• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENENTUAN KONSEP DESAIN

A. MERESPON BANJIR

Banjir perlu direspon untuk menyelesaikan permasalahan banjir yang ada Pertimbangannya adalah sebagai berikut.1

o Karakter Banjir

Sebagai objek yang memerlukan respon, banjir menjadi pertimbangan antara lain meliputi:

- Pada lahan bantaran, elevasi muka banjir mencapai 2 meter di atas permukaan tanah bantaran yang secara umum memiliki topografi datar.

- Banjir yang terjadi memiliki arus, serupa dengan aliran sungai bersangkutan, cenderung lambat, bukan merupakan flash flood.

- Adanya dua kondisi pada lahan bantaran, kondisi normal dan banjir. Secara umum kondisi banjir bersifat sementara (temporary) dibanding kondisi normal. Kondisi banjir melimpasi lahan kurang lebih selama 2 minggu hingga kembali ke kondisi normal.

o Permasalahan Banjir yang Terjadi pada Lahan Permukiman

Akibat karakter banjir bantaran sungai di Sangkrah tersebut, permasalahan banjir yang terjadi terhadap permukiman yang ada yaitu sebagai berikut.

- Persoalan berupa dampak langsung dari banjir yaitu kegagalan fungsional total permukiman yang ada karena ruang aktivitas yang ada tidak dapat berbagi dengan ruang air banjir. Permukiman pada lahan bantaran di Sangkrah tidak dapat berfungsi sebagai tempat bermukim pada saat kondisi banjir. Kegiatan bermukim yang diwadahi baik dalam wujud bangunan atau ruang-ruang outdoor tidak dapat berlangsung karena ketinggian elevasi banjir yang merendami fungsi tersebut membuat manusia sebagai pengguna menjadi terusir dan tidak dapat melakukan kegiatan di dalamnya.

- Persoalan turunan banjir yang dapat mengganggu atau mengancam keberhasilan fungsional lebih lanjut seperti misalnya kerusakan, genangan, kekotoran pada lahan.

Analisanya dapat dijelaskan sebagai berikut.

Yang terpenting adalah bagaimana agar kegiatan bermukim yang ada sebelumnya masih bisa berlangsung pada lahan pada saat banjir sebagaimana pada kondisi normal. Perencanaan yang dilakukan ditentukan melalui berbagai pendekatan berikut.

Pertama, idealnya, orientasi yang utama yaitu mempertahankan pola kegiatan bermukim yang terjadi pada lahan (tatanan lahan) agar tidak berubah pada kondisi banjir. Hal tersebut dapat dilakukan dengan skema perencanaan berupa pola fisik ruang

1

Data yang dipakai berdasarkan kejadian banjir terparah yang aktual dan dampaknya pada area lahan bantaran sungai di Sangkrah yaitu kejadian banjir tahun 2007.

commit to user

sebagai wadah kegiatan bermukim pada lahan yang mampu untuk tidak berubah sepenuhnya pada kondisi banjir.

Akan tetapi, pada realitanya, dengan adanya tema dan batasan-batasan dalam pemecahan persoalan ini,2 pola fisik ruang yang ada pada kondisi normal tidak dapat begitu saja dipertahankan dalam kondisi banjir. Ruang untuk fungsional yang tidak dapat berbagi dengan ruang untuk air menjadikan pola fisik ruang yang ada tidak dapat dipertahankan. Sehingga mau tidak mau pola kegiatan bermukim tidak dapat tetap akibat berubahnya kondisi bentukan lahan dari kondisi normal menjadi kondisi terendam air.

Kedua, kegiatan bermukim merupakan suatu rangkaian kegiatan yang kompleks yang tidak dapat dijabarkan satu per satu karena tidak semua aktivitas penyusun kegiatan bermukim terwujud dalam suatu pewadahan fisik khusus. Juga sebaliknya, bentuk pewadahan fisik yang ada belum tentu dapat merefleksikan seluruh kegiatan bermukim pada lahan.

Yang dapat dijabarkan, sistem kegiatan bermukim yang ada pada lahan bantaran sungai di Sangkrah ini yaitu ditandai dengan adanya aktivitas merumah pada lahan kemudian disertai dengan aktivitas lain pada lingkup lahan bersangkutan mulai dari yang urgen hingga yang sifatnya sekunder. Sehingga dapat dikatakan apabila tidak ada kegiatan merumah pada lahan bantaran sungai di Sangkrah, maka aktivitas lain yang selama ini juga berlangsung pada lahan menjadi tidak ada. Kegiatan merumah menandai atau mewakili adanya kegiatan bermukim pada lahan bantaran sungai di Sangkrah ini, sehingga yang terpenting pada perencanaan ini yaitu kegiatan merumah masih bisa berlangsung pada lahan saat kondisi banjir.

Keberadaan kegiatan merumah dengan rumah sebagai bentuk fisik pewadahannya merupakan aspek penting pada pembahasan peresponan banjir ini. Pertimbangan yang lain yaitu ketika memandang kerugian banjir dari sudut pandang masing-masing individu, istilah kerugian material banyaknya tercermin dari jumlah yang diderita/dirasakan masyarakat. Dapat dirasakan sebagai sebuah kerugian material karena kerugian yang diderita oleh masyarakat cenderung pada hal yang sifatnya aset pribadi yang lebih bernilai posessif dibanding aset yang sifatnya “hanya” berupa sarana prasarana bersama.

Rumah dapat dianggap sebagai batasan area aset pribadi tersebut. Ruangan rumah yang tidak dapat ditempati (baik oleh manusia maupun properti) saat banjir menjadi penyebab utama banyaknya kerugian material (selain kemungkinan-kemungkinan sulitnya evakuasi). Pada perencanaan yang merespon banjir ini, nantinya rumah semestinya tetap dapat ditempati saat banjir.

2

Termasuk di sini bukan skema relokasi, penyelesaian bersifat arsitektural berupa penataan permukiman dan hanya dibatasi pada lahan bantaran sungai di Sangkrah ini, pertimbangan kerelatifan terhadap kondisi masyarakat yang ada sebagai occupant permukiman dan target dari penataan permukiman, serta aspek normatif lain termasuk aspek hidrologi dan sungai.

commit to user

Ketiga, komponen fisik yang ada pada suatu lingkup permukiman merupakan penyusun struktur fisik permukiman. Keberhasilan permukiman sebagai wadah kegiatan bermukim tidak dapat lepas dari keberhasilan tiap-tiap komponen fisik mewadahi aktivitasnya masing-masing.

Pengupayaan wujud bangunan dapat dikatakan sebagai suatu upaya legitimasi ruang untuk kebutuhan fungsi atau aktivitas tertentu,3 berbeda dengan ruang-ruang outdoor yang cenderung mewadahi aktivitas/fungsi yang sifatnya fleksibel. Ketika kemudian bangunan tidak dapat berfungsi mewadahi aktivitasnya maka legitimasi ruang yang dilakukan tersebut menjadi tidak berguna. Singkatnya, bangunan yang ada pada tatanan lahan sebisa mungkin juga dapat berfungsi sebagai wadah bagi aktivitasnya pada saat banjir.

Keempat, flood proofing sebagai upaya arsitektural rekayasa ruang pada lahan banjir dapat diterapkan. Penerapan flood proofing tentu saja dengan pertimbangan apakah ruang fungsi yang bersangkutan dapat direkayasa dengan flood proofing atau tidak dan juga apakah fungsi yang bersangkutan perlu dipertahankan saat banjir.

Kelima, lebih lanjut, aksesibilitas dan perhubungan pada fungsi-fungsi di lahan menjadi penting untuk direkayasa, mengingat lahan pada kondisi banjir tidaklah aksesibel. Fungsi yang tidak dapat diakses menjadikannya tidak dapat digunakan sehingga tidak fungsional. Adanya akses dan perhubungan (berupa jalur-jalur sirkulasi) juga untuk menghubungkan satu fungsi dengan fungsi lain pada lahan, menunjang kegiatan bermukim pada skala yang berbeda-beda tidak hanya pada skala rumah, termasuk pada skala yang lebih luas dari lingkup lahan bantaran sungai di Sangkrah, yaitu dapat berupa aktivitas bekerja, bersekolah, belanja dan sebagainya seperti dilakukan sebagaimana mestinya.

Keenam, tentu saja yang terpenting adalah aktivitas bermukim yang ada juga dapat berlangsung dengan baik pada kondisi normal. Peresponan banjir dilakukan dengan berprinsip bahwa output yang dilakukan tidak mengganggu kegiatan bermukim pada kondisi normal.

Ketujuh, sementara itu, untuk benar-benar menghilangkan permasalahan banjir termasuk permasalahan turunan banjir, lahan harus dibebaskan sepenuhnya dari jangkauan air banjir. Terlepas dari itu, respon terhadap permasalahan turunan banjir tersebut selama ini berupa upaya manusia berwujud perbaikan kerusakan dan pembersihan lahan yang jika tidak dilakukan akan mengganggu fungsi-fungsi bersangkutan sehingga mungkin menjadi tidak berfungsi lagi. Untuk itu, pada perencanaan ini, yang dapat dilakukan yaitu meminimalisir gangguan sehingga mempermudah upaya manusia dalam menghilangkan gangguan akibat banjir nantinya terutama pada pasca-banjir.

3

commit to user

Gambar 4.2

Siklus Banjir pada Lahan Banjir dan Konsep Keterpenuhan Aktivitas Sumber: Dokumentasi pribadi

Dari hasil analisa berbagai pendekatan di atas, output peresponan terhadap banjir sebagai upaya pemecahan permasalahan banjir untuk permukiman bantaran sungai di Sangkrah adalah sebagai berikut.

- Akibat genangan air banjir yang memakan ruang fungsional pada lahan permukiman bantaran sungai di Sangkrah ini, maka terjadi perubahan pola kegiatan bermukim akibat adanya eliminasi ruang tempat melakukan sebagian kegiatan bermukim.

Sehubungan adanya eliminasi ruang oleh banjir, perlu adanya rekayasa untuk mempertahankan fungsi/aktivitas yang penting sebagai wujud keberhasilan lahan sebagai tempat bermukim.

- Kegiatan merumah pada unit-unit hunian dan aktivitas yang terwadah pada wujud bangunan masih bisa berlangsung pada wadahnya masing-masing pada saat banjir dengan rekayasa flood proofing, kemudian aktivitas-aktivitas yang sifatnya fleksibel (cenderung tidak memerlukan pewadahan khusus) tetap akan berlangsung sebagai pelengkap/penunjang.

- Adanya adanya jalur sirkulasi temporer pada saat banjir.

- Desain penataan juga berprinsip mengurangi efek gangguan yang menimbulkan persoalan turunan banjir untuk mempermudah upaya manusia mengatasi persoalan turunan banjir yang dapat berupa kerusakan, kekotoran dan genangan.

Penjelasan lebih lanjut mengenai peresponan terhadap banjir pada perencanaan penataan dapat disampaikan berikut ini.

1. Penentuan Flood Proofing

Pertimbangannya, sesuai penyampaian Kiran Curtis, alternatif flood proofing

dapat menggunakan salah satu dari metode berikut.

- Rekayasa elevasi bangunan.

- Floating atau amphibious.

commit to user

Gambar 4.3

Amphibious atau Floating dan Dry Flood Proofing

Sumber: Dokumentasi pribadi

- Wet flood proof.

Analisanya, pada dasarnya semua metode flood proofing dapat diterapkan terhadap kondisi banjir apapun tergantung aplikasinya. Pertimbangan lebih mengarah kepada aspek manusia sebagai pelaksana teknis dan operasional, juga nantinya sebagai “pemilik” dari flood proofing tersebut.

Metode floating dan dry flood proofing cenderung negatif dengan pertimbangan ini. Keduanya menggunakan sistem struktur yang khusus dengan perawatan yang khusus pula dan cenderung tidak familiar. Kekuatan struktur menjadi hal yang riskan, ketika kemudian bangunan tidak dapat mengapung atau tidak dapat menahan air sehingga air masuk ke dalam rumah, dan hal tersebut hanya dapat diketahui pada saat banjir terjadi.

Sementara, metode rekayasa elevasi bangunan dan juga wet flood proofing lebih menjadi pilihan pada perencanaan ini. Pertimbangannya, yaitu bahwa metode ini cukup sederhana dan praktis dengan menempatkan ruang fungsional lebih tinggi dari design flood level. Contoh yang ada telah banyak, mulai dari yang tradisional hingga yang lebih mengkini. Dengan menggunakan bentukan panggung sederhana atau bangunan dengan lantai atas sebagai tempat beraktivitas saat banjir, antisipasi terhadap masalah banjir telah dapat tercapai.

2. Analisa Rekayasa Elevasi Bangunan dan Dry Flood Proofing

Flood proofing lebih banyak dibahas pada penerapannya untuk bangunan rumah berdasarkan yang telah disampaikan.4 Pada dasarnya, kedua metode ini adalah sama yaitu menempatkan bagian fungsional di atas elevasi banjir rencana. Bedanya yaitu bagaimana “status” ruang di bawah elevasi banjir rencana tersebut.

Pada rekayasa elevasi bangunan, bagian bawah bangunan tidak memiliki peran fungsional, hanya diisi struktur pendukung bangunan seperti kolom-kolom atau pengurugan. Pada wet flood proofing, cenderung berangkat dari bangunan berlantai jamak, di mana kemudian lantai dasar ditoleransikan juga untuk ruang air saat banjir.

4

commit to user

Dokumen terkait