HUKUM WARIS ADAT
(STUDI KASUS DI KABUPATEN NIAS)
Skripsi
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH:
REKA ELVINA PUTRI GULO 050 200 018
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM HUKUM PERDATA BW
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
HUKUM WARIS ADAT NIAS (STUDI KASUS DI KABUPATEN NIAS)
Skripsi
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
SARJANA HUKUM
Oleh:
REKA ELVINA PUTRI GULO 050 200 018
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM HUKUM PERDATA BW
Disetujui Oleh :
Ketua Departemen Hukum Keperdataan
Nip. 131 764 556
Prof.Dr. Tan Kamello, SH, MS
Pembimbing I Pembimbing II
Prof.Dr. Tan Kamello,SH,MS
Nip. 131 764 556 Nip. 131 961 354
Rosnidar Sembiring,SH,M.Hum
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
ABSTRAK
Zaman yang serba modern ini telah memberikan kesempatan kepada masyarakat Nias untuk dapat berkembang dengan seluas-luasnya. Berkarya sesuai dengan bakat dan profesi yang diembankan kepada mereka sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing. Namun, akibat dari perkembangan yang sangatlah pesat dalam rangka pembangunan dan pemekaran di setiap kabupaten, maka masyarakat Nias akan terlupa dengan adat istiadat dan tradisi yang telah lama dilakukan sejak zaman nenek moyang dulu. Perkembangan yang melaju pesat berdampak pula pada sistem perkawinan antara suku Nias dengan suku-suku lain yang berada di luar Pulau Nias. Tidak hanya perkawinan yang mengalami pergeseran, akan tetapi sistem pewarisan pun akan bergeser secara lambat laun. Umumnya, dalam masalah pewarisan Nias lebih mengutamakan adanya anak laki-laki dan kepada anak laki-laki-laki-laki sajalah harta warisan akan dibagi-bagi.
Penelitian ini bersifat analitis deskriptif. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan meneliti dan menelaah bahan-bahan kepustakaan, khususnya perundang-undangan dan kepustakaan hukum yang berkaitan dengan pewarisan adat, sebagai data sekunder juga datadokumen-dokumen resmi, pendapat para sarjana, artikel-artikel dan sebagainya. Untuk memperoleh data primer, dilakukan juga penelitian lapangan (field research) yaitu penelitian langsung kepada responden dan sebagian wawancara dengan masyarakat setempat yang dijadikan sampel dan beberapa informan seperti tokoh-tokoh adat, pegawai kantor Bupati, pegawai kantor Bapeda dan sebagainya.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Keluarga merupakan unit yang terkecil dan merupakan sendi dasar dari
susunan masyarakat. Komposisi keluarga dalam masyarakat pada umumnya
adalah monogami, khususnya pada masyarakat adat yaitu anggota inti keluarga
rumah tangga, suami, istri dan anak-anak baik anak laki-laki maupun anak
perempuan.
Suatu keluarga terbentuk dari sebuah perkawinan yaitu ikatan lahir bathin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974)
Menurut Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 1991 (Kompilasi
Hukum Islam) menyatakan bahwa Perkawinan adalah pernikahan, yaitu aqad
yang sangat kuat atau miitsaaqaan gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah. Pewarisan akan terbuka jika terjadi
kematian antara salah satu dari kedua orang tua (Pasal 830 KUH Perdata).
Di dalam membicarakan tentang warisan, maka ada 3 hal yang perlu
diperhatikan, yaitu :
1. Orang yang meninggal dunia, yang meninggalkan harta kekayaan;
2. Ahli waris yang berhak menerima harta kekayaan tersebut;
Dengan meninggalnya seorang suami/istri, maka terbukalah warisan atas
seluruh harta kekayaan si meninggal seketika itu, mereka yang menjadi ahli waris
berhak atas harta kekayaan itu sesuai dengan ketentuan yang ada. Dengan kata
lain, pewarisan merupakan salah satu alasan (title) hak yang sah untuk berpindah
hak atas suatu benda.
Dewasa ini, perkembangan zaman akan semakin maju dan berkembang.
Adanya ketidakpuasan terhadap bagian dari harta warisan yang diberikan dapat
kita lihat dalam kehidupan masyarakat Nias saat ini. Penulis menemukan beberapa
permasalahan yang terjadi antara ahli waris dan saudara-saudaranya yang sering
muncul akibat tidak seimbang dalam pembagian. Permasalahan ini dapat berlanjut
sampai ke pengadilan atau terjadinya tindak kriminal seperti membunuh
saudaranya sendiri karena pembagian dianggap tidak adil. Alasan ini pula yang
melatarbelakangi penulisan ini dilakukan.
Warisan dalam hal ini tidak terbatas pada harta kekayaan saja atau activa
tetapi hutang piutang yang dibuat oleh si pewaris selama hidupnya yang kemudian
ditinggalkan oleh pewaris ketika ia meninggal dunia yang merupakan warisan.
Semua itu jatuh ke tangan ahli waris yang tentunya sesuai dengan bagian
masing-masing kecuali dalam hal-hal tertentu, misalnya mereka menolak. Dalam hal ini
Pasal 1045 KUH Perdata yang menyatakan bahwa tiada seorang pun diwajibkan
menerima suatu warisan yang jatuh kepadanya.
Hukum waris adat di Indonesia tidak terlepas dari susunan kekerabatan
masyarakat. Sebagaimana dikatakan Hazairin bahwa “Hukum waris adat memiliki
kekerabatan yang sistem keturunannya patrilineal, matrilineal, parental, atau
bilateral walaupun pada bentuk kekerabatan yang sama belum tentu berlaku
sistem kewarisan yang sama.” 1
B. Perumusan Masalah
Lalu bagaimana apabila ditinjau dari segi hukum waris adat di Kabupaten
Nias yang memiliki garis keturunan patrilineal, dan bagaimana pula pandangan
sistem hukum yang lain dikaitkan dengan hukum waris adat di Kabupaten Nias.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka permasalahan yang akan dibahas
dalam penulisan skripsi ini adalah :
1. Bagaimana Sistem Pewarisan Menurut Hukum Nasional?
2. Bagaimana Hukum Waris Adat Nias?
3. Bagaimana pula Pandangan Yuridis Pelaksanaan Pewarisan dalam Hukum
Adat di Kabupaten Nias?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan utama dari penulisan skripsi ini adalah agar memenuhi
syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara. Namun berkaitan dengan permasalahan yang dikemukakan di
atas, maka tujuan yang ingin dicapai oleh penulis adalah:
1. Untuk mengetahui Sistem Pewarisan Menurut Hukum Nasional;
2. Untuk mengetahui apa itu hukum waris adat Nias;
3. Untuk mengetahui hukum waris adat nias bila dikaitan dengan hukum
nasional.
2. Manfaat Penulisan
Manfaat Penulisan skripsi ini yaitu:
1. Agar Masyarakat dapat mengetahui sejauhmana peranan hukum
nasional diberlakukan di Kabupaten Nias;
2. Agar masyarakat mengerti hukum adat Nias;
3. Agar masyarakat mendapat pengetahuan tentang perkembangan yang
terjadi di Kabupaten Nias
D. Keaslian Penulisan
Belum ada tulisan yang mengangkat tentang Tinjauan Yuridis Mengenai
Hukum Waris Adat (Studi Kasus di Kabupaten Nias). Tulisan ini diangkat agar
diketahui lebih lanjut bagaimana proses pembagian harta warisan dan akibat
pembagian harta warisan di Kabupaten Nias. Penulisan ini berdasarkan
literatur-literatur yang berkaitan dengan proses pewarisan serta berbagai pendapat
masyarakat tentang adil atau tidaknya pewaris dalam membagikan warisannya
sesuai dengan hukum waris adat yang berlaku, sehingga dapat dikaitkan dengan
hukum nasional yang berlaku di Indonesia.
Oleh karena itu, tulisan ini merupakan sebuah karya asli dan sesuai dengan
asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, objektif dan terbuka. Semua ini
merupakan hasil implikasi etis dari proses penemuan kebenaran ilmiah sehingga
E. Tinjauan Kepustakaan
Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur
tentang bagaimana harta peninggalan atau harta warisan diteruskan atau dibagi
dari pewaris kepada para waris dari generasi ke generasi. 2
Warisan adalah soal apakah dan bagaimana pebagagi hak dan kewajiban
tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih pada
orang lain yang masih hidup. 3
a. Seorang peninggal warisan (erflater), yang pada waktu meninggalnya,
ada meninggalkan kekayaan;
Dari defenisi di atas, pengertian warisan ini menurut beliau menganut 3
(tiga) unsur, yaitu:
b. Seorang atau beberapa orang ahli waris (erfgenaam), yang berhak
menerima kekayaan ditinggalkan itu;
c. Harta warisan (nalatenschap), yaitu wujud kekayaan yang ditinggalkan
dan sekali beralih kepada pada ahli waris itu.
Menurut Teer Haar, menyatakan hukum warisan menurut hukum adat ada
menunjukkan suatu kesatuan (eenheid) , tetapi di dalam satu kesatuan itu ada
terdapat perbedaan-perbedaan (verschoiden heid).
Merupakan satu kesatuan, bisa juga ditentukan sebagai azas umum dari
hukum warisan tetapi azas yang umum ini tidak bisa berlaku sebagai
rechtskeringen. Sebagai contoh, azas yang umum bisa ditentukan jika seseorang
mati akan jatuh pada anak-anaknya. Ketentuan ini dibeberapa daerah hal ini tidak
2
berlaku dengan tidak ada pengecualian atau dengan kata lain ketentuan ini tidak
berlaku 100%.
Dalam hukum adat dapat kita jumpai beberapa prinsip-prinsip dalam
pewarisan4
1. Menurut Hukum Adat, pewarisan itu adalah beralihnya harta benda dari
suatu generasi ke generasi yang lain yang menyusulnya; , yaitu:
2. Jika pewarisan itu tidak dapat dilaksanakan secara menurun, maka
pewarisan tadi dilakukan secara ke atas atau ke samping;
3. Menurut hukun adat, tidaklah suatu harta peninggalan seseorang itu
langsung dibagi-bagi di antara para ahli waris setelah si peninggal harta
warisan tadi mati. Maksudnya adakalanya harta peninggalan tadi langsung
dibagi-bagi di antara para ahli waris dan di samping itu adakalanya
pembagiannya di tangguhkan lebih dahulu sebab masih adanya
kepentingan hidup si janda dan anak-anak yang masih di bawah umur dan
sebagainya.
4. Menurut hukum adat, harta peninggal itu adalah meliputi semua harta
benda yang pernah dimiliki oleh si peninggal harta semasa hidupnya, jadi
tidaklah terbatas pada harta yang dimilikinya pada saat dia mati.
5. Menurut hukum adat, ada mengenal prinsip penggantian tempat
(plattsvervulling), yaitu apabila seorang anak sebagai ahli waris dari
ayahnya, terlebih dahulu mati dari ayah, maka anak-anaknya yang mati itu
(cucu-cucu) dari peninggal harta (ayah) akan menggantikan kedudukan
ayahnya sebagai ahli waris dari bapaknya bersama-sama dengan saudara
ayahnya yang masih hidup. Jika kakeknya meninggal dunia, dan bagian
cucu sama besarnya dengan yang akan diperoleh ayahnya sebagian ahli
warisan yang diterimanya, andaikata ayahnya masih hidup.
6. Hukum adat juga mengenal adanya lembaga anak angkat yang juga bisa
menimbulkan persoalan apa akibat dari tindakan hukum yang sedemikian,
terutama sekali dalam lingkungan hukum warisan.
Dalam susunan masyarakat hukum adat dengan sistem Patrilineal adalah
suatu bentuk perkawinan garis keturunan kaum bapak dimaksudkan bahwa dalam
pemberian harta warisannya hanya kepada anak laki-laki saja.
Ibu sebagai janda bukanlah ahli waris dari ayah yang telah wafat, tetapi
jika anak-anak masih kecil belum mampu menguasai harta warisan, maka yang
berkuasa atas harta warisan adalah ibu, sampai anaknya dewasa. Jika
anak-anak sudah dewasa dan harta warisan akan dibagikan, maka ibu boleh
mendapatkan bagian seperti bagian anak sebagai waris, atau ia ikut pada anak
yang tertua atau yang disenanginya.
Anak kandung yang sah lebih berhak sebagai ahli waris dari anak kandung
yang tidak sah, anak angkat penerus keturunan adalah ahli waris bapak (orang tua)
yang mengangkatnya, sedangkan anak angkat lainnya hanya mungkin sebagai
waris saja. Anak tiri dan anak asuh bukan ahli waris dari bapak tiri atau orang tua
asuhnya tetapi mungkin menjadi waris saja.
Dari penjelasan di atas, terdapat 5 (lima) macam kedudukan anak dalam
1. Anak kandung adalah anak yang sah lahir dari perkawinan dari orang tua
(ayah dan ibu) yang menikah secara sah.
2. Anak tidak sah adalah anak yang lahir tidak sah dari orang tua yang
tidak sah menikah.
3. Anak tiri adalah anak yang memiliki ayah/ibu tiri menggantikan
ayah/ibunya yang telah meninggal dunia.
4. Anak asuh adalah anak yang diberikan kepada orang tua untuk diasuh
dan dibesarkan secara layak.
5. Anak angkat adalah anak yang diangkat dan dianggap sebagai anak
sendiri oleh orang tua untuk dirawat secara layak.
Hukum adat bersifat dinamis maksudnya bahwa hukum adat itu
senantiasa berubah. Perubahan itu terutama disebabkan adanya pergeseran
nilai-nilai keadilan dalam masyarakat adat itu sendiri karena apa yang dirasakan adil
dahulu belum tentu dirasakan adil pada masa sekarang dan masa yang akan
datang.
Proses pergeseran nilai hukum adat itu terutama sekali dalam bidang
hukum waris tidak selamanya berjalan dengan mulus, akan tetapi tidak jarang
menimbulkan korban jiwa. Ini disebabkan karena adanya pertentangan
kepentingan dari dua pihak, dimana satu pihak ingin tetap mempertahankan
kaedah-kaedah yang lama karena dianggap lebih menguntungkan baginya
sedangkan di pihak lain menuntut dilakukannya perubahan karena dianggap
Sistem pembagian warisan jika ayah meninggal dunia harus dilakukan
dengan musyawarah keluarga para waris, yang dipimpin oleh ibu atau salah
seorang ahli waris yang mampu menjadi penengah dan dapat berlaku adil, atau
jika tidak ada dapat meminta bantuan para paman saudara dari ayah atau dari ibu.
Dikarenakan harta warisan dan keluarga para ahli waris dan waris tidak sama
maka tidak ada pula kesamaan jumlah banyak dan jenis warisan yang dibagikan.
Ada keluarga yang membagikan warisannya atas dasar kesamaan hak
antara ahli waris pria dan wanita, ada yang ahli waris pria dua kali sebanyak
bagian warisan wanita, ada yang didasarkan pada jenis warisannya, dan ada pula
yang diberi bagian warisan atas dasar kasih sayang.
Kesamaan yang yang dimaksudkan adalah jika orang tua merasa bahwa
anak laki-laki dan anak perempuan tidak ada perbedaan yang menonjol. Anak
laki-laki dan anak perempuan melakukan kewajiban mereka masing masing secara
baik dan benar sehingga warisan akan dibagi secara adil sesuai dengan banyaknya
akan yang dimiliki oleh orang tua.
Maksud dari pembagian warisan laki-laki lebih banyak dari perempuan
adalah jika orang tua masih memegang hukum adat yang berlaku yaitu pembagian
anak laki-laki dan anak perempuan sebanyak 2:1. Artinya bagian anak laki-laki
lebih banyak dua kali lipat dari anak perempuan. Melihat dari jenis warisan,
menurut hukum adat yang berlaku di Nias bagian anak perempuan dapat berupa
perhiasan dari orang tua dan biasanya dari ibu. Sedangkan anak laki-laki
umumnya menerima bagian warisan berupa tanah yang akan diberikan
Pembagian dari warisan yang berdasarkan belas kasihan dari orang tua
biasanya diterima oleh anak perempuan. Harus diingat bahwa Nias memiliki
sistem keturunan yang patrilineal, dimana anak laki-laki sebagai penerus
keturunan. Oleh karena itu, semua warisan akan diberikan kepada anak laki-laki.
Anak perempuan yang menerima biasanya karena belas kasihan orang tua yang
menyayangi anak perempuan mereka. Atau warisan diberikan karena hanya anak
perempuan yang mau merawat orang tua / berbakti kepada orang tua dari pada
anak laki-laki.
Jika dilihat dari komposisi rumah tangga dalam suatu perkawinan di Nias
yaitu Monogami, dimana anggota inti rumah tangga adalah suami, istri, dan
anak-anak mereka sekandung atau tiri termasuk satu atau lebih anggota tambahan.
Tipe keluarga seperti ini disebut Sambua Ngambat (Keluarga bathin).
Keluarga bathin (famili di Nias) adalah pokok dan dasar. Keluarga besar
(Extended Family) atau Joint Families adalah bentuk tingkat kedua disamping
keluarga nucclear.
Sambua Ngambatö adalah satu keluarga utuh terdiri dari ayah, ibu, dan
anak-anak. Keluarga inilah yang menjadi dasar dari terjadinya proses pewarisan
yang dibahas oleh penulis. Keluarga besar (Extended family) merupakan keluarga
besar dimana terdapat keluarga itu masih memiliki kakek, nenek, ayah, ibu,
anak-anak yang telah menikah, menantu, dan cucu-cucu yang lahir. Keluarga besar
terbentuk dari sambua ngambatö yang telah dibahas sebelumnya.
Rumah tangga selalu ditentukan dengan Bowoag (periuk masak). Bila
bahwa secara ekonomi keluarga bathin tersebut telah bebas dan merdeka dari
orang lain.5
1. Hukum Waris Adat
Hubungan keluarga mempunyai tempat penting dalam masyarakat kita,
misalnya sebagai factor dalam susunan persekutuan hukum dalam hukum
perkawinan dan dalam hukum waris.
Apabila dibaca peta situasi hukum waris di Indonesia dewasa ini, segera tampak
jelas bahwa ada tiga jenis hukum waris yang berlaku, yakni:
2. Hukum Waris Islam
3. Hukum Waris Nasional yaitu KUH Perdata dan Yurisprudensi.
Pewarisan adalah proses penerusan harta peninggalan atau warisan dari
pewaris kepada ahli warisnya. Dilihat dari sistem pewarisan dan harta
peninggalannya, maka dapat dibedakan antara sistem penerusan kolektif dan
mayorat pada masyarakat yang kekerabatannya bersifat patrilineal dan matrilineal
terhadap harta pusaka dan penerusan yang individual pada masyarakat yang
kekeluargaannya bersifat parental terhadap harta yang bukan harta pusaka, tetapi
harta pencarian (harta bersama) orang tua saja. Singkatnya yaitu penerusan
terhadap harta yang tidak dapat dibagi-bagi.
Menurut hukum Islam, warisan memiliki beberapa unsur. Adapun
unsur-unsur warisan/rukun-rukun warisan (arkanul mirats) adalah sebagai berikut :
1. Muwarrits (Orang yang mewariskan), yakni: adanya orang yang
meninggal dunia atau si pewaris. Hukum inidi dalam hukum waris BW
disebut Erflater.
2. Waris (orang yang berhak mewaris; disebut ahli waris), yakni : adanya ahli
waris yang ditinggalkan si wali yang masih hidup dan yang berhak
menerima pusaka si pewaris. Unsur ini dalam BW disebut Erfgenam.
3. Mauruts miratsatan tarikah (harta warisan), yakni: adanya harta
peninggalan (pusaka) pewaris yang memang nyata-nyata miliknya. Unsur
ini dalam BW disebut Erfenis.
Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, Hukum pewarisan menjadi
permasalahan setiap tahun. Oleh karena itu beberapa alasan pertimbangan yang
menjadi dasar putusan hakim, antara:
1. Bahwa hukum waris menjadi dasar untuk mempertimbangkan masalah
perselisihan warisan adalah hukum adat dari orang yang meninggalkan
harta warisan itu. Jadi kalau pewarisnya orang batak, maka hukum adat
waris orang batak yang diterapkan.
2. Bahwa apabila menyangkut hukum antar golongan (penduduk) yang
berselisih,maka hukum dari pewarisnya yang digunakan tanpa
mamperhatikan jenis barangnya.
3. Bahwa apabila ada perkara warisan yang tidak diketahui bagaimana bunyi
hukum adatnya, maka digunakan bunyi hukum yang sama, misalnya untuk
perkara orang semendo di gunakan humum minangkabau yang sama sendi
4. Bahwa jika ahli waris wafat sedangkan bapaknya sebagai pewaris masih
hidup maka yang berhak mewarisi adalah anak-anak dari yang wafat itu
sebagai waris pengganti. Jadi misalnya kepala waris wafat, maka yang
mengantikannya adalah anak-anaknya yang berhak untuk emnerima
penerusan harta peninggalan dari kakek (bapak dari yang wafat) itu.
F. Metode Penulisan
Suatu karya tulis ilmiah haruslah disusun berdasarkan data yang
benar-benar dan bersifat objektif sehingga dapat diuji kebenar-benarannya. Data adalah
kumpulan keterangan-keterangan baik penulisan untuk membantu dan menunjang
penelitian.
Jenis data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah paduan dari
dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer (data dasar)
didapat melalui pengisian quisioner dan wawancara dengan masyarakat setempat.
Sedangkan data sekunder didapat melalui literature dan data dari
dokumen-dokumen resmi, buku-buku yang berkaitan dengan skripsi ini.
Dalam penulisan skripsi ini, digunakan metode deskriptif yaitu dimana
penulis harus melakukan kegiatan keluar daerah untuk memberi data seteliti
mungkin ke Kabupaten Nias dan menyebarkan quisioner sebagai data pelengkap
skripsi ini.
Selain itu, penulis menggunakan metode library research (penelitian
kepustakaan) yaitu dengan mengadakan penelitian terhadap data-data yang
sebelumnya. Setelah itu baru digunakan metode deskriptif analits, yaitu
pengumpulan data yang diawali dengan pemaparan data sebagaimana adanya
yang kemudian dilanjutkan dengan analisa data berdasarkan kerangka acuan yang
telah ditetapkan.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini terbagi dalam bab-bab yang tersusun secara sistematis
yang dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Bab I : Merupakan Bab Pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang,
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian
penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika
penulisan.
2. Bab II : Ketentuan sistem pewarisan menurut ketiga sistem hukum, terdiri
dari menurut KUH Perdata (BW), menurut Kompilasi Hukum
Islam (KHI), menurut hukum adat.
3. Bab III : Pewarisan dalam hukum adat Nias, terdiri dari sistem pewarisan
menurut hukum adat Nias, proses pelaksanaan pewarisan
menurut hukum adat Nias, pandangan masyarakat terhadap
pewarisan di Kabupaten Nias, dan hambatan dalam pembagian
warisan di Kabupaten Nias.
4. Bab IV : Pandangan yuridis pelaksanaan pewarisan dalam hukum adat di
Kabupaten Nias, terdiri dari pergeseran hukum waris adat di
menurut hukum nasional di Kabupaten Nias, Penyelesaian
sengketa pewarisan di Kabupaten Nias.
BAB II
KETENTUAN SISTEM PEWARISAN MENURUT HUKUM NASIONAL
A. Sistem Pewarisan Menurut Tiga Sistem Hukum
1. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW)
Hukum waris adalah hukum harta kekayaan dalam lingkungan keluarga,
karena wafatnya seseorang maka akan ada pemindahan harta kekayaan yang akan
ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang
memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka maupun antara mereka
dengan pihak ketiga.
Berdasarkan Pasal 528 KUH Perdata menyatakan bahwa “Atas suatu
kebendaan, seorang dapat mempunyai, baik suatu kedudukan berkuasa, baik hak
milik, baik hak waris, baik hak pakai hasil, baik hak pengabdian tanah, baik hak gadai atau hipotik”. Hak mewaris diidentikkan dengan hak kebendaan, sedangkan
dalam Pasal 584 menyatakan bahwa “Hak milik atas sesuatu kebendaan tidak
dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan dengan pemilikan, karena perlekatan:
karena daluarsa, karena pewarisan, baik menurut undang-undang, maupun surat wasiat dan arena penunjukan atau penyerahan berdasar atas suatu peristiwa
perdata untuk memindahkan hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak
berbuat bebas terhadap kebendaan itu. Hak mewaris diidentikkan dengan sebagai
salah satu cara untuk memperoleh hak kebendaan.
Setiap orang yang meninggal dengan meninggalkan harta kekayaan
sejumlah kewajiban yang harus dipenuhi pada pihak ketiga, yang dapat dinilai
dengan uang.
Orang-orang tertentu, yang secara limitatif diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (BW), yang menerima harta peninggalan adalah :
Ahli Waris yang mewaris berdasarkan kedudukan sendiri (uit eigen hoofde)
atau mewaris secara langsung, misalnya jika ayahnya meninggal dunia, maka
sekalian anak-anaknya tampil sebagai ahli waris.
Mengenai ahli waris yang tampil dalam kedudukannya sendiri ini, Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata menggolongkannya sebagai berikut:
a. Golongan Pertama
Yaitu sekalian anak-anak beserta keturunannya dalam garis lurus ke
bawah. Hak mewaris suami atau isteri yang hidup terlama disamakan
dengan seorang anak sah (Pasal 852a KUH Perdata).
b. Golongan Kedua
Yaitu orang tua dan saudara-saudara pewaris; pada asasnya bagian
orang tua disamakan dengan bagian saudara-saudara pewaris, tetapi
ada jaminan di mana bagian orang tua tidak boleh kurang dari
seperempat harta peninggalan.
c. Golongan Ketiga
Pasal 835 dan Pasal 834 KUH Perdata menentukan dalam hal tidak
terdapat golongan pertama dan kedua, maka harta peninggalan harus
dibagi dua (kloving) , setengah bagian untuk kekek nenek pihak ayah,
d. Golongan Keempat
Sanak keluarga si pewaris dalam garis menyamping sampai derajat ke
enam.
Ahli waris berdasarkan penggantian (bij plaatsvervulling), dalam hal ini
disebut ahli waris tidak langsung.
Misalnya A meninggal dunia dengan meninggalkan anak B dan C. B telah
meninggal terlebih dahulu dari A (pewaris). B mempunyai anak D dan E, maka D
dan E tampil sebagai ahli waris A menggantikan B (cucu mewaris dari
kakek/nenek).
Jika diuraikan dalam pembagian warisan, pembagiannya sebagai berikut:
C menerima setengah harta peninggalan, sedang D dan E masing-masing
1/4 (1/2 x ½) harta peninggalan.
KUH Perdata memperinci ahli waris berdasarkan penggantian sebagai
berikut:
a. Penggantian dalam garis lurus ke bawah
Setiap anak yang meninggal lebih dahulu digantikan oleh cucu
(anak-anak) si pewaris. Dalam hal ini semua anak (ahli waris yang dalam
kedudukannya sendiri). Karena dalam penggantian berlaku ketentuan
Pasal 848 KUH Perdata yang berbunyi : “hanya orang-orang yang
meninggal saja yang dapat digantikan”.
b. Penggantian dalam garis lurus ke samping
Tiap saudara kandung/saudara tiri yang meninggal terlebih dahulu
c. Penggantian dalam garis ke samping, juga melibatkan penggantian
anggota-anggota keluarga yang lebih jauh.
Misal: Panam/keponakan, jika meninggal terlebih dahulu digantikan
oleh keturunannya.
Pihak ketiga yang bukan ahli waris dapat menikmati harta peninggalan.
Dalam hal ini kemungkinannya timbul karena dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata terdapat ketentuan tentang pihak ketiga yang bukan ahli
waris, tetapi dapat menikmati harta peninggalan si pewaris berdasarkan suatu
testament/wasiat. Pihak ketiga tersebut dapat berupa pribadi atau perseorangan
(rechts persoon).
Setelah menentukan siapa-siapa saja yang berhak menjadi pewaris dan
siapa-siapa juga yang menjadi ahli waris, maka berikutnya kita akan membahas
mengenai hak dan kewajiban dari pewaris dan ahli waris itu sendiri.
Menurut KUH Perdata, hak pewaris timbul sebelum terbukanya harta
peninggalan dalam arti bahwa pewaris sebelum meninggal dunia berhak
menyatakan kehendaknya dalam sebuah testament/wasiat tersebut berupa :
1. Erfstelling, yaitu suatu penunjukan satu atau beberapa orang menjadi ahli
waris untuk mendapatkan sebagian atau seluruh harta peninggalan. Orang
yang ditunjuk dinamakan testamentair erfgenaam (ahli waris menurut wasiat).
2. Legaat, adalah pemberian hak kepada seseorang atas dasar testament/wasiat
yang khusus. Pemberian itu dapat berupa :
d. (hak atas) satu atau seluruh benda tertentu;
f. Hak vruchtgebruik atas sebagian/seluruh warisan (Pasal 957 KUH
Perdata).
Orang yang menerima legaat dinamakan legataris.
Bentuk Testamen ada 3 (tiga) macam, yaitu :
1. Openbaar testament, yaitu testament yang dibuat oleh seorang notaris
dengan dihadiri oleh dua orang saksi;
2. Olographis testament, yaitu testament yang ditulis oleh si calon pewaris
sendiri (eigenhanding), kemudian diserahkan kepada seorang notaris untuk
disimpan (gedeponeerd) dengan disaksikan oleh dua orang saksi.
3. Testamen Rahasia, dibuat oleh calon pewaris tidak harus ditulis tangan,
kemudian testament tersebut disegel dan diserahkan kepada seorang
notaris dengan disaksikan oleh empat orang saksi.
Selain daripada hak dari pewaris, terdapat pula kewajiban dari pewaris itu
sendiri. Kewajiban si pewaris adalah merupakan pembatasan terhadap haknya
yang ditentukan oleh undang-undang. Ia harus memberikan legitimatie portie,
yaitu suatu bagian tertentu dari harta peninggalan yang tidak dapat dihapuskan
oleh orang yang meninggalkan warisan (Pasal 913 KUH Perdata). Jadi, legitimatie
portie itu adalah pembatasan terhadap hak-hak pewaris dalam hal membuat
testament/wasiat.
Setelah si pewaris memberikan testament/wasiat seperti yang disebutkan
di atas, selanjutnya akan ditunjuk ahli waris yang akan mewarisi seluruh ataupun
Setelah terbuka warisan. Maka ahli waris diberi hak untuk menentukan
sikap :
1. Menerima secara penuh (zuivere aanvarding), yang dapat
dilakukan secara tegas atau secara lain. Secara tegas yaitu jika
penerimaan tersebut dituangkan dalam suatu akte yang
memuat penerimaannya sebagai ahli waris. Sedangkan cara
lain yaitu dengan cara diam-diam. Maksudnya adalah jika ahli
waris tersebut melakukan perbuatan menerimanya sebagai ahli
waris dan perbuatan tersebut harus mencerminkan penerimaan
terhadap warisan yang meluang, misalnya dengan menjualnya,
mengambil atau melunasi utang-utang si pewaris.
2. Menerima dengan reserve (hak untuk menukar) voorrecht van
boedel beschcrijving atau beneficiare aanvarding. Hal ini
harus dinyatakan pada Panitera Pengadilan Negeri di tempat
warisan terbuka. Akibat yang terpenting dari warisan yang
beneficiare ini adalah bahwa kewajiban untuk melunasi
hutang-hutang dan beban lain si pewaris dibatasi sedemikian
rupa sehingga pelunasannya dibatasi menurut kekuatan
warisan, dalam hal ini berarti si ahli waris tersebut tidak usah
menanggung pembayaran hutang dengan kekayaannya sendiri,
jika hutang pewaris lebih besar dari harta bendanya.
3. Menolak warisan. Hal ini mungkin jika ternyata jumlah harta
besar daripada hak untuk menikmati harta peninggalan.
Penolakan wajib dilakukan dengan suatu pernyataan kepada
Panitera Pengadilan Negeri setempat.
Selain hak Ahli Waris setelah terbuka warisan, maka kewajiban ahli waris
yaitu :
1. Memelihara keutuhan harta peninggalan sebelum harta peninggalan
dibagi;
2. Mencari cara pembagian yang sesuai dengan ketentuan dan lain-lain;
3. Melunasi hutangpewaris jika pewaris meninggalkan hutang;
4. Melaksanakan wasiat jika ada.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur perihal pembagian
warisan ini dengan suatu ketentuan dengan tegas tercermin dalam ketentuan Pasal
1066 KUH Perdata yang isinya dapat disimpulkan sebagai berikut :
a. Tidak seorang ahli waris yang dapat dipaksa membiarkan harta warisan
tidak terbagi;
b. Pembagian harta warisan dapat bagi sewaktu-waktu;
c. Dibuka kemungkinan untuk mempertangguhkan pembagian harta warisan
dengn jangka waktu 5 tahun; tenggang waktu ini dapat diperpanjang 5
tahun lagi dengan persetujuan semua ahli waris.
Cara pembagian warisan: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak
menentukan cara tertentu dalam pembagian warisan, jika ternyata semua ahli
waris cakap untuk bertindak sendiri dan semuanya berada di tempat (hadir) pada
mereka sendiri, tetapi diantara ahli waris terdapat anak-anak di bawah umur atau
ada yang ditaruh dalam curatele (pengampuan), maka pembagian warisan harus
dilakukan dengan suatu akte notaris dan dihadapan Wees Kamer (Bali Harta
Peninggalan). Soal yang mempunyai hubungan dengan pembagian warisan adalah
mengenai inbreng yaitu pengembalian benda-benda ke dalam boedel. Masalah ini
timbul jika ternyata pewaris semasa hidupnya telah memberikan benda-benda
secara schenking kepada sementara ahli waris yang dianggap sebagai suatu
voorschot atas bagian warisan yang telah diperhitungkan kemudian.
Menurut undang-undang yang diharuskan melakukan inbreng, adalah para
ahli waris dalam garis lurus, dengan tidak membedakan apakah mewaris secara
penuh (zuivere aanvarding) atau menerima dengan catatan (voorecht van boedel
beschrijving) tetapi pewaris berhak untuk menentukan bahwa ahli waris yang
telah menerima pemberian-pemberian pada saat pewaris hidup dibebaskan dari
inbreng. Dasar pemikiran peraturan inbreng adalah agar pewaris berlaku adil
terhadap semua anak-anak dan cucu-cucunya.
Sifat peraturan inbreng berbeda dengan peraturan perihal legitimatie portie
yang dimaksudnya untuk melindungi kepentingan ahli waris yang mempunyai
hubungan yang sangat rapat dengan pewaris karenanya peraturan tersebut bersifat
memaksa artinya tidak dapat disingkirkan.
Seseorang yang pernah menerima pemberian benda sewaktu hidup tidak
perlu melakukan inbreng jika ia bukan ahli waris, ia hanya dapat dituntut
Setelah selesai perhitungan dan pembayaran hutang-hutang pewaris, Pasal
1079 KUH Perdata mengatur cara pembagian sebagai berikut :
1. Masing-masing ahli waris menerima barang tertentu dengan harga/nilai
sama rata seperti misalnya seperdua hatra warisan jika ahli waris hanya
terdiri dari dua orang saja, seperlima jika ternyata ahli waris terdiri dari
lima orang, demikian selanjutnya.
2. Bila di antara para ahli waris ada yang menerima barang/harta waris lebih
dari bagiannya, di pihak lain di antara ahli waris menerima kurang dari
bagiannya maka ahli waris yang menerima bagian yang lebih diharuskan
memberikan sejumlah uang tunai pada yang mendapat kurang dari
bagiannya.
Jika terdapat perselisihan tentang siapa di antara mereka yang mendapat
barang tertentu selaku bagiannya, maka hal ini harus diundi. Apabila tidak ada
kata sepakat mengenai penentuan barang-barang tertentu yang akan dibagikan
kepada masing-masing ahli waris maka dapat dimintakan keputusan pengadilan
negeri.
Setelah menerima penentuan barang-barang tertentu, Pasal 1080 KUH
Perdata membuka kemungkinan tukar menukar bagian masing-masing di antara
para ahli waris.
Pasal 1083 KUH Perdata menegaskan : “ Apabila pembagian warisan
sudah terjadi, maka masing-masing ahli waris dianggap sebagai pemilik barang
Tentang cara pembagian warisan oleh undang-undang ditetapkan sebagai
berikut :
1. Jika semua ahli waris sudah dewasa dan cakap bertindak dalam hukum
sendiri, maka pembagiannya warisan tersebut diserahkan pada
kemufakatan antara mereka.
2. Jika ternyata di antara ahli waris yang ada masih terdapat anak-anak di
bawah umur atau ada yang di bawah pengampuan (curatele) maka
pembagian warisannya harus dilakukan denga suatu akte notaries dan di
hadapan Balai Peninggalan Harta sebagai dasar pembagian harus dipakai
harta taksiran dari semua benda warisan.
Suatu hal yang berkaitan erat dengan pembagian adalah masalah inbreng
yaitu masalah pengembalian ke dalam boedel benda-benda yang diberikan semasa
pewaris masih hidup. Pemberian semacam ini dianggap sebagai voorschot atas
bagian warisannya yang akan diperhitungkan kemudian, dengan cara
mengembalikan barang-barang pada boedel warisan.
Menurut undang-undang, kewajiban melakukan inbreng tersebut ada pada
para ahli waris dalam garis lurus ke bawah dengan tidak membedakan ahli waris
berdasarkan undang-undang atau ahli waris berdasarkan testament, juga tidak
dibedakan ahli waris yang menerima secara penuh atau menerima secara
beneficiare. Tetapi pewaris pun berhak pula menentukan bahwa ahli waris yang
telah menerima benda-benda tertentu semasa hidup dibebaskan dari inbreng.
Pada prinsipnya objek hukum waris adalah harta kekayaan yang
ditinggalkan tersebut berupa aktiva, yaitu sejumlah benda yang nyata ada dan/atau
berupa tagihan/piutang kepada pihak ketiga. Selain itu aktiva dapat pula berupa
hak immaterial (hak cipta dan sebagainya). Sedangkan passiva, yaitu sejumlah
hutang si pewaris yang harus dilunasi pada pihak ketiga, maupun kewajiban
lainnya (menyimpan benda orang lain dan sebagainya).
Legitimatie portie adalah suatu bagian warisan tertentu yang harus
diterima seorang ahli waris dari harta peninggalan yang tidak dapat diganggu
gugat. Tidak semua ahli waris berhak atau legitimatie portie.
Yang berhak memperoleh legitimetie portie ini adalah hanya ahli waris
dalam garis lurus, baik ke bawah maupun ke atas. Tegasnya hak atas legitimatie
portie ini baru timbul apabila seseorang dalam suatu keadaan sungguh-sungguh
tampil ke muka sebagai ahli waris menurut undang-undang. Dalam hal legitimatie
portie ada prioritas/penutupan. Misalnya jika si pewaris meninggal meninggalkan
anak-anak dan cucu-cucu sebagai ahli waris golongan pertama, maka orang tua
sebagai ahli waris golongan kedua tidak tampil ke muka sebagai ahli waris dan
karenanya tidak berhak atas suatu legitimatie portie. Seorang yang berhak atas
suatu legitimatie portie dinamakan “legitimaris”. Ia dapat mendapat pembatalan
tiap testament yang melanggar haknya tersebut dan ia berhak pula untuk menuntut
supaya diadakan pengurangan (inkorting) terhadap segala macam pemberian
warisan, baik yang berupa erfstelling maupun berupa legaat yang mengurangi
haknya.
Peraturan mengenai legitimatie portie ini oleh undang-undang dipandang
kehendak hatinya. Oleh karenanya pasal-pasal mengenai legitimatie portie ini
dimasukkan dalam bagian tentang hak mewaris menurut wasiat (testamentair
erfrecht).
Mengenai besarnya legitimatie portie Pasal 914 KUH Perdata menentukan
sebagai berikut :
1. Dalam hal ahli waris hanya terdiri dari seorang anak sah, maka legitimatie
portie adalah ½ (separuh) dari bagian yang sebenarnya akan diperoleh
dalam kedudukannya sebagai ahli waris menurut UU.
2. Jika terdapat 2 (dua) anak sah sebagai ahli waris maka jumlah legitimatie
portie untuk masing-masing adalah 2/3 dari bagian yang sebenarnya akan
diperoleh sebagai ahli waris menurut UU.
3. Apabila ternyata ahli waris yang ada terdiri dari 3 (tiga) atau lebih dari 3
anak sah, maka bagian masing-masing ahli waris adalah ¾ dari bagian
yang sebenarnya akan diperoleh akan diperoleh sebagai ahli waris menurut
UU.
Hak atas legitimatie portie dapat digantikan oleh sekalian cucu-cucu
pewaris sebagai pengganti ahli waris (anak) yang telah meninggal lebih dulu.
Adapun besarnya legitimatie portie untuk ahli waris dalam garis lurus ke atas
menurut Pasal 915 KUH Perdata adalah separuh bagian yang seyogyanya ia
peroleh dalam kedudukannya sebagai ahli waris menurut UU.
Sedangkan ketentuan Pasal 916 KUH Perdata, mengatur bagian legitimatie
portie dari seorang anak luar kawin yang diakui yaitu separuh dari bagian yang
2. Menurut Hukum Waris Islam dan Kompilasi Hukum Islam
Menurut Hukum waris Islam, pembagian warisan diatur berdasarkan
fara’id yakni ilmu yang membahas tentang pembagian warisan dari seseorang
yang telah meninggal dunia.
Kedudukan hukum waris Islam sangat kuat sebab landasannya adalah
Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad Saw. Sebagai indikator dapat dipahami
bahwa pemikiran H. Abdullah Siddik, Shyang menjelaskan bahwa “Tegasnya
ilmu fara’id adalah ilmu pembagian pusaka, ilmu yang menerangkan
ketentuan-ketentuan pusaka yang menjadi bagian ahli waris. Ia dapat dipecahkan kepada dua
bagian besar, yaitu:
(1) Peraturan-peraturan tentang pembagian pusaka, umpamanya
penentuan ahli waris dan penentuan pembagian masing-masing dari
para ahli waris yang ada;
(2) Peraturan menghitung bagian-bagian itu, bagaimana cara
menghitung bagian dari masing-masing yang berhak atas pusaka.
Menurut hukum Islam, warisan memiliki beberapa unsur. Adapun
unsur-unsur warisan/rukun-rukun warisan (arkanul mirats) adalah sebagai berikut :
1. Muwarrits (Orang yang mewariskan), yakni: adanya orang yang
meninggal dunia atau si pewaris. Hukum inidi dalam hukum waris BW
disebut Erflater.
2. Waris (orang yang berhak mewaris; disebut ahli waris), yakni : adanya ahli
waris yang ditinggalkan si wali yang masih hidup dan yang berhak
3. Mauruts miratsatan tarikah (harta warisan), yakni: adanya harta
peninggalan (pusaka) pewaris yang memang nyata-nyata miliknya. Unsur
ini dalam BW disebut Erfenis.
3. Menurut Hukum Adat
Hukum adat waris adalah aturan-aturan hukumadat yang mengatur tentang
bagaimana harta peninggalan atau harta warisan diteruskan atau dibagi dari
pewaris kepada para waris dari generasi ke generasi berikitnya. Menurut Ter Haar
di katakana bahwa “ Hukum adat waris adalah aturan-aturan hukumyang
mengatur tentang cara bagaimana dari masa ke masa proses penerusan dan
peralihan harta kekayaan yang berwujut dan tidak berwujut dari generasi ke
generasi ( Ter Haar, 1950 : 17 ; Hilman Hadi Kusuma, 1980 : 17 )”. Dengan
demikian hukum adat waris itu mengandung 3 unsur yaitu harta peninggalan atau
harta warisan,adanya pewaris yang meninggalkan harta kekayaan dan adanya ahli
waris atau waris yang akan meneruskan pengurusannya atau yang akan menerima
bagiannya.
Hukum adat waris di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh susunan
masyarakat kekerabatannya yang berbeda. Sebagaimana dikatakan Hazairin
bahwa “ bahwa Hukum waris adat memliliki corak tesendiri dari alam pikiran
masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistem
keturunannya Patrilinial, matrilineal, parental atau bilateral6
; walaupun pada
Sistem kewarisan
Dilihat dari orang yang mendapat warisan ( Kewarisan ) di Indonesia
terdapat tiga sistem, yaitu sistem kewarisan kolektif, kewarisan mayorat,
kewarisan individual. Diantara ketiga sistem kewarisan tersebut pada
kenyataannya ada yang bersifat campuran.
a. Sistem Kolektif
Apabila para waris mendapat mendapat harta peninggalan yang
diterima mereka secara kolektif ( bersama ) dari pewaris yangtidak
terbagi-bagi secara perorangan, maka kewarisan demikian itu disebut
kewarisan kolektif . menurut sistem kewarisan ini para ahli waris tidak
boleh memiliki harta peninggalan secara pribadi, malainkan diperbolehkan
untuk memakai, mangusahakan atau mengelolah dan menikmati hasilnya (
Minagkabau; “ ganggam bauntui ’’). Pada umumnya sistem kewarisan
kolektif ini terdapat harta peninggalan leluhur yang disebut “ Harta Pusaka
”, berupa bidang tanah ( pertanian ) dan barangbarang pusaka. Seperti
tanah pusaka tinggi, sawah pusaka, rumah gadang, yang dikuasai oleh
Mamak kepala waris dan digunakan oleh para kemenakan secara
bersama-sama. Di Ambon seperti tanah dati yang di urus oleh kepala dati, dan di
Minahasa terhadap Tanah “ kelakeran ” yang dikuasai oleh Tua
Unteranak, Haka Umbana atau Mapontol, yang dimasa sekarang sudah
boleh ditransaksikan atas persetujuan anggota kerabat bersama.
Apabila harta tidak terbagi-bagi dan hanya dikuasai oleh anak tertua, yang
berarti hak pakai, hak mengulah dan memungut hasilnya sepenuhnya dikuasai
oleh anak tertua dengan hak dan kewajiban mengurus dan memelihara
adik-adiknya yang pria dan wanita sampai mereka dapat berdiri sendiri, maka sistem
Pepaduan seluruh harta peninggalan dimaksut oleh anak tertua lelaki yang disebut
“anak penyimbang” sebagai “mayorat pria”. Hal yang sama juga berlaku di Irian
Jaya, di daerah Teluk Yos Sudarso kabupaten jayapura. Sedangkan di daerah
Sumendo Sumatera Selatan sekuruh harta peninggalan dikuasai oleh anak wanita
yang disebut “tunggu tubang” ( penunggu Harta ) yang di dampingi “Payung
Jurai” , sebagai “mayorat wanita”.
c. Sistem Individual
Apabila harta warisan dapat dibagi-bagikan dan dapat dimiliki secara
perorangan dengan “hak milik” , yang berarti setiap waris berhak memakai,
mengulahdan menikmati hasilnya atau juga mentransakikannya, terutama setelah
pewaris wafat, maka kewarisan demikian itu disebut “kewarisan Individual” .
sistem kewarisan ini yang banyak berlaku dikalangan masyarakat yang parental,
dan berlaku pula dalam hukum waris barat sebagaimana diatur dalam KUH
Perdata (BW) dan dalam Hukum Waris Islam.
Harta warisan
Dengan istilah “harta warisan” sebaiknya digunakan untuk harta kekayaan
pewaris yang akan dibagi-bagikan kepada para waris,sedangkan istilah harta
penerusnya tidak terbagi-bagi. Harta warisan atau harta peninggalan itu dapat
berupa harta benda yang berwujud dan yang tak berwujud.
Harta warisan yang berwujut benda misalnya berupa bidang tanah, bangunan
rumah, alat perlengkapan pakaian (adat), barang perhiasan (wanita), perabot
rumah tangga, alat-alat dapur, alat-alat transport (sepeda, gerobak, kendaraan
bermotor), alat-alat pertanian, senjata, baik yang berasal dari harta pusaka, harta
bersama (pencarian), orang tua suami istri, harta bawaan, ternak, dan sebagainya.
Harta warisan yang tak berwujut benda misalnya berupa kedudukan atau
jabatan adat, gelar-gelar (adat), hutang-hutang, ilmu ghaib, pesan, amanat atau
perjanjian.
Pewaris Dan Waris
Pewaris adalah orang yang memiliki harta kekayaan yang (akan) diteruskan
atau (akan) dibagi-bagikan kepada para waris setelah ia wafat. Jadi pewaris adalah
“empunya” Harta peninggalan. Dilihat dari sistem kewarisan , maka ada pewaris
kolektif , pewaris mayorat dan pewaris individual. Disebut pewari kolektif apabila
ia meninggalkan harta milik bersama untuk para waris bersama, Pewaris Mayorat
apabila pewaris akan meninggalkan harta milik bersama untuk diteruskan kepada
anak tertua, Pewaris Individual apabila pewaris akan meninggalkan harta miliknya
yang akan dibagi-bagikan kepada ahli waris atau warisnya.
Pewaris adalah orang yang mendapatkan harta warisan sedangkan ahli waris
adalah orang yang berhak mendapatkan harta warisan. Jadi semua orang yang
dalam kekerabatan Patrilinial semua anak lelaki adalah ahli waris, sedangkan anak
wanita bukan ahli waris, tetapi mungkindapat warisan sebagai waris. Dalam
sistem warisan mayorat anak tertua yang berhak sebagai ahli waris utama
sedangkan saudaranya yang lain sebagai ahli waris penganyi atau waris saja.
Dalam sistem waris individual semua anak kandung sah adalah ahli waris yang
berhak atas bagian tertentu, sedangkan anak kandung tidak sah atau anak angkat
hanya sebagai waris.
Ibu sebagai janda bukan ahli waris dari ayah yang telah wafat, tetapi jika
anak-anak masih kecil belum mampu menguasai harta warisan, maka yang
berkuasa atas harta warisan adalah ibu, sampai anaknya dewasa. Jika
anak-anaknya sudah dewasa, maka harta warisan akan dibagikan, maka ibu boleh
mendapat bagian seperti bagian anaks sebagai pewaris, atau dia ituk pada anak
yang tertua atau yang di senanginya.
Anak kadung yang sah lebih berhak sebagai ahli waris dari anak kandung
yang tidak sah, anak angkat penerus keturunan adalah ahli waris bapak (orang tua)
yang mangangkatnya, sedangkan anak anhkat lainnya hanya mungkin sebagai
waris saja. Anak tiri dan anak asuh bukan ahli waris dari bapak tiri atau orang tua
asuhnya tetapi mungkin menjadi waris saja.
Orang yang tidak mempunyai ahli waris atau waris sama sekali dan tidak
jelas para anggota kerabatnya jauh dan dekat, maka yang berhak mewarisi
warisannya adalah masyarakat adat setempat atau pemerintah, sebagaimana
man la warisalahu” (saya mewarisi orang yang tidak ada waris) (HR.Ahmad dan
Abu Daud)
Pewarisan
Pewarisan adalah proses penerusan harta peninggalan atau warisan dari si
pewaris kepada para warisnya. Dilihat dari sistem pewarisan dan harta
peninggalannya, maka dapat di bedakan antara sistem penerusan kolektif dan
mayorat pada masyarakat yang kekerabatannya bersifat patrililial dan matrilineal
terhadap harta pusaka, dan penerusan yang individual pada masyarakat yang
kekeluargaannya bersifat parental terhadap harta yang bukan harta pusaka, tetapi
merupakan harta pencaharian (harta bersama) orang tua saja. Singkatnya yaitu
penerusan terhadap harta yang tidak dapat dibagi-bagi dan penerusan terhadap
harta yang dibagi-bagi.
Di dalam perkembangannya dikarenakan terbatasnya harta
pusaka,sedangkan para waris bertambah banyak, maka sistem penerusan yang
kolektif dan mayorat berangsur-angsur mengikuti jejak masyarakat yang parental
dengan sistem yang individual.
Dalam penerusan harta warisan yang bersifat individual, dimana harta
warisan itu dibagi-bagi kepadapara waris, pewarisannya dapat terjadi sebelum
pewaris wafat dan sesudah wafat pewaris. Terjadinya penerusan harta warisan
dikala pewaris masih hidup dikalangan keluarga-keluarga jawa disebut
“Lintiran”. Sistem lintiran ini terjadi dengan berlaku dengan cara penunjukan
wekas) dari orang tua pewaris kepada para warisnya ketika hidupnya. Penunjukan
itu dilakukan dengan menunjukan warisan tertentu terhadap waris tertentu
(Jawa:Cungan) atau menunjukan batas-batas tanah pertanian (ladana,sawah)
untuk waris tertentu (Jawa:Garisan), atau menunjukan jenis barangnya
(Jawa:Perangan) bagi waris tertentu. Di aceh apabila dilakukan wasiat,maka harta
yang dapat dipesankan bagi waris tertentu tidak boleh melebihi dari 1/3 julah
seluruh warisan, apabila melebihi 1/3 bagian maka warisan di kala diadakan
pembagian warisan setelah pewaris wafat dapat ditarik kembali yang lebih itu.
Setelah pewaris wafat, maka harta warisannya harus dibagi-bagikan kepada
para waris atas dasar hak waris dan kasih sayang. Tetapi jika anak anak yang
berhak mewarisi belum mampu menguasai dan memiliki bagian warisannya,
dikarenakan masih kecil atau belum mampu akal pikirannya, atau ahli waris
bersangkutan belum dapat hadir pada saat pembagian warisan dilakukan, maka
orang tua yang masih hidup tetap menguasai harta warisan itu untuk kepentingan
ahli waris anak-anaknya.
Jika pembagian anak ada yang belum dewasa dan sebagian sudah dewasa
dan mendiri, dan atau dikarenakan di antara ahli waris ada yang meminta agar
warisan dibagikan, maka warisan dapat dibagikan kepada yang berkepentingan
dengan mempertimbangkan kebutuhannya, sedangkan bagi para ahli waris yang
belum hadir atau kerena masih kecil, maka warisannya menjadi “waris
gantungan” menunggu sampai ahli waris dapa hadir atau menjadi dewasa,
sedangkan warisan bagiannya itu masih tetap dikuasai oleh ibunya atau
Sistem pembagian warisan harus dilakukan dengan musyawarah keluarga
para waris, yang dipimpin oleh ibu atau salah seorang ahli waris yang dapat
manjadi penengah dan berlaku adil, atau jika tidak ada dapat meminta bantuan
para paman saudara, dari ayah atau dari ibu. Dikarenakan keadaan harta warisan
dan keluarga para ahli waris dan waris tidak sama maka tdak ada pula kesamaan
jumlah banyak dan jenis warisan yang dibagikan. Ada keluarga yang membagikan
warisannya atas dasar kesamaan hak antara ahli waris pria dan wanita, ada yang
ahli waris pria dua kali sebanyak bagian warisan wanita, ada yang didasarkan
pada jenis warisannya, dan ada pula yang diberi warisan atas dasar kasih saying
(jawa:Welas kasih,parimirma).
Di Aceh dan Banten bangunan rumah selalu diwarisi oleh anak wanita,
sedangkan warisan tanah kepada anak-anak pria. Tetapi juga ada kemungkinan
anak bungsu mendapatkan bengunan rumah dan tanah pekarangan, jika
kakak-kakaknya sudah kebanyakan merantau dan hidupnya dalam kecukupan.
Sedangkan anak diluar kawin yang sah atau anak asuh yang ternyata bersusah
payah mengurus warta warisan walaupun tidak berhak mewarisi, akan diberi
bagian pula atas dasar kasih saying.
Jika terjadi perselisihan adalm pembagian warisan diantara para waris, maka
selalu diusahakan penyelesaian dengan rukun dan damai, dalam hubungan
kekeluargaan untuk menjaga agar perjlanan arwah dari pewaris di alam baka
B. Sistem Pewarisan Menurut Hukum Nasional (Yurisprudensi)
a) Putusan Raad Van Justitie Batavia tanggal 11-12-1939 T.153:163 (SM.Amin,1954:178) menyatakan : Bahwa sesuatu warisan untuk
seluruhnya takluk pada hikum yang berlaku atas dasar yang
meninggalkan warisan itu dan oleh karena itu pembagian warisan itu
harus dilakukan menurut ketentuan-ketentuan adat.
b) Putusan Raad Van Justitie Batavia tanggal 26-4-1940 T.152:27 (SM.Amin.1954:178) menyatakan : Bahwa kebiasaan dalam hukum
intergenteel (ongeschrevenregel), maka atas harta peninggalan berlaku
Hukum dari orang yang meninggalkan warisan itu, tanpa menghirauka
keadaan benda-benda tertentu yang takluk pada hukum lain dan
menyerupai bagian dari warisan itu.
c) Putusan Raad Van Justitie Batavia kamar III tanggal 17-2-1939 T.151:171 dan tanggal 30-6-1939 T.151:214 (soepomo, 1954:40)
menyatakan: jikalau di tempat itu ada perkara tidak diketahui
bagaimana bunyi Hukum adan (tentang soal warisan) maka hakim
tidak boleh mencari penyelesaian manurut Hukum islam melainkan
hakim harus menyelesaikan perkara yang diadilinya menurut
dasar-dasar Hukum Adat yang hidup di tempat lain di dalam lingkungan
hidup yang bersangkutan.
d) Putusan Raad Van Justitie Batavia kamar III Batavia tanggal 16-12-1936 T.150:239 (soepomo, 1954:78), menyatakan : jika seorang
orang yang meninggal itu harus bersama-sama menggantikan
bapaknya sebagai waris dari harta benda kakek-neneknya.
e) IKHTISAR HUKUM :
1. Bahwa hukum waris menjadi dasar untuk mempertimbangkan
masalah perselisihan warisan adalah hukum adat dari orang yang
meninggalkan harta warisan itu. Jadi kalau pewarisnya orang
batak, maka hukum adat waris orang batak yang diterapkan.
2. Bahwa apabila menyangkut hukum antar golongan (penduduk)
yang berselisih, maka hukum dari pewarisnya yang digunakan
tanpa mamperhatikan jenis barangnya.
3. Bahwa apabila ada perkara warisan yang tidak diketahui
bagaimana bunyi hukum adatnya, maka digunakan bunyi hukum
yang sama, misalnya untuk perkara orang semendo di gunakan
humum minangkabau yang sama sendi kekerabatannya yang
matrilineal.
4. Bahwa jika ahli waris wafat sedangkan bapaknya sebagai pewaris
masih hidup maka yang berhak mewarisi adalah anak-anak dari
yang wafat itu sebagai waris pengganti. Jadi misalnya kepala waris
wafat, maka yang mengantikannya adalah anak-anaknya yang
berhak untuk emnerima penerusan harta peninggalan dari kakek
f) ULASAN
1. Dengan demikian dalam mengadili perkara warisan harus
digunakan hukum waris adat bagi masyarakat adat bukan hukum
waris perundangan (KUH, Perdata) atau hukum agama.
2. Kecuali apabila kedua pihak yang berperkara sepakat menentukan
hukum (agama) yang akan diterapkan. Misalnya hukum waris
Islam bagi umat islam di pengadilan agama. Namun pada
umumnya para warga masyarakat adat masih terikat pada hukum
adatnya.
Hukum Waris Nias
Dalam Yurisprudensi Hindia Belanda
(a) Macam harta peninggalan
a. PUTUSAN LANDRAAD PADANGSIDEMPUAN tanggal
24-5-1939,disahkan RRAD VAN JUSTITIE PADANG tanggal
21-12-1939 T.152:250 (FH.USU. 1972: 43) menyatakan : Bahwa Harta
peninggalan itu terdiri dari “Harta Pusaka” dan “Harta yang
diperoleh selama perkawinan”.
(b) Ahli Waris
b. PUTUSAN LANDRAAD PADANGSIDEMPUAN tanggal
17-7-1939 disahkan RRAD VAN JUSTITIE PADANG tanggal
21-12-1939 T.154: 232 (FH.USU. 1972;46), menyatakan: menurut adat
lelaki yang lain (met uistluiting van andere mannelijke familie
leden), adalah ahli waris terhadap harta peninggalan tidak bergerak
dalam garis keturunan lurus ke bawah.
Putusan Landraad Padang Sidempuan tanggal 21-9-1931 disahkan
Raad Van Justitie Padang tanggal 2-6-1932 T.138: 461 (FH.USU.
1972; 42) menyatakan: Menurut adat anak lelaki tertua sebagai
Kepala waris yang memelihara Harta Peninggalan.
Putusan Rapat Sibolga tanggal 2-3-1905 AB.VI.150 (FH.USU
1972: 46) menyatakan: Dalam Perkawinan jujur, anak-anak adalah
satu-satunya ahli waris.
Putusan Landraad Padang tanggal 24-8-1937 No.24E.Ps.
(FH.USU.1972:46) menyatakan: Apabila seseorang meninggal
dunia tidak mempunyai anak, dan saudara lelaki juga sudah tidak
ada, tetap dari saudara itu ada anak-anaknya, maka anak saudara
lelaki (kemenakan) itulah satu-satunya ahli waris.
(c) Bagian Waris
c. Putusan Landraad Padang tanggal 22-2-1940 T.154: 232
(FH.USU.1972:45) menyatakan :
Di angkola anak lelaki tertua mendapat dua bagian.
1. Putusan Landraad Padang Sidempuan tanggal 21-9-1931
disahkan Raad Van Justitie padang tanggal 2-6-1932 T.138-461
lelaki tertua mandapat 2/3 bagian dari garta peninggalan
ayanhnya, jika hanya ada dua anak lelaki.
2. PUTUSAN LANDRAAD SIPIROK tanggal 3-10-1929
T.134-694 T.134-T.134-694, (FH.USU>1972: 46) menyatakan : Suami dan
istri dalam suatu perkawinan mendapat anak, kemudian karena
intri wafat,maka suami kawin lagi dengan wanita lain. Dari
perkawinan kedua ini juga didapat anak. Dalam pembagian
harta peninggalan baik anak isrti pertama maupun anak istri
kedua memperoleh hak yang sama atas harta peninggalan.
3. PUTUSAN LANDRAAD SIBOLGA tanggal 15-6-1938
disahkan RAAD VAN JUSTITIE PADANG tanggal 3-11-1938
T.149-267 (FH.USU.1972: 44) menyatakan : Anak perempuan
dan lelaki mempunyai bagian yang sama besarnya.
(d) Janda dan anak perempuan
d. Putusan Landraad Hutanopan disahkan RAAD VAN JUSTITIE
PADANG tanggal 29-9-1938 dan 11-5-1939 T.152-253
(FH.USU.1972: 46) menyatakan : janda bukan ahli waris
1. Putusan Rapat Adat Kuria Pintu Padang tanggal 15-12-1931
T.139-266 (FH.USU.1972:22) menyatakan :
Anak-anak perempuan bukan ahli waris tetapi ia mempunyai
hak pakai atas harta peninggalan almarhum ayahnya, sepanjang
2. Putusan Rapat Adat Kuria Pintu Padang tanggal 15-12-1931
T.139-226 (SM.Amin 1954: 136) menyatakan :
Selama janda belum bersuami lagi, demikian pula anak
perempuan, mempunyai hak menarik hasik (vruchtgebruik)
atas harta peninggalan suami/-bapaknya selama ia menetap
dikampung.
3. Putusan Rapat Adat Kuria Pintu Padangsidempuan tanggal
24-5-1939 dibenarkan RAAD VAN JUSTITIE PADANG
tanggal 21-12-1939 T.152-250 (FH.USU.1972;46)
menyatakan :
Janda hanya menikmati hak atas Harta peninggalan yang
berakhir pada waktu ia meninggal dunia.
4. Putusan Rapat Adat Kuria Pintu Padang tanggal 4-1-1937
dikuatirkan RAAD VAN JUSTITIE PADANG tanggal
12-8-1937 T.149-286 (SM.Amin 1954: 136) menyatakan :
Seorang janda adalah juga ahli waris dari suaminya yang
telah meninggal dunia asal saja dipenuhi syarat bahwa suami
meninggal tanpa anak dan Ahli Waris lainnya tidak ada.
(e) Tanggung Jawab ahli waris
e. PUTUSAN RAPAT BESAR GUNUNG TUA Tanggal 20-12-1937
T.154-226 (FH.USU.1972-45) menyatakan :
Ahli waris bertanggung jawab atas hutang-hutang yang di
1. Putusan Landraad Padangsidempuan Dan Raad Van Justitie
Padang tanggal 31-12-1936,26-4-1937,T.148: 482
(FH.USU>1972; 45) menyatakan :
2. Ahli waris bertanggung jawab atas Hutang pewaris sepanjang
harta peninggalan mencukupi untuk itu.
3. Putusan Landraad Sibolga tanggal 7-8-1933 dan RAAD VAN
JUSTITIE PADANG tanggal 15-3-1934 T.141-216
(FH.USU.1972:45) menyatakan :
4. Bahwa anak lelaki sebagai ahli waris berkewajiban memelihara
ibunya
f. IKHTISAR HUKUM
1 Dalam hukum waris Adat Batak dikenal dua macam Harta
peninggalan yaitu”Harta pusaka “Yang merupakan harta bawaan
suami atau istri “Harta pencarian”yang diperoleh selama ikatan
perkawinan.
2 Para Ahli Waris ditarik menurut garis kebapakan (Patrilinial)
atau menurut garis lelaki, dimana istri dan anak wanita bukan
ahli waris. Apabila seorang lelaki wafat tidak mempunyai ahli
waris anak lelaki; maka ada dua kemungkinan yaitu ahli waris
anak digantikan oleh kemenakan yaitu anak saudara lelaki atau
3 Dalam pembagian warisan anak lelaki tertua lebih diutamakan
dari anak lelaki lain, sehingga ia mendapat begian lebih banyak
dari adik-adiknya.
4 Di dalam perkembangannya, janda yang tetap berada di tempat
almarhum suaminya, bukan saja menguasai harta peninggalan
sampai ia kawin lagi atau wafat, melainkan juga dapat mewarisi
harta pencarian dari suaminya, untuk kepentingan hidupnya dan
anak-anaknya.
5 Begitu pula sudah berlaku pula dimana anak-anak wanita
mendapat bagian harta peninggalan dari orang tuanya yang sama
dengan anak-anak lelaki.
6 Bahwa ahli waris menerima warisan dari bapaknya bukan seja
bertanggung jawab mengurus ibunya, tetapi jug abertanggung
jawab membayar hutang0hutang bapak almarhum.
g. Ulasan
Walaupun sudah sejak zaman Hindia belanda nampak adanya
perubahan-perubahan namun dalam mengadili perkara perselisihan
harta peninggalan, masih perlu di teliti bagaimana keadaan
masyarakat hukum adan setempat, mungkin terhadap harta
pencarian tidak begitu banyak persoalan tetapi yang menyangkut
tentang harta bawaan, lebih-lebih yang disebut harta pusaka ada
kemungkinan merupakan milik bersama kerabat bukan milik
(f) Ahli Waris di Nias
a) Putusan Raad Van Justitie Padang tanggal 9-9-1937 T.148; 469 (FH.USU.1972: 67-SM.Amin.1954; 162), menyatakan :
Menurut Hukum Adat di Nias harta warisan orang nias, meskipun
mereka sudah beragama islam, berkediaman di luar pulau nias,
berlaku hukumadat waris nias. Bahwa harta yang diperoleh selama
perkawinan sebagai usaha bersama suami istri, jatuh pada
anak-anak lelaki, sedangkan janda dan anak-anak-anak-anak perembpuan tidak
mendapat bagian.
b) IKHTISAR HUKUM
1. Hukum adat waris yang berlaku bagi keluarga suami istri orang
Nias dimana saja ia berada adalah hukum adat waris dari
daerah asalnya di pulau Nias;
2 Hukum waris adat masyarakat Nias yang juga patrilinial mirip sama dengan hukum waris adat batak.
c) Ulasan
1. Perkara tersebut terjadi dalam tahun 1937 di masa Hindia
belanda, andaikata ia terjadi dimas sekarang tentunya tidak
lagi sesuai menjadi pedoman yang tetap. Terutama bagi
mereka yang menganut agama islam dan bermukim di
perantauan, apalagi jika keluarga bersangkutang sudah
2. Menurut hasil penelitian Fakultas Hukum Uiversitas Sumatera
Utara tahun 1972 di laporkan antara lain bahwa di Nias pada
dasarnya perceraian di larang, tetapi jika terjadi perceraian
maka semua harta perkawinan dikuasao suami, sedangkan
janda dan anak perempuan hanya mandapat hak untuk
menikmati. Bagitu juga jika istri wafat, maka semua harta
dikuasai suami, sebaliknya jika suami wafat maka hanya 25%
saja harta yang dapat dikuasai janda, selebihnya 75% di
kuasai anak lelaki; dan atau ada juga yang di bagi menurut
hukum faraid (islam). Dimasa lampau anak lelaki tertua
mendapat bagian lebih besar.
Yurisprudensi Tahun 2006
(g). Nomor : 332 K/AG/2000
Tanggal Putusan : 3 Agustus 2005
Team Majelis : 1. Drs.H. Syamsuhadi Irsyad, SH.
2. Drs.H. Hamdan , SH.MH.
3. Drs.H. Abdul manan, SH.Sip.M.Hum
KAIDAH HUKUM :
1. Dalam perkara waris, untuk menentukan harta peninggalan terlebih dahulu
harus jelas mana yang merupakan hata bawaan dan mana pula yang
merupakan harta bersama. Harta bawaan kembali kepada saudara pewaris dan
harta bersamayang merupakan hak pewaris menjadi harta warisan yang harus
dibagikan kepada para ahli waris.
2. Dalam membagi harta warisan harus di sebutkan secara jelas orang-orang
yang berhak menjadi ahli warisan dan bagiannya masing-masingnya.
3. Apabila dilakukan hibah kepada pihak lain terhadap harta warisan yang belum
dibagikan kepada ahli waris , maka hibah tersebut batal demi hukum karena
salah satu syarat hibah adalah barang uang dihibahkan harus milik pemberi
hibah sendiri, bukan merupakan harta warisan yang belum di bagi dan bukan
pula harata yang masih terkait dengan suiatu sengketa.
(h). Nomor : 32 K/AG/2002
Tanggal putusan : 20 April 2005
Team majelis : 1. Drs. H. Syamsuhadi Irsyad, SH.
2. Drs. H. Hamdan , SH.MH.
3. Drs. H. Habiburrahman, SH.M.Hum
Klasifikasi Tentang : WARIS MAL WARIS
KAIDAH HUKUM :
1. Dalam perkara sengketa waris mal waris, tidak perlu di tetapkan taksiran
harga dan pemnunjukan objek dan sengketa yang menjadi bagian
2. Untuk membagi harta peninggalan yang didalamnya terdapat harta bersama,
maka harta bersama harus dibagi terlebih dahulu, dan hak waris atas harta
bersama tersebut menjadi harta warisan yang harus di bagikan kepada ahli
waris yang berhak.``````````
BAB III
PEWARISAN DALAM HUKUM ADAT NIAS
A. Sistem Pewarisan Menurut Hukum Adat Nias
Hukum waris adat dari suatu suku bangsa di Indonesia yang tradisionalnya
sangat dipengaruhi sekali oleh sistem kemasyarakatan dan sistem pewarisan suku
bangsa yang bersangkutan untuk diketahui bahwa sistem kemasyarakatan itu ada
3 (tiga) macam, yaitu :
a. Sistem Matrilineal, yaitu sistem yang menwarisi garis keturunan menurut
garis keibuan. Contohnya di Minangkabau. Pada masyarakat Minangkabau
yang menjadi ahli waris ialah hanya anak dari si ibu jika yang meninggal
adalah laki-laki maka yang menjadi ahli warisnya ialah saudaranya
perempuan dan kemenakannya.
b. Sistem patrilineal, yaitu sistem yang menurut garis keturunan dari Bapak.
c. Sistem Parental, yaitu sistem yang menarik garis keturunan menurut garis
keturunan keibuan dan kebapakan. Pada masyarakat parental yang menjadi
ahli waris adalah anak laki-laki dan anak perempuan secara bersama-sama
namun bagian anak laki-laki lebih besar dari bagian anak perempuan.
Sistem pewarisan juga ada 3 (tiga) macam, yaitu :
1. Sistem Kolektif, yaitu bahwa harta warisan itu terdiri dari pewaris kepada
ahli warisnya dalam keadaan utuh tidak terbagi-bagi.
2. Sistem Mayorat, yaitu warisan dari pewaris itu hanya beralih kepada anak