• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menurut Hukum Adat

Hukum adat waris adalah aturan-aturan hukumadat yang mengatur tentang bagaimana harta peninggalan atau harta warisan diteruskan atau dibagi dari pewaris kepada para waris dari generasi ke generasi berikitnya. Menurut Ter Haar di katakana bahwa “ Hukum adat waris adalah aturan-aturan hukumyang mengatur tentang cara bagaimana dari masa ke masa proses penerusan dan peralihan harta kekayaan yang berwujut dan tidak berwujut dari generasi ke generasi ( Ter Haar, 1950 : 17 ; Hilman Hadi Kusuma, 1980 : 17 )”. Dengan demikian hukum adat waris itu mengandung 3 unsur yaitu harta peninggalan atau harta warisan,adanya pewaris yang meninggalkan harta kekayaan dan adanya ahli waris atau waris yang akan meneruskan pengurusannya atau yang akan menerima bagiannya.

Hukum adat waris di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh susunan masyarakat kekerabatannya yang berbeda. Sebagaimana dikatakan Hazairin bahwa “ bahwa Hukum waris adat memliliki corak tesendiri dari alam pikiran masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya Patrilinial, matrilineal, parental atau bilateral6

; walaupun pada bentuk kekerabatan yang sama belum tentu berlaku sistem kewarisan yang sama.

Sistem kewarisan

Dilihat dari orang yang mendapat warisan ( Kewarisan ) di Indonesia terdapat tiga sistem, yaitu sistem kewarisan kolektif, kewarisan mayorat, kewarisan individual. Diantara ketiga sistem kewarisan tersebut pada kenyataannya ada yang bersifat campuran.

a. Sistem Kolektif

Apabila para waris mendapat mendapat harta peninggalan yang diterima mereka secara kolektif ( bersama ) dari pewaris yangtidak terbagi-bagi secara perorangan, maka kewarisan demikian itu disebut

kewarisan kolektif . menurut sistem kewarisan ini para ahli waris tidak boleh memiliki harta peninggalan secara pribadi, malainkan diperbolehkan untuk memakai, mangusahakan atau mengelolah dan menikmati hasilnya ( Minagkabau; “ ganggam bauntui ’’). Pada umumnya sistem kewarisan kolektif ini terdapat harta peninggalan leluhur yang disebut “ Harta Pusaka ”, berupa bidang tanah ( pertanian ) dan barangbarang pusaka. Seperti tanah pusaka tinggi, sawah pusaka, rumah gadang, yang dikuasai oleh

Mamak kepala waris dan digunakan oleh para kemenakan secara bersama- sama. Di Ambon seperti tanah dati yang di urus oleh kepala dati, dan di

Minahasa terhadap Tanah “ kelakeran ” yang dikuasai oleh Tua

Unteranak, Haka Umbana atau Mapontol, yang dimasa sekarang sudah boleh ditransaksikan atas persetujuan anggota kerabat bersama.

Apabila harta tidak terbagi-bagi dan hanya dikuasai oleh anak tertua, yang berarti hak pakai, hak mengulah dan memungut hasilnya sepenuhnya dikuasai oleh anak tertua dengan hak dan kewajiban mengurus dan memelihara adik- adiknya yang pria dan wanita sampai mereka dapat berdiri sendiri, maka sistem

Pepaduan seluruh harta peninggalan dimaksut oleh anak tertua lelaki yang disebut “anak penyimbang” sebagai “mayorat pria”. Hal yang sama juga berlaku di Irian Jaya, di daerah Teluk Yos Sudarso kabupaten jayapura. Sedangkan di daerah Sumendo Sumatera Selatan sekuruh harta peninggalan dikuasai oleh anak wanita yang disebut “tunggu tubang” ( penunggu Harta ) yang di dampingi “Payung Jurai” , sebagai “mayorat wanita”.

c. Sistem Individual Apabila harta warisan dapat dibagi-bagikan dan dapat dimiliki secara

perorangan dengan “hak milik” , yang berarti setiap waris berhak memakai, mengulahdan menikmati hasilnya atau juga mentransakikannya, terutama setelah pewaris wafat, maka kewarisan demikian itu disebut “kewarisan Individual” . sistem kewarisan ini yang banyak berlaku dikalangan masyarakat yang parental, dan berlaku pula dalam hukum waris barat sebagaimana diatur dalam KUH Perdata (BW) dan dalam Hukum Waris Islam.

Harta warisan

Dengan istilah “harta warisan” sebaiknya digunakan untuk harta kekayaan pewaris yang akan dibagi-bagikan kepada para waris,sedangkan istilah harta

penerusnya tidak terbagi-bagi. Harta warisan atau harta peninggalan itu dapat berupa harta benda yang berwujud dan yang tak berwujud.

Harta warisan yang berwujut benda misalnya berupa bidang tanah, bangunan rumah, alat perlengkapan pakaian (adat), barang perhiasan (wanita), perabot rumah tangga, alat-alat dapur, alat-alat transport (sepeda, gerobak, kendaraan bermotor), alat-alat pertanian, senjata, baik yang berasal dari harta pusaka, harta bersama (pencarian), orang tua suami istri, harta bawaan, ternak, dan sebagainya.

Harta warisan yang tak berwujut benda misalnya berupa kedudukan atau jabatan adat, gelar-gelar (adat), hutang-hutang, ilmu ghaib, pesan, amanat atau perjanjian.

Pewaris Dan Waris

Pewaris adalah orang yang memiliki harta kekayaan yang (akan) diteruskan atau (akan) dibagi-bagikan kepada para waris setelah ia wafat. Jadi pewaris adalah “empunya” Harta peninggalan. Dilihat dari sistem kewarisan , maka ada pewaris kolektif , pewaris mayorat dan pewaris individual. Disebut pewari kolektif apabila ia meninggalkan harta milik bersama untuk para waris bersama, Pewaris Mayorat

apabila pewaris akan meninggalkan harta milik bersama untuk diteruskan kepada anak tertua, Pewaris Individual apabila pewaris akan meninggalkan harta miliknya yang akan dibagi-bagikan kepada ahli waris atau warisnya.

Pewaris adalah orang yang mendapatkan harta warisan sedangkan ahli waris

adalah orang yang berhak mendapatkan harta warisan. Jadi semua orang yang kewarisan adalah waris, tetapi tidak semua waris adalah ahli waris. Misalnya

dalam kekerabatan Patrilinial semua anak lelaki adalah ahli waris, sedangkan anak wanita bukan ahli waris, tetapi mungkindapat warisan sebagai waris. Dalam sistem warisan mayorat anak tertua yang berhak sebagai ahli waris utama sedangkan saudaranya yang lain sebagai ahli waris penganyi atau waris saja. Dalam sistem waris individual semua anak kandung sah adalah ahli waris yang berhak atas bagian tertentu, sedangkan anak kandung tidak sah atau anak angkat hanya sebagai waris.

Ibu sebagai janda bukan ahli waris dari ayah yang telah wafat, tetapi jika anak-anak masih kecil belum mampu menguasai harta warisan, maka yang berkuasa atas harta warisan adalah ibu, sampai anak-anaknya dewasa. Jika anak- anaknya sudah dewasa, maka harta warisan akan dibagikan, maka ibu boleh mendapat bagian seperti bagian anaks sebagai pewaris, atau dia ituk pada anak yang tertua atau yang di senanginya.

Anak kadung yang sah lebih berhak sebagai ahli waris dari anak kandung yang tidak sah, anak angkat penerus keturunan adalah ahli waris bapak (orang tua) yang mangangkatnya, sedangkan anak anhkat lainnya hanya mungkin sebagai waris saja. Anak tiri dan anak asuh bukan ahli waris dari bapak tiri atau orang tua asuhnya tetapi mungkin menjadi waris saja.

Orang yang tidak mempunyai ahli waris atau waris sama sekali dan tidak jelas para anggota kerabatnya jauh dan dekat, maka yang berhak mewarisi warisannya adalah masyarakat adat setempat atau pemerintah, sebagaimana ditentukan dalam hukum Islam Nabi Muhammad SAW berkata :”Ana Warisu

man la warisalahu” (saya mewarisi orang yang tidak ada waris) (HR.Ahmad dan Abu Daud)

Pewarisan

Pewarisan adalah proses penerusan harta peninggalan atau warisan dari si pewaris kepada para warisnya. Dilihat dari sistem pewarisan dan harta peninggalannya, maka dapat di bedakan antara sistem penerusan kolektif dan mayorat pada masyarakat yang kekerabatannya bersifat patrililial dan matrilineal terhadap harta pusaka, dan penerusan yang individual pada masyarakat yang kekeluargaannya bersifat parental terhadap harta yang bukan harta pusaka, tetapi merupakan harta pencaharian (harta bersama) orang tua saja. Singkatnya yaitu penerusan terhadap harta yang tidak dapat dibagi-bagi dan penerusan terhadap harta yang dibagi-bagi.

Di dalam perkembangannya dikarenakan terbatasnya harta pusaka,sedangkan para waris bertambah banyak, maka sistem penerusan yang kolektif dan mayorat berangsur-angsur mengikuti jejak masyarakat yang parental dengan sistem yang individual.

Dalam penerusan harta warisan yang bersifat individual, dimana harta warisan itu dibagi-bagi kepadapara waris, pewarisannya dapat terjadi sebelum pewaris wafat dan sesudah wafat pewaris. Terjadinya penerusan harta warisan dikala pewaris masih hidup dikalangan keluarga-keluarga jawa disebut

“Lintiran”. Sistem lintiran ini terjadi dengan berlaku dengan cara penunjukan dalam bentuk hibah-wasiat terrulis atau tidak tertulis berupa pesan (jawa:Weling,

wekas) dari orang tua pewaris kepada para warisnya ketika hidupnya. Penunjukan itu dilakukan dengan menunjukan warisan tertentu terhadap waris tertentu (Jawa:Cungan) atau menunjukan batas-batas tanah pertanian (ladana,sawah) untuk waris tertentu (Jawa:Garisan), atau menunjukan jenis barangnya (Jawa:Perangan) bagi waris tertentu. Di aceh apabila dilakukan wasiat,maka harta yang dapat dipesankan bagi waris tertentu tidak boleh melebihi dari 1/3 julah seluruh warisan, apabila melebihi 1/3 bagian maka warisan di kala diadakan pembagian warisan setelah pewaris wafat dapat ditarik kembali yang lebih itu.

Setelah pewaris wafat, maka harta warisannya harus dibagi-bagikan kepada para waris atas dasar hak waris dan kasih sayang. Tetapi jika anak anak yang berhak mewarisi belum mampu menguasai dan memiliki bagian warisannya, dikarenakan masih kecil atau belum mampu akal pikirannya, atau ahli waris bersangkutan belum dapat hadir pada saat pembagian warisan dilakukan, maka orang tua yang masih hidup tetap menguasai harta warisan itu untuk kepentingan ahli waris anak-anaknya.

Jika pembagian anak ada yang belum dewasa dan sebagian sudah dewasa dan mendiri, dan atau dikarenakan di antara ahli waris ada yang meminta agar warisan dibagikan, maka warisan dapat dibagikan kepada yang berkepentingan dengan mempertimbangkan kebutuhannya, sedangkan bagi para ahli waris yang belum hadir atau kerena masih kecil, maka warisannya menjadi “waris gantungan” menunggu sampai ahli waris dapa hadir atau menjadi dewasa, sedangkan warisan bagiannya itu masih tetap dikuasai oleh ibunya atau saudaranya yang diserahkan mengurus warisan itu.

Sistem pembagian warisan harus dilakukan dengan musyawarah keluarga para waris, yang dipimpin oleh ibu atau salah seorang ahli waris yang dapat manjadi penengah dan berlaku adil, atau jika tidak ada dapat meminta bantuan para paman saudara, dari ayah atau dari ibu. Dikarenakan keadaan harta warisan dan keluarga para ahli waris dan waris tidak sama maka tdak ada pula kesamaan jumlah banyak dan jenis warisan yang dibagikan. Ada keluarga yang membagikan warisannya atas dasar kesamaan hak antara ahli waris pria dan wanita, ada yang ahli waris pria dua kali sebanyak bagian warisan wanita, ada yang didasarkan pada jenis warisannya, dan ada pula yang diberi warisan atas dasar kasih saying (jawa:Welas kasih,parimirma).

Di Aceh dan Banten bangunan rumah selalu diwarisi oleh anak wanita, sedangkan warisan tanah kepada anak-anak pria. Tetapi juga ada kemungkinan anak bungsu mendapatkan bengunan rumah dan tanah pekarangan, jika kakak- kakaknya sudah kebanyakan merantau dan hidupnya dalam kecukupan. Sedangkan anak diluar kawin yang sah atau anak asuh yang ternyata bersusah payah mengurus warta warisan walaupun tidak berhak mewarisi, akan diberi bagian pula atas dasar kasih saying.

Jika terjadi perselisihan adalm pembagian warisan diantara para waris, maka selalu diusahakan penyelesaian dengan rukun dan damai, dalam hubungan kekeluargaan untuk menjaga agar perjlanan arwah dari pewaris di alam baka tenang dan tidak terganggu oleh silang sengketa para waris yang ditinggalkannya.

Dokumen terkait