• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menjawab Tantangan Implementasi Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Provinsi Sumatera Utara Sektor Pertanian

Terdapat paparan simbolik-metaforik dari R. Latter atas kondisi lingkungan kontemporer. Diungkapkan bahwa penduduk Perancis beriang gembira menggunakan teka-teki untuk mengajarkan kepada anak-anak sekolah tentang sifat pertumbuhan yang berlipat ganda. Sebuah kolam teratai, begitu teka-teki itu dimulai, berisi selembar daun. Tiap hari jumlah daun itu berlipat dua. Dua lembar daun pada hari kedua, empat pada hari ketiga, dan delapan pada hari keempat, demikian seterusnya. Jika kolam itu penuh pada hari ketiga puluh, kapankah kolam itu berisi separuhnya? Begitu ditanyakan. Jawabnya adalah: “pada hari kedua puluh sembilan.” Cangkriman ini dirujuk pula oleh L.R. Brown dalam bukunya The Twenty Ninth Day: Accomodating Human Need and Numbers to The Earth‘s Resources.128

Sudah dapat dipastikan secara prediktif bahwa kondisi kolam teratai itu, kini mungkin sudah penuh seluruhnya, padahal waktu penyelamatannya tinggal sehari

127 Ibid.

128 Lihat Dr. Suparto Wijoyo. 2013. Hidup Politik... Hidup Otonomi... dan Bagaimana Ekologi? Dalam Majalah Suara Bumi Th. IX/Edisi 4, Juli -Agustus 2013. Hal. 1-8.

saja. Maka semua pihak - pemerintah, swasta, dan masyarakat - harus memahami urgensi kebutuhan memulihkan kualitas lingkungan. Pencemaran lingkungan tampaknya tak kenal kompromi dan kerap meluas tiada henti melanda lorong-lorong lingkungan dengan rentetan kompleksitas konsekuensi yang problematik. Sayangnya, dalam kaitannya dengan kebijakan di tingkat daerah, implementasi kebijakan untuk mewujudkan pengurangan laju eksploitasi sumber daya alam dan mengurangi laju pelepasan emisi gas rumah kaca yang mendorong terjadinya perubahan iklim-salah satu isu lingkungan yang paling esensial saat ini, belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Padahal, kerugian yang ditimbulkan oleh pemanasan global akibat perubahan iklim adalah nyata. Kerugian ini termasuk estimasi biaya ekonomi yang harus dikeluarkan pemerintah akibat bencana-bencana yang ditimbulkan oleh perubahan iklim, seperti ketersediaan air bersih, merosotnya produktivitas dan hasil usaha tani, meningkatnya gangguan kesehatan, penyebaran hama dan penyakit (tanaman dan manusia), bahaya kelaparan, kurang gizi, dan konflik sosial129

Mengamati implementasi kebijakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang dilakukan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara pada sektor pertanian hingga hari ini, tampak lah lebarnya kesenjangan antara retorika (das Solen) kebijakan dan pelaksanaan di lapangan (das Sein). Laporan tahunan hasil Pemantauan, Evaluasi, dan Pelaporan (PEP) Inventarisasi Gas Rumah Kaca yang diverifikasi Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Utara menunjukkan hingga

penghujung tahun 2016 program penurunan emisi gas rumah kaca di Provinsi Sumatera Utara secara keseluruhan baru berhasil menurunkan tingkat emisi sebesar 2%. Kenyataan di lapangan menunjukkan berbagai tantangan masih banyak dijumpai dalam upaya mengimplementasikan kebijakan penurunan emisi gas rumah kaca di Provinsi Sumatera Utara, baik dari unsur administrasi pemerintahan, legal formal, maupun politik.

Salah satu aspek yang diidentifikasi oleh peneliti sebagai tantangan bagi implementasi Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Provinsi Sumatera Utara pada sektor pertanian adalah adanya kebijakan atau peraturan pemerintah daerah yang kurang sesuai atau saling bertentangan sehingga pelaksanaan Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca sektor pertanian kurang berjalan lancar. Misalnya dalam Rencana Strategis (Renstra) Dinas Kehutanan, strategi yang diusung adalah peningkatan pemanfaatan hutan di Provinsi Sumatera Utara. Sedangkan untuk Dinas Pertanian memiliki tiga rencana strategis, yaitu (1) mendorong peningkatan produktifitas; (2) pengembangan ekonomi; dan (3) mendorong diversifikasi produksi.130 Maka tidak heran jika saat ini pemerintah tengah menargetkan penambahan hingga mencapai 1,8 juta hektar lahan kelapa sawit lagi dengan dalih membuat Provinsi Sumatera Utara lebih sejahtera. Kebijakan ini akhirnya diikuti oleh berita hilangnya 75% kawasan hutan bakau di Provinsi Sumatera Utara dan ribuan hektar lahan Taman Nasional Gunung Leuser yang kini beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit. Hal ini

130 Lihat Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. 2014. Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah

2014-2018. Di akses melalui http://www.sumutprov.go.id/tentang-provsu/rencana-strategis pada 24 Maret

tentu juga makin menambah tingkat emisi gas rumah kaca yang terlepas ke udara akibat konversi hutan.131

Sebenarnya untuk menopang pertumbuhan ekonomi daerah pemerintah provinsi dapat menyiasati industri sawit di daerah dengan membatasi pembukaan lahan sawit baru namun memberikan rekomendasi terhadap perusahaan yang ingin membangun industri hilir. Hal ini akan meningkatkan perkembangan ekonomi Provinsi Sumatera Utara dibanding kondisi sekarang. Caranya, dengan meningkatkan nilai ekonomi melalui pengurangan ekspor CPO dan PKO dan mendorong transformasi teknologi pengolahan kelapa sawit untuk menghasilkan produk turunannya. Peningkatan ekonomi tersebut dapat ditingkatkan lagi jika kita melakukan upaya adaptasi. Di sektor pertanian tanaman pangan misalnya, perbaikan atau introduksi varietas yang lebih tahan cekaman iklim, pengembangan teknologi hemat air, penguatan lembaga penyuluh pertanian dan sumber daya penyuluh yang memahami soal iklim, serta meningkatkan kapasitas petani dalam memanfaatkan informasi iklim untuk mengelola risiko iklim yang kian meningkat di masa mendatang.

Memang, untuk itu diperlukan investasi awal yang cukup besar. Gambar 3.2 menunjukkan bahwa biaya adaptasi akan meningkat hingga tahun 2020 setara 0,5 persen dari PDRB provinsi, dan berangsur-angsur menurun. Keuntungan upaya adaptasi yang dilakukan lebih awal akan dirasakan setelah tahun 2050. Setelah

131 Lihat WANADRI. 2017. Ancaman Pembukaan Lahan di Taman Nasional Gunung Leuser Itu Memang

Ada. Di akses melalui

http://wanadri.or.id/home/2017/02/ancaman-pembukaan-lahan-di-taman-nasional-gunung-leuser-itu-memang -ada-february-23-2017-junaidi-hanafiah-aceh-hutan-ancaman-pembukaan-lahan-di-wilayah-tngl-untuk-dijadi kan-kebun-jagung-memang-ad/ pada 24 Maret 2017 pukul 19:53 WIB.

tahun itu, biaya adaptasi tidak terlalu besar dan keuntungan yang diperoleh jauh melebihi biaya yang dikeluarkan. Karena itu, upaya adaptasi dan mitigasi perlu dilakukan sedini mungkin untuk menghindari kerugian lebih besar di kemudian hari.

Gambar 3.2 Estimasi Biaya dan Keuntungan Pelaksanaan Kegiatan Adaptasi di Indonesia, Thailand, Filipina, dan Vietnam

Sumber: Asian Development Bank, A Regional Review of the Economics of Climate Change in Southeast Asia, 2009.

Untuk hal itu, diperlukan internalisasi atau pengarusutamaan pertimbangan sektor lingkungan dalam penyusunan Kebijakan Umum Anggaran - Program Prioritas Anggaran (KUA - PPA). Dengan dimasukkannya perspektif lingkungan ke dalam prioritas perencanaan yang mengarah ke integrasi manfaat dan biaya terkait lingkungan hidup ke dalam dokumen siklus fiskal pemerintah, maka kebijakan pendanaan untuk mendukung komitmen penurunan emisi gas rumah

kaca tidak bersifat eksklusif dan dianggap membebani APBD. Hal ini mengingat bahwa sesungguhnya dalam konteks yang lebih luas penganggaran hijau tidak hanya terbatas pada tujuan penanganan perubahan iklim namun juga pelestarian lingkungan hidup. Lebih jauh lagi dibutuhkan sinkronisasi antara Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dengan RPJPD, RPJMD, Renstra SKPD, dan APBD Provinsi Sumatera Utara sehingga aktivitas RAD GRK didukung dengan sasaran, indikator kinerja, dan pembiayaan yang terintegrasi dengan rencana pembangunan daerah. Kebijakan yang ada saat ini dapat dikaji ulang agar pelaksanaan dan koordinaasi kegiatan dapat dipantau, dicarikan jalan keluar atas tantangan yang dihadapi, dan disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan pembangunan daerah. Dengan begitu akan terasa bahwa politik dapat menjadi pemantik penyelamatan lingkungan dengan green politics yang maujud dalam green policies yang diproduksi negara.

Tantangan selanjutnya yang teridentifikasi dari hasil penelitian ini adalah bagaimana meningkatkan pemahaman masyarakat terkait perubahan iklim yang bertujuan untuk menghasilkan perubahan perilaku jangka panjang dan mendorong lebih banyak individu dalam mengembangkan ide dan keahliannya untuk solusi perubahan iklim di masa depan. Tren yang ada saat ini menunjukkan bahwa tiga dari lima guru, tidak menyadari, atau secara aktif salah menginformasi tentang konsesus ilmiah tentang perubahan iklim. Selain itu, ditemukan kecenderungan bahwa guru yang ingin mengajar perubahan iklim memiliki waktu yang sulit mengakses informasi dan mengevaluasi bahan-bahan

terkait yang tersedia .132 Untuk itu, pemerintah perlu memberi stimulus kepada akademisi di daerah untuk menghasilkan publikasi ilmiah mengenai perubahan iklim. Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) juga perlu didorong untuk menghasilkan bahan ajar sisipan materi yang sesuai dengan tema perubahan iklim untuk tingkat SD, SMP, dan SMA. Tanpa pengetahuan lokal yang disediakan, lebih menantang untuk mengintegrasikan rencana aksi ke dalam kurikulum pendidikan, dan ini menjadi celah dalam implementasi kebijakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di Provinsi Sumatera Utara.

Jargon para pemikir green politics, think globally act locally (berpikir secara global namun bertindak secara lokal) dalam hal ini tampaknya sesuai untuk membangun kapasitas masyarakat sadar dan paham terhadap dampak perubahan iklim. Tanpa pengetahuan yang memadai mengenai perubahan iklim, dampak yang dihasilkan dari kejadian perubahan iklim, serta bagaimana beradaptasi terhadap dampaknya, maka suatu daerah akan semakin rentan terhadap dampak-dampak yang dihadapi. Pendidikan memang tidak mengenal usia, namun memberikan pemahaman mengenai perubahan iklim sedari dini dipercaya dapat menciptakan sumber daya manusia yang lebih siap dan memiliki kapasitas untuk merespon dampak perubahan iklim tersebut. Harapannya ini juga dapat menginisiasi perubahan perilaku masyarakat untuk semakin peduli pada lingkungannya. Pendidikan mengenai perubahan iklim juga dapat didorong melalui praktik dalam keseharian siswa. Praktik langsung dipercaya dapat

memberikan pengalaman yang lebih mudah diingat anak-anak dalam mempelajari sesuatu, seperti mata pelajaran muatan lokal yang diisi dengan pengetahuan pertanian hidroponik sebagai contoh aksi adaptasi perubahan iklim, aktivitas pembuatan biopori, kompos, dan sebagainya. Pembelajaran pendidikan ketahanan iklim di sekolah mendorong peningkatan pemahaman, sikap, dan tindakan pengelolaan lingkungan dan pengetahuan tersebut dibawa siswa ke rumah.

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Memperhatikan hasil telaah di atas dapat diambil beberapa catatan:

1. Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) Provinsi Sumatera Utara disusun sebagai bentuk internalisasi Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) Indonesia di tingkat lokal. Sebuah pendekatan yang diawali dari suatu komitmen global untuk pengurangan emisi sebesar 26% hingga tahun 2020 melalui mekanisme usaha sendiri (Business as usualBAU) atau sebesar 41% dengan bantuan internasional;

2. Arsitektur Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) Provinsi Sumatera Utara Sektor Pertanian dirancang bangun dengan mengedepankan tiga aksi prioritas, yaitu: (1) mengupayakan penurunan emisi gas rumah kaca pada perusahaan besar yang memiliki pabrik kelapa sawit melalui pembuatan kompos dengan sistem bunker, yaitu memanfaatkan limbah cair (POME) dan tandan kosong sawit; (2) penerapan System of Rice Intensification (SRI); dan (3) integrasi rencana aksi ke dalam kurikulum pendidikan;

masih jauh dari kenyataan. Misal, untuk upaya penurunan emisi gas rumah kaca pada perusahaan besar yang memiliki pabrik kelapa sawit melalui pembuatan kompos dengan sistem bunker, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara menargetkan sebanyak 10% dari total 135 pabrik kelapa sawit per tahun. Namun, pada kenyataannya saat ini baru ada satu pabrik di Provinsi Sumatera Utara yang beroperasi menggunakan sistem bunker untuk mengelola limbah tandan kosong sawit serta limbah cair (POME). Begitu pula terkait dengan System of Rice Intensification untuk tanaman padi. Saat ini, lahan pertanian yang sudah menggunakan System of Rice Intensification baru terdapat di Kabupaten Deli Serdang dan Tapanuli Tengah, dengan luas lahan baru berkisar 100 hektar. Kenyataan di lapangan justru menujukkan bahwa sistem pertanian yang diterapkan di Provinsi Sumatera Utara semakin jauh dari model pertanian berkelanjutan. Data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara tahun 2016 terkait tingkat kesadaran masyarakat serta pengetahuan yang dimiliki tentang perubahan iklim juga belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Berdasarkan data hasil Survei Penduduk Antar Sensus Tahun 2015 (SUPAS 2015) Provinsi Sumatera Utara hanya 26,55% rumah tangga yang tahu mengenai perubahan iklim.

4. Secara umum, realisasi penurunan laju emisi gas rumah kaca di Provinsi Sumatera Utara baru berjalan 2%, padahal hanya tersisa waktu 3 tahun dari target yang ditetapkan pemerintah untuk menurunkan emisi sebesar 26%

hingga tahun 2020 melalui mekanisme usaha sendiri (Business as usualBAU) atau sebesar 41% dengan bantuan internasional. Penyebab belum terealisasinya Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) Provinsi Sumatera Utara Sektor Pertanian secara baik adalah: (a) belum dipahaminya secara utuh dan lengkap tentang perubahan iklim dan upaya mengatasinya serta dampak dari upaya yang dilakukan oleh swasta dan masyarakat, hal ini pada akhirnya menyebabkan proses implementasi kebijakan tidak mendapat dukungan yang baik dari para agen implementor di lapangan. Hal ini dapat dilihat dari masih adanya kontroversi di lapangan terkait kewajiban pabrik kelapa sawit untuk mengolah limbah; (b) terdapatnya kebijakan atau peraturan pemerintah daerah yang kurang sesuai atau saling bertentangan sehingga muncul ketidaktegasan dan standar ganda yang dilakukan pemerintah dalam menangani permasalahan lingkungan dan upaya mewujudkan agenda pembangunan daerah yang pada akhirnya menghambat pelaksanaan Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) sektor pertanian dan menggangu jalannya proses pembangunan yang berkelanjutan di Provinsi Sumatera Utara; (c) aspek pendanaan;

5. Peneliti menilai prioritas rencana aksi penurunan emisi gas rumah kaca Provinsi Sumatera Utara belum selaras dengan perencanaan pembangunan daerah, prinsip pembangunan ekonomi, pengentasan kemiskinan, dan pembangunan berkelanjutan. Agenda pembangunan di Provinsi Sumatera

saat ini terlampau berorientasi kepada utilitarianisme (utilitarianism). Orientasi ini dapat dilihat dari penekanan lingkungan hidup hanya sebagai instrumen atau sumber daya untuk didayagunakan (eksploitasi) oleh manusia dengan mengesampingkan kebutuhan lingkungan alam (natural environment) itu sendiri.

4.2 Saran

1. Diperlukan peningkatan kapasitas daerah-dalam hal ini Provinsi Sumatera Utara - untuk berkontribusi secara nasional dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca agar komitmen Indonesia di tingkat global tidak berada di ruang “kosong” dan akhirnya dianggap pencitraan semata di mata dunia internasional dan malahan akan menimbulkan potensi peningkatan hutang Indonesia yang berasal dari bantuan-bantuan asing yang diharapkan membantu pengurangan emisi gas rumah kaca di Indonesia. Untuk itu, peningkatan pemahaman akan perubahan iklim dan upaya mengatasinya serta dampak dari upaya yang dilakukan diperlukan bagi pemerintah, swasta, dan masyarakat Provinsi Sumatera Utara;

2. Seyogyanya Pemerintah Provinsi Sumatera Utara harus mendorong para pihak (swasta dan masyarakat) untuk berperan menurunkan emisi gas rumah kaca. Mengingat bahwa Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) adalah panduan bagi pemerintah, swasta, dan masyarakat untuk melakukan kegiatan yang berdampak terhadap penurunan emisi gas

rumah kaca di daerah.

3. Peraturan Gubernur Nomor 36 Tahun 2012 tentang Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) Provinsi Sumatera Utara harus dijadikan salah satu acuan bagi penetapan Kebijakan Umum Anggaran - Program Prioritas Anggaran (KAU-PPA) mulai dari tingkat provinsi hingga kabupaten/kota, sehingga dapat tersedia “anggaran hijau” yang lebih layak untuk upaya penurunan emisi gas rumah kaca dan perbaikan kualitas lingkungan yang lebih sehat di Provinsi Sumatera Utara, serta menjadi acuan penyusunan agenda pembangunan daerah. Dengan begitu politik dapat menjadi pemantik penyelamatan lingkungan dengan green politics yang maujud dalam green policies yang diproduksi negara;

4. Di Indonesia ada kecenderungan pemerintah daerah bisa tidak mematuhi hukum dan peraturan lingkungan nasional jika tidak ada insentif keuangan atau ancaman penegakan hukum. Untuk itu, perlu kiranya dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap target penurunan emisi dan rencana aksi penurunan emisi gas rumah kaca melalui penyempurnaan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca terutama mengenai metode atau cara penurunan emisi gas rumah kaca, pelaksana, dan pendanaannya;

5. Melihat besarnya kerugian yang telah disebabkan oleh perubahan iklim di sektor pertanian di Provinsi Sumatera Utara serta kemungkinan adanya dampak buruk yang lebih besar dan akan berimbas pada sektor-sektor lain di

masa depan, maka pemerintah harus mulai memikirkan secara serius desain kebijakan pembangunan daerah yang tanggap perubahan iklim guna menghindari besarnya pinalty cost yang harus dibayar di masa depan karena keterlambatan pengendalian.

Dokumen terkait