• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bedah Pintas Arteri Koroner

4. Fungsi ventrikel kiri jelek (kurang dari 30 %) (Pierce dkk, 2006)

2.8 Definisi Asam Urat

2.8.3 Metabolisme Asam Urat

Purin berasal dari metabolisme makanan dan asam nukleat endogen, dan terdegradasi menjadi asam urat pada manusia, melalui kerja dari enzim xanthine oxidase.

Asam urata dalah asam lemah dengan pH 5,8 di distribusikan ke seluruh kompartemen cairan ekstra selular sebagai natrium urat dan dibersihkan dari Plasma melalui filtrasiglomerulus. Sekitar 90% dari asam urat direabsorpsi dari tubulus ginjal proksimal sedangkan sekresi aktif dalam tubulus distal melalui mekanisme ATP-ase yang berkontribusi terhadap clearence secara keseluruhan (Waring, 2000; Steele, 1999).

Konsentrasi asam urat serum pada populasi memiliki distribusi Gaussian, dengan kisaran antara 120-420 umol/l. Untuk individu, konsentrasi urat ditentukan oleh kombinasi dari tingkat metabolism purin (baik eksogen dan endogen) dan efisiensi clearence ginjal.

21 Metabolisme purin ini dipengaruhi oleh diet dan faktor genetik yang mengatur pergantian sel.

Asam urat bersifat larut dalam media cair dan paparan terus-menerus terhadap kadar serum yang tinggi merupakan predisposisi deposisi kristal urat dalam jaringan lunak (Waring l, 2000; Emmerson, 1996). Manusia dan kera mengekspresikan urat oksidase, enzim yang bertanggungjawab untuk metabolisme lebih lanjut asam urat menjadi produk allantoin, limbah yang lebih mudah larut sebelum ekskresi. Pathway biokimia dari metabolism purin digambarkan pada gambar 2.4

Gambar 2.4 Asam Urat sebagai Produk Akhir Metabolisme Purin pada Manusia dan Spesies lainnya (Sivakumar,2014)

2.8.4 Peningkatan Kadar Asam Urat (Hiperurisemia)

Beberapa hal di bawah ini menyebabkan peningkatan kadar asam urat dalam tubuh :

a. Kandungan makanan tinggi purin karena meningkatkan produk asam urat dan kandungan minuman tinggi fruktosa.

Universitas Sumatera Utara

22 b. Ekskresi asam urat berkurang karena fungsi ginjal terganggu misalnya kegagalan

fungsi glomerulus atau adanya obstruksi sehingga kadar asam urat dalam darah meningkat. Kondisi ini disebut hiperurisemia, dan dapat membentuk kristal asam urat/batu ginjal yang akan membentuk sumbatan pada ureter (Mandell Brian F. 2008).

c. Penyakit tertentu seperti gout, Lesch-Nyhan syndrome, endogenous nucleic acid metabolism, kanker, kadar abnormal eritrosit dalam darah karena destruksi sel darah merah, polisitemia, anemia pernisiosa, leukemia, gangguan genetik metabolisme purin, gangguan metabolik asam urat bawaan (peningkatan sintesis asam urat endogen), alkoholisme yang meningkatkan laktikasidemia, hipertrigliseridemia, gangguan pada fungsi ginjal dan obesitas, asidosis ketotik, asidosis laktat, ketoasidosis, laktosidosis, dan psoriasis (Murray Robert K, dkk.2006).

d. Beberapa macam obat seperti obat pelancar kencing (diuretika golongan tiazid), asetosal dosis rendah, fenilbutazon dan pirazinamid dapat meningkatkan ekskresi cairan tubuh, namun menurunkan eksresi.

2.8.5 Penurunan Kadar Asam Urat (Hipourisemia)

Beberapa kondisi yang menyebabkan terjadinya penurunan kadar asam urat : a. Kegagalan fungsi tubulus ginjal dalam melakukan reabsorpsi asam urat dari tubulus

ginjal, sehingga ekskresi asam urat melalui ginjal akan ditingkatkan dan kadar asam urat dalam darah akan turun. (Weller Seward, E. Miller, 2002).

b. Rendahnya kadar tiroid, penyakitginjal kronik ,toksemia kehamilan dan alcoholism.

c. Pemberian obat-obatan penurun kadar asam urat. Penurunan kadar asam urat dilakukan dengan pemberian obat-obatan yang meningkatkan ekskresi asam urat atau menghambat pembentukan asam urat, (Steele Thomas H, 1979) cara kerja allopurinol merupakan struktur isomer dari hipoxanthin dan merupakan penghambat enzim. Fungsi allopurinol yaitu menempati sisi aktif pada enzim xanthine oxidase yang biasa ditempati oleh hypoxanthine. Allopurinol menghambat aktivitas enzim secara irreversible dengan mengurangi.

23 2.9. Asam Urat dan Progresivitas Penyakit Ginjal

Penelitian-penelitian yang dilakukan telah menunjukkan bahwa, hiperurisemia terdapat perubahan-perubahan mendasar dalam pembuluh darah ginjal. Ryu dkk, menemukan bahwa asam urat menurunkan ekspresi E-cadherin pada sel-sel epitel yang mengakibatkan hilangnya kontak sel ke sel pada sel tubulus ginjal tikus. Tanpa kontak sel ke sel, sel-sel epitel tersebut tidak mampu untuk mengkoordinasikan upaya-upaya yang dilakukan untuk mengeluarkan zat yang dibutuhkan untuk meningkatkan aliran darah ginjal seperti nitrat oksida (Ryu, dkk.

2013). Selain itu, sebuah penelitian baru-baru ini yang menggunakan sel epitel tubular proksimal yang diawetkan dari ginjal laki-laki dewasa telah menunjukkan bahwa peningkatan kadar asam urat menyebabkan perubahan oksidatif yang tergantung pada NADPH yang mengarah pada apoptosis (Verzola, Ratto, dkk.

2014). Penemuan ini memberikan petunjuk pada hubungan antara hiperurisemia dan kerusakan ginjal tubulointerstisial. Selanjutnya, S’anchez-Lozada dkk.

menetapkan bahwa tikus dengan kadar asam urat serum yang meningkat menjalani biopsi ginjal yang menunjukkan penebalan arteriol aferen. Penebalan dari arteriol ini menurunkan aliran darah ginjal. Disfungsi endotel ini dapat secara tidak langsung dinilai oleh dilatasi yang termediasi aliran ultrasonografi (Kanbay, dkk.2014).

Pada lebih dari 250 pasien dengan CKD stadium 3-5, orang-orang dengan kadar asam urat serum yang lebih tinggi memiliki tekanan darah sistolik yang lebih tinggi, dan kadar protein C-reaktif, eGFR yang lebih rendah, dan dilatasi yang termediasi aliran yang lebih rendah. Analisis regresi logistik ganda mengkonfirmasi sebuah hubungan terbalik yang independen antara kadar asam urat serum dan dilatasi yang termediasi aliran yang mana mengkonfirmasikan bahwa fungsi endotel secara langsung dipengaruhi oleh kadar asam urat serum pada pasien dengan nefropati non-diabetes (p ≤ 0,001) (Kanbay, dkk.2014). Demikian pula, sebuah penelitian memeriksa 112 pasien dengan hipertensi esensial. Pasien tanpa disfungsi ginjal dasar memiliki kadar asam urat serum awal yang secara statistik lebih tinggi dibandingkan dengan yang dimiliki oleh kelompok kontrol, yang mana menunjukkan sebuah hubungan sebab akibat antara kadar asam urat serum dan pengembangan hipertensi esensial, terlepas dari fungsi ginjal awal dan karena itu tidak terkait dengan pembersihan ginjal (Turak, dkk.2013).

Universitas Sumatera Utara

24 Ketika diambil bersama-sama, empat penelitian ini menunjukkan bahwa, baik pada kedua model hewan dan manusia, kadar asam urat berbanding terbalik dengan fungsi endotel, sehingga penebalan arteriol aferen dan penurunan pada vasodilatasi yang diketahui menjadi bagian dari patofisiologi fungsi ginjal yang memburuk.

Selain itu, hiperurisemia, bersamaan dengan penurunan jumlah nefron, telah terlibat dalam autoregulasi yang terganggu sebagaimana terlihat pada hipertensi. Penelitian-penelitian telah menunjukkan bahwa hiperurisemia kronis berujung pada sensitivitas terhadap garam, yang mana mungkin menjadi sebuah respon terhadap aliran darah ginjal yang berkurang sebagaimana terlihat pada hipertensi. Maka dari itu, hubungan yang tepat antara hiperurisemia dan hipertensi pun sulit untuk dibangun; tidak jelas apakah hiperurisemia mengarah ke hipertensi, melalui peningkatan aviditas natrium, atau apakah yang satu hanya mempotensiasi yang lainnya (Watanabe, dkk. 2002). Fungsi endotel ditunjukkan untuk meningkatkan dengan penggunaan inhibitor xantin oksidase untuk mengurangi kadar asam urat serum, tapi bukan ini yang terjadi pada penggunaan agen lain seperti probenesid, yang malah meningkatkan ekskresi asam urat urin. Allopurinol ditemukan dapat menghasilkan kadar asam urat serum yang lebih rendah, serta meningkatkan fungsi ginjal. Oleh karena itu, maka akan masuk akal bahwa xanthine dan oksidan xanthine dapat menyebabkan disfungsi vaskular selain, atau sebagai pengganti, asam urat pada keadaan hiperurisemia dan hipertensi.

Mekanisme lainnya yang diusulkan bagi asam urat untuk mendapati kerusakan ginjal adalah melalui fruktosa. Fruktokinase dinyatakan terutama dalam tubulus ginjal proksimal dan dalam hati (Lanaspa,dkk.2014). Asam urat meningkatkan kemampuan fruktosa untuk meningkatkan cadangan lemak, yang dianggap sebagai mekanisme yang mendasari hubungan antara kadar asam urat, sindrom metabolik, dan penyakit hati yang berlemak. Ditemukan bahwa fruktosa, ketika dimetabolisme oleh fruktokinase, menghasilkan baik oksidan dan asam urat, yang menginduksi cedera tubulus proksimal (Cirillo dkk. 2009). Secara khusus, fruktosa mensimulasikan chemokine monocyte chemotactic protein-1 dalam sel tubulus proksimal, yang meningkatkan keberadaan makrofag dan monosit yang menyebabkan kerusakan. Sebuah penelitian yang dilakukan dengan tikus yang diberi fruktokinase memperlihatkan perlindungan dari mengembangkan nefropati

25 diabetik, yang menunjukkan bahwa proses ini dapat dimediasi oleh produksi endogen dari fruktosa. Tikus yang diberi fruktosa tersebut memiliki akumulasi asam urat kurang kortikal yang lebih rendah dibanding dengan tikut liar (Lanaspa,dkk.2014). Jadi, tikus dengan asam urat kortikal yang lebih rendah dilindungi dari pengembangan nefropati.

Asam urat diketahui dapat menyebabkan disfungsi endotel, proliferasi sel otot polos pembuluh darah, peningkatan sintesis IL-6, dan penurunan produksi oksida nitrat, yang semuanya dapat berkontribusi untuk perkembangan penyakit ginjal kronis. Bahkan, Diamati bahwa kadar asam urat telah meningkat pada populasi hipertensi yang meningkatkan risiko perkembangan penyakit ginjal termasuk pada orang-orang Afrika-Amerika, orang-orang dengan sindrom metabolik, dan orang-orang dengan penggunaan diuretik kronis (Johnson, dkk.

2005). Dengan demikian, asam urat telah ditunjukkan baik pada kedua model hewan dan manusia untuk dapat mempengaruhi fungsi endotel, meningkatkan risiko hipertensi, dan mungkin meningkatkan risiko nefropati.

Hubungan asam urat dengan cedera ginjal akut pertama kali ditunjukkan pada sindrom lisis tumor. Namun, sekarang diketahui bahwa bahkan ketika kadar asam urat yang tidak cukup tinggi untuk menginduksi deposisi kristal intrarenal, hal tersebut mungkin masih dapat mengakibatkan cedera ginjal akut (Shimada,dkk.2011). Dilakukan sebuah penelitian retrospektif pada 190 pasien pasca operasi dengan membandingkan insidensi cedera ginjal akut pada tingkat yang berbeda dari asam urat serum. Mereka menemukan bahwa kadar asam urat serum sebesar ≥5.5 mg/dL, ≥6 mg/dL, dan ≥7mg/dL pun dihubungkan dengan rasio peluang mengembangkan cedera ginjal akut sebesar 4,4 (95% CI, 2,4 sampai 8,2), 5,9 (95% CI, 3,2 sampai 11,3), dan 39,1 (95% CI, 11,6 sampai 131,8), secara berturut-turut. Namun, kadar asam urat yang sangat rendah (<2,5 mg/dL) juga dikaitkan dengan peningkatan akan kemungkinan pengembangan cedera ginjal akut, yang menunjukkan sebuah kurva berbentuk-J untuk insidensi CGA untuk hipo- dan hiperurisemia. Selanjutnya, kadar asam urat serum ≥7mg/dL dikaitkan dengan lama tinggal di rumah sakit yang signifikan secara statistik (32 hari terhadap 18,5 hari, p = 0,058) serta durasi dukungan ventilasi mekanik yang lebih lama (20,4 hari dibandingkan 2,4 hari, p = 0,001) (Lapsia,dkk.2012).

Demikian pula dilakukan sebuah penelitian observasional prospektif dari 100 pasien yang berturut-turut setelah operasi jantung untuk menilai hubungan

Universitas Sumatera Utara

26 asam urat serum dengan cedera ginjal akut (CGA). Kadar asam urat serum diukur 24 jam setelah operasi. Secara keseluruhan, 27% dari pasien mengembangkan CGA tanpa perbedaan eGFR sebelum operasi. Tidak ada perbedaan statistik dalam rata-rata penurunan pada tekanan arteri rata-rata-rata-rata antara kelompok yang mengembangkan CGA dan kelompok yang tidak mengembangkan penyakit tersebut.

Namun, kadar asam urat serum 24 jam pasca operasi pun bervariasi secara statistik dan secara signifikan dengan kadar yang dilaporkan sebesar 6,4 ± 0.3mg/dL dan 4,9 ± 0.1 mg/dL, secara berturut-turut (p <0,001). Lebih lanjut, para peneliti membagi pasien menjadi tiga kelompok berdasarkan kadar asam urat serum sebesar ≤4.53mg/dL, 4.54-5.77 mg/dL, dan ≥5.78. Mereka menemukan bahwa insidensi CGA meningkat dari tertile terendah ke tertinggi dari kadar asam urat serum: 15,1%, 11,7%, dan 54,5%, secara berturut-turut (p ≤ 0,001) (Ejaz,dkk.2013).

Gambar 2.5 Mekanisme Asam Urat dan Progresivitas Penyakit Ginjal (Ejaz,dkk.2013)

27 2.10. Kerangka Teori

Gambar 2.6 Kerangka Teori

Universitas Sumatera Utara

28 2.11 Kerangka Konsep

Gambar 2.7 Kerangka Konsep

29 BAB III

Dokumen terkait