibu Safiani tidak mengeluarkan uang untuk pengadaan barang dagangannya, dari penjualan barang-barang itulah kemudian ia menambahkan barang-barangnya sedikit demi sedikit, sambil mencicilkan utang pada orang tuanya hingga menlunasinya. Begitulah ibu Safiani menuturkan kisahnya (Wawancara,25 Januari 2013).

Cerita haru selanjutnya, datang dari keenam pelaku usaha lain, kisah-kisah itu selanjutnya diuraikan seperti berikut ini. Tante

117 Ratna misalnya, Ia mengatakan bahwa pada saat itu siapa yang tidak merasa kesulitan dengan adanya konflik.

Sekalipun sulit, dengan gaji yang ada dan sedikit simpanan yang mereka miliki, Ia dan suaminya bertekad untuk memulai usaha. Awalnya barang-barang dibelanjakan sedikit-demi sedikit dan itu hanya dibeli dari agen barang di Jailolo. Dengan barang-barang yang ada mereka terus memutar keuntunganya, sehingga lama-kelamaan barang-barang mereka makin bertambah. Prinsipnya biar untung kecil asal cepat laku, Begitulah ceritanya Kata tante Ratna (Wawancara,25 Januari 2013).

Begitu juga dengan bu Damis Pasuma. Usaha yang mereka bangun, hanya mengandalkan modal pribadi baik tabungan dan dari hasil menggadaikan perhiasan emas milik istrinya, dari uang itulah kemudian di jadikan modal berdagang.

Awalnya pengadaan barang dilakukan bertahap sedikit-demi sedikit, yakni satu dua lusin untuk satu jenis barang, dari keuntungan itulah kemudian diputar-terus menerus hingga akhirnya mereka bisa belanja sampai ke Manado dalam jumlah yang besar, tutur Damis Pasuma (Wawancara,10 Mei 2012). Cerita yang tak jauh berbeda juga disampaikan oleh ibu Rohani M. Ahmad. Menurutnya, usaha yang mereka rintis awalnya hanya menggunakan modal sendiri.

Ketika orang mulai menitipkan barang-barang untuk dibelanja di Ternate, kesempatan itu mereka manfaatkan untuk membelanjakan barang-barang yang bakal mereka jual kembali, itulah cara mensiasati biaya transport. Barang-barang yang mereka belanjakan juga bertahap, awalnya belanja satu dua lusin, lambat laun dari keuntungan itu mereka kemudian investasikan kembali hingga akhirnya bisa menjadi agen bagi mereka yang tadinya menitipkan barang dagangaan. Begitulah kisahnya kata bu Rohani (Wawancara, 25 Januari 2013).

Kalau saya, kata om Yon Flory ketika menceritakan kisahnya kepada peneliti, usaha yang dia miliki sekarang bukan, baru dirintisnya ketika konflik terjadi. Justru ketika konflik barang dagangannya

118

terpakai habis, baik untuk kebutuhan pribadinya, maupun untuk kebutuhan aktifitas posko pengungsi yang ada di Akediri ketika itu.

Setelah situasi mulai reda, baru kemudian Ia memulai lagi aktifitas berdagang, memang sebelum rusuh om Yon pernah menggunakan modal bank, tetapi usaha yang Ia bangun paskah kerusuhan benar-benar menggunakan modal pribadinya.

Jadi menurut om Yon usaha yang Ia dibangun paska kerusuhan, diibaratkan seperti membangun rumah dari dasarnya. Itulah cerita om Yon, kepada peneliti (Wawancara, 23 Januari 2013).

Sebagai pedagang migran, om Aba terbilang sudah sukses berdagang di Ternate sebelum kerusuhan terjadi. Menurutnya ketika berdagang di Ternate, Ia juga sempat bekerjasama dengan berbagai agen-agen penjualan barang yang bernaung di bawa bendera simpati bersama.

Ia juga bekerjasama dengan perusahan minyak goreng Bimoli sebagai agen penyalur. Selain itu mereka telah memiliki toko, sekalipun masih status kontrak bangunan, dari usaha bersama dengan istrinya mereka memiliki tiga unit speed bood Harian star.

Tetapi ketika konflik usai, Ia pun bercerai dengan istrinya, toko yang mereka kontrak diambil alih oleh pemiliknya. Kondisi ini kemudian memaksa om Aba migrasi ke Jailolo, namun menurut pengakuanya, modal yang Ia miliki sudah tidak seperti masih bersama dengan istrinya yang ada di Ternate. Lebih lanjut om Aba mengatakan bahwa, usaha yang Ia rintis di Akediri hanya mengandalkan modal dari pembagian dengan istrinya ketika cerai.

Dengan modal yang ada itulah om Aba melanjutkan usaha penjualan pakaian, mula-mula Ia ke kecamatan Ibu, tetapi akhirnya kembali dan menetap di Akediri hingga kini. Begitulah Ia mengisahkan perjuangannya kepada peneliti (Wawancara,26 Januari 2013).

Di tengah terpaan ketidak pastian rencana relokasi pedagang kecil di pasar Akediri, peneliti berkesempatan mewawancarai seorang

119 migran Gorontalo yang mencoba keberuntungan berdagang di pasar Akediri. Ia adalah Alimin Sabri. Sebelum berjualan di Akediri awalnya Ia menetap di Ternate bersama istri dan anak-anaknya.

Namun paska rusuh Ia mencoba membangun usaha sendiri di Akediri, terlepas dari saudaranya, yang telah mengajaknya berdagang di Ternate tujuh belas tahun silam. Menurut Alimin, usaha yang Ia bangun di Akediri adalah miliknya.

Selain menggunakan modal sendiri, Alimin juga menjalin kerjasama dengan salah satu pengusaha Jawa di Ternate. Melalui pengusaha tersebut Ia mendapat kepercayaan untuk mengambil terlebih dahulu barang-barang jualan untuk di jual.

Sedangkan menyangkut dengan pembayaran, katanya Ia dapat mencicil setelah barang-barang itu terjual. Demikian Alimin Sabri menuturkan kisahnya (Wawancara, 26 Januari 2013).

Itulah dinamika penggunaan modal usaha oleh pelaku usaha yang peneliti wawancarai. Terlihat bahwa dalam membangun usaha masing-masing orang mempunyai cara menyiasati modal yang mereka miliki.

Karena itu selain menggunakan modal pribadi, ada juga yang mendapat dukungan sepenuhnya oleh keluarga, dan ada pulah yang memilih untuk bermitra dengan pedagang lainya.

Dokumen terkait