• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab Lima MEMBANGUN USAHA DI AKEDIRI. Peluang Usaha Dan Potensi Diri

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab Lima MEMBANGUN USAHA DI AKEDIRI. Peluang Usaha Dan Potensi Diri"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

MEMBANGUN USAHA

DI AKEDIRI

Peluang Usaha Dan Potensi Diri

 Peluang Usaha : Dorongan external Akediri Sebelum Rusuh

Dari letak geografis, desa ini diapit oleh dua sungai yakni, sungai Akelamo dibagian utara yang kini menjadi pembatas wilayah pemerintahan kecamatan Jailolo dengan Sahu Timur, sedangkan di bagian selatan oleh sungai Akediri. Desa ini terhampar di atas tanah datar yang luas dan subur di pedalaman Jailolo. Karena itu ketika Jepang menginjakan kaki di Halmahera khususnya di bagian barat pulau ini, mereka membangun pangkalan udara sebagai salah satu basis pertahanan udara pada dekade perang dunia kedua.

Setelah perang usai pangkalan udara ini kemudian dipakai sebagai penerbangan sipil, namun pada tahun 1954 diambil alih oleh AURI, kini TNI-AU hingga kini, kisah ini dituturkan oleh Maendels A. Nayoan1.

Pada awal terbentuknya desa Akediri tahun 1947, di wilayah ini selain kampung Akediri terdapat juga suatu perkampunngan masyarakat suku Tabaru, mereka adalah para pencari hasil hutan yaitu damar, komunitas ini berasal dari bagian Utara Halmahera Barat. Karena hasil hutan tersebut makin sulit didapat di wilayah mereka, akhirnya sekelompok komunitas suku ini migrasi ke arah selatan kini Halmahera Barat. Dalam perjalanan itulah kemudian mereka menetap dan membentuk suatu perkampung sendiri yang diberinama kampung Tobolot, komunitas ini dipimpin oleh salah seorang ‘Nyira’2.

1 Maendels A. Nayoan, adalah purnawirawan AURI, yang ditugaskan pada tahun 1974

untuk mendampingi tim pengukuran lokasi bandara Kuripasai di Akediri, Ia pensiun dari AURI pada tahun 1977, dan baru menetap di Akediri pada tahun 1980. Ia diwawancarai pada 9 Desember 2012.

2 ‘Nyira’ adalah sebutan lokal yang menunjuk pada jabatan sebagai kepala ‘kampong’

(2)

88

Tetapi pada tahun 1959 komunitas pengumpul hasil hutan ini meninggalkan Akediri dan kembali ke daerah asalnya di bagian Utara Halmahera, kisah ini dituturkan oleh Roy Bermula3 sekertaris desa Akediri.

Masih tentang Akediri, pada tahun 1957 pemerintah membangun satu markas militer angkatan darat setingkat kompi yakni Kompi ‘A’ Yonif 732 Banau, asrama ini baru dihuni pada tahun 1960. Berselang enam belas tahun kemudian pemerintah kembali membangun satu markas militer angkatan darat lagi tepatnya tahun 1976, dan baru pada 1978 di tempati oleh para serdadu, Kesatuan ini adalah Kompi ‘B’ Yonif 732 Banau yang dipindahkan dari pulau Bacan salah satu pulau di selatan Halmahera.

Dalam perkembangan kemudian tepatnya pada tahun 1982 Kompi ‘A’ di pindahkan dari Akediri ke desa Akelamo kecamatan Sahu, setelah markas yang baru untuk mereka selesai dibangun. Namun sebagian serdadu dari satuan itu masih menetap di markas tua mereka di Akediri dan itu berjalan hingga kini.

Dengan dibangunnya dua markas militer angkatan darat termasuk perumahan untuk para personil AURI di Akediri, lambat laun menempatkan desa ini tidak hanya sebagai tempat persinggahan ketika bertugas, tetapi ada juga yang kemudian memilih untuk menetap setelah pensiun dari tugas-tugas sipil maupun kemiliterannya. Kondisi demikian menjadikan desa ini sebagai desa yang plural, baik suku agama maupun profesinya juga beragam.

Menurut Marthen Tuli4 kepala desa Akediri, awalnya desa ini dihuni oleh komunitas adat suku Sahu, tetapi lambat laun telah menjadi tempat persinggahan dan perteduhan orang-orang dari berbagai suku diantaranya, suku Sangir, Manado, Ambon, Wayoli, Tabaru, Loloda, Jawa, Gorontalo, maupun suku Buton.

Mereka ini terdiri dari berbagai latar belakang pekerjaan maupun agamanya. Selain komunitas suku Tabaru, secara masal

3

Roy Bermula, adalah Sekertaris desa Akediri, yang bersangkutan di wawancarai pada,

10 Desember 2012.

(3)

89 perpindahan suatu komunitas suku ke desa ini terjadi pada tahun 1976, mereka itu adalah komunitas suku Makian yang hingga kini menetap dan beranak-pinak di Akediri. Komunitas suku lain yang cukup menonjol tidak hanya karena jumlahnya, melainkan kumpulan mereka yang terkonsentrasi pada salah satu Rukun Tetangga (RT) tenar disebut kampung sanger, hal ini indentik dengan suku yang mendiami wilayah pemerintahan tersebut, tegas Roy Bermula (Wawancara, 10 Desember 2012).

Melihat pluralitas suku dari penduduk yang ada di Akediri, hal itu berimplikasi pada ragamnya perkerjaan yang digeluti, termasuk aliran-aliran agama yang dianut. Menurut Roy Bermula, jumlah penduduk desa Akediri sebelum konflik terjadi, tercatat sebanyak 1648 jiwa yang terdiri dari 307 kepala keluarga (Wawancara,10 Desember 2012). Dengan jumlah penduduk yang ada, desa ini kemudian diorganisir ke dalam 10 Rukun Tetangga (RT).

Dari jumlah penduduk yang ada, terdapat satu Kompi militer TNI-AD yakni Kompi ‘B’ kini menjadi Kompi Bantuan, dan sebagian anggota kompi ‘A’ yang markas komandonya berada di Akelamo kecamatan Sahu yang kini berrubah menjadi Kompi ‘B’. Di sini juga terdapat purnawirawan sipil dan militer AURI (TNI-AU), TNI-AD, dan juga terdapat anggota POLRI, Pegawai Negeri Sipil, swata, wirausaha, dan petani.

Hasil pertanian yang utama dari desa ini adalah, kopra (kelapa asap), jagung, pala, kakao, dan cengkih. Sumber-sumber daya pertanian inilah yang menggerakan dan menghidupi perekonomian rumah tangga para petani di Akediri. Hal yang lazim ditemukan pada petani di Halmahera, termasuk petani di Akediri ialah, mereka tidak tunggal sebagai petani, tetapi ada juga yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan lain sebagai kegiatan sela ketika menunggu waktu panen, seperti menjadi tukang batu, atau tukang kayu.

Sebagai pegawai swasta ada yang bekerja pada bidang konstruksi bangunan baik pada CV atau PT lokal yang ada Sidangoli Jailolo Selatan Kabupaten Maluku Utara. Sedangkan sebagai wirausaha bidang usaha yang kerap dilakoni adalah menjadi pedagang kecil yang

(4)

90

menjajakan sejumlah kebutuhan pokok, seperti om Yon Flory, di samping itu Ia juga sebagai pengumpul hasil-hasil pertanian seperti kopra, pala, kakao, dan juga cengkih, dengkan kata lain sebagai folentir dari para pemilik modal.

Selain kelompok-kelompok profesi yang telah disebutkan di atas, salah satu kegiatan berdagang yang juga menjadi aktifitas sebagian warga desa Akediri, mereka ini disebut “dibo-dibo5”.

Dibo-dibo adalah istilah lokal yang menunjuk pada profesi sesorang sebagai pembeli dan penjual hasil-hasil kebun para petani seperti, pisang, ubi-ubian, sayur, cabai, tomat, maupun buah-buahan. Kelompok ini memiliki pasar yang luas, baik di Jailolo maupun ke Ternate, atau kewilayah-wilayah lain di Halmahera tergantung komoditi yang mau dipasarkan.

Seperti halnya pekerjaan, agama yang dianut penduduk Akediri, oleh Marthen Tuli (Wawancara, 1 November 2012) dan Roy Bermula (Wawancara, 10 Desember 2012), umumnya dikelompokan ke dalam dua golongan kepercayaan yakni musli dan kristen. Dari dua Kelompok ini, komunitas kristen lebih tinggi heterogenitasnya diantaranya, Kristen Protestan, Kristen Roma Katolik, Advent, Yehova, maupun kelompok Kristen Karismatik. Lanjut mereka berdua, dari jumlah penduduk yang ada prosentase kedua komunitas adalah sebagai berikut, untuk kelompok muslim 35 % dan komunitas nasrani 65 %, dari 1648 jiwa penduduk Akediri sebelum kerusuhan terjadi.

Akediri Paska Rusuh

Ketika konflik melanda semua desa-desa di Jailolo dan hampir meluas ke seluruh wilayah di Halmahera, hal itu memicu terjadinya perpindahan penduduk secara besar-besaran. Umumnya para pengungsi bemigrasi ke daerah yang dikuasai oleh golongan mereka. Situasi ini tidak terkecuali terjadi di Jailolo.

5 Dibo-dibo adalah istilah lokal, yang menunjuk pada profesi seseorang sebagai pembeli

dan penjual berbagai hasil-hasil pertanian, seperti sayur, cabai, tomat, buah-buahan, pisang, maupun ubi-ubian ke pasar tradisional, baik di Jailolo maupun ke Ternate atau ke wilayah lain di Halmahera.

(5)

91 Bagi komunitas muslim, mereka condong memilih wilayah pesisir pantai, karena desa-desa di wilayah ini lebih banyak dikuasai oleh penduduk yang beragama muslim, sehingga warga muslim yang berada di desa-desa pedalaman berbondong-bondong mengungsi ke wilayah tersebut, tetapi ada juga yang melanjutkan perjalanan ke Ternate maupun pulau-pulau lain yang penduduknya seagama dengan mereka.

Sebaliknya warga nasrani Jailolo yang ada di desa-desa pantai, memilih untuk mengungsi ke desa-desa bukan pantai yang dikuasai oleh saudara-saudara mereka yang seiman. Dari percakapan dengan para informan, tujuan pengungsian yang utama bagi warga nasrani dan sebagian warga muslim Jailolo, khususnya desa Akediri dan Acango mereka lebih memilih mengungsi ke markas militer yang ada di desa Akediri. Selain markas militer di Akediri, para pengungsi juga berlindung di tangsi para serdadu yang berada di desa Akelamo kecamatan Sahu timur yakni, Kompi ‘A’ Yon 732 Banau kala itu.

Menurut Roni Muluwere (Wawancara,7 Desember 2012) jumlah pengungsi yang tercatat baik yang ada di dalam tangsi militer maupun yang ada disekitar permukiman penduduk desa Akediri semuanya berjumlah 13 ribu jiwa, jumlah ini terdiri dari dua golongan kepercayaan yakni kristen sebanyak 90 % dan muslim 10 %. Menyadari jumlah pengungsi yang demikian banyak di desa Akediri, oleh sebagian orang dilihat sebagi potensi untuk membangun usaha, sekalipun disadari memiliki resiko yang cukup tinggi, sebab konflik dapat saja terjadi.

Setelah terjadi pemulangan pengungsi sejak tahun 2002, ada yang memilih untuk menetap di Akediri sehingga jumlah penduduk saat ini telah mencapai 2000 jiwa yang terdiri dari 400 kepala keluarga tutur Roy Bermula sekertaris desa Akediri (Wawancara,10 Desember 2012).

Dari tujuh orang pedagang kecil yang diwawancarai, empat orang diantaranya merupakan saksi sejarah dan sekaligus korban dari

(6)

92

onflik Jailolo, mereka itu adalah om Samuel Flory, ‘bu’6 Damis Pasuma, Ibu Rohani M. Ahmad dan tante Ratna. Sedangkan tiga orang lainya menetap dan membangun usaha di Akediri paska konflik. Ketiga orang itu adalah om Ibrahim, Alimin Sabri, dan Ibu Safiani Ode.

Menarik apa yang dituturkan oleh om Yon, begitu sapaan akrab untuk om Samuel Flory7. Menurutnya, Ia membangun usaha di Akediri sudah sejak dari tahun 1986, sebagai warga masyarakat om Yon tercatat sebagai warga desa Tedeng dan menetap di desanya, tetapi di lain pihak Ia tercatat sebagai warga Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH) Jemaat Ebenhaezer Akediri, pada hal di desanya juga terdapat aliran gereja yang sama.

Ia memilih Akediri kala itu sebagai tempat untuk berdagang, didasarkan pada pertimbangan bahwa desa ini memiliki potensi pangsa pasar yang besar, dimana terdapat dua tangsi militer Angkatan darat. Satu satuan setingkat Kompi Infantri TNI-AD seperti kompi ‘B’ terdiri dari 134 anggota, di tambah sebagian anggota Kompi ‘A’ yang berada di asrama tua mereka di Akediri sehingga total berjumlah 164 anggota, menurut Roy Bermula jika ditambah dengan anggota keluarganya diperkirakan mencapai 200 jiwa (Wawancara, 10 Desember 2012).

Sedangkan keluarga para purnawirawan militer dan sipil AURI yang tersisa 13 dari 25 kepala keluarga yang ada di Akediri. Dengan demikian menjadikan desa ini berpotensi, bukan hanya karena jumlah jumlah penduduk yang banyak, tetapi memiliki keluarga dengan kestabilan pendapatan yang terbilang besar jumlanya. Selain itu menurut om Yon Flory, desa ini berada di jalur utama perlintasan manusia dan distribusi barang ke kecamatan Sahu maupun Ibu dan Loloda, jika melalui jalan darat dari dan ke Jailolo.

Di sini juga terdapat 2 sekolah dasar negeri, 1 SD dan 1 SMP Advent, dimana peneliti menamatkan pendidikan dasar enam tahun pada lembaga pendidikan dasar yang terakhir disebutkan. Kini juga

6 Kata ‘bu’ adalah sapaan terhadap orang yang lebih tua atau di tuakan, khususnya

untuk laki-laki, dan merupakan padanan dari kata ‘usi’ sapaan untuk perempuan.

(7)

93 telah di bangun 1 SMK. Desa Akediri merupakan desa pertama di bagian utara perbatasan antara kecamatan Jailolo dan Sahu ketika itu.

Desa ini berada tepat di jalur utama dari pertemuan dua arus perlintasan manusia dan barang, jika melalui jalur darat baik dari kecamatan Sahu maupun dari wilayah Ibu dan Loloda. Tentu akan melalui atau menyinggahi ‘kampung’ (desa) ini jika bepergian ke Jailolo pusat ibu kota kecamatan, maupun ke Ternate atau wilayah–wilayah lain di Halmahera. Begitu sebaliknya jika perjalanan berawal dari Jailolo menuju ketiga wilayah kecamatan di bagian utara Halmahera Barat, akan melintasi desa ini.

Ketika konflik terjadi dan Akediri menjadi salah satu sentra pengungsian yang padat di pedalaman Jailolo, hal itu di lihat oleh om Yon Flory sebagi berkat dan kesempatan. Baginya penambahan penduduk yang cukup signifikan di Akediri menjadikan desa ini memiliki potensi pasar yang besar untuk berinfestasi. Penduduk dan pengungsi yang banyak, tidak sebanding dengan pedagang yang tak lebih dari enam orang pedagang dan satu koperasi kompi. Memang ketika kerusuhan terjadi usaha om Yon terhenti, bahkan barang dagangan mereka habis terpakai, baik untuk keperluan pribadi maupun untuk mendukung logistik aktifitas posko pengungsi yang terbentuk di desa Akediri ketika itu, tutur om Yon Flory (Wawancara,23 Januari 2013).

Cerita yang sama juga dikisahkan oleh ‘bu’ Damis Pasuma8. Sebelum rusuh Ia adalah warga desa Hoku-hoku Kie, namun ketika konflik terjadi awalnya mereka mengungsi ke desa Tosoa kecamatan Ibu, dengan hanya berbekal beberapa potong pakaian, perhiasan emas, dan surat-surat berharga yang mereka miliki. Tak lama bertahan di Tosoa, akhirnya mereka memilih kembali ke Akediri, di tengah pengungsian di Akediri inilah keinginan untuk membangun usaha akhirnya terwujud dan bertahan hingga kini.

Menurut pengakuanya dorongan itu berangkat dari kenyataan bahwa Akediri sebagai tempat pelarian dan berlindung memiliki

(8)

94

potensi usaha yang besar, sebab dari jumlah pengungsi yang ada hal itu tidak sebanding dengan pelaku usaha yang menyediakan kebutuhan pokok ribuan orang di Akediri ketika itu. Sehingga, selain untuk menjamin ketersedian kebutuhan pokok sendiri, usaha dagang yang dijalankannya diharapkan dapat menjadi sumber pendapatan yang menopang ekonomi keluarganya.

Begitu juga dengan Ibu Rohani M. Ahmad9, Ia memulai usaha di Akediri ketika konflik terjadi dan berjalan hingga kini. Karena suaminya adalah seorang Tentara yang bertugas di Kompi ‘B’ Yon 732 Akediri, hal ini sangat memudahkan mereka beraktifitas, karena menguasai akses baik ke Jailolo maupun ke Ternate. Posisi inilah yang di manfaatkan oleh mereka berdua untuk membangun usaha. Lebih lanjut Ibu Rohani menceritakan bahwa, ketika suaminya diminta oleh pimpinan untuk mengurus barang-barang koperasi ke Tentara, Ia sering dititipkan untuk membelanjakan berbagai kebutuhan hidup warga pengungsi, termasuk dimintai mengrus gaji para pegawai baik sipil maupun militer, serta tunjangan para pensiunan.

Umumnya mereka menitipkan bahan pangan baik untuk keperluan pribadi maupun sebagai barang dagangan. Berangkat dari kenyataan inilah akhirnya mereka berpikir untuk membelanjakan berbagai kebutuhan yang diperlukan para pengungsi maupun warga yang ada di Akediri untuk dijual kembali. Singkatnya posisi mereka ketika itu tidak hanya sebagai pedagang eceran, melainkan telah menjadi agen bagi beberapa pedagang kecil yang ada di Akediri, hubungan kerjasama ini masih berlanjut hingga kini.

Kisah selanjutnya ditututkan oleh tante Ratna10, karena suaminya telah memasuki masa persiapan pensiun (MPP) sebagai Tentara saat itu, mereka kemudian berpikir bahwa dengan adanya peluang pasar yang ada di Akediri sebaiknya membangun usaha sembako. Selain sebagai langka antisipasi untuk menjamin kebutuhan sendiri jika terjadi ketidak stabilan keamanan, usaha itu diharapkan bisa menjadi kegiatan alternatif yang bisa menghasilkan uang sebagai

9 Wawancara dengan Ibu Rohani M. Ahmad, pada 25 Januari 2013.

(9)

95 pemasukan tambahan ketika suaminya pensiun dari tugas ketentaraanya.

Dengan melihat besarnya peluang usaha yang ada di Akediri, akhirnya tante Ratna bersama (almarhum) om Agus Salondo suaminya memutuskan untuk terjun ke dunia usaha sebagai pedagang kebutuhan sembilan bahan pokok (sembako).

Besarnya peluang usaha di Akediri paska kerusuhan, ternyata terdengar sampai ke luar wilayah ini, bukan saja bagi mereka yang sudah perna menginjakan kaki di desa ini, melainkan mereka yang belum mengenal pun dibuat bergegas datang dan mengadu keberuntungan dagang di desa ini. Dari ketiga orang yang membangun usaha di Akediri setelah konflik tejadi, mereka juga mempunyai cerita tersendiri terkait desa ini.

Alimin Sabri11 misalnya, Ia berasal dari Gorontalo dan sejak tahun 1990 mengikuti saudaranya yang telah duluan berdagang di Ternate. Selain berjualan di Ternate, pada setiap bulan Desember Alimin bersama saudaranya berjualan ke Tobelo, pusat kekristenan di Halmahera.

Namun setelah konflik usai, Ia tidak memilih ke Tobelo melainkan ke Jailolo, dan tempat yang dituju adalah desa Akediri. Menurutnya peluang usaha di Akediri Ia dengar dari cerita teman-temannya yang telah duluan berdagang di Akediri.

Berbekal informasi itulah akhirnya Alimin Sabri bersama istri dan kedua anaknya berangkat ke Jailolo dan menetap di Akediri untuk memulain usaha. Awalnya sebagi pedagang aksesoris perhiasan kecantikan. Tetapi kini Ia telah merambah ke usaha penjualan produk-produk tatarias, maupun bisnis pulsa. Selain itu ia juga mengawasi salah satu tokoh perabotan rumah tangga milik tetangga yang dipercayakan untuk Ia dikelola, sehingga dari kegiatan itu Alimin juga memperoleh tambahan penghasilan.

(10)

96

Seperti Alimin, demikian juga dengan Aba, sapaan untuk om Ibrahim salah satu pedagang asal Gorontalo yang menjalani usaha penjualan pakaian di Akediri. Dari ceritanya diketahui bahwa Ia sudah cukup malang melintang membangun usaha baik di Ternate, Tobelo maupun beberapa daerah di Halmahera. Ia juga pernah membangun relasi dengan pedagang di pasar Jailolo jauh sebelum kerusuhan terjadi.

Tetapi pada paskah konflik tepatnya pada tahun 2001 Ia berusaha masuk ke Akediri melalui perantara aparat keamanan dan akhirnya menetap di dalam lingkungan militer. Sebelum menetap dan berjualan di Akediri terlebih dahulu om aba berjualan di Kecamatan Ibu suatu wilaya di bagian utara Halmahera Barat, yang dikuasai oleh komunitas nasrani ketika rusuh. Tetapi tidak lama kemudian Ia memutuskan menetap dan berjualan pakaian di pasar Akediri.

Cerita lain juga datang dari Ibu Safiani Ode12. Sebelum kerusuhan Ia sudah pernah tinggal di Akediri pada saudara laki-laki ibunya, tetapi ketika kondisi makin memanas di akhir tahun 1999 mereka akhirnya mengungsi ke Jailolo dan kemudian ke Tidore hingga Ia menamatkan sekolah menengah umum (SMU) di kota itu. Setelah menikah dan ketika suaminya beralih tugas dari pasukan tempur di Kompi ‘B’ Akediri dan masuk sebagai anggota Koramil Sahu, Ia kemudian memutuskan untuk berjualan alat perabotan rumah tangga.

Keputusan ini diambil karena orang tua kandungnya ketika usai rusuh mereka pernah berjualan di rumah saudara ibunya yang ada di Akediri, dimana Ibu Safiani Ode pernah tinggal sebelum terjadi kerusuhan, tetapi tak lama berjualan orang tuanya pindah dan berjualan di Pasar Jailolo.

Melihat tempat usaha dan jaringan konsumen yang ditinggalkan orang tuanya, Ia akhirnya memutuskan untuk melanjutkan usaha di tempat itu pada 2005, keputusannya untuk berdagang perabotan alat rumah tangga mendapat dukungan dari

(11)

97 orang tuanya, sehingga mereka kemudian memberikan modal usaha dalam bentuk barang perabotan rumah tangga.

Berdasarkan cerita ketujuh pedagang kecil tersebut, nampaknya mereka memiliki pandangan yang sama, bahwa Akediri memiliki pangsa pasar yang tinggi. Selain karena jumlah penduduknya banyak, desa ini juga menjadi tujuan pengungsian bagi warga kristen, maupun muslim sekalipun hanya sebagian kecil.

Dengan letaknya yang starategis berada di jalur utama perhubungan darat di Halmahera Barat, menjadikan desa ini dilalui dan disinggahi banyak orang.

Rasa Aman, Kebutuhan Dan Hak Warga Negara

Setiap orang tentu menginginkan situasi aman, untuk aktifitas apapun termasuk usaha dagang. Untuk alasan itulah akhirnya Akediri menjadi tujuan pengungsian banyak orang ketika kerusuhan terjadi. Alasan ini tentu tidak lepas dari keberadaan alat keamanan negara yang ada di desa ini yaitu Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat.

Memang ketika rusuh komunitas nasranilah yang lebih dominan mengungsi ke desa ini, namun di sini juga terdapat warga muslim baik penduduk desa Akediri maupun dari desa tetangga Acango, sekalipun jumlahnya terbilang kecil, tak lebih dari 10 % dari 13 ribu pengungsi yang ada di Akediri, tutur Roni Muluwere (Wawancara,10 Desember 2012).

Menurut BM13, ketika Ia membawa sejumlah warga nasrani Bukumatiti untuk mengungsi ke tangsi militer yang ada di Akediri, mereka disambut baik oleh komendan Kompi ‘B’ Yon 732 Banau. Menurutnya mereka mendapat jaminan keamanan selama berada di dalam lingkungan militer, maupun ketika mereka memiliki keperluan di luar asrama yang membutuhkan pengawalan. Katanya sambil menirukan Komendan Kompi ‘B’ Yon 732 Banau

13 BM adalah inisial identitas informan, Ia adalah salah satu tokoh masyarakat di

(12)

98

... “Soal pengamanan, mulai dari sepanjang kali (sungai) Akediri, itu hak anggota saya untuk menembak mati, apabila ada pihak-pihak yang menyerang”,.. (Wawancara,7 Desember 2012).

Begitu juga dengan bu Damis Pasuma (Wawancara,10 Mei 2012), awalnya mereka ke desa Tososa, tetapi mereka kemudian memilih kembali ke Akediri karena dekat dengan Asrama Tentara, alasannya jika terjadi penyerangan mereka lebih cepat mendapat perlindungan.

Dengan adanya hubungan yang baik antara pengungsi dan para serdadu di Akediri, hal itu sangat membantu aktifitas mereka. Kebutuhan para pengungsi yang tidak dapat diakses oleh mereka, hal itu dapat dibantu oleh oknum Tentara, jika harus ke wilayah yang dikuasai oleh komunitas muslim, mereka tentu dibantu oleh anggota tentara yang beragama muslim.

Menurut BR14 memang hubungan yang terjalin antara kedua pihak itu tak terhindarkan berimplikasi pada finansial, tetapi jasa para serdadu itu dengan sukarela dihargai dalam jumlah yang tidak ditentukan atau diminta oleh mereka. Hal ini sifatnya personal, khususnya bagi yang berdagang, jika menggunakan oknum tentara untuk berbelanja, baik ke Ternate atau Ke Manado.

Seperti bu Damis, ketika menggunakan tenaga salah satu anggota tentara untuk berbelanja ke Manado, ada imbalan jasa yang diberikan, tetapi hal itu tidak ditentukan besaran biayanya, melainkan kerelaan, tegas bu Damis Pasuma (Wawancara, 10 Mei 2012).

Jika terjadi penyerangan para pengungsi dan warga desa Akediri, sesegara mungkin berlindung di markas para serdadu, dan dengan sigap pihak keamanan menghalau dan mendesak mundur para laskar jihad yang menyerang itu. Demikian tutur BR (Wawancara, 2 November 2012)

14 BR adalah inisial identitas informan, Ia merupakan salah satu perangkat

(13)

99 Kebutuhan akan rasa aman bukan saja hal yang manusiawi, tetapi lebih dari itu merupakan kebutuhan dan hak warga Negara, sebagaimana di tegaskan oleh om Yon Flory, bahwa negara ini menjamin kebebasan dan member rasa aman. Setiap orang berhak untuk tinggal di mana yang Ia kehendaki, dan berdagang di mana saja (Wawancara, 26 Januari 2013). Karena di Akediri orang merasa aman, ada aparat dan mereka tidak memihak, menyebabkan orang berbondong-bondong dating ke Akediri, bukan saja orang nasrani, tetapi juga terdapat orang muslim.

Sehingga, ketika kekerasan sektarian terjadi di Jailolo baik komunal atau perorangan mereka berusaha mencapai wilayah yang dirasa paling aman untuk berlindung. Bagi komunitas muslim mereka lebih memilih ke wilayah pesisir, atau ke Ternate. Sedangkan warga nasrani yang berada di pesisir pantai lebih memilih ke Akediri, selain sebagai wilayah yang dikuasai oleh komunitasnya, di sini juga terdapat perangkat alat keamanan negara yang diharapkan dapat meberikan perlindungan.

Hal lain yang tak kalah pengaruhnya adalah solidaritas masyarakat Akediri, baik muslim dan Kristen. Menurut Marthen Tuli Kepala desa Akediri, keberadaan pasar ini, telah memberi nilai tambah bagi masyarakat. Selain mudahnya akses untuk memenuhi berbagai kebutuhan rumah tangga, keberadaan pasar ini telah memberi ruang bagi masyarakat untuk melakukan aktifitas dagang. Sayur-sayuran hasil kebun mereka dapat dijual langsung ke pasar, begitu juga dengan pedagang kue maupun, ibu-ibu pedagang sayur matang (sayur yang sudah dimasak), (Wawancara,1 Desember 2012).

Dampak ekonomis yang dirasakan penduduk Akediri, menyadarkan mereka akan pentingnya menjaga stabilitas keamanan. Karena itu menurut Kepala desa Akediri, baik warga maupun aparat pemerintah desa bahu membahu menjaga keamanan dan kenyamanan di Akediri. Sehingga dagangan para penjual sayur dan ikan, yang ditinggalkan di tenda-tenda tempat jualan tidak dicuri atau dibongkar orang, walau hanya dibungkus dengan terpal, atau dalam box penyimpanan ikan (Marthen Tuli. Wawancara,1 Desember 2012).

(14)

100

Memang bukan berarti tidak pernah terjadi pencurian di pasar ini kata Roy Bermula Sekertaris desa Akediri, pernah terjadi pencurian pakaian yang dilakukan oleh Sius Bukuru salah satu pemuda desa ini. Ketika diketahui bahwa pelaku pencurian adalah pemuda Akediri, pelaku tersebut dihajar oleh rekan-rekan pemuda dan warga desa lainya, sebelum akhirnya diserahkan kepihak pemerintah desa. Sejak peristiwa tersebut, sampai hari ini belum terjadi pencurian, atau tindak kejahatan lain yang meresahkan pedagang, tegas Roy Bermula (Wawancara, 2 November 2012).

Seperti Abdul Malik pedagang pakaian asal Gorontalo, menurutnya kebersamaan meraka dengan penduduk di Akediri sudah sangat akrab. Lebih lanjut Ia katakan bahwa sejak berdagang di Akediri, mereka turut berpartisipasi baik dalam bentuk tenaga atau memberi sumbangan, baik untuk kegiatan desa maupun keagamaan (Wawancara,1 November 2012).

Kondisi inilah yang memungkinkan aktifitas perdagangan dapat tumbuh dan bertahan di desa Akediri sampai saat ini.

 Potensi Diri : Dorongan internal pembangun usahaPemenuhan Kebutuhan Hidup

Untuk tetap survive, setiap manusia akan mengusahakan sesuatu bagi dirinya, baik untuk kepentingan pribadi, atau kelompoknya. Entah pada kondisi aman atau pada situasi yang genting. Konflik yang terjadi di Jailolo telah menyebabkan perpindahan penduduk secara spontan dan tak terduga, sehingga telah menimbulkan berbagai persoalan bagi dirinya sendiri.

Situasi yang kacau dan tidak menentu itu berdampak pada aktifitas perdagangan khususnya di Jailolo dan Maluku Utara pada umumnya. Kehidupan di pengungsian merupakan situasi yang tidak menyenangkan, karena memiliki banyak keterbatasan. Waktu beraktifitas tak seperti sebelumnya, kebutuhan makin mendesak tetapi tidak memiliki daya beli karena tak punya pendapatan.

Memiliki uang, tetapi barang kebutuhan konsumtif rumah tangga terbatas,juga langka bahkan tidak ada. Kalau pun ada harganya

(15)

101 sangat tinggi, intinya ketersedian bahan kebutuhan hidup tak sebanding dengan jumlah permintaan yang ada.

Di tengah desakan kebutuhan hidup inilah, akhirnya mendorong para informan memutuskan untuk membangun usaha dagang di Akediri. Berikut kisah-kisah mereka diceritakan seperti berikut ini. Beginilah bu Damis Pasuma mengisahkan perjalanan mereka ketika tergusur dari kampung halaman Hoku-hoku Kie. Dengan hanya berbekal beberapa potong pakaian, sejumlah perhiasan emas, dan beberapa surat-surat berharga lainya.

Awalnya mereka mengungsi ke desa Tosoa di wilayah Ibu Selatan. Setelah beberapa waktu di sana akhirnya bu Damis memutuskan kembali ke Akediri. Kehidupan di Tosoa cukup tenang, tetapi peluang usahanya kecil karena desa tersebut terpisah jauh dari pusat pemerintahan, akhirnya mereka meilih kembali ke Akediri, sebab baginya prospek usaha ketika itu sangat besar di Akediri (Wawancara,10 Mei 2012).

Menurut bu Damis, saat itu permintaan sangat tinggi tetapi ketersediaan kebutuhan yang di perlukan terbatas di pusat pengungsian yang ada di Desa Akediri. Usaha yang mereka tekuni sejak memutuskan memulai usaha dagang di Akediri adalah bisnis sembilan bahan pokok (sembako), seperti beras, gula, sabun dan berbagai kebutuhan konsumtif rumahtangga. Pilihan untuk berdagang sembako, hal itu didasarkan pada pertimbangan bahwa hidup di daerah konflik, rentan terhadap berbagai kebutuhan dasar rumah tangga.

Persedian kebutuhan konsumtif rumah tangga yang terbatas, eksodusnya pelaku usaha besar, menyebabkan suplai berbagai kebutuhan hidup makin sulit didapatkan, dan kalaupun ada, harganya telah melambung tinggi dari harga normal ketika itu.

Contohnya, harga gula pasil per satu kilo gram normalnya Rp 8000, ketika konflik menjadi Rp15.000 – Rp 20.000 kata bu Damis Pasuma (Wawancara,10 Mei 2012). Konflik yang kerap kali terjadi baik di darat maupun penembakan dan penghadangan di laut oleh pihak muslim, menyebabkan pelayaran ke Manado dan Bitung menjadi

(16)

102

perjalanan yang penuh beresiko, jika tidak mendapat pengawalan dari pihak keamanan.

Dengan kondisi yang demikian itulah, akhirnya distribusi barang menjadi terhambat, sehingga memicu kelangkaan dan menaikan berbagai kebutuhan ketika itu.

Karena itu memilih usaha sembako didasarkan pada dua alasan mendasar yakni, pertama-tama untuk menjamin ketersedian sejumlah kebutuhan, dimana kalau terjadi penyerangan mereka tentu memiliki persedian kebutuhan rumah tangga. Selain itu, berdagang sembako juga merupakan langkah alternatif untuk mendapatkan uang, pilihan atas usaha dipandang perputaranya cepat dan memiliki keterkaitan langsung dengan kebutuhan sehari-hari ribuan orang yang ada di Akediri maupun desa-desa tetangga lainya, demikian kata bu Damis Pasuma (Wawancara,10 Mei 2012).

Langkah serupa juga ditempuh oleh tante Ratna. Ketika kekacauan merata terjadi pada desa-desa di Jailolo dan sekitarnya, hal itu menyebabkan perhubungan laut dan darat terhenti, dan hanya bisa di lalui oleh kalangan dan kelompok tertentu yang menguasai wilayah-wilayah dimana mereka tempati. Keadaan ini terjadi pada saat suaminya mendekati Masa Persiapan Pensiun (MPP) dari dinas kemiliteran. Untuk sampai mendapatkan tunjangan pensiunan hal itu membutuhkan waktu tunggu satu sampai tiga bulan. Mengantisipasi kondisi itu tante Ratna dan om Agus memutuskan untuk memulai bisnis sembilan bahan pokok (sembako).

Seperti pedagang lainya, tante Ratna dan suaminya juga memiliki pertimbangan bahwa bisnis sembako yang akan mereka jalani ini, selain sebagai suatu kegiatan alternatif untuk menciptakan pendapatan dan mengisi hasi-hari purna tugas suaminya, bisnis ini juga sebagai langkah pengamanan kebutuhan dasar konsumtif keluarganya jika konflik terjadi (Wawancara,25 Janari 2012).

Pernyataan sama juga dikemukakan oleh om Yon sapaan akrab untuk om Samuel Flory. Bisnis yang Ia jalani selain sebagai sumber pendapatan keluarga, usaha sembako juga merupakan strategi untuk

(17)

103 menjamin kebutuhan keluarganya. Lanjut kata om Yon Flory, konflik telah memberi pelajaran bahwa jika tidak mempunyai persedian kebutuhan dasar rumah tangga yang cukup mereka akan kesulitan. Ketika kekacauan terjadi, semua aktifitas akan terhenti dan itu berpengaruh terhadap distribusi barang.

Belum lagi faktor cuaca, pasokan barang-barang dagangan yang hanya bisa dilakukan melalui perhubungan laut, pada waktu-waktu tertentu kapal motor tidak bisa berlayar, apalagi harus menyinggahi pelabuhan alam di desa Adu kecamatan Ibu selatan, proses bongkar muat barang menjadi beresiko karena tidak ada dermaga permanen, sehingga harus menggunakan perahu kecil untuk bisa mencapai kapal motor yang mengapung 100-200 meter dari tepi pantai.

Kondisi demikian tentu sangat beresiko baik terhadap penumpang maupun aktifitas bongkar muat barang, demikian kata om Samuel Flory (Wawancara,26 Januari 2012).

Konflik yang merembet hampir ke seluruh pelosok Maluku Utara, ternyata memberikan dampak yang sama bagi om Ibrahim yang kala itu menetap dan berdagang di Ternate (Jailolo,26 Januari 2012) maupun Alimi Sabri (Wawancara,26 Januarii 2012), dan sebagai pedagang musiman di beberapa wilayah di Halmahera, seperti ke Tobelo, Buli, weda maupun ke Morotai.

Konflik menyebabkan mereka kehilangan peluang usaha dan makin terdesak di Ternate. Dengan adanya kedatangan ratusan ribu pengusi dan menyebar di kota itu, telah memaksa mereka berdua keluar dan mencari wilayah baru yang lebih potensial untuk berdagang.

Om Aba misalnya, selain dampak konflik yang menyebabkan Ia didesak oleh pemilik bangunan tersebut untuk keluar dari toko yang mereka kontrak untuk berjualan, pada situasi yang hampir bersamaan Ia harus menghadapi perceraian dengan istrinya. Inilah dua peristiwa yang akhirnya mendorong om Aba memutuskan untuk migrasi ke Jailolo.

(18)

104

Perceraian dan kehilangan tempat usaha memaksa om Aba harus menjejaki wilayah usaha baru, agar tetap mempunyai pendapatan dan mampu memenuhi kebutuhan hidup, dengan berbekal pembagian harta dari usaha bersama istrinya. Sekalipun om Aba mendapat bagian yang katanya tak adil, Ia berusaha menerima dan bermigrasi ke Jailolo untuk mencoba pertungan di pasar Akediri, setelah terlebih dahulu berjualan di kecamatan Ibu (Wawancara,26 Januari 2012)

Seperti om Aba, desakan hidup di Ternate yang terasa makin menghimpit, akhirnya membawa Alimin Ibrahim bersama istri dan anak-anaknya migrasi ke Akediri. Kehidupan di Ternate kata Alimin, Ia hanya menjual barang milik saudaranya, tetapi ketika di Akediri Ia akhirnya bisa memiliki usaha sendiri, sekalipun masih mengontrak tempat usaha.

Walau sebagian barang dagangannya adalah milik majikan tempat Ia mengambil barang jualan di Ternate, bisnis pulsa penjualan pulsa yang Ia lakoni merupakan usaha yang didanai dengan modalnya sendiri (Wawancara,26 Januari 2012).

Apa yang dilakukan oleh Alimin hendak menunjukan bahwa, upaya memenuhi kebutuhan hidup akhirnya mendesaknya untuk terus mencari peluang-peluang usaha baru, agar tetap memiliki pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Pengalaman-pengalaman yang dituturkan para informan itu, menunjukan bahwa keputusan untuk membangun usaha dagang di Akediri, tidak dapat dilepaspisahkan dari dorongan internal yakni pemenuhan kebutuhan hidup, baik kebutuhan finansial maupuk kebutuhan dasar konsumtif rumah tangga. Perpaduan keduanya menjadi desakan yang tak mungkin diabaikan oleh mereka, sebab mereka benar-benar diperhadapkan pada kondisi rentan yang dialami masing-masing rumah tangganya.

Pentingnya Minat Usaha

Pengalaman jatuh bangun dalam menjalani usaha yang dituturan para informan, menunjukan bahwa minat tak dapat diabaikan dalam mejalani kegiatan apa pun. Ketuju informan yang

(19)

105 diwawancarai, semuanya telah berkeluarga, hal yang nampak umum terjadi adalah, minat untuk membangun usaha bisa berasal dari suami atau istri, atau sebaliknya dari keduanya. Seperti bu Damis Pasuma dan istrinya Doriana Tjira15 misalnya, yang akrab di sapa usi16 Teker. Minat berbisnis yang ada pada usi Teker, sudah terbentuk sejak Ia masih bersekolah di Sekolah Kejuruan Kepandaian Perempuan (SKKP) Ternate, disela-sela waktu luang usi Teker berjualan rokok dan kacang goreng di depan Bioskop Benteng Ternate.

Setelah menamatkan sekolah menengah umum Ia kembali ke Jailolo, sebelum menikah usi Teker juga sempat berjualan sembako di rumah orang tuanya. Ia menjalani usaha kecil-kecilan ketika itu adalah karena ingin mempunyai penghasil sendiri disamping kiriman dari orang tua ketika masih bersekolah, tutur usi Teker (Wawancara,10 Mei 2012).

Begitu juga dengan bu Damis Pasuma minat untuk berusaha juga nampak setelah Ia menikah, usaha yang digelutinya adalah bisnis pembelian kelapa buah dan juga bisnis kopra (kelapa asap), Ia bekerjasama dengan para pemodal, dan memilih sebagai pengumpul saja, dan tidak memilih untuk menampung di tempat tinggalnya. Hal ini Ia lakukan untuk menghindari resiko, katanya “lebih baik kumpul nota, dari pada tampung kopra jauh lebih ringan, nanti kalau nota sudah banyak baru dihitung sekalian”, demikian kata bu Damis Pasuma (Wawancara,10 Mei 2012).

Cerita yang sama juga disampaikan oleh Ibu Rohani M. Ahmad17. Menurut Ibu Rohani, minat berbisnis kental berada pada suaminya, sekalipun bertugas sebagai Tentara, ditengah-tengah kesibukanya sebagai Komendan Regu, Ia masih menyempatkan diri untuk berbisnis kayu olahan sebelum beralih ke bisnis sembako. Lanjut ibu Rohani, menirukan kata suaminya ... “ saya ini tidak bisa kalau hanya diam-diam saja”,... di mata ibu Rohani, pa Agus Susanto

15 Wawancara dengan Doriana Tjira, pada 10 Mei 2012

16 Kata ‘usi’ adalah sapaan terhadap orang yang lebih tua atau di tuakan, khususnya

untuk Perempuan.

(20)

106

mungkin mewarisi jiwa berbisnis dari ibunya yang berasal dari suku Buton, yang menikah dengan ayahnya dari suku Jawa.

Menurut pengakuan Ibu Rohani, minat berbisnisnya sudah tumbuh sejak mereka masih tinggal di dalam asrama tentara dan terlebih lagi setelah memiliki tempat usaha sendiri ketika keluar dari asrama, intinya minat berbisnis makin kuat ketika merasakan keuntungan dari berdagang.

Cerita yang tak kalah menarik datangnya dari om Yon Flory. Menurut om Yon, minat berusaha tidak dapat disangkali terbentuk dari kalangan keluarga, sebagai keluarga yang masih memiliki keturunan cina, mereka di didik dalam filosofi cina. Mengutip perkataan orang tuannya Ia menirukan begi :

... “ yang turunan orang cina, anak yang masih dalam kandungan itu, jangan dulu ajarkan dia kerja, tetapi ajari dia berhitung, sebab orang bisa bekerja tetapi kalau salah hitung akan susah”... ( Wawancara, 23 Januari 2013).

Dari apa yang di kemukan oleh om Yon, terlihat bahwa minat untuk membangun usaha dimilikinya sudah sejak kecil bahkan dipercaya sudah ditanamkan sejak Ia masih dalam kandungan. Keyakinan ini terbukti dengan kegigihanya menggeluti berbagai usaha dalam hidupnya. Tak tanggung-tanggung telah banyak bidang usaha yang Ia geluti, baik sebagai ‘dibo-dibo’, penjual sapi, makelar piring kuno, sebagai sub-kontraktor proyek bangunan infrastruktur pemerintah, bisnis kopra (kelapa asap), maupun menjalani usaha dagang sembilan bahan pokok (sembako) yang kini menjadi satu-satunya bisnis yang Ia kelola (Wawancara,26 Januari 2013).

Keputusan menjalani usaha yang dipengaruhi oleh minat yang kuat, juga dapat di lihat pada Ibu Safiani Ode18. Ia berasal dari keluarga pedagang, ayah ibunya berasal dari suku Buton. Baik sebelum kerusuhan maupun setelah kerusuhan mereka tetap berjualan pertama-tama di pasar Jailolo, kemudian pindah ke Akediri paska rusuh. Ketika menikah dengan prajurit dan tinggal di asrama Kompi ‘B’ Akediri, Ia

(21)

107 merasa tidak bebas untuk berbisnis. Tetapi setelah mereka keluar dari asrama tentara, karena suaminnya beralih tugas ke Koramil, Ibu Safiani merasa memiliki waktu yang cukup untuk menjalani usaha, momen ini dilihat sebagai peluang untuk mewujudkan minatnya memiliki usaha sendiri dan dapat meningkatkan pendapatan mereka (Wawancara,25 Januari 2013).

Tingginya peluang usaha yang ada disekitar kita, tidaklah cukup untuk menjamin kita dapat dengan mudah meraih sukses, melainkan hal itu juga membutuhkan minat yang kuat dari dalam diri untuk melakukan sesuatu.

Dari kesaksian mereka yang sukses membangun usaha, selalu terdapat minat yang kuat sebagai spirit yang menggerakan mereka untuk mencapai sukses.

Tentu minat yang kuat harus dibarengi dengan kesungguhan dan kerja keras, setiap kejatuhan dalam usaha sejatinya tidak sampai menenggelamkan usaha, melainkan harus bakit dan terus mencoba dan mencoba hingga menggapai hasilnya.

Pendidikan

Kita yang hidup di era kini, diperhadapkan pada kenyataan bahwa pendidikan telah menjadi jalan satu-satunya untuk mencapai sukses di berbagai bidang hidup. Sehingga orang dipacu untuk menempuh pendidikan formal, baik yang mengarah pada penguasaan skil tertentu, sehingga harus menempuh pendidikan kejuruan atau pada jenjang yang lebih umum.

Singkat kata pendidikan telah menjadi kunci untuk menggapai sukses, kalimat-kalimat yang sering terdengar dalam setiap promosi pendidikan. Pertanyaanya apakah benar bahwa pendidikan merupakan kunci sukses untuk menjalankan usaha.

Ini merupakan pertanyaan menarik jika direlevansikan ke dalam konteks pedagang kecil pasar di Akediri yang diwawancarai. Strata pendidikan para informan selengkapnya dapat dilihat dalam tabel berikut ini.

(22)

108

Tabel 2.

Daftar Jenjang Pendidikan Para Informan Pedagang Kecil Di Akediri

Data penelitian diolah 2013

Dari ketuju informan yang diwawancarai, diketahui bahwa pendidikan tertinggi adalah SMA sebanyak dua orang, dan SMEA hanya satu orang. Sedangkan yang berpendidikan setingkat SMP dua orang, dan dua orang lagi hanya berpendidikan SD, tetapi satu diantaranya tidak sempat menamatkan pendidikan dasar karena Ia hanya bisa samapi di kelas dua SD.

Seperti Alimin Sabari, di ketahui bahwa Ia tidak sempat menamatkan pendidikan SD, Ia hanya sempat duduk sampai di kelas dua. Pada tahun 1990 Ia mengikuti saudaranya ke Ternate, sebab mereka sudah duluan berdagang pakaian di kota ini. Menurut Alimin, pengetahuan berdagangnya Ia peroleh dari aktifitas yang Ia jalani setiap hari (Wawancara,26 Januari 2013).

Ketika masih berdagang mengikuti saudara-saudaranya, mereka juga menjelajahi potensi pasar di luar Ternate, dari pengakuanya Ia lebih banyak berjualan di Tobelo ketika Bulan Desember, karena

NO Nama Informan Status Pendidikan

SD SMP SMU SMEA 1 Ibrahim Suami * Istri *

2 Samuel Flory Suami * Istri * 3 Rohani M.

Ahmad

Istri * Suami * 4 Safiano Ode Istri * Suami * 5 Ratna Istri * Suami * 6 Alimin Sabri Suami * Istri * 7 Damis Pasuma Suami *

(23)

109 komunitas kristen lebih banyak di sana. Berbekal pengalaman yang ada Ia memberanikan diri masuk ke Akediri pada 2007, setelah mendengar bahwa wilayah ini memiliki potensi usaha yang tinggi, dari teman-teman yang sudah duluan menetap di desa ini (Wawancara,26 Januari 2013).

Begitu juga dengan om Yon Flory, Ia mengatakan walaupun dirinya hanya berpendidikan SD, tetapi Ia bisa menggeluti berbagai usaha. Baik dari berdagang cabai di pinggiran jalan hingga sampai bersentuhan dengan para pejabat, baik sipil maupun militer, kenangnya ketika masih menggeluti dunia kontraktor yang kerap mendapat pekerjaan yang disubkontrakan.

Filosofi hidup yang ditanamkan ayahnya sejak Ia masih kanak-kanak di maknai sebagai pelajaran berharga, yang membuat Ia terus mencari usaha yang tepat sebagai dasar untuk membangun dan mengokohkan ekonomi keluarganya. Karena itu setiap kegagalan yang Ia alami dijadikan sebagai pelajaran, dan memandangnya sebagai seni dalam berusaha (Wawancara,23 Januari 2013).

Dengan hanya berbekal pendidikan dasar menengah pertama, Ibrahim muda akhirnya memutuskan merentau meninggalkan kampung halamanya. Menurut om Aba sapaan akrab untuknya, Ia keluar dari Gorontalo menuju Manado itu pada tahun 1971, selama di Manado Ia bekerja sebagai kulih bangunan. Kemudian pada tahun 1984 Ia mengikuti teman-temannya ke Ternate, yang sudah lebih duluan berdagang pakaian di Ternate.

Usaha di Ternate lanjut om Aba, dapat dikatakan cukup mengguntungkan, katanya Ia bisa kontrak bangunan untuk buat toko, menangani sejumlah agen-agen penjualan di bawa bendera simpati bersama. Selain itu saya juga bekerja sama dengan pabrik minyak goreng Bimoli sebagai agennya, tetapi ketika bercerai dengan istrinya om Aba meninggalkan beberapa aset hasil usaha bersama pada mantan istri di Ternate yakni, tiga unit speed bood Harian star dan usaha sembako (Wawancara,26 Januari 2013).

(24)

110

Jika dikaitkan dengan pendidikannya, rasanya tidak sebanding dengan apa yang pernah Ia capai, kata om Aba. Kata om Aba sebelum memutuskan untuk menetap dan berdagang di Akediri, awalnya Ia menuju ke wilayah Ibu untuk berdagang pakaian, tetapi tidak lama di wilayah tersebut akhirnya om Aba kembali ke Akediri dan akhirnya menetap hingga kini.

Keberuntugan di Akediri tentu berbeda dengan di Ternate, tetapi itu semua tergantung bagaimana kita tekun, kata om Aba,dan bagaimana kita menjaga kepercayaan dalam menjalani setiap usaha. walau harus di akui bahwa ada banyak persoalan yang mesti di hadapi di pasar Akediri, tutur om Aba ketika itu (Wawancara.25 Januari 2013).

Bagi ibu Rohani, membangun usaha itu tidak tergantung pada tinggi rendahnya pendidikan kita. Ia dan suaminya hanya menamatkan pendidikan SMA, tetapi dengan pendidikan setingkat itu mereka dapat membangun dan mengembangkan usaha hingga sukses. Lebih lanjut Ia menegaskan bahwa hal itu hanya sederhana, yang penting punya minat, tekun, bergaul dengan orang dan menjaga kepercayaan. Intinya adalah :

,…“bisnis ini hanya menjaga mulut saja, kalau sudah janji lunasi tiga bulan kedepan ya, harus diusahakan” kata ibu Rohani (Wawancara,25 Januari 2013).

Pernyataan senada juga datang dari Ibu Safiani Ode, Ia dan suaminya hanya berpendidikan SMA. Ketika menikah dengan suaminya seorang Tentara dan tinggal di dalam Asrama Kompi ‘B’ Akediri, Ia merasa tidak mempunyai waktu untuk membangun usaha, Keinginan itu baru dapat tercapai ketika suaminya pindah tugas ke Koramil dan mereka keluar dari asrama.

Menurutnya tidak banyak yang Ia dapatkan dari pendidikannya, justru belajar dari orang tua dan keluargalah yang membuat Ia tertarik dan berani membangun usaha. Tegas Ibu Safiani Ode (Wawancara,25 Januari 2013).

(25)

111 Sebagai orang yang memiliki latar belakang ilmu manejemen, karena menamatkan pendidikan SMEA negeri di Ternate, bu Damis pernah dipercayakan sebagai pejabat kepala desa Hoku-hoku Kie, dan pernah bekerja pada koperasi simpan pinjam sebelum konflik terjadi.

Bagi bu Damis pengetahuan berdagang dan bagaimana bermitra dalam bisnis kopra, yang secara arif menghindari resiko dengan memilih mengumpulkan nota timbang dari pada menampung kopra, didapat melalui pengalaman-demi pengalaman yang Ia alami dalam usaha tersebut. Demikian tutur bu Damis Pasuma (Wawancara,10 Mei 2012).

Begitu juga dengan usi Doriana Tjira, atau yang akrab dipanggil usi Teker istri bu Damis Pasuma. Sejak menempuh Pendidikan keterampilan keperempuanan yang Ia dapat di bangku pendidikan SKKP, Ia sudah tertarik untuk melakukan sesuatu yang dapat menghasilkan uang. Dorongan untuk memiliki pendapatan sendiri untuk membantu biaya studinya di Ternate, waktu luang di malam hari Ia pergunakan untuk berjualan rokok dan kacang goreng di depan Bioskop Benteng Ternate.

Semangat dan pengalaman itulah yang Ia bawa sampai ke kampung halaman. Sebelum menikah usi Teker sudah memiliki usaha sendiri di rumah orang tuanya, Ia menjajakan sejumlah kebutuhan bahan pokok rumah tangga, seperti sabun, gula, garam, dan kebutuhan lainya di rumah orang tuanya. Setelah menika, usaha yang Ia rintis adalah bisnis ronti bakar, untuk membangun usaha ini Ia bahkan menggadaikan perhiasannya untuk mendapatkan modal usaha. Dari hasil penjualan roti, Ia kemudian merambah ke usaha pembuatan es mambo, usahan ini baru terhenti ketika rusuh terjadi, kata usi Teker (Wawancara, 10 Mei,2012).

Lingkungan keluarga : Belajar dari orang terdekat

Pengaruh lingkungan, baik lingkungan keluarga maupun lingkungan tempat tinggal terhadap pembentukan minat seseorang merupakan fakta yang tak jarang kita jumpai, sebagai pembentuk minat

(26)

112

khususnya dalam dunia usaha. Hal ini dapat kita temukan dalam ketuju informan yang peneliti wawancarai.

Seperti om Yon misalnya, dengan mengutip kata-kata orang tuanya, Ia hendak menegaskan bahwa jiwa usahanya diturunkan melalui keluarga dan itu tidak terlepas dari garis keturunan suku bangsa nenek moyang mereka yakni Cina. Kata-kata itu seperti berikut ini :

... “ yang turunan orang cina, anak yang masih dalam kandungan itu, jangan dulu ajarkan dia kerja, tetapi ajari dia berhitung, sebab orang bisa bekerja tetapi kalau salah hitung akan susah”...

...“ usaha seperti dagang ini, percaya anak sendiri saja itu mata buta sebelah, artinya kalau mata sebelah kanan buta, orang ambil di sebelah torang (kita) sudah tidak lia (lihat)... Nah kalau percaya orang lain itu berarti mata buta-dua-dua,... apalagi beli oto (mobil), itu laci satu orang bawa-bawa, torang tidak tau (kita tidak tahu) uang jatuh berapakah”... (Wawancara, 23 Januari 2013).

Dari kata-kata ini menunjukan bahwa, dalam menjalani usaha om Yon meletakan filosofi hidup orang Cina yang diturunkan oleh bapaknya sebagai spirit dalam berdagang. Karena itu sikap positif menanggapi kegagalan-kegagalan dalam usahanya hal itu dapat dipahami dari spirit, bahwa kegagalan yang Ia alami dalam usaha dengan melibatkan orang lain merupakan konsekuensi yang tak terbantahkan, yang sebenarnya sudah diingatkan bapaknya.

Saat ini om Yon hanya fokus menjalankan bisnis sembilan bahan pokok (sembako), dan pengelolaannya benar-benar ditangani oleh Ia dan istrinya, tenaga kerja hanya dilibatkan untuk urusan bongkar muat barang, dan sebagai pembantu rumah tangga. Selain lingkungan keluarga, keputusan membangun usaha di Akediri kuat dipengaruhi oleh lingkungan tempat berusaha, baik sebelum maupun setelah konflik terjadi.

(27)

113 Dengan adanya dua basis militer di desa ini, serta penduduk yang terbilang padat, menjadikan Akediri sebagai wilayah yang memiliki pangsa pasar yang tinggi, dan itu lebih signifikan terjadi paskah rusuh di Jailolo, kata om Yon Flory (Wawancara, 23 Januari 2012).

Dibesarkan dari keluarga pedagang perabotan alat rumah tangga asal Buton, membuat Ibu Safiani Ode, tak canggung ketika masuk ke dunia usaha. Sebelum rusuh orang tuanya sudah berjualan di pasar Jailolo, setelah konflik meredah dan aktivitas dagang terbentuk di Akediri orang tuanya memilih untuk berjualan di rumah milik adik iparnya. Ketika ibu Safiani menikah dan mereka tinggal di asrama Kompi ‘B’ Yonif 732 Banau, niat untuk berdagang sangat kuat bergelora, namun karena keterbatasan waktu, keinginan itu baru terwujud setelah mereka keluar dari asrama karena suaminya pindah tugas ke Koramil Sahu.

Niat untuk berdagang ternyata mendapat dukungan dari orang tuanya, mereka memberikan modal kepadanya dalam bentuk barang-barang dagangan. Dukungan lain juga diberikan oleh salah satu kerabat dekat keluarganya yang juga menjalani usaha yang sama, lewat pamanya itu Ia diperkenalkan dengan salah satu pengusaha di Ternate. Sehingga dari pertemuan itu akhirnya terbentuklah jalinan kerjasama.

Ibu Safiani kemudian dapat mengambil barang terlebih dahulu, dan baru membayarnya setelah barang sudah terjual. Menurut ibu Safiani hubungan kerjasama itu berjalan hingga kini. Selain dukungan keluarga, ternyata minat berusaha ibu Safiani juga di pengaruhi oleh lingkunganya, sebagai istri Tentara Ia memiliki teman-teman wanita yang cukup banyak di asrama maupun di Koramil. Jaringan konsumne antara mereka dengan orang tuanya sudah terbentuk, ketika orang tuanya kembali berjualan ke pasar Jailolo dan meninggalkan tempat jualan di Akediri. Hal itu dicermati oleh Ibu Safiani bahwa orang tuanya tidak meninggalkan tempat kosong, melainkan juga meninggalkan jejaring konsumen yang sudah terbentuk.

Karena itu ketika memutuskan untuk berjualan Ia memilih menempati tempat yang pernah ditempati oleh orang tuanya, sekalipun

(28)

114

harus berdampingan dengan saudara perempuanya yang kebetulan menekuni usaha yang sama. Dengan keyakinan bahwa konsumen milik orang tuanya dapat tetap terlayani dan tidak beralih tempat membelanjakan kebutuhan mereka.

Pendidikan rendah ternyata bukan penghalang bagi Alimin Sabri. Sekalipun tidak dibesarkan dari kedua orang tua yang bukan berprofesi sebagai pedagang, namun langkah untuk terjun ke dunia bisnis justru dipengaruhi oleh kerabat keluarga yang lain. Menurut Alimin, pada tahun 1990 Ia berangkat ke Ternate karena diajak oleh salah seorang sanak saudaranya, yang sudah duluan berjualan pakaian di Ternate. Selain berjualan di Ternate, mereka juga menyasar pasar Tobelo pada bulan Desember, sebab di wilayah itu dikuasai oleh komunitas nasrani.

Setelah konflik reda, Alimin akhirnya memilih untuk memulai usaha sendiri, dengan berbekal pengalaman yang ada, yang ia miliki ketika bersama-sama membantu usaha saudara. Merupakan modal untuk ikut teman-temannya yang lain berdagang ke Pasar Akediri. Sekalipun memutuskan untuk membangun usahanya sendiri hubungannya tidak terputus dengan saudaranya di Ternate, saat ini Alimin telah menjalin kerja sama dengan salah satu pengusaha asal Jawa, sehingga barang-barang dagangan semuanya ambil dari mereka, terkait pembayaran akan dicicil setelah barangnya laku terjual. Kata Alimin Sabri (Wawancara,26 Januari 2013)

Alimin juga memanfatkan saudaranya yang ada di Ternate sebagai perantara, untuk mengurus permintaan barang-barang yang Ia pesan untuk diambil pada langganannya, melalui saudaranya barulah barang-barang itu kemudian dikirim ke Akediri. Kerjasama ini masih terjalin hingga kini kata Alimin.

Jika om Yon, ibu Safiani dan Alimin Sabri, menuturkan kisah-kisah membangun usaha mereka tidak terlepas dari pengaruh maupun dukung langsung dari keluarga mereka. Hal berbeda tetapi memiliki kemiripan kisah yang terjadi pada bu Damis, tante Ratna, om Ibrahim, juga ibu Rohaini M. Ahmat, ketika mereka memutuskan untuk

(29)

115 membangun usaha. Menurut tante Ratna, Ia dan suaminya tidak berasal dari orang tua yang memiliki usaha, tetapi keputusan untuk berdagang, itu muncul karena adanya potensi usaha yang besar di Akediri tempat tinggal mereka.

Cerita yang sama juga datang dari bu Damis Pasuma. Menurutnya, selain desakan pemenuhan kebutuhan hidup, peluang usaha di tempat pengungsian yang ada di Akediri sangat besar, keadaan yang tidak stabil menyebabkan pengusaha besar tidak berani memasok berbagai kebutuhan hidup dalam jumlah besar.

Selain itu pengalaman berdagang sebelumnya, merupakan pengetahuan awal yang mendorong dan menuntun mereka ketika memutuskan untuk membangun usaha di Akediri. Inilah dorongan internal yang mendesak mereka terjun ke dunia usaha ketika itu.

Bagitu juga dengan ibu Rohaini M. Ahmat. Menurutnya, ketika itu suaminya yang bertugas sebagai Tentara di Kompi ‘B’ Yonif 732 Banau Akediri. Suaminya hanya menjabat sebagai komandan regu, dan ketika Ia diminta untuk membantu untuk mengurus barang-barang koperasi kompi ke Ternate hal itu dilihat sebagai peluang untuk membangun usaha.

Sejak itulah baik masyarakat maupun sesama anggota tentara khususnya yang nasrani menitipkan kebutuhan mereka untuk dibelanjakan ketika beliau ke Ternate. Karena makin banyak titipan, akhirnya mereka berdua memutuskan untuk membelanjakan sejumlah kebutuhan tahap demi tahap, hingga akhirnya semua kebutuhan dapat kami sediakan.

Dengan demikian mereka tidak lagi menitipkan barang untuk di belanjakan, melainkan beralih menjadi langganan, begitu kata ibu Rohaini (Wawancara,25 Januari 2013).

Nampaknya peluang usaha di Akediri juga terdengar oleh om Aba di Ternate, namun ketika memutuskan ke Jailolo Ia tidak langsung menetap di Akediri, melainkan Ia meneruskan perjalanannya ke kecamatan Ibu. Setelah mencoba keberuntungan di sana, akhirnya Ia

(30)

116

memilih kembali ke Akediri dan selanjutnya menetap untuk memulai usaha di desa ini.

Menurut pengakuannya, Akediri berada pada letak yang strategis, dimana mereka yang dari kecamatan Ibu, Loloda maupun Sahu pasti akan melalui desa ini jika datang ke Jailolo, begitu juga sebaliknya dari Jailolo menuju Sahu, Ibu atau Loloda.

Kalau berjualan di Ibu misalnya tidak mungkin orang dari Jailolo atau Sahu akan ke sana, inilah yang menyebabkan om Aba memutuskan kembali ke Akediri untuk menetap dan berdagang demikian kata om Aba (Wawancara,26 Januari 2013).

Memulai Usaha Dengan Modal Sendiri

Dari ketujuh pedagang yang diwawancarai, enam orang diantaranya menggunakan modal sendiri ketika memulai usahanya, dan hanya satu orang yang benar-benar ditopang oleh orang tuanya dalam bentuk modal barang dagangan.

Sebut saja ibu Safiano Ode. Ia berasal dari keluarga pedagang asal Buton, ketika mereka keluar dari asrama tentara di Akediri, Ia melihat bahwa ini saatnya untuk memulai usaha. Selain mendapat restu dari suaminya, keinginan itu ternyata disambut baik oleh ibu dan bapaknya. Dengan haru ibu Safiani Ode mengatakan bahwa, awal memulai usaha dagang, semua barang-barang itu adalah milik orang tuanya.

Menurut Ibu Safiani ia diberikan barang-barang dagangnya oleh orang tuanya, bagi mereka masalah bayaran akan dicicil kemudian jika sudah terjual. Dengan demikian ibu Safiani tidak mengeluarkan uang untuk pengadaan barang dagangannya, dari penjualan barang-barang itulah kemudian ia menambahkan barang-barangnya sedikit demi sedikit, sambil mencicilkan utang pada orang tuanya hingga menlunasinya. Begitulah ibu Safiani menuturkan kisahnya (Wawancara,25 Januari 2013).

Cerita haru selanjutnya, datang dari keenam pelaku usaha lain, kisah-kisah itu selanjutnya diuraikan seperti berikut ini. Tante

(31)

117 Ratna misalnya, Ia mengatakan bahwa pada saat itu siapa yang tidak merasa kesulitan dengan adanya konflik.

Sekalipun sulit, dengan gaji yang ada dan sedikit simpanan yang mereka miliki, Ia dan suaminya bertekad untuk memulai usaha. Awalnya barang-barang dibelanjakan sedikit-demi sedikit dan itu hanya dibeli dari agen barang di Jailolo. Dengan barang-barang yang ada mereka terus memutar keuntunganya, sehingga lama-kelamaan barang-barang mereka makin bertambah. Prinsipnya biar untung kecil asal cepat laku, Begitulah ceritanya Kata tante Ratna (Wawancara,25 Januari 2013).

Begitu juga dengan bu Damis Pasuma. Usaha yang mereka bangun, hanya mengandalkan modal pribadi baik tabungan dan dari hasil menggadaikan perhiasan emas milik istrinya, dari uang itulah kemudian di jadikan modal berdagang.

Awalnya pengadaan barang dilakukan bertahap sedikit-demi sedikit, yakni satu dua lusin untuk satu jenis barang, dari keuntungan itulah kemudian diputar-terus menerus hingga akhirnya mereka bisa belanja sampai ke Manado dalam jumlah yang besar, tutur Damis Pasuma (Wawancara,10 Mei 2012). Cerita yang tak jauh berbeda juga disampaikan oleh ibu Rohani M. Ahmad. Menurutnya, usaha yang mereka rintis awalnya hanya menggunakan modal sendiri.

Ketika orang mulai menitipkan barang-barang untuk dibelanja di Ternate, kesempatan itu mereka manfaatkan untuk membelanjakan barang-barang yang bakal mereka jual kembali, itulah cara mensiasati biaya transport. Barang-barang yang mereka belanjakan juga bertahap, awalnya belanja satu dua lusin, lambat laun dari keuntungan itu mereka kemudian investasikan kembali hingga akhirnya bisa menjadi agen bagi mereka yang tadinya menitipkan barang dagangaan. Begitulah kisahnya kata bu Rohani (Wawancara, 25 Januari 2013).

Kalau saya, kata om Yon Flory ketika menceritakan kisahnya kepada peneliti, usaha yang dia miliki sekarang bukan, baru dirintisnya ketika konflik terjadi. Justru ketika konflik barang dagangannya

(32)

118

terpakai habis, baik untuk kebutuhan pribadinya, maupun untuk kebutuhan aktifitas posko pengungsi yang ada di Akediri ketika itu.

Setelah situasi mulai reda, baru kemudian Ia memulai lagi aktifitas berdagang, memang sebelum rusuh om Yon pernah menggunakan modal bank, tetapi usaha yang Ia bangun paskah kerusuhan benar-benar menggunakan modal pribadinya.

Jadi menurut om Yon usaha yang Ia dibangun paska kerusuhan, diibaratkan seperti membangun rumah dari dasarnya. Itulah cerita om Yon, kepada peneliti (Wawancara, 23 Januari 2013).

Sebagai pedagang migran, om Aba terbilang sudah sukses berdagang di Ternate sebelum kerusuhan terjadi. Menurutnya ketika berdagang di Ternate, Ia juga sempat bekerjasama dengan berbagai agen-agen penjualan barang yang bernaung di bawa bendera simpati bersama.

Ia juga bekerjasama dengan perusahan minyak goreng Bimoli sebagai agen penyalur. Selain itu mereka telah memiliki toko, sekalipun masih status kontrak bangunan, dari usaha bersama dengan istrinya mereka memiliki tiga unit speed bood Harian star.

Tetapi ketika konflik usai, Ia pun bercerai dengan istrinya, toko yang mereka kontrak diambil alih oleh pemiliknya. Kondisi ini kemudian memaksa om Aba migrasi ke Jailolo, namun menurut pengakuanya, modal yang Ia miliki sudah tidak seperti masih bersama dengan istrinya yang ada di Ternate. Lebih lanjut om Aba mengatakan bahwa, usaha yang Ia rintis di Akediri hanya mengandalkan modal dari pembagian dengan istrinya ketika cerai.

Dengan modal yang ada itulah om Aba melanjutkan usaha penjualan pakaian, mula-mula Ia ke kecamatan Ibu, tetapi akhirnya kembali dan menetap di Akediri hingga kini. Begitulah Ia mengisahkan perjuangannya kepada peneliti (Wawancara,26 Januari 2013).

Di tengah terpaan ketidak pastian rencana relokasi pedagang kecil di pasar Akediri, peneliti berkesempatan mewawancarai seorang

(33)

119 migran Gorontalo yang mencoba keberuntungan berdagang di pasar Akediri. Ia adalah Alimin Sabri. Sebelum berjualan di Akediri awalnya Ia menetap di Ternate bersama istri dan anak-anaknya.

Namun paska rusuh Ia mencoba membangun usaha sendiri di Akediri, terlepas dari saudaranya, yang telah mengajaknya berdagang di Ternate tujuh belas tahun silam. Menurut Alimin, usaha yang Ia bangun di Akediri adalah miliknya.

Selain menggunakan modal sendiri, Alimin juga menjalin kerjasama dengan salah satu pengusaha Jawa di Ternate. Melalui pengusaha tersebut Ia mendapat kepercayaan untuk mengambil terlebih dahulu barang-barang jualan untuk di jual.

Sedangkan menyangkut dengan pembayaran, katanya Ia dapat mencicil setelah barang-barang itu terjual. Demikian Alimin Sabri menuturkan kisahnya (Wawancara, 26 Januari 2013).

Itulah dinamika penggunaan modal usaha oleh pelaku usaha yang peneliti wawancarai. Terlihat bahwa dalam membangun usaha masing-masing orang mempunyai cara menyiasati modal yang mereka miliki.

Karena itu selain menggunakan modal pribadi, ada juga yang mendapat dukungan sepenuhnya oleh keluarga, dan ada pulah yang memilih untuk bermitra dengan pedagang lainya.

Menjalani usaha di Akediri :

Menata asa,menggapai masa depan

 Memilih Usaha Yang Tepat Di Wilayah Konflik

Akediri sebagai suatu sentra perdagangan baru yang kemunculanya tidak terlepas dari konflik Jailolo, tentu dengan latar konteks demikian turut mempengaruhi pilihan bidang-bidang usaha yang digeluti oleh pelaku-pelaku usaha di wilayah seperti itu.

Untuk mengetahui apa saja jenis-jenis usaha yang digeluti para informan, peneliti akan sajikan dalam tabel berikut ini :

(34)

120

Data penelitian diolah 2013

Jika melihat jeni-jenis usaha yang di geluti para informan, terlihat bahwa umumnya mereka memilih usaha yang berkaitan dengan kebutuhan dasar konsumtif rumah tangga seperti beras,gula, pakaian,perabotan rumah tangga, maupun material bangunan. Semua pilihan-pilihan usaha ini bukan tanpa alasan.

Tabel 3.

Jenis-jenis usaha yang digeluti oleh informan

No Jenis Usaha Ib ra h im Sa m u el F lo ry R oh an i M .A Sa fi an i O d e R at n a Al im in Sa b ri D am is P as u m a 1 Sembilan bahan pokok (sembako) * * * * 2 Pembelian Kopra * * 3 Penjualan Perabotan rumah tangga * 4 Penjualan Pakaian * 5 Usaha Jasa angkut barang * 6 Penjualan asesoris dan perlengkapan kosmetik * 7 Penjualan material bahan bangunan * 8 Penjualan Voicer Handpon *

(35)

121 Menurut om Yon Flori, bu Damis, Tante Ratna, maupun ibu Rohani M.Ahmad, bidang usaha yang paling relefan saat itu adalah bisnis sembako (Sembilan bahan pokok), sebab dalam kondisi seperti itu bahan keperluan konsumsi rumah tangga menjadi barang langka dan karena itu nilainya pun melonjak naik. Permintaan yang tinggi tetapi persedian sedikit, hal itu bukan saja karena sulitnya perhubungan, melainkan hanya sedikit pelaku usaha yang berani berinvestasi.

Hal lain yang patut diingat bahwa selain untuk memenuhi kebutuhan para konsumen, mereka juga ingin memperoleh keuntungan finasial, dan menjamin kebutuhan mereka sendiri. Hal itu sebagai langkah antisipasi keadaan tidak stabil yang kapan saja dapat terjadi dan itu beresiko pada kebutuhan mereka juga.

Begitu juga dengan bisnis pakaian yang di tekuni om Aba, maupun usaha penjualan alat perabotan rumah tangga oleh ibu Safiani Ode, termasuk Alimin Sabri, memiliki motif yang tak jauh bedanya yakni, memenuhi kebutuhan konsumen, mengejar pendapatan, dan untuk menjamin kebutuhan mereka juga. Tetapi dalam perjalanan usaha para pedagang ini, hanya beberapa dari mereka yang terlihat mampu melakukan konversi usaha, seperti ibu Rohani, dari bisnis sembako, ia merambat ke bisnis kopra, dan akhirnya beranjak ke bisnis penjualan bahan material bangunan.

Menurut ibu Rohani, pengembangan usaha yang dilakukan Ia dan suaminya, hal itu merupakan bentuk respon mereka terhadap kebutuhan konsumen yang dibaca sebagai peluang usaha. Hal yang sama juga dilakukan oleh bu Damis Pasuma, dari bisnis sembako, kemudian merambah ke bisnis kopra, hingga meningkat ke usaha transportasi jasa angkut barang.

Keputusan untuk melakukan penambahwan jenis usaha, kata bu Damis, hal itu merupakan bentuk respon mereka melihat peluang usaha yang ada, tegas Damis Pasuma (Wawancara, 10 Mei 2012).

Begitu juga dengan Alimin Sabri, dari bisnis aksesoris, Ia kemudian merambah ke usaha penjualan bahan-bahan tatarias dan

Referensi

Dokumen terkait

pemikiran Tuhan tentang diri-nya merupakan daya yang dahsyat, maka daya itu menciptakan sesuatu yang diciptakan pemikiran Tuhan tentang dirinya itu adalah akal

pencarian jejak-jejak kebenaran dikalangan para filsufdan tentang pemisahan yang terang dari yang gelap, itulah yang dimaksud dengan filsafat pereniaLFilsafat perenial

Komponen – komponen yang terdapat dalam sistem pakar yaitu User Interface yang dalam sistem ini adalah halaman cek penyakit kucing, basis pengetahuan yang

Produk awal tersebut adalah permainan sepak bola pada mata pelajaran yang digunakan dalam proses pembelajaran Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan yang

2.2.1.Menerapkan berbagai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik terkait mata pelajaran pada keahlian jasa boga Pedagogik

Nyeri dapat berdampak negatif terhadap kualitas hidup melalui berbagai cara. Individu dengan nyeri punggung bawah cenderung mengalami keterbatasan aktivitas jangka

“Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui”. Dengan kata lain pengusaha tidak melakukan kesalahan atau melanggar hukum jika seorang pekerja

Subjek IR tidak rela keluar dari pekerjaan dan memiliki keinginan untuk merawat ibu subjek IR yang sakit, sedangkan subjek NN merasa bahwa pekerjaan yang dimiliki sudah