• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III ANALISIS KEBIJAKAN PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA PROVINSI SUMATERA UTARA SEKTOR PERTANIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III ANALISIS KEBIJAKAN PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA PROVINSI SUMATERA UTARA SEKTOR PERTANIAN"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

ANALISIS KEBIJAKAN PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA PROVINSI SUMATERA UTARA SEKTOR PERTANIAN

3.1 Dampak Buruk Perubahan Iklim Terhadap Sektor Pertanian di Provinsi Sumatera Utara

Penelitian tentang dampak perubahan iklim terhadap produktivitas bidang pertanian sudah cukup banyak dilakukan. Perubahan iklim terbukti telah berdampak signifikan terhadap produksi pertanian (Jonesa dan Thornton, 2003; Parry, dkk., 2004). Musim hujan selain tidak berpola juga intensitasnya tidak menentu. Banyak gagal panen akibat banjir (musim penghujan) atau kekeringan (musim kemarau). Lebih dari itu, perubahan iklim menyebabkan penurunan produktivitas, erosi, kerusakan lahan, dan serangan hama atau penyakit. Akibatnya, pola tanam, produksi, dan perencanaan pertanian dilakukan dengan tingkat ketidakpastian yang tinggi. Dalam jangka panjang, perubahan iklim global akan berpengaruh secara nyata terhadap produksi padi. Mathauda, dkk., (2000) memperkirakan bahwa kenaikan suhu 2°C akan menurunkan produktivitas padi sebanyak 8,4 persen diikuti juga oleh penurunan produksi biomassa dengan tingkat yang sama. Peng, dkk., (2004) menggunakan data penelitian yang lebih akurat dan menyimpulkan bahwa terjadi penurunan 10 persen produktivitas setiap kenaikan suhu 1°C. Banyak penelitian lain (misal Parrya, dkk., 1999; Parry, 2004;

(2)

Yao, dkk., 2007) menemukan kecenderungan yang sama.81

Hingga 23 September 2016 saja, Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura (sebelumnya Dinas Pertanian) Provinsi Sumatera Utara mencatat terdapat total 412,5 hektar lahan tanam padi di Provinsi Sumatera Utara yang terkena puso akibat terendam banjir. Adapun total lahan padi yang terendam banjir di Provinsi Sumatera Utara mencapai 1.834,7 hektar. Kepala Unit Pelaksana Teknis Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sumatera Utara, Nurhijjah menuturkan, beberapa daerah yang lahan padinya mengalami puso diantaranya di Langkat dan Tanjung Pura. Di Sei Lapan, Langkat, luas lahan padi yang puso 58 hektar dari total yang terendam banjir 80 hektar. Kemudian, di Tanjung Pura 107 hektar. Beberapa daerah yang lahannya terendam banjir yakni Babalan 65 hektar, Hinai 514 hektar, Stabat 30,2 hektar dan Secanggang 320,1 hektar. Angka sementara tahun 2016 ada kehilangan produksi padi sejumlah 27,36 persen.82

Adapun di tahun sebelumnya, sekitar 173 hektar lahan pertanian di Provinsi Sumatera Utara terkena puso akibat kekeringan. Akibatnya, dari 173 hektar lahan padi sawah tersebut, tidak ada padi yang bisa dipanen. Pelaksana Kelompok Kerja Pangan Balai Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTPH) Provinsi Sumatera Utara, Buchari mengatakan, lahan yang paling banyak mengalami puso berada di Kabupaten Serdang Bedagai, yaitu sekitar 80 hektar.

81 Tajuddin Bantacut. 2014. Agenda Pembangunan Pertanian dan Ketahanan Pangan 2014-2019. Dalam

Jurnal PANGAN, Vol. 23 No. 3 September 2014. Hal. 283-284.

82 Wawancara dengan pejabat Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sumatera Utara, Medan, 28

(3)

Selanjutnya Samosir sekitar 68 hektar, dan Deli Serdang 25 hektar. Selain tanaman padi, BPTPH juga mencatat terdapat 96 hektar lahan jagung petani yang mengalami puso akibat kekeringan, yaitu di Kabupaten Asahan.83

Daftar yang lebih panjang dari peristiwa pertanian dapat dibuat untuk menunjukkan dampak negatif dari perubahan iklim yang telah dirasakan Provinsi Sumatera Utara, baik secara langsung maupun tidak langsung. Misal, serangan hama ulat putih yang sebelumnya belum pernah menyerang cabai siap panen dan seganas yang terjadi di Kecamatan Berastagi dan Kecamatan Kaban Jahe, Kabupaten Karo. Tanaman cabai milik petani di atas areal seluas 60 hektar di dua wilayah itu terpaksa ditebangi dan petani terpaksa kehilangan pendapatan dari 400 kilogram cabai per minggu.84

Berbagai peristiwa di atas mencerminkan kerentanan sektor pertanian di Provinsi Sumatera Utara terhadap dampak perubahan iklim. Pemanasan global akan menurunkan produktivitas tanaman pangan secara signifikan, khususnya di daerah tropis. Jika anomali perubahan iklim terus berulang dan menimbulkan dampak buruk yang lebih besar maka pada akhirnya akan berimbas pada kondisi perekonomian daerah mengingat 22% pangsa PDRB Provinsi Sumatera Utara saat ini berasal dari sektor pertanian. Sayangnya, isu ini dianggap masalah teknis lingkungan belaka yang tidak berkaitan dengan soal pembangunan. Padahal, kerugian yang ditimbulkan oleh pemanasan global akibat perubahan iklim adalah nyata. Kerugian ini termasuk estimasi biaya ekonomi yang harus dikeluarkan

83 Ibid. 84 Ibid.

(4)

pemerintah akibat bencana-bencana yang ditimbulkan oleh perubahan iklim, seperti ketersediaan air bersih, merosotnya produktivitas dan hasil usaha tani, meningkatnya gangguan kesehatan, penyebaran hama dan penyakit (tanaman dan manusia), bahaya kelaparan, kurang gizi, dan konflik sosial, adalah beberapa contoh dampak sosial ekonomi dan lingkungan yang ditimbulkan oleh perubahan iklim.85

Tanpa upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, khususnya pada sektor pertanian, Provinsi Sumatera Utara bakal mengalami kerugian sangat besar di masa depan. Oleh karena itu, untuk mendukung pemenuhan target penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia sebesar 26% hingga tahun 2020, sekaligus mengurangi dampak kerugian akibat perubahan iklim di Provinsi Sumatera Utara, diperlukan kebijakan mitigasi di bidang pertanian untuk mencegah, menghentikan, menurunkan, atau setidaknya membatasi pelepasan emisi gas buangan, gas pencemar udara (gas rumah kaca) di atmosfer, sekaligus kebijakan adaptasi untuk menyesuaikan diri terhadap dampak perubahan yang terjadi. Kebijakan ini harus berpedoman pada Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) Indonesia dan terintegrasi dengan kebijakan perencanaan pembangunan daerah seperti RPJPD, RPJMD, Renstra SKPD, dan APBD.

(5)

3.2 Sumber Emisi Gas Rumah Kaca dari Sektor Pertanian di Provinsi Sumatera Utara

Penyebab pemanasan global yang memicu perubahan iklim adalah karena adanya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Akumulasi gas rumah kaca Provinsi Sumatera Utara di bidang pertanian apabila tanpa dilakukan rencana aksi

Business as Usual (BAU) diperkirakan sebesar 147 juta ton CO2-eq atau 51% dari

total emisi gas rumah kaca Provinsi Sumatera Utara saat ini.86 Sumber-sumber emisi gas rumah kaca pada sektor pertanian di Provinsi Sumatera Utara dicantumkan pada Gambar 3.1 berikut ini:

(6)

Gambar 3.1 Sumber Emisi Gas Rumah Kaca Provinsi Sumatera Utara Sektor Pertanian

Sumber: Dokumen RAD-GRK Provinsi Sumatera Utara.

3.2.1 Lahan sebagai Sumber Emisi

Emisi gas rumah kaca dari lahan gambut terjadi segera setelah lahan gambut dialihfungsikan. Emisi pertama terjadi dari pembukaan (land clearing) lahan gambut diikuti dengan pembakaran lahan. Gas rumah kaca yang paling penting

(7)

adalah CO2 yang berasal dari pembakaran dan proses pelapukan (dekomposisi) bahan organik seperti pohon, akar, daun, dan bagian tanaman yang mati (nekromassa). Gas metana juga dihasilkan dari proses anaerob pada lahan gambut. Tanaman secara individu juga menghasilkan gas CO2 sebagai hasil respirasi tanaman (buah, daun, batang, dan akar).87

3.2.2 Perkebunan dan Industri Kelapa Sawit

Limbah industri kelapa sawit baik padat maupun cair juga merupakan sumber emisi. Sebanyak 23% dari Tandan Buah Sawit (TBS) yang diolah di Pabrik Kelapa Sawit (PKS) merupakan Tandan Kosong Sawit (TKS) yang dikategorikan sebagai limbah padat. Limbah padat lainnya adalah cangkang (tempurung) kelapa sawit yang jumlahnya mencapai 7% serta serat sebanyak 5%. Karena pembakaran TKS di incinerator sudah dilarang, maka pengendalian limbah TKS dilakukan dengan cara membuatnya menjadi kompos. Dalam proses pengomposan secara open windrow, TKS dicincang dan disiram dengan Limbah Cair PKS (LCPKS). Karena proses pengomposan ini berlangsung secara anaerob, maka akan dihasilkan gas rumah kaca berupa gas metana. PKS juga menggunakan cangkang dan serat sebagai pembangkit/pemanas boiler. Pembakaran kedua macam limbah padat tersebut juga menghasilkan gas rumah kaca berupa gas CO2.88

87 Pemerintah Provinsi Sumatera Utara.Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-2020.Op.Cit. Hal. 102.

(8)

3.2.3 Perkebunan dan Industri Karet

Provinsi Sumatera Utara juga merupakan salah satu daerah penghasil karet alam. Tanaman karet telah dibudidayakan di Provinsi Sumatera Utara sejak zaman penjajahan Belanda, sekitar tahun 1900. Total luas areal tanaman karet di Provinsi Sumatera Utara adalah 461.143 ha (Ditjenbun, 2009) terdiri dari kebun rakyat (292.958 ha), kebun swasta (103.304 ha), dan kebun BUMN (64.881 ha). Untuk mengolah hasil dari kebun-kebun tersebut tersedia pabrik dengan kapasitas olah 805.476 ton yang terdiri dari Pabrik SIR (33 unit) dengan kapasitas olah 741.730 ton, Pabrik RSS (10 unit) dengan kapasitas olah sebesar 38.786 ton, dan Pabrik Lateks (3 unit) dengan kapasitas olah sebesar 24.960 ton.89

Berdasarkan Data Ditjenbun (2009) tersebut, ternyata produktifitas karet rakyat sangat rendah yaitu sebanyak 0,68 ton/ha, produktivitas karet swasta sebanyak 1,09 ton/ha, dan produktivitas BUMN sebanyak 1,06 ton/ha. Rerata produktivitas karet Provinsi Sumatera Utara adalah 0,83 ton/ha. Baik rerata Provinsi Sumatera Utara maupun masing-masing kebun masih sangat rendah bila dibandingkan dengan dua negara tetangga, yaitu Thailand dan Malaysia.90

3.2.4 Tanaman Kakao

Sumber emisi dari tanaman kakao bermulai dari tahapan land clearing, penggunaan pupuk, dari limbah padat berupa kulit buah dan pengolahan hasil di

89 Ibid. 90 Ibid.

(9)

pabrik, baik pada waktu proses fermentasi maupun waktu proses pengeringan menggunakanblower.91

3.2.5 Kelapa dan lain-lain

Sumber emisi dari tanaman kelapa dan lain-lain seperti kemiri, aren, dan pala pada umumnya tidak besar karena areal perkebunan ini tidak terlalu luas di Provinsi Sumatera Utara.92

3.2.6 Tanaman Pangan dan Hortikultura

Sumber emisi gas rumah kaca pada sektor pertanian tanaman pangan dan hortikultura adalah pengairan khususnya pada padi sawah. Karena tergenangnya air di persawahan, maka akan terjadi proses anaerob yang menimbulkan gas metana. Pupuk urea merupakan sumber emisi gas rumah kaca di sektor pertanian baik perkebunan maupun tanaman pangan dan hortikutura.93

3.2.7 Peternakan

Bidang peternakan juga menyumbang emisi gas rumah kaca, khususnya peternakan sapi perah (penghasil susu), sapi pedaging (penggemukan), dan babi serta unggas berupa ayam potong maupun ayam petelur. Gas rumah kaca yang dihasilkan dari bidang peternakan umumnya gas metana yang berasal dari

91 Ibid. 92 Ibid. 93 Ibid.

(10)

kotoran hewan tersebut.94

3.3 Kebijakan Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim pada Sektor Pertanian di Provinsi Sumatera Utara

Untuk mendukung pemenuhan target penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia sebesar 26% hingga tahun 2020, sekaligus mengurangi dampak kerugian akibat perubahan iklim di Provinsi Sumatera Utara, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah menerbitkan dokumen Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) Provinsi Sumatera Utara tahun 2010-2020 melalui Peraturan Gubernur Nomor 36 Tahun 2012. Dalam dokumen ini dibahas upaya aksi mitigasi baik berupa kegiatan inti maupun kegiatan pendukung yang bersumber dari enam bidang yang menjadi target penurunan emisi di Indonesia, yaitu: bidang pertanian, bidang kehutanan dan lahan gambut, bidang energi, bidang transportasi, bidang industri, dan bidang pengelolaan limbah, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perencanaan pembangunan daerah dan tidak bertentangan dengan prinsip pembangunan ekonomi, pengentasan kemiskinan, dan pembangunan berkelanjutan. Kerangka waktu penyusunan RAD-GRK Provinsi Sumatera Utara sebagai berikut:

(11)

Tabel 3.1 Kerangka Waktu Penyusunan RAD-GRK Provinsi Sumatera Utara Tahun 2012

Sumber: Wawancara dengan BAPPEDA Provinsi Sumatera Utara. Data ditampilkan diolah.

Adapun untuk kebijakan mitigasi dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim di bidang pertanian yang dimuat dalam Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-2020 tersebut adalah sebagai berikut95:

1. Penurunan emisi gas rumah kaca pada perusahaan besar yang memiliki pabrik kelapa sawit melalui pembuatan kompos dengan sistem bunker, yaitu memanfaatkan limbah cair(POME)dan tandan kosong sawit. Sistem bunker

95 Pemerintah Provinsi Sumatera Utara.Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-2020.Op.Cit. Hal. 239.

(12)

dinilai tidak saja menghindari terjadinya pencemaran air sungai, namun dapat juga menghindari penggunaan pupuk kimia, bahkan secara ekonomi sangat menguntungkan (PBP kurang dari 3 tahun). Metode bunker secara terintegrasi dengan RANUT (Reaktor Anaerobik Unggun Tetap) juga dianggap dapat mengurangi emisi gas CH4 dengan memanfaatkan gas

POMEsebelum digunakan untuk pembuatan kompos dengan metodebunker. 2. PenerapanSystem of Rice Intensification (SRI). System of Rice Intensification

pada tanaman padi sawah secara signifikan mengurangi pembentukan gas rumah kaca karena tidak terjadi proses anaerobik.

3. Integrasi rencana aksi ke dalam kurikulum pendidikan. Integrasi rencana aksi ke dalam kurikulum pendidikan secara tidak langsung dapat menurunkan emisi gas rumah kaca melalui peningkatan kapasitas pengetahuan masyarakat melalui pendidikan formal yang dapat merubah perilaku/mindset kepedulian masyarakat.

3.3.1 Strategi Implementasi Kebijakan Mitigasi dan Adaptasi

Dalam rangka pelaksanaan aksi mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim terhadap sektor pertanian diperlukan secara tegas SKPD yang bertanggung jawab di wilayah Provinsi Sumatera Utara dan mekanisme kerjasama antar SKPD. Tabel 3.2 berikut mengacu kepada UU No. 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah dan PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan

(13)

Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota dan Perda No. 8 Tahun 2009 tentang RPJMD Provinsi Sumatera Utara Tahun 2009-2013 sebagai pedoman pelaksanaan rencana aksi penurunan emisi gas rumah kaca, maka dapat diketahui kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi untuk melaksanakan setiap program dari berbagai bidang dalam RAD-GRK tersebut.

Tabel 3.2 Pembagian Urusan dan Kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara

Sumber: Diolah dari UU 32/2004 mengenai Pemerintah Daerah ; PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; Perpres No. 61/2011 tentang RAN GRK yang dijabarkan dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Rencana Aksi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca; dan Perda No 8/2009 tentang RPJMD Provinsi Sumatera Utara Tahun 2009-2013.

(14)

Tabel 3.2 menunjukkan matriks keterkaitan antara sektor penurunan emisi gas rumah kaca dengan pembagian urusan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, serta mengindikasikan klasifikasi urusan pemerintahan yang sifatnya wajib maupun pilihan. Pengertian urusan wajib adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota berkaitan dengan pelayanan dasar. Sedangkan urusan pilihan adalah urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.96

Selanjutnya, sesuai dengan kelompok kerja yang telah dibentuk melalui SK Gubernur Provinsi Sumatera Utara Nomor 188.44/416/KPTS/2012 maka ditetapkan bahwa leading sektor penurunan emisi gas rumah kaca untuk sektor pertanian adalah Dinas Pertanian Pemerintah Provinsi Sumatera Utara sebagai ketua kelompok kerja, sedangkan BAPPEDA Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan Badan Lingkungan Hidup Pemerintah Provinsi Sumatera Utara sebagai koordinasi dan penganggaran program penurunan emisi gas rumah kaca.97

96 Ibid. Hal. 96.

(15)

3.3.1.1 Pemetaan Kelembagaan dan Pembagian Peran

Tabel 3.3 Pemetaan Kelembagaan Aksi Mitigasi Sektor Pertanian

Sumber: Dokumen RAD-GRK Provinsi Sumatera Utara. Data ditampilkan diolah.

3.3.1.2 Identifikasi Sumber Pendanaan

Sumber pendanaan untuk mengimplementasikan RAD-GRK dapat berasal dari berbagai pendanaan dalam negeri maupun dari bantuan luar negeri. Pendanaan dalam negeri bersumber dari APBN, APBD, dan peran serta sektor swasta. Sedangkan pendanaan luar negeri dapat bersumber dari kerjasama bilateral, multilateral dengan negara pendonor, dan pasar karbon.98

Pertama, sumber pendanaan dalam negeri. Kebijakan pendanaan untuk

mendukung komitmen penurunan emisi gas rumah kaca secara sukarela merupakan bagian dari kebijakan yang telah ditetapkan di dalam RPJMN

98 Wawancara dengan Ir. Pangusunan Harahap, Kasubid Kawasan Strategis dan Kerjasama BAPPEDA

Provinsi Sumatera Utara. Medan, 20 Maret 2017.

No. Aksi Mitigasi Lembaga Terkait

1

Pembangunan pabrik pengolahan kompos dari TKS dan LCPKS dengan sistem bunker 10% per tahun.

PTP Nusantara II, III, IV; perusahaan besar swasta nasional/asing.

2

PenerapanSystem of Rice Intensification (SRI), pengairan optimum dan penggunaan varietas unggul rendah emisi, dan pengurangan pupuk urea pada tanaman padi sawah.

Dinas Pertanian, BAKORLUH, Badan Ketahanan Pangan.

3

Program non teknis RAD-GRK berupa integrasi rencana aksi terkait sektor pertanian ke dalam kurikulum pendidikan mulai tingkat dasar sampai menengah atas di Provinsi Sumatera Utara.

Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara, Akademisi.

(16)

2010-2014. Dengan demikian, telah sepatutnya isu perubahan iklim mendapatkan prioritas pendanaan melalui mekanisme APBN. Program-program penurunan emisi gas rumah kaca merupakan bagian yang tak terpisahkan dari program pembangunan nasional dengan adaptasi dampak dari perubahan iklim, sehingga tidak bersifat eksklusif.99

Sebagian besar kegiatan penurunan emisi gas rumah kaca akan dilaksanakan oleh daerah, oleh karena itu pembiayaannya harus diintegrasikan dengan program-progam pemerintah daerah yang dibiayai melalui APBD. Selain itu pendanaan kegiatan penurunan emisi gas rumah kaca dapat juga bersumber dari sektor swasta.100

Sumber dana potensial lain untuk menangani perubahan iklim adalah hibah dalam negeri (dari sektor swasta dan masyarakat) yang dikelola oleh pemerintah. Pemerintah akan membuat pengaturan dan mekanisme yang memudahkan pemberi hibah dalam menyalurkan dana tersebut. Beberapa sumber dana swasta dalam negeri yang diharapkan dapat membiayai kegiatan penurunan emisi gas rumah kaca berasal dari perbankan, non perbankan, dan Corporate Social

Responsibility (CSR) dari berbagai perusahaan sesuai dengan Undang-Undang

Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.101

Kedua,sumber pendanaan luar negeri. Pembiayaan program penurunan emisi

gas rumah kaca yang bersumber dari luar negeri terdiri dari kerjasama bilateral maupun multilateral serta pasar karbon. Pemanfaatan dana pinjaman yang

99 Ibid. 100 Ibid. 101 Ibid.

(17)

bersumber dari luar negeri ini sedapat mungkin tidak memberikan beban yang berlebihan bagi keuangan negara. Sedangkan dana yang bersumber dari pasar karbon(carbon trade) bisa dalam bentukClean Development Mechanism (CDM)

dan adanya harapan dari skema Bilateral Offset Carbon Mechanism (BOCM)

gagasan Jepang untuk pendanaan proyek-proyekNAMAs.102

Tabel 3.4 Identifikasi Sumber Pendanaan Aksi Mitigasi dan Adaptasi Sektor Pertanian

Sumber: Wawancara dengan BAPPEDA Provinsi Sumatera Utara. Data Ditampilkan diolah.

102 Ibid.

No. Aksi Mitigasi PendanaanSumber Keterangan

1

Pembangunan bunker

10% per tahun sebagai teknologi pengolahan kompos dari TKS dan LCPKS PTPN II, PTPN III dan PTPN IV, perusahaan besar swasta nasional/asing.

Kegiatan ini diharapkan dapat dimulai pada tahun 2014, sehingga akhir tahun 2020 sebanyak 70% PKS telah membuat

bunker.

2

Penerapan System of Rice

Intensification (SRI),

pengairan optimum dan penggunaan varietas unggul rendah emisi, dan pengurangan pupuk urea pada tanaman padi sawah.

APBN, APBD,

bantuan luar negeri.

Aksi ini berkaitan dengan kegiatan adaptasi tetapi berdampak positif terhadap mitigasi karena mencegah pembentukan gas metana.

3

Program non teknis

RAD-GRK berupa

integrasi rencana aksi terkait sektor pertanian ke dalam kurikulum pendidikan mulai tingkat dasar sampai menengah atas di Provinsi Sumatera Utara.

APBD. Kegiatan ini merupakan media informasi bagi masyarakat untuk meningkatkan

pemahaman serta perubahan

perilaku/mindset yang ditujukan melalui pendidikan formal.

(18)

3.3.1.3 Penyusunan Jadwal Implementasi

Tabel 3.5 Jadwal Implementasi Aksi Mitigasi dan Adaptasi Dampak Perubahan Iklim Terhadap Sektor Pertanian

dari Tahun 2013 hingga 2020

Sumber: Wawancara dengan Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sumatera Utara. Data ditampilkan diolah.

3.3.2 Rencana Monitoring dan Evaluasi 3.3.2.1 Komponen Monitoring

Rencana monitoring penurunan emisi gas rumah kaca dilakukan setiap tahun dari setiap kegiatan aksi penurunan emisi gas rumah kaca. Kegiatan monitoring dilakukan oleh stakeholders terkait dengan berbagai aspek pelaksanaan aksi mitigasi gas rumah kaca yang dirinci sebagai berikut:103

1. Unsur pelaksana monitoring adalah seluruh SKPD Provinsi Sumatera Utara dengan Bappeda Provinsi Sumatera Utara sebagai koordinator;

103 Wawancara dengan Tengku Dianingrum, Anggota Tim Penyusun RAD-GRK Provinsi Sumatera Utara

Tahun 2010-2012 dari Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Utara. Medan, 20 Maret 2017. Lihat juga Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2013.

Petunjuk Teknis Pemantauan, Evaluasi, dan Pelaporan (PEP) Pelaksanaan RAD-GRK. Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Hal. 5-60.

No. Aksi Mitigasi dan Adaptasi 13 14 15 16 17 18 19 20

1 Penerapan System of Rice Intensification (SRI).

2 Pengolahan kompos dari TKS dan LCPKS dengan sistem

bunker.

3 Integrasi RAD-GRK ke dalam kurikulum pendidikan tingkat dasar-menengah atas.

(19)

2. Bappeda Provinsi Sumatera Utara berkoordinasi dengan SKPD terkait, Pemerintah Kabupaten/Kota untuk mengintegrasikan RAD-GRK dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Renstra SKPD, RKPD, dan Renja SKPD;

3. SKPD terkait menyampaikan pelaksanaan kegiatan terkait RAD-GRK setiap tahunnya kepada gubernur untuk diinventarisasi oleh sekretariat RAD-GRK Provinsi Sumatera Utara;

4. Data hasil inventarisasi pelaksanaan kegiatan RAD-GRK digunakan untuk mengamati perkembangan pelaksanaan rencana pembangunan, mengidentifikasi serta mengantisipasi permasalahan yang timbul dan atau akan timbul untuk dapat diambil tindakan sedini mungkin.

3.3.2.2 Komponen Evaluasi

Evaluasi dilakukan dengan maksud untuk dapat mengetahui dengan pasti apakah pencapaian hasil, kemajuan, dan kendala yang dijumpai dalam pelaksanaan rencana pembangunan dapat dinilai dan dipelajari untuk perbaikan pelaksanaan rencana pembangunan di masa yang akan datang. Fokus utama evaluasi diarahkan kepada keluaran (outputs), hasil (outcomes), dan dampak

(impacts) dari pelaksanaan rencana pembangunan. Oleh karena itu, dalam

perencanaan yang transparan dan akuntabel, harus disertai dengan penyusunan indikator kinerja pelaksanaan rencana, yang sekurang-kurangnya meliputi

(20)

indikator masukan, indikator keluaran, dan indikator hasil/manfaat.104

Sebelum ditetapkannya RAD-GRK telah dilakukan evaluasi dengan tujuan untuk memilih dan menentukan skala prioritas dari berbagai alternatif dan kemungkinan cara mencapai tujuan yang telah dirumuskan. Pada tahap pelaksanaan evaluasi dilakukan oleh masing-masing SKPD untuk menentukan tingkat kemajuan pelaksanaan rencana dengan dibandingkan dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya dalam dokumen RAD-GRK Provinsi Sumatera Utara. Setelah pelaksanaan kegiatan rencana aksi dilakukan evaluasi yang diarahkan untuk melihat apakah pencapaian (keluaran/hasil/dampak) program mampu mencapai penurunan emisi gas rumah kaca seperti yang telah dirumuskan dalam dokumen RAD-GRK Provinsi Sumatera Utara. Evaluasi ini digunakan untuk menilai efisiensi (keluaran dan hasil dibandingkan dengan masukan), efektivitas (hasil dan dampak terhadap sasaran), ataupun manfaat (dampak terhadap kebutuhan) dari RAD-GRK Provinsi Sumatera Utara.105

Evaluasi RAD GRK Provinsi Sumatera Utara dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut:106

1. Sekretariat RAD-GRK Provinsi Sumatera Utara menginventarisasi capaian kegiatan aksi mitigasi gas rumah kaca Provinsi Sumatera Utara setiap tahunnya, yang selanjutnya dibandingkan dengan rencana pencapaian dalam dokumen RAD-GRK;

2. Sekretariat RAD-GRK Provinsi Sumatera Utara mempublikasikan hasil

104 Ibid. 105 Ibid. 106 Ibid.

(21)

perhitungan GRK dari setiap sektor yang berguna sebagai bahan pembelajaran, penyadaran, dan bahan review dari kegiatan yang sudah dilakukan, baik oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat di Provinsi Sumatera Utara.

3.3.2.3 Rencana Monitoring dan Evaluasi Aksi Mitigasi dan Adaptasi Sektor Pertanian

Tabel 3.6 Rencana Monitoring dan Evaluasi Sektor Pertanian

Sumber: Dokumen RAD-GRK Provinsi Sumatera Utara.

No. Rencana Aksi Indikator Utama yang di

Monitor Rencana Evaluasi 1 Pembangunan pabrik pengolahan kompos dari TKS dan POME

menggunakan sistem bunker. 1. Pendataan jumlah PKS dengan kapasitas > 60 ton/jam; 2. Jumlah PKS yang membangun sistem bunker; 3. Pelaksanaan pembangunan bunker dan pengoperasiannya. Sebelum diterapkan dan setelah diterapkan perlu evaluasi setiap tahun. 2 Penerapan System of Rice Intensification

(SRI) terutama pada

sawah beririgasi teknis.

1. Pendataan luas areal padi sawah yang beririgasi teknis per Kabupaten/Kota;

2. Jumlah sawah yang menerapkanSRI. Sebelum diterapkan dan setelah diterapkan perlu evaluasi setiap tahun. 3

Integrasi rencana aksi ke dalam kurikulum pendidikan.

Meningkatnya

pemahaman/pengetahuan masyarakat tentang emisi gas rumah kaca melalui pendidikan formal. Evaluasi dan monitoring dilakukan setiap tahun mulai 2015-2020.

(22)

3.4 Analisis Implementasi Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca pada Sektor Pertanian di Provinsi Sumatera Utara

Implementasi kebijakan adalah aktivitas yang terlihat setelah dikeluarkan pengarahan yang sah dari suatu kebijakan yang meliputi upaya mengelola input

untuk menghasilkan output atau outcomes bagi masyarakat.107 Implementasi Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) yang dilaksanakan oleh masing-masing pemerintah daerah merupakan faktor yang sangat penting guna mewujudkan target penurunan emisi gas rumah kaca secara nasional hingga tahun 2020, mengingat komitmen nasional terkait perubahan iklim yang telah disampaikan dalam berbagai forum kerja sama internasional akan direalisasi dalam strategi pembangunan lokal yang diejawantahkan oleh para punggawa daerah. Untuk melihat implementasi Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) pada sektor pertanian di Provinsi Sumatera Utara, maka peneliti akan menggunakan model penelitian evaluasi kebijakan. Model evaluasi yang sering digunakan untuk mengevaluasi kebijakan yaitu responsive evaluation. Responsive evaluation pertama kali diperkenalkan oleh Robert Stake, dalam artikelnya yang berjudul The

Countenance of Educational Evaluation pada tahun 1967.108 Menurut Madaus,

responsive evaluation digunakan untuk evaluasi formatif ketika ada kasus yang

mengindikasikan program tidak dapat mencapai hasil optimal. Responsive

evaluation juga digunakan dalam evaluasi sumatif, ketika ada orang yang ingin

107 Samodra.Op.Cit.

(23)

memahami aktivitas pelaksanaan program.109

Kerangka pikiran yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah politik lingkungan, paradigma pembangunan berkelanjutan, dan teori kebijakan publik, seperti yang telah diuraikan di dalam BAB I. Sedangkan komponen yang digunakan sebagai acuan dalam menilai kelaikan implementasi kebijakan mitigasi dan adaptasi Pemerintah Provinsi Sumatera Utara terkait penurunan emisi gas rumah kaca dari sektor pertanian ini menggunakan indikator yang ada pada Tabel 3.6 tentang Rencana Monitoring dan Evaluasi Sektor Pertanian mengacu pada kesesuaian dengan kerangka waktu pelaksanaan yang dirumuskan seperti pada Tabel 3.5 mengenai Jadwal Implementasi Aksi Mitigasi dan Adaptasi Dampak Perubahan Iklim. Peneliti juga menelaah dokumen-dokumen perencanaan pembangunan daerah milik Provinsi Sumatera Utara yang terkait dengan masalah yang diteliti guna memperdalam analisis dalam penelitian ini, seperti dokumen RPJPD, RPJMD, Renstra SKPD, dan APBD Provinsi Sumatera Utara.

Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) Sektor Pertanian di Provinsi Sumatera Utara yang berisi panduan kebijakan mitigasi dan adaptasi sebagai bagian dari upaya mewujudkan komitmen nasional terkait perubahan iklim, belum berjalan dengan baik dan belum mampu menyumbangkan usaha yang signifikan dalam upaya menurunkan emisi gas rumah kaca, maupun dalam menyokong terwujudnya model pembangunan yang berkelanjutan di Provinsi

(24)

Sumatera Utara. Hal ini dapat dinilai berdasarkan wawancara yang peneliti lakukan dengan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Eksekutif Provinsi Sumatera Utara pada 1 Maret 2017. Walhi Eksekutif Provinsi Sumatera Utara menilai Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) pada sektor pertanian di Provinsi Sumatera Utara belum mampu memberi hasil yang optimal dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca, khususnya emisi yang dilepaskan dari sektor pertanian, disebabkan oleh belum dipahaminya secara utuh dan lengkap tentang perubahan iklim dan upaya mengatasinya serta dampak dari upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak (pemerintah, swasta, dan masyarakat).110

Ketika sebuah kebijakan publik sudah diimplementasikan, ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi kinerjanya. Menurut Meter dan Horn, hal tersebut diantaranya: (a) standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisasikan. Apabila standar dan sasaran kebijakan kabur, maka akan terjadi multi interpretasi dan mudah menimbulkan konflik di antara para agen implementasi; (b) sumber daya harus memadai, baik sumber daya manusia maupun sumber daya non-manusia; (c) hubungan antar organisasi harus saling mendukung dan mampu berkoordinasi dengan baik; (d) karakteristik agen pelaksana, yang mencakup struktur birokrasi, norma-norma dan hubungan yang terjadi dalam birokrasi; (e) kondisi sosial, politik, dan ekonomi, dimana diantaranya menyangkut sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan memberi

110 Wawancara dengan Dana Tarigan, Direktur Walhi Eksekutif Provinsi Sumatera Utara, Medan, 1 Maret

(25)

dukungan bagi implementasi kebijakan, sifat opini publik, dan apakah elit politik mendukung atau tidak implementasi tersebut; (f) disposisi implementor yang mencakup tiga hal penting, yaitu: 1) respon pelaksana kebijakan yang akan memengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan; 2) kognisi, yakni pemahaman terhadap kebijakan; dan 3) preferensi nilai yang dimiliki oleh pelaksana kebijakan.111

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Lubis pula, bahwa kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh pemerintah dengan tujuan tertentu demi kepentingan masyarakat,112 atau Anderson yang mendefinisikan kebijakan publik sebagai tindakan yang secara sengaja dilakukan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan tertentu yang dihadapi,113 maka pada konteks ini dapat dirumuskan bahwa yang menjadi tujuan perumusan kebijakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim pada sektor pertanian adalah menekan laju emisi gas rumah kaca yang dilepaskan oleh sektor pertanian dalam rangka mewujudkan komitmen nasional terkait perubahan iklim sekaligus mengurangi dampak buruk perubahan iklim terhadap sektor pertanian di Provinsi Sumatera Utara. Selanjutnya, menurut Charles O Jones, kebijakan publik terdiri dari beberapa komponen, seperti (1)

goal, yaitu tujuan yang ingin dicapai; (2) plan, yaitu pengertian yang lebih

spesifik untuk mencapai tujuan; (3) decision, tindakan-tindakan untuk menentukan tujuan, membuat rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program,

111 Subarsono.Op.Cit. 112 Solly.Op.Cit. 113 Suharno.Op.Cit.

(26)

dan (4)effect, akibat-akibat yang akan timbul akibat kebijakan yang diambil (baik di sengaja ataupun tidak).114

Pada proses decision, dapat dilihat kesenjangan antara kebijakan yang telah diambil pemerintah sebagai upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim pada sektor pertanian dengan pelaksanaan kebijakan. Hal ini disebabkan oleh kurangnya dukungan yang didapat oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dari para agen implementor untuk mengimplementasikan kebijakan akibat perbedaan preferensi yang dimiliki. Misal, untuk upaya penurunan emisi gas rumah kaca pada perusahaan besar yang memiliki pabrik kelapa sawit melalui pembuatan kompos dengan sistembunker, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara menargetkan sebanyak 10% dari total 135 pabrik kelapa sawit per tahun. Namun, pada kenyataannya saat ini baru ada satu pabrik di Provinsi Sumatera Utara yang beroperasi menggunakan sistem bunker untuk mengelola limbah tandan kosong sawit serta limbah cair (POME). Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pengelola pabrik kelapa sawit di Provinsi Sumatera Utara masih enggan mengamalkan kebijakan ini dengan alasan biaya yang dibutuhkan cukup tinggi untuk membangun sistem bunker. Anggapan ini sebenarnya tidak benar karena meskipun memerlukan sedikit investasi yang tinggi di awal, tetapi perusahaan akan mendapat keuntungan dari kompos dan energi alternatif yang dihasilkan dari pengelolaan limbah.115 Mereka yang berpendapat bahwa pengelolaan limbah pabrik sebagai bagian dari kewajiban produsen dalam upaya pelestarian

114 Hessel.Op.Cit.Hal. 3.

(27)

lingkungan akan menimbulkan biaya produksi yang tinggi sebenarnya juga salah, karena jika produsen tidak mengolah limbahnya, tidak berarti biaya yang timbul karena limbah atau emisi yang dihasilkan menjadi “hilang”. Biaya yang tidak dikeluarkan oleh produsen hanya dialihkan kepada orang-orang yang hidup di sekitar pabrik dalam bentuk gangguan kesehatan, kelangkaan air, gangguan saluran pernapasan, dan sebagainya. Pada akhirnya ini menjadi masalah keadilan. Apakah biaya lingkungan harus dipikul oleh produsen, atau oleh orang-orang yang hidup di sekitar pabrik?116

Saat ini, teknologi pengelolaanPOMEyang umum digunakan adalah dengan menggunakan teknologi kolam terbuka yang meskipun murah namun tidak ramah lingkungan. Sebagian pabrik bahkan ada juga yang membuang langsung limbah cairnya ke aliran sungai yang berakibat pada rusaknya ekosistem sekitar sungai dan mengganggu kehidupan masyarakat di sepanjang aliran sungai tersebut. Kurang reaktifnya pemerintah daerah dalam upaya penerapan rencana aksi, pengawasan, serta pemberian sanksi terhadap pengelolaan pabrik -terutama pengelolaan limbah pabrik-yang tidak sesuai dengan instrumen kebijakan yang yang telah juga dirumuskan patut dipertanyakan. Kurang reaktifnya berbagai unsur terkait di Provinsi Sumatera Utara terhadap masalah ini juga dapat dilihat dari hasil penilaian Program Peringkat Kinerja Perusahaan (PPKP) periode 2012–2013 yang menunjukkan ada 31 perusahaan di Provinsi Sumatera Utara yang mendapatkan rapor buruk dalam pengelolaan lingkungan hidup. Sebanyak

116 Lihat Nabiel Makarim. 2005.Pelestarian Lingkungan dan Penanggulangan Kemiskinan. Dalam Buletin

(28)

30 perusahaan mendapat conteng merah dan satu hitam. Sebagian besar perusahaan katagori merah dan hitam itu, bergerak di perkebunan sawit. Perusahaan-perusahaan ini, dianggap tak memenuhi dan mentaati aturan soal pengelolaan lingkungan yang baik. Perusahaan-perusahaan ini, melakukan perusakan lingkungan dengan membuang limbah ke alam tanpa memperhatikan dampak bagi kesehatan masyarakat sekitar. Terbanyak, limbah cair sangat berbahaya, melalui aliran sungai baik terbuka pada pagi dan siang hari, atau dibuang diam-diam pada malam dan dini hari. Data dari Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Utara, hanya ada tujuh perusahaan masuk kategori hijau, dan 43 perusahaan masuk kategori biru dalam pengelolaan lingkungan. Perusahaan-perusahaan ini masih terus menjalankan perilaku kotor terhadap lingkungan hingga hari ini tanpa ada sanksi tegas dari pihak terkait.117

Jika merujuk pada the Local Agenda 21 Planning Guide (1996:1), pemerintah lokal-dalam hal ini Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara- memegang peran kunci dalam mendorong keberhasilan dan kegagalan implementasi pembangunan berkelanjutan, mengingat pemerintah lokal-lah yang merancang dan menentukan standar, regulasi, pajak, dan biaya-biaya yang

117 Audit dan evaluasi ini meliputi ketaatan perusahaan terhadap peraturan lingkungan hidup, bagaimana

pengolahan limbah B3, manajemen instalasi pengolahan air limbah (IPAL), dan komitmen pada pelestarian lingkungan. Selain itu juga memonitor perusahaan dalam menyalurkancorporate social responsibility (CSR)

sebagai sebuah tanggung jawab sosial kepada masyarakat dan lingkungan. Selengkapnya lihat Ayat Suheri Karokaro. 2014. 30 Perusahaan Sumut Buruk dalam Pengolahan Lingkungan. Di akses melalui http://mongabay.co.id/2014/01/02/30-perusahaan-sumut-buruk-dalam-pengolahan-lingkungan/ pada 24 Maret 2017 pukul 12:40 WIB. Lihat juga Patroli News. 2017. 60 Persen Pabrik di Sumut Cemari Lingkungan. Di akses melalui

http://patrolinews.com/view/Politik/5592/60-Persen-Pabrik-di-Sumut-Cemari-Lingkungan.html pada 24 Maret 2017 pukul 11:29 WIB.

(29)

menentukan parameter pembangunan ekonomi.118 Dalam hal ini dibutuhkan usaha pemerintah dalam meyakinkan semua pihak bahwa pelaksanaan kegiatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim khususnya pada sektor pertanian sebagaimana yang telah dirumuskan dalam Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Provinsi Sumatera Utara adalah bagian dari aspek instrumen ekonomik pengelolaan lingkungan yang tidak terlalu memberatkan pengusaha. Disamping itu pemerintah perlu pula menindak tegas para pengusaha pabrik kelapa sawit yang tidak mengindahkan kebijakan yang telah dibuat. Jangan sampai Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Provinsi Sumatera Utara yang telah dibuat pada akhirnya hanyalah menjadi sekadar

“non-enforcement policy”. Aturan dibuat tetapi tidak untuk dilaksanakan. Jika

perlu pemerintah dapat mencabut izin operasional perusahaan yang terbukti telah melakukan pelecehan terhadap hukum lingkungan dan mengangkangi visi pembangunan berkelanjutan.

Begitu pula terkait denganSystem of Rice Intensificationuntuk tanaman padi, Walhi Eksekutif Provinsi Sumatera Utara menilai bahwa Pemerintah Provinsi Sumatera Utara belum serius dalam mengimplementasikan rencana aksi tersebut. Di lapangan, masih banyak petani yang belum melaksanakan System of Rice

Intensification tersebut. Saat ini, lahan pertanian yang sudah menggunakan

System of Rice Intensification baru terdapat di Kabupaten Deli Serdang dan

(30)

Tapanuli Tengah, dengan luas lahan baru berkisar 100 hektar.119 Ironis sekali bahwa di saat yang sama, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara juga tengah mengupayakan program swasembada pangan melalui upaya teknik pertanian yang tidak berkelanjutan. Penyediaan pestisida dan pupuk kimia yang kian dipermudah oleh pemerintah untuk mendorong program swasembada pangan telah mendorong petani semakin jauh dari sistem pertanian organik dan ramah lingkungan. Belum lagi ditambah dengan program penyeragaman benih yang alih-alih diharapkan mampu memperbaiki kinerja pertanian, justru menimbulkan kekhawatiran keretanan terhadap gangguan hama dan persoalan lingkungan. Semakin seragam (monokultur) tanaman maka risiko kegagalan panen (karena rusak, tidak tumbuh, gangguan hama) semakin tinggi (Fuglie dan Kascak, 2001).120

Di masa mendatang, praktik pertanian yang “memaksa” produktivitas tinggi dengan asupan pupuk kimia dan pestisida akan menurunkan kesuburan tanah secara nyata. Hal ini mengakibatkan kerusakan tanah (sifat fisika, kimia, dan biologi) yang menurunkan daya dukung dan produktivitas (Barbier, 2000). Lahan yang sempit akan digunakan terus menerus hampir tanpa jeda sehingga terjadi penggunaan yang berlebih (over exploitation), menguras kesuburan tanah, menggunakan air secara “berlebih” dan menghilangkan keragaman hayati. Dalam jangka panjang akan terjadi kerusakan lahan yang berakibat pada penurunan produktivitas normal. Kecenderungan ini memaksa penggunaan input dan upaya

119 Wawancara dengan Dana Tarigan.Op.Cit.

(31)

yang lebih besar untuk menghindari laju penurunan produktivitas yang semakin cepat.121

Disampaikan M. Azhar Harahap, Pelaksana Tugas Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sumatera Utara, masalah pendanaan menjadi kendala pemerintah dalam melakukan sosialisasi, menyediakan benih padi beremisi rendah, hingga uji coba program kepada petani. Hal serupa juga disampaikan Ir. Pangusunan Harahap, Kepala Sub Bidang Kawasan Strategis dan Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Sumatera Utara, yang menyatakan bahwa saat ini perbandingan antara seluruh belanja daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dengan belanja bidang lingkungan hidup masih sangat rendah, hanya 0,92% dari komposisi APBD Provinsi Sumatera Utara. Itupun hanya mampu direalisasikan sebesar 9,7 persennya saja.122

121 Ibid.

122 Wawancara dengan Ir. Pangusunan Harahap, Kepala Sub Bidang Kawasan Strategis dan Kerjasama

(32)

Gambar 3.2 Komposisi APBD Provinsi Sumatera Utara123

Sumber: Wawancara dengan BAPPEDA Provinsi Sumatera Utara. Data ditampilkan diolah.

Sedangkan melalui pendidikan, Walhi Eksekutif Provinsi Sumatera Utara menilai kesadaran masyarakat serta pengetahuan yang dimiliki tentang upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim masih sangat rendah. Hal ini dapat dibuktikan melalui data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara tahun 2016 terkait tingkat pengetahuan tentang perubahan iklim. Berdasarkan data hasil Survei Penduduk Antar Sensus tahun 2015 (SUPAS 2015) Provinsi Sumatera Utara hanya 26,55 persen rumah tangga yang tahu mengenai perubahan iklim. Hal tersebut menunjukkan bahwa hanya seperempat populasi rumah tangga di Sumatera Utara yang mengetahui isu perubahan iklim. Jumlah

123 Perbandingan antara seluruh belanja dalam APBD Provinsi Sumatera Utara dengan belanja bidang

lingkungan hidup (APBD dalam triliun rupiah). Gambar 3.2 menunjukkan alokasi anggaran lingkungan tertinggi terjadi pada 2012 yakni 1,14% dari nilai total APBD Provinsi Sumatera Utara saat itu. Sedangkan alokasi anggaran lingkungan pada tahun 2015 adalah yang terendah dalam 6 tahun terakhir yakni sebesar 0,40%. Ir Pangusunan Harahap menuturkan, alokasi normal untuk anggaran lingkungan setidaknya Rp 35 miliar.

(33)

tersebut masih sangat minim mengingat pentingnya pengetahuan tentang perubahan iklim dan adaptasi terhadap perubahan iklim menjadi suatu keharusan agar masyarakat dapat berperan aktif dalam mencegah berbagai dampak dari perubahan iklim. Upaya yang lebih luas dan sunguh-sungguh perlu terus ditingkatkan sehingga semakin banyak masyarakat yang memiliki pengetahuan tentang perubahan iklim.124

Ada tiga alasan kenapa pendidikan dan aksi melawan perubahan iklim sebenarnya berhubungan dan saling melengkapi. Pertama, pendidikan mengisi kesenjangan pengetahuan. Memahami dampak yang sudah diakibatkan perubahan iklim terhadap hidup seseorang akan memberi keuntungan praktis, terutama bagi penduduk miskin yang paling rentan menderita gagal panen dan bencana alam, seperti longsor dan banjir, peristiwa yang disebabkan oleh perubahan iklim. Bagi komunitas yang harus membangun ulang dari nol setiap bencana menimpa, mereka kehilangan peluang dalam percepatan pembangunan. Ketika komunitas memahami perubahan yang tengah terjadi – dan bertambahnya kemungkinan terjadi bencana – mereka bisa meningkatkan ketahanan dan beradaptasi terhadap dampak buruk perubahan iklim.125

Kedua, pendidikan melawan sikap apati. Adanya pengetahuan tentang

upaya-upaya mengatasi perubahan iklim bisa membuka peluang untuk pertumbuhan ekonomi. Investor yang masuk ke daerah harus menyadari bahwa

124 Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara. 2016. Profil Kependudukan Sumatera Utara Hasil SUPAS 2015. Medan: Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara. Hal. 146.

125 National Geographic Indonesia. 2016.Kurangnya Pendidikan Terkait Perubahan Iklim. Di akses melalui

http://nationalgeographic.co.id/berita/2016/02/kurangnya-pendidikan-terkait-perubahan-iklim pada 24 Maret 2017 pukul 11:23 WIB.

(34)

solusi-solusi yang berkelanjutan akan meningkatkan kesejahteraan dan menghasilkan peluang ekonomi lebih banyak. Contohnya, di beberapa negara berkembang, pendidikan dan teknik-teknik bertani yang mutakhir membantu melipatgandakan pemasukan bagi lebih dari satu juta orang, sembari memulihkan tanah-tanah yang rusak parah. Akan tetapi, banyak orang bersikeras bahwa upaya mitigasi dampak perubahan iklim terlalu mahal bagi gaya hidup saat ini. Anggapan tersebut tidak benar dan pendidikan bisa melawan sifat skeptis semacam ini yang menutup peluang gaya hidup hijau atau cerdas iklim.126

Terakhir, pendidikan menyuguhkan pengetahuan teknis yang dibutuhkan

untuk membangun masa depan lebih baik melalui inovasi – masa depan yang diisi dengan energi bersih dan aman, pertanian berkelanjutan, dan kota-kota cerdas (smart cities). Perluasan akses kepada pendidikan akan menyuburkan inovasi dalam negeri – wirausaha akan memanfaatkan peluang untuk menanggulangi persoalan setempat. Pemerintah tidak bisa semata mengandalkan pusat-pusat pengetahuan untuk mengembangkan “peluru perak” yang akan memberantas semua masalah perubahan iklim. Solusi-solusi bisa digodok di pusat-pusat teknologi tapi juga bisa berasal dari desa dan kota yang berkembang, dihasilkan oleh petani dan produsen dengan berbagai sudut pandang terhadap dunia di sekitar mereka. Ini akan menciptakan sebuah lingkaran kebajikan

(virtuous cycle). Menjadi lebih mudah bagi orang-orang yang berpendidikan

untuk pindah dan menyatu dengan komunitas baru, serta berbagi pengetahuan

(35)

yang mereka bawa. Intinya, sangat penting bagi pemerintah untuk menciptakan generasi muda yang lebih berpendidikan dan berkomitmen untuk mengurangi jejak karbonnya (carbon footprint)masing-masing daripada generasi sebelumnya. Generasi yang siap memimpin aksi dan berkukuh agar kita semua memikirkan ulang dampak setiap tindakan.127

3.5 Menjawab Tantangan Implementasi Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Provinsi Sumatera Utara Sektor Pertanian

Terdapat paparan simbolik-metaforik dari R. Latter atas kondisi lingkungan kontemporer. Diungkapkan bahwa penduduk Perancis beriang gembira menggunakan teka-teki untuk mengajarkan kepada anak-anak sekolah tentang sifat pertumbuhan yang berlipat ganda. Sebuah kolam teratai, begitu teka-teki itu dimulai, berisi selembar daun. Tiap hari jumlah daun itu berlipat dua. Dua lembar daun pada hari kedua, empat pada hari ketiga, dan delapan pada hari keempat, demikian seterusnya. Jika kolam itu penuh pada hari ketiga puluh, kapankah kolam itu berisi separuhnya? Begitu ditanyakan. Jawabnya adalah: “pada hari kedua puluh sembilan.” Cangkriman ini dirujuk pula oleh L.R. Brown dalam bukunya The Twenty Ninth Day: Accomodating Human Need and Numbers to

The Earth‘s Resources.128

Sudah dapat dipastikan secara prediktif bahwa kondisi kolam teratai itu, kini mungkin sudah penuh seluruhnya, padahal waktu penyelamatannya tinggal sehari

127 Ibid.

128 Lihat Dr. Suparto Wijoyo. 2013.Hidup Politik... Hidup Otonomi... dan Bagaimana Ekologi?Dalam

(36)

saja. Maka semua pihak - pemerintah, swasta, dan masyarakat - harus memahami urgensi kebutuhan memulihkan kualitas lingkungan. Pencemaran lingkungan tampaknya tak kenal kompromi dan kerap meluas tiada henti melanda lorong-lorong lingkungan dengan rentetan kompleksitas konsekuensi yang problematik. Sayangnya, dalam kaitannya dengan kebijakan di tingkat daerah, implementasi kebijakan untuk mewujudkan pengurangan laju eksploitasi sumber daya alam dan mengurangi laju pelepasan emisi gas rumah kaca yang mendorong terjadinya perubahan iklim-salah satu isu lingkungan yang paling esensial saat ini, belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Padahal, kerugian yang ditimbulkan oleh pemanasan global akibat perubahan iklim adalah nyata. Kerugian ini termasuk estimasi biaya ekonomi yang harus dikeluarkan pemerintah akibat bencana-bencana yang ditimbulkan oleh perubahan iklim, seperti ketersediaan air bersih, merosotnya produktivitas dan hasil usaha tani, meningkatnya gangguan kesehatan, penyebaran hama dan penyakit (tanaman dan manusia), bahaya kelaparan, kurang gizi, dan konflik sosial129

Mengamati implementasi kebijakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang dilakukan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara pada sektor pertanian hingga hari ini, tampak lah lebarnya kesenjangan antara retorika (das Solen) kebijakan dan pelaksanaan di lapangan (das Sein). Laporan tahunan hasil Pemantauan, Evaluasi, dan Pelaporan (PEP) Inventarisasi Gas Rumah Kaca yang diverifikasi Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Utara menunjukkan hingga

(37)

penghujung tahun 2016 program penurunan emisi gas rumah kaca di Provinsi Sumatera Utara secara keseluruhan baru berhasil menurunkan tingkat emisi sebesar 2%. Kenyataan di lapangan menunjukkan berbagai tantangan masih banyak dijumpai dalam upaya mengimplementasikan kebijakan penurunan emisi gas rumah kaca di Provinsi Sumatera Utara, baik dari unsur administrasi pemerintahan, legal formal, maupun politik.

Salah satu aspek yang diidentifikasi oleh peneliti sebagai tantangan bagi implementasi Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Provinsi Sumatera Utara pada sektor pertanian adalah adanya kebijakan atau peraturan pemerintah daerah yang kurang sesuai atau saling bertentangan sehingga pelaksanaan Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca sektor pertanian kurang berjalan lancar. Misalnya dalam Rencana Strategis (Renstra) Dinas Kehutanan, strategi yang diusung adalah peningkatan pemanfaatan hutan di Provinsi Sumatera Utara. Sedangkan untuk Dinas Pertanian memiliki tiga rencana strategis, yaitu (1) mendorong peningkatan produktifitas; (2) pengembangan ekonomi; dan (3) mendorong diversifikasi produksi.130 Maka tidak heran jika saat ini pemerintah tengah menargetkan penambahan hingga mencapai 1,8 juta hektar lahan kelapa sawit lagi dengan dalih membuat Provinsi Sumatera Utara lebih sejahtera. Kebijakan ini akhirnya diikuti oleh berita hilangnya 75% kawasan hutan bakau di Provinsi Sumatera Utara dan ribuan hektar lahan Taman Nasional Gunung Leuser yang kini beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit. Hal ini

130 Lihat Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. 2014.Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah 2014-2018. Di akses melalui http://www.sumutprov.go.id/tentang-provsu/rencana-strategis pada 24 Maret 2017 pukul 13:00 WIB.

(38)

tentu juga makin menambah tingkat emisi gas rumah kaca yang terlepas ke udara akibat konversi hutan.131

Sebenarnya untuk menopang pertumbuhan ekonomi daerah pemerintah provinsi dapat menyiasati industri sawit di daerah dengan membatasi pembukaan lahan sawit baru namun memberikan rekomendasi terhadap perusahaan yang ingin membangun industri hilir. Hal ini akan meningkatkan perkembangan ekonomi Provinsi Sumatera Utara dibanding kondisi sekarang. Caranya, dengan meningkatkan nilai ekonomi melalui pengurangan ekspor CPO dan PKO dan mendorong transformasi teknologi pengolahan kelapa sawit untuk menghasilkan produk turunannya. Peningkatan ekonomi tersebut dapat ditingkatkan lagi jika kita melakukan upaya adaptasi. Di sektor pertanian tanaman pangan misalnya, perbaikan atau introduksi varietas yang lebih tahan cekaman iklim, pengembangan teknologi hemat air, penguatan lembaga penyuluh pertanian dan sumber daya penyuluh yang memahami soal iklim, serta meningkatkan kapasitas petani dalam memanfaatkan informasi iklim untuk mengelola risiko iklim yang kian meningkat di masa mendatang.

Memang, untuk itu diperlukan investasi awal yang cukup besar. Gambar 3.2 menunjukkan bahwa biaya adaptasi akan meningkat hingga tahun 2020 setara 0,5 persen dari PDRB provinsi, dan berangsur-angsur menurun. Keuntungan upaya adaptasi yang dilakukan lebih awal akan dirasakan setelah tahun 2050. Setelah

131 Lihat WANADRI. 2017.Ancaman Pembukaan Lahan di Taman Nasional Gunung Leuser Itu Memang Ada. Di akses melalui

http://wanadri.or.id/home/2017/02/ancaman-pembukaan-lahan-di-taman-nasional-gunung-leuser-itu-memang -ada-february-23-2017-junaidi-hanafiah-aceh-hutan-ancaman-pembukaan-lahan-di-wilayah-tngl-untuk-dijadi kan-kebun-jagung-memang-ad/ pada 24 Maret 2017 pukul 19:53 WIB.

(39)

tahun itu, biaya adaptasi tidak terlalu besar dan keuntungan yang diperoleh jauh melebihi biaya yang dikeluarkan. Karena itu, upaya adaptasi dan mitigasi perlu dilakukan sedini mungkin untuk menghindari kerugian lebih besar di kemudian hari.

Gambar 3.2 Estimasi Biaya dan Keuntungan Pelaksanaan Kegiatan Adaptasi di Indonesia, Thailand, Filipina, dan Vietnam

Sumber: Asian Development Bank, A Regional Review of the Economics of Climate Change in Southeast Asia, 2009.

Untuk hal itu, diperlukan internalisasi atau pengarusutamaan pertimbangan sektor lingkungan dalam penyusunan Kebijakan Umum Anggaran - Program Prioritas Anggaran (KUA - PPA). Dengan dimasukkannya perspektif lingkungan ke dalam prioritas perencanaan yang mengarah ke integrasi manfaat dan biaya terkait lingkungan hidup ke dalam dokumen siklus fiskal pemerintah, maka kebijakan pendanaan untuk mendukung komitmen penurunan emisi gas rumah

(40)

kaca tidak bersifat eksklusif dan dianggap membebani APBD. Hal ini mengingat bahwa sesungguhnya dalam konteks yang lebih luas penganggaran hijau tidak hanya terbatas pada tujuan penanganan perubahan iklim namun juga pelestarian lingkungan hidup. Lebih jauh lagi dibutuhkan sinkronisasi antara Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dengan RPJPD, RPJMD, Renstra SKPD, dan APBD Provinsi Sumatera Utara sehingga aktivitas RAD GRK didukung dengan sasaran, indikator kinerja, dan pembiayaan yang terintegrasi dengan rencana pembangunan daerah. Kebijakan yang ada saat ini dapat dikaji ulang agar pelaksanaan dan koordinaasi kegiatan dapat dipantau, dicarikan jalan keluar atas tantangan yang dihadapi, dan disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan pembangunan daerah. Dengan begitu akan terasa bahwa politik dapat menjadi pemantik penyelamatan lingkungan dengan green politics yang maujud dalamgreen policiesyang diproduksi negara.

Tantangan selanjutnya yang teridentifikasi dari hasil penelitian ini adalah bagaimana meningkatkan pemahaman masyarakat terkait perubahan iklim yang bertujuan untuk menghasilkan perubahan perilaku jangka panjang dan mendorong lebih banyak individu dalam mengembangkan ide dan keahliannya untuk solusi perubahan iklim di masa depan. Tren yang ada saat ini menunjukkan bahwa tiga dari lima guru, tidak menyadari, atau secara aktif salah menginformasi tentang konsesus ilmiah tentang perubahan iklim. Selain itu, ditemukan kecenderungan bahwa guru yang ingin mengajar perubahan iklim memiliki waktu yang sulit mengakses informasi dan mengevaluasi bahan-bahan

(41)

terkait yang tersedia .132 Untuk itu, pemerintah perlu memberi stimulus kepada akademisi di daerah untuk menghasilkan publikasi ilmiah mengenai perubahan iklim. Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) juga perlu didorong untuk menghasilkan bahan ajar sisipan materi yang sesuai dengan tema perubahan iklim untuk tingkat SD, SMP, dan SMA. Tanpa pengetahuan lokal yang disediakan, lebih menantang untuk mengintegrasikan rencana aksi ke dalam kurikulum pendidikan, dan ini menjadi celah dalam implementasi kebijakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di Provinsi Sumatera Utara.

Jargon para pemikirgreen politics, think globally act locally (berpikir secara global namun bertindak secara lokal) dalam hal ini tampaknya sesuai untuk membangun kapasitas masyarakat sadar dan paham terhadap dampak perubahan iklim. Tanpa pengetahuan yang memadai mengenai perubahan iklim, dampak yang dihasilkan dari kejadian perubahan iklim, serta bagaimana beradaptasi terhadap dampaknya, maka suatu daerah akan semakin rentan terhadap dampak-dampak yang dihadapi. Pendidikan memang tidak mengenal usia, namun memberikan pemahaman mengenai perubahan iklim sedari dini dipercaya dapat menciptakan sumber daya manusia yang lebih siap dan memiliki kapasitas untuk merespon dampak perubahan iklim tersebut. Harapannya ini juga dapat menginisiasi perubahan perilaku masyarakat untuk semakin peduli pada lingkungannya. Pendidikan mengenai perubahan iklim juga dapat didorong melalui praktik dalam keseharian siswa. Praktik langsung dipercaya dapat

(42)

memberikan pengalaman yang lebih mudah diingat anak-anak dalam mempelajari sesuatu, seperti mata pelajaran muatan lokal yang diisi dengan pengetahuan pertanian hidroponik sebagai contoh aksi adaptasi perubahan iklim, aktivitas pembuatan biopori, kompos, dan sebagainya. Pembelajaran pendidikan ketahanan iklim di sekolah mendorong peningkatan pemahaman, sikap, dan tindakan pengelolaan lingkungan dan pengetahuan tersebut dibawa siswa ke rumah.

(43)

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Memperhatikan hasil telaah di atas dapat diambil beberapa catatan:

1. Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) Provinsi Sumatera Utara disusun sebagai bentuk internalisasi Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) Indonesia di tingkat lokal. Sebuah pendekatan yang diawali dari suatu komitmen global untuk pengurangan emisi sebesar 26% hingga tahun 2020 melalui mekanisme usaha sendiri (Business as usualBAU) atau sebesar 41% dengan bantuan internasional;

2. Arsitektur Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) Provinsi Sumatera Utara Sektor Pertanian dirancang bangun dengan mengedepankan tiga aksi prioritas, yaitu: (1) mengupayakan penurunan emisi gas rumah kaca pada perusahaan besar yang memiliki pabrik kelapa sawit melalui pembuatan kompos dengan sistem bunker, yaitu memanfaatkan limbah cair (POME) dan tandan kosong sawit; (2) penerapan

System of Rice Intensification (SRI); dan (3) integrasi rencana aksi ke dalam

kurikulum pendidikan;

(44)

masih jauh dari kenyataan. Misal, untuk upaya penurunan emisi gas rumah kaca pada perusahaan besar yang memiliki pabrik kelapa sawit melalui pembuatan kompos dengan sistem bunker, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara menargetkan sebanyak 10% dari total 135 pabrik kelapa sawit per tahun. Namun, pada kenyataannya saat ini baru ada satu pabrik di Provinsi Sumatera Utara yang beroperasi menggunakan sistem bunker untuk mengelola limbah tandan kosong sawit serta limbah cair (POME). Begitu pula terkait dengan System of Rice Intensification untuk tanaman padi. Saat ini, lahan pertanian yang sudah menggunakan System of Rice Intensification

baru terdapat di Kabupaten Deli Serdang dan Tapanuli Tengah, dengan luas lahan baru berkisar 100 hektar. Kenyataan di lapangan justru menujukkan bahwa sistem pertanian yang diterapkan di Provinsi Sumatera Utara semakin jauh dari model pertanian berkelanjutan. Data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara tahun 2016 terkait tingkat kesadaran masyarakat serta pengetahuan yang dimiliki tentang perubahan iklim juga belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Berdasarkan data hasil Survei Penduduk Antar Sensus Tahun 2015 (SUPAS 2015) Provinsi Sumatera Utara hanya 26,55% rumah tangga yang tahu mengenai perubahan iklim.

4. Secara umum, realisasi penurunan laju emisi gas rumah kaca di Provinsi Sumatera Utara baru berjalan 2%, padahal hanya tersisa waktu 3 tahun dari target yang ditetapkan pemerintah untuk menurunkan emisi sebesar 26%

(45)

hingga tahun 2020 melalui mekanisme usaha sendiri (Business as usual

BAU) atau sebesar 41% dengan bantuan internasional. Penyebab belum terealisasinya Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) Provinsi Sumatera Utara Sektor Pertanian secara baik adalah: (a) belum dipahaminya secara utuh dan lengkap tentang perubahan iklim dan upaya mengatasinya serta dampak dari upaya yang dilakukan oleh swasta dan masyarakat, hal ini pada akhirnya menyebabkan proses implementasi kebijakan tidak mendapat dukungan yang baik dari para agen implementor di lapangan. Hal ini dapat dilihat dari masih adanya kontroversi di lapangan terkait kewajiban pabrik kelapa sawit untuk mengolah limbah; (b) terdapatnya kebijakan atau peraturan pemerintah daerah yang kurang sesuai atau saling bertentangan sehingga muncul ketidaktegasan dan standar ganda yang dilakukan pemerintah dalam menangani permasalahan lingkungan dan upaya mewujudkan agenda pembangunan daerah yang pada akhirnya menghambat pelaksanaan Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) sektor pertanian dan menggangu jalannya proses pembangunan yang berkelanjutan di Provinsi Sumatera Utara; (c) aspek pendanaan;

5. Peneliti menilai prioritas rencana aksi penurunan emisi gas rumah kaca Provinsi Sumatera Utara belum selaras dengan perencanaan pembangunan daerah, prinsip pembangunan ekonomi, pengentasan kemiskinan, dan pembangunan berkelanjutan. Agenda pembangunan di Provinsi Sumatera

(46)

saat ini terlampau berorientasi kepada utilitarianisme (utilitarianism). Orientasi ini dapat dilihat dari penekanan lingkungan hidup hanya sebagai instrumen atau sumber daya untuk didayagunakan (eksploitasi) oleh manusia dengan mengesampingkan kebutuhan lingkungan alam(natural environment)

itu sendiri.

4.2 Saran

1. Diperlukan peningkatan kapasitas daerah-dalam hal ini Provinsi Sumatera Utara-untuk berkontribusi secara nasional dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca agar komitmen Indonesia di tingkat global tidak berada di ruang “kosong” dan akhirnya dianggap pencitraan semata di mata dunia internasional dan malahan akan menimbulkan potensi peningkatan hutang Indonesia yang berasal dari bantuan-bantuan asing yang diharapkan membantu pengurangan emisi gas rumah kaca di Indonesia. Untuk itu, peningkatan pemahaman akan perubahan iklim dan upaya mengatasinya serta dampak dari upaya yang dilakukan diperlukan bagi pemerintah, swasta, dan masyarakat Provinsi Sumatera Utara;

2. Seyogyanya Pemerintah Provinsi Sumatera Utara harus mendorong para pihak (swasta dan masyarakat) untuk berperan menurunkan emisi gas rumah kaca. Mengingat bahwa Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) adalah panduan bagi pemerintah, swasta, dan masyarakat untuk melakukan kegiatan yang berdampak terhadap penurunan emisi gas

(47)

rumah kaca di daerah.

3. Peraturan Gubernur Nomor 36 Tahun 2012 tentang Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) Provinsi Sumatera Utara harus dijadikan salah satu acuan bagi penetapan Kebijakan Umum Anggaran - Program Prioritas Anggaran (KAU-PPA) mulai dari tingkat provinsi hingga kabupaten/kota, sehingga dapat tersedia “anggaran hijau” yang lebih layak untuk upaya penurunan emisi gas rumah kaca dan perbaikan kualitas lingkungan yang lebih sehat di Provinsi Sumatera Utara, serta menjadi acuan penyusunan agenda pembangunan daerah. Dengan begitu politik dapat menjadi pemantik penyelamatan lingkungan dengan green politics yang maujud dalamgreen policiesyang diproduksi negara;

4. Di Indonesia ada kecenderungan pemerintah daerah bisa tidak mematuhi hukum dan peraturan lingkungan nasional jika tidak ada insentif keuangan atau ancaman penegakan hukum. Untuk itu, perlu kiranya dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap target penurunan emisi dan rencana aksi penurunan emisi gas rumah kaca melalui penyempurnaan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca terutama mengenai metode atau cara penurunan emisi gas rumah kaca, pelaksana, dan pendanaannya;

5. Melihat besarnya kerugian yang telah disebabkan oleh perubahan iklim di sektor pertanian di Provinsi Sumatera Utara serta kemungkinan adanya dampak buruk yang lebih besar dan akan berimbas pada sektor-sektor lain di

(48)

masa depan, maka pemerintah harus mulai memikirkan secara serius desain kebijakan pembangunan daerah yang tanggap perubahan iklim guna menghindari besarnya pinalty cost yang harus dibayar di masa depan karena keterlambatan pengendalian.

Gambar

Gambar 3.1 Sumber Emisi Gas Rumah Kaca Provinsi Sumatera Utara Sektor Pertanian
Tabel 3.1 Kerangka Waktu Penyusunan RAD-GRK Provinsi Sumatera Utara Tahun 2012
Tabel 3.2 Pembagian Urusan dan Kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara
Tabel 3.3 Pemetaan Kelembagaan Aksi Mitigasi Sektor Pertanian
+6

Referensi

Dokumen terkait

yakni apabila melodi ngajak pada awalnya hanya dimaikan oleh piol dengan tidak terikat dengan tempo, pada tahap nutup, ayunan atau melodinya dimainkan secara

Program Studi S3 FK UGM berusaha mewadahi para pemikir, praktisi, peneliti yang memiliki minat sama di bidang keolahragaan dan sains dengan membentuk Klaster

selaku dosen wali, dosen pembimbing II dan Sekretaris Program Studi S1 Teknik Geodesi Universitas Diponegoro yang telah sangat banyak membantu, membimbing, memberi

selain itu mereka tak lupa untuk menggosok gigi menggunakan sikat gigi yang diberi pasta gigi sehingga gigi mereka menjadi putih dan kuat bobi dan nita juga terhindar dari

Bank Permata Tbk, terdaftar dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan dan merupakan peserta penjaminan Lembaga Penjamin

Gambar diatas merupakan diagram konteks dari Sistem Pembukaan Kelas, dimana pada diagram konteks ini terdapat 2 entitas yaitu Admin/Kaprodi dan User /Akademik. Entitas Admin/Kaprodi

waktu aktivitas puncak insulin dan selama atau s etelah latihan. Penambahan berat badan yang tidak diinginkan Penambahan berat badan yang tidak diinginkan.. Remaja yang meningkatkan

Untuk dapat menjawab pertanyaan dari rumusan masalah, digunakan teori rational choice , agar dapat mengetahui kebijakan yang diambil oleh sebuah negara berdasarkan