• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metil ester merupakan bahan yang dihasilkan dari reaksi kimia antara minyak nabati atau lemak hewani dengan alkohol. Alkohol yang paling banyak digunakan adalah metanol dan etanol. Fatty Acid Methyl Ester (FAME) lebih mudah terbentuk dibandingkan dengan etil ester asam lemak. Hal ini karena metil ester asam lemak lebih reaktif dan lebih volatil daripada etil ester asam lemak (Maher, 2006).

Salah satu metode yang dapat digunakan untuk membuat ester yaitu dengan mereaksikan asam karboksilat dengan alkohol melalui reaksi kondensasi yang secara umum ditunjukkan pada reaksi 2.1 berikut:

R C OR'

Esterifikasi asam karboksilat dengan alkohol yang dikatalisis oleh asam disebut dengan esterifikasi Fischer, seperti esterifikasi asam asetat dengan etanol menggunakan katalis asam sulfat yang menghasilkan etil asetat. Esterifikasi Fischer berjalan dengan lambat jika tidak menggunakan asam-asam kuat, tetapi mencapai kesetimbangan setelah beberapa jam ketika asam karboksilat dan alcohol direfluks dengan sedikit asam sulfat pekat atau asam klorida (Solomons, 2011). Asam sulfat yang digunakan sebagai katalis menghasilkan jumlah ester yang lebih besar dari pada asam klorida (Oluwaniyi, 2003).

Reaksi esterifikasi bersifat reversible, maka untuk memperoleh rendemen tinggi dari ester, kesetimbangan harus digeser kearah sisi ester. Salah satu teknik yang digunakan adalah menggunakan salah satu zat pereaksi secara berlebih. Teknik lain adalah dengan membuang salah satu produk dari dalam campuran reaksi.

Misalnya, dengan menghilangkan air (Fessenden, 1986). Pada umumnya, zat pereaksi yang digunakan secara berlebih adalah alkohol. Hal ini dikarenakan alkohol

dan air dapat membentuk campuran heteroazeotrop, sehingga air yang terbentuk dapat dihilangkan (Nowicki, 2013). Untuk menghilangkan air yang terbentuk juga dapat digunakan asam sulfat pekat, hal ini disebabkan karena asam sulfat pekat bersifat higroskopik (Austin, 1996).

2.8 Adsorpsi

Adsorpsi merupakan suatu proses penyerapan oleh padatan tertentu terhadap Zat tertentu yang terjadi pada permukaan padatan karena adanya gaya tarik atom atau molekul pada permukaan zat padat tanpa meresap kedalam (Atkins, 1999). Secara umum adsorpsi merupakan proses penggumpalan substansi terlarut (soluble) yang ada dalam larutan, oleh permukaan zat atau benda penyerap, dimana terjadi suatu ikatan kimia fisika antara substansi dengan penyerapnya. Definisi lain menyatakan adsorpsi sebagai suatu peristiwa penyerapan pada lapisan permukaan atau antar fasa, dimana molekul dari suatu materi terkumpul pada permukaan bahan pengadsorpsi atau adsorben (Masamune, 1964).

2.8.1 Jenis-Jenis Adsorpsi

Jenis-Jenis Adsorpsi berdasarkan interaksi molekular antara permukaan adsorben dengan adsorbat, adsorpsi dibedakan 2 jenis yaitu adsorpsi fisika dan adsropsi kimia (Treybal, 1980).

1. Adsorpsi Fisika

Adsorpsi fisika (fisisorpsi) merupakan adsorpsi yang terjadi karena adanya gaya Van der Waals. Gaya Van der Waals adalah gaya tarik-menarik yang relatif lemah antara adsorbat dengan permukaan adsorben. Pada adsorpsi fisika, adsorbat tidak terikat kuat pada adsorben sehingga adsorbat dapat bergerak dari suatu bagian permukaan adsorben ke bagian permukaan adsorben lainnya dan pada permukaan yang ditinggalkan oleh adsorbat tersebut dapat digantikan oleh adsorbat lainnya.

Adsorpsi fisika merupakan peristiwa reversibel sehingga jika kondisi operasinya diubah, maka akan membentuk kesetimbangan yang baru. Proses adsorpsi fisika

terjadi tanpa memerlukan energi aktivasi. Ikatan yang terbentuk dalam adsorpsi ini dapat diputuskan dengan mudah yaitu dengan pemanasan pada temperatur sekitar 150–200oC selama 2-3 jam (Treybal, 1980).

2. Adsorpsi Kimia

Adsorpsi kimia (kimisorpsi) merupakan adsorpsi yang terjadi karena terbentuknya ikatan kimia antara molekul-molekul adsorbat dengan adsorben. Ikatan yang terbentuk merupakan ikatan yang kuat sehingga lapisan yang terbentuk merupakan lapisan monolayer. Pada adsorpsi kimia yang terpenting adalah spesifikasi dan kepastian pembentukan monolayer sehingga pendekatan yang digunakan adalah dengan menentukan kondisi reaksi. Adsorpsi kimia tidak bersifat reversibel dan umumnya terjadi pada suhu tinggi diatas suhu kritis adsorbat. Oleh karena itu, untuk melakukan proses desorpsi dibutuhkan energi yang lebih tinggi untuk memutuskan ikatan yang terjadi antara adsorben dengan adsorbat (Treybal, 1980). Kimisorpsi terjadi dengan diawali adsorpsi secara fisika (fisisorpsi), yaitu partikel-partikel adsorbat mendekat ke permukaan adsorben melalui gaya Van der Waals atau melalui ikatan hidrogen, kemudian diikuti oleh adsorpsi kimia yang terjadi setelah adsorpsi fisika. Pada adsorpsi kimia, partikel yang melekat pada permukaan akan membentuk ikatan kimia (Atkins, 1999).

2.8.2 Mekanisme Adsorpsi

Menurut Reynolds (1982), mekanisme penyerapan adsorben terhadap zat terlarut terbagi menjadi 4 tahap diantaranya :

1. Transfer molekul-molekul zat terlarut yang teradsorpsi menuju lapisan film yang mengelilingi adsorben.

2. Difusi zat terlarut yang teradsorpsi melalui lapisan film yang mengelilingi adsorben (film diffusion process).

3. Difusi zat terlarut yang teradsorpsi melalui kapiler atau pori dalam adsorben (pore diffusion process).

4. Adsorpsi zat terlarut yang teradsorpsi pada dinding pori atau permukaan adsorben.

2.8.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Adsorpsi

Faktor-faktor yang mempengaruhi dari proses adsorpsi adalah sebagai berikut:

1. Adsorben

Pada umumnya adsorben dapat berupa zat padat maupun cair. Adapun

karakteristik adsorben padat yang baik antara lain memiliki luas permukaan yang besar sehingga daya adsorpsinya juga semakin besar, memiliki tingkat kemurnian yang tinggi agar daya adsorpsinya lebih baik, memiliki daya tahan yang tinggi, tidak terjadi perubahan massa maupun struktur selama proses adsorpsi maupun desorpsi, serta dapat direcovery untuk dapat digunakan secara berulang. Berdasarkan kepolarannya adsorben dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu:

a. Adsorben polar (hidrofilik) yaitu adsorben yang dapat mengadsorpsi molekul-molekul zat yang bersifat polar misalnya silika gel, aluminium oksida dan zeolit.

b. Adsorben non polar (hidrofobik) yaitu adsorben yang dapat mengadsorpsi molekul-molekul zat yangbersifat non polar, contoh adsorben seperti ini antara lain karbon aktif dan bahan polimer seperti polyetylen dan polystyrene serta turunannya.

2. Adsorbat

Adsorbat dapat berupa zat padat elektrolit maupun non elektrolit. Adsorbat yang bersifat elektrolit daya adsorpsinya besar karena mudah mengion sehingga antar molekul-molekulnya saling tarik-menarik. Sedangkan adsorbat yang bersifat zat non elektrolit adsorpsinya sangat kecil. Ukuran molekul adsorbat juga merupakan hal penting agar proses adsorpsi dapat terjadi, karena molekul-molekul yang dapat diadsorpsi adalah molekul-molekul yang diameternya lebih kecil atau sama dengan diameter pori adsorben. Kepolaran adsorbat juga perlu diperhatikan karena molekul-molekul polar lebih kuat diadsorpsi daripada molekul-molekul yang nonpolar. Molekul yang lebih polar dapat menggantikan molekul-molekul yang kurang polar yang lebih dahulu teradsorpsi.

3. Konsentrasi

Semakin tinggi konsentrasi larutan kontak antara adsorben dengan adsorbat semakin besar sehingga adsorpsinya juga semakin besar.

4. Luas Permukaan

Semakin luas permukaan adsorben, gaya adsorpsi akan semakin besar sebab kemungkinan zat untuk diadsorpsi juga semakin luas. Jadi semakin halus suatu adsorben maka daya adsorpsinya semakin besar.

5. Suhu

Semakin tinggi suhu, molekul-molekul adsorbat akan bergerak cepat sehingga kemungkinan menangkap atau mengadsorpsi molekul-molekul semakin sulit (Alberty, 1987).

Beberapa gaya yang dapat menyebabkan terjadinya adsorpsi diantaranya adalah :

(1) interaksi non polar Van der Walls, (2) pembentukan ikatan hidrogen, (3) pertukaran ion dan (4) pembentukan ikatan kovalen. Adsorpsi fisika sering sekali

menunjukkan adsorpsi dari adanya gaya Van der Walls, terjadi karena adanya gaya adhesi antara zat terlarut dengan adsorben. Gaya-gaya paling kuat yang ada dalam adsorpsi molekul-molekul kecil dari larutan cair yaitu pertukaran ion dan ikatan hidrogen. Adsorpsi zat terlarut oleh adsorben padat cenderung membentuk ikatan hidrogen jika salah satu mempunyai kelompok ikatan hidrogen sebagai donor dan yang lainnya sebagai akseptor (Yun, 2001).

2.8.4 Parameter Adsorpsi 2.8.4.1 Kapasitas Adsorpsi

Kinetika kimia mencakup suatu pembahasan tentang kecepatan (laju) reaksi dan bagaimana proses reaksi berlangsung. Definisi tentang laju reaksi adalah 11 suatu perubahan konsentrasi pereaksi maupun produk dalam satuan waktu (Keenan,1984). Orde reaksi merupakan bagian dari persamaan laju reaksi. Orde reaksi terhadap suatu komponen menurut Atkins (1999) merupakan pangkat dari konsentrasi komponen itu, dalam persamaan laju reaksi.

2.8.4.2 Isoterm Adsorpsi Langmuir

Model kinetika adsorpsi Langmuir ini berdasarkan pada asumsi sebagai berikut: lajuadsorpsi akan bergantung pada faktor ukuran dan struktur molekul adsorbat, sifat pelarut dan porositas adsorben, situs pada permukaan yang homogen dan adsorpsi terjadi secara monolayer. Proses adsorpsi heterogen memiliki dua tahap, yaitu : (a) perpindahan adsorbat dari fasa larutan ke permukaan adsorben dan (b) adsorpsi pada permukaan adsorben. Tahap pertama akan bergantung pada sifat pelarut dan adsorbat yang terkontrol (Oscik,1982).

Bagian yang terpenting dalam proses adsorpsi yaitu situs yang dimiliki olehadsorben yang terletak pada permukaan, akan tetapi jumlah situs-situs ini akan berkurang jika permukaan yang tertutup semakin bertambah (Husin dan Rosnelly, 2005). Persamaan isoterm adsorpsi Langmuir tersebut dapat ditulis dalam bentuk persamaan linier :

=

=

(1)

Dimana C adalah konsentrasi kesetimbangan, m adalah jumlah zat yang teradsorpsi per gram adsorben, b adalah kapasitas adsorpsi dan K adalah tetapan kesetimbangan adsorpsi. Dari kurva linier hubungan antara C/m versus C maka dapat ditentukan nilai b dari kemiringan (slop) dan K dari intersep kurva. Energi adsorpsi (Eads) yang didefinisikan sebagai energi yang dihasilkan apabila satu mol ion logam teradsorpsi dalam adsorben dan nilainya ekuivalen dengan nilai negatif dari perubahan energi Gibbs standar, ΔG0 dapat dihitung menggunakan persamaan :

E = -ΔG0ads = RT ln K (2)

Dengan R adalah tetapan gas umum (8,314 J/mol K), T adalah temperatur (K) dan K adalah konstanta kesetimbangan yang diperoleh dari persamaan Langmuir, sehingga energi total adsorpsi E harganya sama dengan negatif energi bebas Gibbs (Oscik, 1982).

2.8.4.3 Isoterm Adsorpsi Freundlich

Model isoterm Freundlich menjelaskan bahwa proses adsorpsi pada bagian permukaan adalah heterogen dimana tidak semua permukaan adsorben mempunyai daya adsorpsi. Model isoterm Freundlich menunjukkan lapisan adsorbat yang terbentuk pada permukaan adsorben adalah multilayer. Hal tersebut berkaitan dengan ciri-ciri dari adsorpsi secara fisika dimana adsorpsi dapat terjadi pada banyak lapisan (multilayer) (Husin and Rosnelly, 2005).

Bentuk persamaan Freundlich adalah sebagai berikut :

qe = Kf Ce1/n (1)

Dimana qe adalah jumlah adsorbat yang terserap tiap satuan berat adsorben (mg/g), Ce adalah konsentrasi setimbang adsorbat dalam fase larutan (mg/L), Kf dan n adalah konstanta empiris yang tergantung pada sifat padatan, adsorben dan suhu (Soeprijanto et al, 2006). Penentuan konstanta Kf dan n dapat dilakukan dengan linierisasi persamaan (3) :

log (qe) = log (Kf) + log (Ce) (2)

Kf dan n dapat dicari dengan membuat kurva ln(qe) berbanding ln(Ce). Kf didapat dari titik potong dengan sumbu tegak dan n dari tangen arah garis lurus yang terbentuk. Koefisisen Kf sering dikaitkan dengan kapasitas adsorpsi adsorben sehingga mencerminkan jumlah rongga dalam adsorben tersebut (Singh dan Alloway, 2006).

2.8.5 Adsorpsi Secara Batch

Proses adsorpsi batch dilakukan untuk skala kecil seperti laboratorium, dengan cara mencampurkan media dan solute, juga dilakukan pengadukan agar terjadi kontak secara merata. Proses batch ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik adsorben yang digunakan dan dinyatakan dengan hubungan antara penurunan zat yang diserap dan berat adsorben yang digunakan pada koefisien dari persamaan yang

ada. Pada proses adsorpsi batch ini, hasilnya dapat ditampilkan dengan menggunakan kurva adsorpsi isoterm. Selain itu, adsorpsi batch juga dapat digunakan untuk mengukur efisiensi removal dengan cara membandingkan konsentrasi limbah sebelum proses adsorpsi dan setelah proses adsorpsi (Raditya, 2014).

Dokumen terkait