• Tidak ada hasil yang ditemukan

Merekonstruksi Ulang Arti dan Indikator Kemiskinan Lokal

KONSTRUKSI KEMISKINAN LOKAL

4.4. Merekonstruksi Ulang Arti dan Indikator Kemiskinan Lokal

Pengembaraan mencari arti dan indikator kemiskinan di tingkat lokal belumlah selesai dengan hanya melihat Perda, karena Perda dibuat oleh pemerintah daerah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara. Memang benar bahwa Perda telah disepakati oleh DPRD sebagai representasi dari ”rakyat”. Namun yang sebenarnya DPRD bukanlah wakil dari rakyat, melainkan DPRD lebih tepat disebut sebagai wakil partai dalam sebuah teatrikal politik yang mengatasnamakan rakyat. Dalam hal ini jelas posisi peneliti dalam gaya berpikir dialektika mencari kebenaran dengan memposisikan ”suara rakyat” sebagai kebenaran. Berbeda dengan Perda, masyarakat Desa Loh Sumber dalam mendefiniskan dan membuat indikator kemiskinan menggunakan ”gaya bahasa” mereka sendiri, artinya tidak terikat aturan formal apalagi Perda.

Dunia kemiskinan didefinisikan bersama-sama oleh tineliti yang difasilitasi oleh peneliti. Dalam hal ini tineliti terdiri dari tokoh golongan miskin, tokoh golongan kaya, kepala dusun, ketua RT dan perangkat desa. Proses diskusi di dalam membuat sintesis dunia kemiskinan dikalangan tineliti sangat demokratis dan sifatnya saling mengoreksi antara tesis dan anti-tesis dalam rangka ”dialog”.

Beberapa tesis yang sifatnya bias pada kepentingan pribadi misalnya kepala dusun, ketua RT, bahkan perangkat desa yang terkadang bias ”keluarga/kerabat”

sebagai upaya untuk memasukkan anggota keluarga/sanak saudaranya dalam daftar rumah tangga miskin tidak terjadi karena dalam proses diskusi ini terjadi koreksi ”kebenaran” oleh golongan miskin dan golongan kaya yang berperan sebagai anti-tesis dari tesis yang bias pada kepentingan pribadi.

Hal ini lebih tepat dari pada arti dan indikator kemiskinan yang dibuat secara sepihak oleh pemerintah walaupun ”ilmiah” namun itu didasarkan atas hasil yang dilakukan oleh ”orang luar” (petugas BPS). Dalam survei dunia kemiskinan didefinisikan dan diukur ”sendiri” oleh petugas BPS, bahkan kepala dusun dan ketua RT apalagi orang miskin di lingkungan Desa Loh Sumber tidak pernah dilibatkan dalam mendefinisikan dunia kemiskinan yang dirasakan oleh di desa tersebut.

”...kulo dua periode njabat RT, tapi mboten tau niku diajak ndata penduduk miskin. Nopo maneh pas program BLT 2005, tau-tau kulo dipanggil pak kades dikongkon ngedum kartu BLT. Yo kaget, kulo mboten rumongso ndata lah kok tau-tau ono kartu BLT. Repote warga kulo mboten ngerti sing ndata niku soko Tenggarong sanes kulo. Sing miskin ora keduman yo nesu-ne karo RT, sing sugih malah ono kartu BLT-ne”.

(Rusik [Ketua RT 8], 43 Tahun).

”...Saya dua periode menjabat ketua RT, tapi tidak pernah dilibatkan dalam mendata penduduk miskin. Apalagi pada saat program BLT, tiba-tiba saya dipanggil kepala desa, disuruh membagi kartu BLT. Ya saya kaget, saya merasa tidak mendata tapi tiba-tiba ada kartu BLT. Repotnya warga saya tidak tahu kalau yang mendata BLT dari Tenggarong bukan saya. Yang miskin tidak dapat ya marah kepada saya, yang kaya justru dapat kartu BLT”.

(Rusik [Ketua RT 8], 43 Tahun; diterjemahkan).

Dari hasil dikusi partisipatif bersama tineliti dalam merekonstruksi ulang arti dan indikator kemiskinan di Desa Loh Sumber, telah dirumuskan tangga kehidupan yang di dalamnya terdiri dari anak tangga kemiskinan dan kesejahteraan sebagai gambaran kelas-kelas sosial dalam masyarakat Desa Loh Sumber. Dari tangga kehidupan ini nantinya dapat dilihat arti beserta indikator kemiskinan yang sesuai dengan keadaan sosial masyarakat Desa Loh Sumber.

Lihat Gambar 10.

memungkinkan terjadi naik atau turun kelas

memungkinkan terjadi naik atau turun kelas

Garis Kemiskinan < Rp. 850.000 per bulan per KK - Punya lahan pertanian (>10 Ha).

- Punya rumah lebih dari dua.

- Dinding rumah dominan terbuat dari tembok.

- Punya mobil > 2 buah.

- Punya truck > 2 buah.

- Punya sepeda motor > 2 buah.

- Punya hewan peliharaan seperti ayam, bebek (> 10 ekor), dan atau kambing/sapi (< 12 ekor).

- Jika Agamanya Islam, sudah pernah berangkat haji.

- Memiliki pekerjaan tetap (di kelas ini dominan adalah pedagang, swasta pemborong bangunan, petani berlahan, PNS golongan III.a ke atas).

- Bahan bakar memasak dari Gas Elpiji.

- Makan tiga kali sehari.

- Punya tabungan uang tunai (>Rp.

4.000.000,- per enam bulan)

- Berpenghasilan tetap (>Rp. 9.000.000,- per bulan per KK).

- Mampu membeli barang-barang diluar kebutuhan pokok (tersier), seperti: lukisan, guci keramik, dan hiasan-hiasan perak.

- Rokok bermerek. (seharga minimal Rp.

8.500 per bungkus).

- Setiap bulan mampu membeli minimal empat stel pakaian.

- Punya lahan pertanian (2 – 10 Ha).

- Punya rumah (lantai dua).

- Dinding rumah dominan terbuat dari tembok.

- Punya satu buah mobil.

- Punya sepeda motor > 2 buah.

- Punya hewan peliharaan seperti ayam, bebek (> 10 ekor), dan atau kambing/sapi (< 12 ekor).

- Memiliki pekerjaan tetap (di kelas ini dominan adalah pedagang, swasta pemborong bangunan, petani berlahan, PNS golongan III.a ke atas).

- Bahan bakar memasak dari Gas Elpiji.

- Makan tiga kali sehari.

- Punya tabungan uang tunai (>Rp.

2.000.000,- per enam bulan)

- Berpenghasilan tetap (>Rp. 5.000.000,- per bulan per KK).

- Mampu membeli barang-barang diluar kebutuhan pokok (tersier), seperti: lukisan, guci keramik, dan hiasan-hiasan perak.

- Rokok bermerek. (seharga minimal Rp.

8.500 per bungkus).

- Setiap bulan mampu membeli minimal tiga stel pakaian.

- Punya lahan pertanian (< 1,5 Ha).

- Punya rumah.

- Dinding rumah dominan terbuat dari kayu.

- Punya satu buah sepeda motor.

- Punya hewan peliharaan seperti ayam, bebek (> 10 ekor), dan atau kambing/sapi (< 5 ekor).

- Memiliki pekerjaan tetap (di kelas ini dominan adalah petani berlahan, PNS/Guru, dan buruh perusahaan kayu).

- Bahan bakar memasak dari Minyak Tanah/Gas Elpiji.

- Makan tiga kali sehari.

- Punya tabungan uang tunai (>Rp.

300.000,- per enam bulan)

- Berpenghasilan tetap (>Rp. 1.000.000,- per bulan per KK).

- Rokok bermerek. (seharga minimal Rp.

8.500 per bungkus).

- Setiap bulan mampu membeli minimal satu stel pakaian.

- Tidak punya lahan pertanian. (*)

- Punya tanah hanya sebatas untuk rumah (pondok)/tempat tinggal. (*)

- Dinding rumah dominan terbuat dari gedek (anyaman bambu).

- Punya sepeda pancal. (*)

- Punya hewan peliharaan jenis unggas:

ayam dan bebek (< 10 ekor). (*)

- Bekerja sebagai buruh serabutan (tidak tetap). (*)

- Bahan bakar memasak dari kayu bakar (tanpa minyak tanah sbg. Pemancing api awal, melainkan menggunakan blarak).

- Makan hanya satu atau dua kali sehari.

- Punya simpanan bahan makanan untuk besok harinya.

- Tidak berpenghasilan tetap (<Rp.

850.000,- per bulan per KK). (*) - Rokok tidak bermerek---tingwe (ngelinting

dewe).

- Tidak punya tanah/lahan pertanian.(*) - Tidak punya rumah/tempat tinggal

tetap---permanen. (*)

- Tidak punya kendaraan transportasi pribadi (termasuk sepeda pancal). (*) - Tidak punya hewan peliharaan. (*) - Bekerja sebagai buruh serabutan (tidak

tetap). (*)

- Bahan bakar memasak dari kayu bakar (tanpa minyak tanah sbg. Pemancing api awal, melainkan menggunakan blarak).

- Makan hanya satu kali sehari.

- Tidak punya simpanan bahan makanan untuk besok harinya (sekali makan habis---cari lagi).

- Tidak berpenghasilan tetap (<Rp.

500.000,- per bulan per KK). (*).

- Rokok tidak bermerek---tingwe (ngelinting dewe).

Keterangan (*) = Penyebab menjadi miskin.

Gambar 10. Tangga Kehidupan: Anak Tangga Kesejahteraan dan Kemiskinan Masyarakat Desa Loh Sumber.

Berdasarkan Gambar 10., terlihat adanya perbedaan arti dan indikator kemiskinan antara versi pemerintah daerah (berdasarkan Perda Kab. Kutai Kartanegara No. 2/2007) dengan masyarakat Desa Loh Sumber. Terutama perbedaan yang sangat menonjol yaitu:

a) Pemilikan lahan pertanian, di dalam Perda tidak terdapat hal tersebut padahal lahan pertanian menjadi jantung faktor produksi bagi masyarakat desa karena sebagian besar hidup dalam lingkungan agraris pertanian;

b) Jenis lantai tanah, di dalam Perda ada tetapi menurut masyarakat lantai tidak menjadi persoalan dalam menentukan miskin atau tidaknya seseorang, karena bagi masyarakat desa dapur lebih nyaman jika menggunakan lantai tanah;

c) Penerangan rumah menggunakan listrik, di dalam Perda ada, namun dikalangan masyarakat desa listrik sudah menjadi suatu hal yang umum seluruh rumah sudah dialiri listrik;

d) Garis kemiskinan menurut Perda adalah Rp. 300.000,- per bulan sedangkan menurut masyarakat desa sebesar Rp. 850.000,- per bulan;

e) Pendidikan tertinggi kepala keluarga minimal SD, di dalam Perda tercantum hal tersebut, namun dikalangan masyarakat tidak selamanya lulusan SD miskin, justru pedagang-pedagang dan petani kaya semuanya adalah lulusan SD (dahulu SR---Sekolah Rakyat).

f) Jenis Rokok, di dalam Perda tidak ada. Ternyata dikalangan masyarakat desa, rokok mempunyai prestise tersendiri. Siapa yang rokoknya paling mahal maka sudah dapat dipastikan termasuk golongan di atas garis kemiskinan, sebaliknya rokok tingwe umumnya adalah rokok bagi kelas masyarakat di bawah garis kemiskinan.

Lebih jauh lagi melalui tangga kehidupan (anak tangga kesejahteraan dan kemiskinan) sekaligus dapat melihat penyebab dan karakteristik kemiskinan di Desa Loh Sumber. Dalam tangga kehidupan (lihat tanda (*) di sisi kiri garis kemiskinan Gambar 10) dapat diketahui bahwa penyebab kemiskinan rumah tangga di Desa Loh Sumber sebagai berikut, yaitu tidak punya lahan, tidak punya rumah tetap (permanen), tidak punya kendaraan pribadi, tidak punya hewan peliharaan, tidak punya pekerjaan tetap (serabutan), dan berpenghasilan tidak tetap (bahkan lebih kecil dari Rp. 500.000,- per bulan per KK). Melihat penyebab kemiskinan tersebut dan mayoritas mata pencaharian penduduk Desa Loh Sumber adalah petani, maka dapat dirunutkan alurnya penyebab kemiskinan yaitu karena tidak punya lahan maka rumah tangga miskin tidak dapat berproduksi, sehingga tidak ada pemasukan (penghasilan) yang tetap untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti pangan, sandang, dan papan.

Mobilitas sosial juga dapat dilihat dengan menggunakan tangga kehidupan (Gambar 10). Tiap-tiap anak tangga memiliki indikator dan dibatasi oleh garis kemiskinan, di sisi kiri garis kemiskinan terdapat dua kelas yaitu miskin (melarat) dan agak miskin. Sedangkan di sisi kanan garis kemiskinan terdapat tiga kelas yaitu sederhana, agak kaya, dan kaya (sugih). Dalam kehidupan sosial yang dinamis, dimungkinkan adanya mobilitas sosial (perpindahan kelas), mungkin ada yang naik atau turun kelas bahkan tetap (tidak ada perubahan). Guna melihat mobilitas sosial, dalam diskusi kelompok terarah peneliti dan tineliti membandingkannya dengan keadaan kehidupan rumah tangga (tineliti) 10 tahun yang lalu (tahun 1998) dan dari proses mobilitas sosial ini nanti dapat dilihat faktor yang membantu atau menghalangi rumah tangga miskin untuk membebaskan diri dari kemiskinan, lihat Tabel 18.

Rumah tangga tineliti yang akan dilihat mobilitas sosialnya hanya terbatas berasal dari RT XI, padahal lebih baik jika dilakukan serentak di seluruh RT sehingga

mampu merepresentasikan gambaran mobilitas sosial Desa Loh Sumber dan mampu mendapatkan data rumah tangga miskin (data primer) yang sahih dan dapat dipertanggungjawabkan. Keterbatasan ini dikarenakan saat peneliti di lapangan pada pertengahan Juni 2008 berbarengan dengan proses pembagian kartu BLT tahun 2008.

Sehingga Kepala Desa Loh Sumber dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Kutai Kartanegara menyarankan peneliti untuk tidak menimbulkan dualisme data kemiskinan (versi pemerintah dan versi penelitian) yang dapat menimbulkan kebingungan masyarakat. Hal tersebut mungkin dimaksudkan untuk menjaga ketentraman desa pada saat pembagian BLT, akan tetapi peneliti justru berkesimpulan bahwa ada ”sesuatu”

dalam data kemiskinan versi pemerintah. Oleh karena itu berdasarkan argumen di atas, maka peneliti memutuskan untuk melakukan potret mobilitas sosial di satu RT saja (karena sudah terlanjur) yaitu RT XI.

Tabel 18. Mobilitas Sosial Masyarakat Desa Loh Sumber RT XI Tahun 2008

Kelas Sosial Miskin

(Melarat) Agak Miskin Sederhana Agak Kaya Kaya (Sugih) Miskin (melarat) Rahman

Toyem

Sederhana Rukiyah Mansyah

Setu

Berdasarkan Tabel 18 dapat dilihat bahwa telah terjadi mobilitas sosial dalam masyarakat Desa Loh Sumber khususnya RT XI. Tidak ada rumah tangga (RT XI) yang menduduki kelas Agak Kaya dan Kaya (Sugih) sepuluh tahun yang lalu (tahun 1998).

Hal ini dikarenakan masyarakat Desa Loh Sumber adalah transmigran dari Pulau Jawa yang justru mencari kehidupan yang lebih baik di Desa Loh Sumber daripada di desa asal. Namun setelah 10 tahun kemudian (tahun 2008), telah terjadi mobilitas sosial yaitu ada yang naik atau turun kelas bahkan tetap berada di kelas yang sama. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya mobilitas sosial (naik atau turun kelas) lihat Tabel 19.

Tabel 19. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mobilitas Sosial Rumah Tangga Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mobilitas Sosial

No Naik Kelas Turun Kelas

1. Mendapat ganti rugi tanah. (Contoh: Sipar dan Masijan).

Suami/isteri atau tulang-punggung keluarga meninggal dunia. (Contoh: Rukiyah).

2. Mendapat warisan tanah dan uang tunai dari orang tuanya. (Contoh: Sibo, Mariyono, dan Sugito)

Usaha (berdagang, warungan) bangkrut. (Contoh:

Kadir).

3. Anak sudah besar (dewasa) dan mendapatkan pekerjaan dan pengahasilan tetap. (Contoh:

Suryah, Jaminah dan Jaimun).

Bagi yang bekerja, terkena rasionalisasi karyawan atau PHK. (Contoh: Kateni).

4. Menikah dengan orang kaya (kejadian khusus).

(Contoh: Yeti; ia menikah dengan Tokek Cina yang kaya raya).

Suami/isteri sudah tidak mampu bekerja atau sudah tua; tidak produktif. (Contoh: Kawal).

5. Memiliki keluarga/saudara di Kota yang sudah bekerja dan penghasilan tetap. (Contoh:

Masijan).