LEMAK BEBAS MINYAK KELAPA SAWIT
SKRIPSI
ANDINY NAINGGOLAN 140802047
PROGRAM STUDI S1 KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2019
LEMAK BEBAS MINYAK KELAPA SAWIT
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains
ANDINY NAINGGOLAN 140802047
PROGRAM STUDI S1 KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2019
PERNYATAAN ORISINALITAS
LEMAK BEBAS MINYAK KELAPA SAWIT
SKRIPSI
Saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.
Medan, Oktober 2018
Andiny Nainggolan 140802047
Judul : Pengaruh Metil Oleat Sebagai Template Pada Magnesium Silikat Sekam Padi yang Digunakan Sebagai Adsorben Asam Lemak Bebas Minyak Kelapa Sawit
Kategori : Skripsi
Nama : Andiny Nainggolan
Nomor Induk Mahasiswa : 140802047
Program Studi : Sarjana (S1) Kimia
Fakultas : MIPA – Universitas Sumatera Utara
Disetujui di Medan, Oktober 2018
Ketua Program Studi Pembimbing,
Dr. Cut Fatimah Zuhra, M.Si Dra. Saur Lumban Raja, M.Si NIP. 197404051999032001 NIP. 195506231986012002
LEMAK BEBAS MINYAK KELAPA SAWIT
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian mengenai pembentukan ukuran pori magnesium silikat sekam padi dengan penambahan metil oleat sebagai template. Natrium silikat yang diperoleh dari sekam padi ditambahkan kedalam metil oleat dan diikuti dengan penambahan MgO. Magnesium silikat yang diperoleh dikalsinasi pada suhu 900oC selama 4 jam lalu ditentukan karakterisasinya. Karakterisasi menggunakan XRD menunjukkan puncak difraksi kristal SiO2, MgSiO3 dan Mg2SiO4. Spektrum FT-IR menunjukkan adanya gugus Si-O-Si dan Si-OH yang mengindikasikan material magnesium silikat. Hasil adsorpsi desorpsi gas nitrogen magnesium silikat dengan menggunakan metil oleat menunjukkan luas permukaan, volume pori dan ukuran pori masing-masing adalah: 29,06 m2/g, 0,04 cc/g dan 3,28 nm. Magnesium silikat mesopori yang diperoleh digunakan sebagai adsorben untuk menurunkan kadar asam lemak bebas pada minyak kelapa sawit. Minyak kelapa sawit dalam larutan alkohol netral ditambahkan dengan magnesium silikat mesopori. Kadar asam lemak bebas ditentukan dengan metode titrasi asam basa. Dari data hasil perhitungan kadar asam lemak bebas menunjukkan bahwa minyak kelapa sawit telah mengalami penurunan asam lemak bebas. Angka asam lemak bebas dari minyak kelapa sawit awal 9,96%.
Setelah penambahan magnesium silikat mesopori asam lemak bebas menjadi 4,60%
mengalami penurunan sebesar 46,22%.
Kata kunci: Asam lemak bebas, magnesium silikat, mesopori, minyak kelapa sawit, template.
ACIDS CONTENT IN CRUDE PALM OIL
ABSTRACT
Pore size magnesium silicate of rice husk with the addition of methyl oleate as a template has been synthesized. Sodium silicate obtained from rice husk added to methyl oleate and followed by the addition of MgO. Magnesium silicate obtained calcined at a temperature of 900oC for 4 hours then defined that character.
Characterization using XRD showed crystal diffraction peaks of SiO2, MgSiO3 dan Mg2SiO4. Spekturm FT-IR showed a group of Si-O-Si and Si-OH indicating magnesium silicate material. The results of nitrogen adsorption desorption of magnesium silicate using methyl oleate shows the surface area, pore volume and pore size, respectively: 29,06 m2/g, 0,04 cc/g dan 3,28 nm. Mesoporous magnesium silicate obtained was used as an adsorbent to decreasing of free fatty acids content in crude palm oil. Crude palm oil is dissolved in neutral alcohol and then added mesoporous magnesium silicate. Free fatty acids is determined by the acid-base titration. From the calculation shows decreasing of free fatty acids content in crude palm oil. Free fatty acids content of early palm oil is 9,96%. After addition of mesoporous magnesium silicate free fatty acids becomes 4,60% decreased by 46,22%.
Keywords : Crude palm oil, Free fatty acids, magnesium silicate, mesoporous, template.
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan limpah karunia-Nya Penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan judul Pengaruh Metil Oleat Sebagai Template pada Magnesium Silikat Sekam Padi yang Digunakan Sebagai Adsorben Asam Lemak Bebas Minyak Kelapa Sawit.
Dengan rasa hormat, penulis menyampaikan terima kasih kepada Ibu Dra. Saur Lumban Raja, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah banyak membimbing dan memberi arahan selama penyusunan skripsi ini. Terima kasih kepada Ibu Dr. Cut Fatimah Zuhra, M.Si dan Ibu Dr. Sovia Lenny, M.Si selaku Ketua Departemen dan Sekretaris program studi Kimia FMIPA-USU Medan, dekan dan wakil dekan FMIPA USU, seluruh staf dan Dosen bidang Kimia anorganik, pegawai FMIPA-USU dan rekan-rekan kuliah. Akhirnya tidak terlupakan kepada Bapak, Ibu, dan keluarga yang selama ini memberikan bantuan dan dorongan yang diperlukan. Semoga Tuhan Yang Maha Esa akan membalasnya.
Medan, Oktober 2018
Andiny Nainggolan 140802047
Halaman
PERNYATAAN ORISINALITAS i
PENGESAHAN SKRIPSI ii
ABSTRAK iii
ABSTRACK iv
PENGHARGAAN v
DAFTAR ISI vi
DAFTAR TABEL viii
DAFTAR GAMBAR ix
DAFTAR LAMPIRAN x
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Permasalahan 3
1.3 Tujuan Penelitian 4
1.4 Manfaat Penelitian 4
1.5 Lokasi Peneltian 4
1.6 Metodologi Penelitian 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sekam Padi 5
2.2 Silika 5
2.3 Ekstraksi Silika Amorf 6
2.4 Sifat Fisika dan Kimia Silika 8
2.4.1 Sifat Fisika Silika 8
2.4.2 Sifat Kimia Silika 8
2.4.2.1 Reaksi dengan Asam 8
2.4.2.2 Reaksi dengan Basa 9
2.5 Magnesium Silikat 9
2.6 Luas Permukaan Dan Luas Porositas 11
2.7 Metil Ester 15
2.8 Adsorpsi 16
2.8.1 Jenis-Jenis Adsorpsi 16
2.8.2 Mekanisme Adsorpsi 17
2.8.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi 18 Proses Adsorpsi
2.8.4 Parameter Adsorpsi 19
2.8.4.1 Kapasitas Adsorpsi 19
2.8.4.2 Isoterm Adsorpsi Langmuir 20 2.8.4.3 Isoterm Adsorpsi Freundlich 21
2.8.5 Adsorpsi Secara Batch 21
2.9 Minyak Kelapa Sawit 22
2.10.2 Metode Barret-Joyner-Halenda (BJH) 25 2.10.3 Spektroskopi Difraksi Sinar-X (XRD) 26 2.10.4 Fourier Transform Infra Red Spectroscopy 27
(FTIR)
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1 Alat 28
3.2 Bahan 28
3.3 Prosedur Penelitian 29
3.3.1 Esterifikasi Asam Oleat Dengan Metanol 29 3.3.2 Pembuatan Larutan Natrium Silikat 29 3.3.3 Pembuatan Magnesium Silikat dengan 30
Template Metil Oleat
3.3.4 Adsorpsi ALB dari CPO 30
3.4 Bagan Penelitian 31
3.4.1 Esterifikasi Asam Oleat Dengan Metanol 31 3.4.2 Pembuatan Larutan Natrium Silikat 32 3.4.3 Pembuatan Magnesium Silikat Dengan 33
Template Metil Oleat
3.4.4 Adsorpsi ALB dari CPO 34
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Esterifikasi Asam Oleat Dengan Metanol 35
4.2 Pembuatan Magnesium Silikat 35
4.3 Karakterisasi Metil Oleat 37
4.3.1 Spektrum FT-IR 37
4.4 Karakterisasi Magnesium Silikat 38
4.4.1 Spektrum FT-IR 38
4.4.2 Difraksi sinar-X (XRD) 39
4.4.3 Analisis BET (Burnaur-Emmet-Teller) 41 4.5 Adsorpsi Asam Lemak Bebas dengan 42
Adsorben Magnesium Silikat BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan 44
5.2 Saran 44
DAFTAR PUSTAKA 45
LAMPIRAN 50
Nomor
Tabel Judul Halaman
2.1 4.1
Istilah yang digunakan dalam karakterisasi padatan Data karakterisasi pori magnesium silikat dengan template metil oleat
12 42
4.2 Hasil Analisa Kadar Asam Lemak Bebas 42
Nomor
Gambar Judul Halaman
2.1 Struktur silika amorf 6
2.2 Struktur Perspektif Magnesium Silikat 9
2.3 Diagram Fasa Komposit Magnesium Silikat 10
2.4 Perbedaan jenis pori 11
2.5 Skema Adsorbsi gas pada permukaan pori material dengan perbedaan ukuran molekul gas
13 2.6 Klasifikasi Isotherm Adsorbsi menurut International
Union Of Pure and Applied Chemistry (IUPAC)
14
4.1 Spekturm FT-IR Metil Oleat 37
4.2 Spekturm FT-IR Magnesium Silikat 38
4.3 Difraktogram XRD Kalsium Silikat 39
4.4 Daftar Peak XRD Magnesium Silikat 39
4.5 Grafik Adsorpsi Desorpsi Isotherm Nitrogen 41
Nomor
Lampiran Judul Halaman
1 2
Spektrum FT-IR Metil Oleat
Spektrum FT-IR Magnesium Silikat
50 51 3 Difraktogram dan Daftar Peak XRD Magnesium Silikat 52
4 Analisa BET Magnesium Silikat 53
5 JCPDS MgSiO3 56
6 JCPDS Mg2SiO4 58
7 AOCS 60
8 SurfaTech Corporation Analytical Methods Table of Contents
62
9 Daftar Gambar-gambar Penelitian 64
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sekam padi sebagai limbah yang berlimpah khususnya dinegara agraris, merupakan salah satu sumber penghasil silika terbesar. Sekam padi mengandung silika sebesar 87%-97% berat kering setelah mengalami pembakaran sempurna (Kalapathy et al, 2000). Silika sekam padi bersifat amorf, berbutiran halus, reaktif dan merupakan material yang bagus untuk mensintesis persenyawaan silika (Sembiring, 2007). Salah satu persenyawaan silika adalah magnesium silikat.
Komposisi magnesium silikat terdiri dari dua senyawa yaitu MgO (Magnesium Oksida) dan SiO2 (Silika). Magnesium silikat terdiri dari beberapa mineral yaitu serpentine (Mg3Si2O5(OH)4), forsterite (Mg2SiO4), dan enstatite (MgSiO3). Serpentine terbentuk pada suhu 650-750ºC (Nagamori et al., 1980) namun pada suhu 800-850ºC terjadi perubahan struktur kristal serpentine (Huang, 1987) yakni terbentuknya struktur forsterite dan enstantite (Cheng et al., 2002).
Metode yang dapat digunakan pada pembuatan magnesium silikat diantaranya metode presipitasi (Brady, 1989), kopresipitasi dan sol-gel (Kharaziha dan Fathi, 2009; Ni et al., 2007). Pada penelitian ini digunakan metode sol-gel karena metode sol-gel relatif mudah dilakukan, tidak memerlukan waktu yang lama (Sriyanti, 2005), memiliki homogenitas yang tinggi karena pencampuran dalam skala molekuler, yaitu mengarah untuk mengurangi suhu kristalisasi dan mencegah pemisahan fase selama pemanasan (Saberi et al., 2007). Selain itu, peralatan yang digunakan dalam metode sol-gel cukup sederhana sehingga biaya yang dikeluarkan relatif murah dibandingkan dengan dua metode lainnya yang membutuhkan suhu tinggi dan waktu reaksi yang panjang (Saberi et al., 2007; Sriyanti, 2005).
Dalam aplikasinya magnesium silikat dapat digunakan sebagai adsorben untuk studi adsorpsi asam lemak bebas (Free Fatty Acid) dalam minyak sawit mentah
(Clowutimon et al., 2011). Karena asam lemak bebas dapat menghasilkan bau tengik, rasa yang tidak enak dan menyebabkan warna gelap serta menghasilkan pengkaratan logam sehingga menurunkan stabilitas minyak selama penyimpanan (Pahan, 2006).
Mazmur (2016) melaporkan penggunaan magnesium silikat sebagai adsorben asam lemak bebas (ALB) dari minyak kelapa sawit memiliki kemampuan sebesar 74,55% (dari 4,79 menjadi 1,22%). Data Global Specialty Ingredient (materi promosi komersial) juga menunjukan magnesium silikat sintetik (Magnesol R60) dapat menurunkan ALB hingga 80% (dari 0,09 menjadi 0,012%) pada fraksi olein minyak goreng sawit.
Salah satu faktor penting yang mempengaruhi proses adsorpsi adalah jenis adsorben. Adsorben yang saat ini menjadi perhatian bagi peneliti adalah material berpori. Semakin besar ukuran pori adsorben maka daya adsorpsinya terhadap adsorbat akan semakin besar. Menurut IUPAC material berpori terbagi menjadi tiga kelas yakni material mikropori dengan ukuran diameter pori kurang dari 2 nm, mesopori dengan ukuran diameter pori 2 sampai 50 nm dan makropori dengan ukuran diameter lebih dari 50 nm. Material mesopori telah banyak dipelajari secara ekstensif karena kinerjanya yang luar biasa dalam pembuatan obat-obatan, katalisis, perawatan kesehatan dan khususnya dalam bidang adsorpsi.
Magnesium silikat memiliki ukuran pori, luas permukaan, ukuran partikel dan volume pori. Ukuran pori dari magnesium silikat dapat dimodifikasi dengan cara menambahkan template yang mengandung karbon. Template dipakai sebagai cetakan (pembantu dan pengarah) dalam pembentukan pori, dimana partikel koloidal primer akan mengisi celah-celah di antara susunan template, sehingga ketika template dikeluarkan dari partikel magnesium silikat, akan terbentuk partikel yang berongga (Wang, 2011). Penghilangan template ini dapat dengan mudah dihilangkan dengan cara kalsinasi atau pemanasan pada suhu tinggi (Andriayani, 2012).
Simamora (2017) telah melakukan sintesis magnesium silikat dengan metode sol-gel dengan mereaksikan Na2SiO3 dengan Mg(OH)2 dan asam oleat sebagai
template. Adanya penambahan asam oleat menyebabkan ukuran partikel magnesium silikat berubah dari 1.800,2003 nm menjadi 96,6030 nm, namun ukuran pori dan volume pori menunjukkan perubahan yang kecil. Ukuran pori dari 2,1106 nm menjadi 2,1048 nm dan volume pori dari 0,001240 cm3/g menjadi 0,017450 cm3/g.
Metil oleat merupakan ester asam lemak yang dibuat melalui proses esterifikasi dari asam lemak dengan metanol. Memiliki rumus molekul C19H36O2 dan titik didih 351,4oC. Dengan masuknya template metil oleat ke jaringan magnesium silikat akan membentuk interaksi van der waals yang ikatannya lemah, sehingga ketika dilakukan kalsinasi, metil oleat akan membentuk partikel magnesium silikat yang berongga (berpori).
Dari uraian diatas peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai pengaruh penambahan metil oleat terhadap ukuran pori magnesium silikat sehingga semakin efektif dalam menurunkan kadar asam lemak bebas pada minyak kelapa sawit.
Dalam penelitian ini ditambahkan natrium silikat secara perlahan ke dalam template metil oleat. Kemudian campuran yang diperoleh ditambahkan suspensi Mg(OH)2. Magnesium silikat yang dihasilkan kemudian dikeringkan di dalam oven pada suhu 90oC selama 24 jam lalu dikalsinasi pada suhu 900oC untuk menghilangkan metil oleat.
1.2 Permasalahan
1. Bagaimana pengaruh penambahan template metil oleat terhadap ukuran pori, luas permukaan dan volume pori dari magnesium silikat.
2. Apakah magnesium silikat dengan template metil oleat dapat menurunkan kadar asam lemak bebas pada minyak kelapa sawit.
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengaruh penambahan template metil oleat terhadap ukuran pori, luas permukaan dan volume pori dari magnesium silikat.
2. Untuk mengetahui kemampuan magnesium silikat dengan template metil oleat dalam menurunkan kadar asam lemak bebas pada minyak kelapa sawit.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian mengenai pembentukan ukuran pori magnesium silikat dengan menggunakan template metil oleat sebagai penurunan kadar asam lemak bebas diharapkan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan.
1.5 Lokasi Peneltian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Anorganik FMIPA USU Medan. Analisa FT-IR dilakukan di Laboratorium Kimia Organik FMIPA UGM.
Analisa XRD dilakukan di Laboratorium Kimia Organik Universitas Negeri Yogyakarta. Analisa BET dilakukan di Laboratorium Terpadu Universitas Islam Indonesia.
1.6 Metodologi Penelitian
Silika dari sekam padi diekstraksi alkalis dengan menggunakan NaOH 10%
lalu dibuat dalam bentuk larutan natrium silikat. Natrium silikat ditambahkan kedalam metil oleat hasil dari esterifikasi asam oleat. Kemudian campuran yang diperoleh ditambahkan suspensi Mg(OH)2 dari MgO, distirrer sambil dipanaskan selama 4 jam pada suhu 160oC yang akan menghasilkan endapan putih. Endapan putih yang diperoleh dikeringkan di dalam oven pada suhu 90oC selama 24 jam lalu dikalsinasi pada suhu 900oC selama 4 jam. Selanjutnya di cuci dengan aquadest hingga pH netral. Kemudian hasilnya dikarakterisasi dengan analisis FT-IR, XRD dan BET. Selanjutnya asam lemak bebas dari minyak kelapa sawit diadsorpsi dengan adsorben MgSiO3 dan kadar asam lemak bebas sebelum dan sesudah adsorpsi akan ditentukan dengan metode titrasi.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sekam Padi
Sekam padi merupakan bagian pelindung terluar dari padi (Oryza sativa). Dari proses penggilingan dihasilkan sekam sebanyak 20 - 30%, dedak 8 - 12% dan beras giling 52% bobot awal gabah. Pada proses penggilingan padi, sekam akan terpisah dari butiran beras dan menjadi bahan sisa atau limbah penggilingan. Karena bersifat abrasif, nilai nutrisi rendah, bulk density rendah, serta kandungan abu yang tinggi membuat penggunaan sekam padi terbatas. Diperlukan tempat penyimpanan sekam padi yang luas sehingga biasanya sekam padi dibakar untuk mengurangi volumenya.
Jika hasil pembakaran sekam padi ini tidak digunakan, akan menimbulkan masalah lingkungan. Sekam padi terdiri dari unsur organik seperti selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Selain itu, sekam padi juga mengandung unsur anorganik, berupa abu dengan kandungan utamanya adalah silika 87 - 97% (Hsu dan Luh, 1980). Abu sekam padi apabila dibakar secara terkontrol pada suhu tinggi sekitar (500 – 600oC) akan menghasilkan abu silika yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai proses kimia.
Karena kandungan silikanya yang tinggi, sekam padi merupakan salah satu sumber silika nabati yang berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan silika (Prasetyoko, 2001).
2.2 Silika (SiO2)
Silika adalah senyawa kimia yang terbentuk dari atom silikon dan oksigen.
Silikon dan oksigen adalah unsur yang paling melimpah di bumi sehingga bentuk silika sangat umum ditemukan di alam. Silika yang terakumulasi di dalam makhluk hidup, baik hewan atau tumbuhan memiliki bentuk amorf, berbeda dengan silika dari batuan dan debu yang memiliki struktur silika kristalin (Jones, 2000). Silika disebut kristalin jika mempunyai susunan atom yang teratur dan disebut amorf jika mempunyai susunan atom yang kurang teratur (Brownell, 1983).
Silika amorf memiliki susunan atom dan molekul berbentuk pola acak dan tidak beraturan. Akibat dari pola acak dan tidak beraturan tersebut, silika amorf memiliki struktur spherical yang rumit. Struktur rumit tersebut menyebabkan luas area permukaan yang tinggi, biasanya 3 m2/g. Silika amorf dalam berbagai kondisi dianggap lebih reaktif dibanding silika kristalin. Tingkat kereaktifan dari silika amorf disebabkan karena adanya gugus hidroksil (silanol) yang didapat setelah pemanasan mencapai temperatur 400°C. Gugus silanol (-SiOH) ini dapat ditemukan diatas permukaan dari sampel silika yang menyebabkan terbentuknya daerah yang reaktif (Kirk-Othmer, 1967).
Silika amorf sangat berperan penting pada berbagai bidang seperti pembuatan adsorben dan untuk sintesis ultrafiltrasi membran, katalis, support material, dan bidang permukaan yang aplikasinya berhubungan dengan porositas (Roque- Malherbe, 2007).
Gambar 2.1 Struktur silika amorf
2.3 Ekstraksi Silika Amorf
Silika hasil ekstraksi abu sekam padi sangat kaya akan silika amorf karena dapat mencapai 88,32% (Habeeb, 2010). Silika amorf mempunyai kelarutan yang tinggi pada kondisi alkalis dan kelarutan yang rendah pada kondisi asam. Sehingga silika dapat diekstrak dalam kondisi alkalis, misalnya dengan menggunakan natrium hidroksida sehingga diperoleh larutan natrium silikat dan dengan penambahan asam dapat diperoleh silika amorf (Affandi, 2011).
Handoyo (1996) mengemukakan bahwa fungsi larutan NaOH adalah untuk melarutkan atau mereaksikan SiO2 yang tedapat dalam abu sekam padi karena SiO2
hanya larut dalam alkali hidroksida dan leburan-leburan karbonat. Ekstraksi silika dari abu sekam padi dengan larutan NaOH akan menghasilkan natrium silikat. Secara komersial, silika dibuat dengan mencampur larutan natrium silikat dengan suatu asam mineral. Reaksi ini menghasilkan suatu dispersi pekat yang akhirnya memisahkan partikel dari silika terhidrat, yang dikenal sebagai silika hidrosol atau asam silikat yang kemudian dikeringkan pada suhu 105°C agar terbentuk silika gel (Handoyo, 1996), reaksi yang terjadi:
SiO2(s)+ 2NaOH(aq) → Na2SiO3(aq) + H2O(l) Na2SiO3(aq)+ 2HCl(aq) → H2SiO3(l) + 2NaCl(aq) H2SiO3(l) → SiO2.H2O(s) (Bakri et al., 2008)
Dari reaksi dengan natrium hidroksida akan dihasilkan natrium silikat yang larut dalam air, atau yang dikenal dalam nama dagang water glass. Reaksinya sebagai berikut:
SiO2(s)+ 2NaOH(aq) → Na2SiO3(aq) + H2O(aq)
Scott (1993) mengemukakan bahwa pembuatan silika amorf dapat dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu:
1. Pembuatan natrium silikat (Na2SiO3) dari reaksi SiO2 dengan NaOH
2. Reaksi pembentukan silika hydrosol dari reaksi antara Na2SiO3 dengan asam 3. Reaksi pembentukan silika hidrogel, yaitu polimerisasi asam silikat
4. Pemanasan silika hidrogel menghasilkan silika gel
2.4 Sifat Fisika dan Kimia Silika 2.4.1 Sifat Fisika Silika
Silika dalam bentuk amorf memiliki densitas sebesar 2,21 g/cm3 dengan modulus elastisitas sebesar 10×106 psi. Kandungan unsur silikon (Si) dan oksigen (O) pada silika jenis ini adalah 46,7% dan 53,3%. Nilai kekerasan material ini pada pembebanan tegak lurus dengan menggunakan indentor intan (metode Vickers atau Knoop) sebesar 710 Kg/mm2 sedangkan pada arah pembebanan dengan sudut elevasi diketahui nilai kekerasannya mencapai 790 Kg/mm2 (Mantell, 1958).
2.4.2 Sifat Kimia Silika
Silika cenderung tidak reaktif terhadap Cl2, H2, asam dan kebanyakan logam pada kondisi normal atau suhu normal, tetapi mudah bereaksi dengan fluorin, HF encer, alkali hidroksida, dan karbonat (Cotton, et al., 1976). Berikut ini dapat diketahui sifat kimianya melalui reaksi dengan asam dan basa.
2.4.2.1 Reaksi dengan Asam
Silika relatif tidak reaktif terhadap asam kecuali asam hidrofluorida seperti reaksi berikut (Basset, 1989):
SiO2(s)+ 4HF(aq) → SiF4(aq) +2H2O(l)
Dalam asam hidrofluorida berlebih reaksinya menjadi:
SiO2(s)+ 6HF(aq) → H2[SiF6](aq) +2H2O(l)
2.4.2.2 Reaksi dengan Basa
Silika dapat bereaksi dengan basa, terutama dengan basa kuat seperti dengan hidroksida alkali, seperti reaksi berikut (Basset, 1989):
SiO2(s)+ 2NaOH(aq) → Na2SiO3(aq) + H2O(l)
Secara komersial, silika dibuat dengan mencampurkan larutan natrium silikat dengan suatu asam mineral. Reaksi ini menghasilkan suatu dispersi pekat yang akhirnya memisahkan partikel dari silika terhidrat, yang dikenal dengan silika hydrosol atau asam silikat yang dikeringkan pada suhu 110oC agar terbentuk silika gel. Reaksi yang terjadi (Bakri, 2008):
Na2SiO3(aq)+ 2HCl(aq) → H2SiO3(l)+ 2NaCl(aq) H2SiO3(l) → SiO2.H2O(s)
2.5 Magnesium Silikat
Magnesium silikat terdiri dari dua bahan baku utama yaitu magnesium oksida (MgO) dan silikon dioksida (SiO2). Magnesium silikat memiliki bentuk fisik berupa serbuk halus, putih, tidak berbau, tidak berasa (Rashid, 2009), amorf dan tidak larut dalam air namun sangat mudah larut dalam HF (Merck index, 2001). Berikut Gambar 2.2 adalah struktur perspektif mineral magnesium silikat:
Gambar 2.2 Struktur Perspektif Magnesium Silikat (Johnson, l97l).
Magnesium silikat terdapat di alam sebagai mineral, seperti clonoenstantite, enstantite dan protoenstantite (Merck index, 2001). Rasio molekul magnesium silikat dan perlakuan temperatur berperan penting dalam pembentukan komposit magnesium silikat seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.3 berikut:
Gambar 2.3 Diagram Fasa Komposit Magnesium Silikat (Sumarnadi dkk, 1998).
Pada Gambar 2.3 menunjukkan bahwa MgO dan SiO2 hanya akan membentuk anhydrous silicate yaitu forsterite (Mg2SiO4) dan enstantie (MgSiO3). Kedua anhydrous silicate tersebut adalah fasa yang stabil dalam sistem MgSiO3. Selama berlangsungnya proses sintering/kalsinasi, forsteritisasi berlangsung melalui tahap dehidrasi, reorganisasi kation, pembentukan forsterite dan enstantite. Pada tahap dehidrasi, terjadi pelepasan gugus hidroksil dan pembentukan fasa oksida dimana serpentine dan magnesite terurai menjadi MgO dan SiO2. Pada tahap reorganisasi kation, terjadi pemisahan kation seiring meningkatnya suhu sintering dan pada fasa stabil MgSiO3 membentuk forsterite dan sedikit enstantite sedangkan MgO yang berlebih akan membentuk periclase (Sumarnadi dkk, 1998).
Magnesium silikat memiliki luas permukaan 619 m2/g dengan struktur menyerupai silika gel. Magnesium silikat memiliki ketahanan termal yang baik yaitu memiliki suhu lebur 1890oC dan konduktivitas termal (10,5-14 W/moK) sehingga dapat digunakan sebagai isolator suhu tinggi. Magnesium silikat dapat dibuat dengan metode sol-gel. Metode sol-gel adalah metode untuk mendapatkan padatan yang homogen dengan cara pembentukan suspensi koloid yang berbentuk gel melalui
proses gelasi sol pada suhu ruang (Ni et al., 2007; Kharaziha, et al., 2009) yang tidak membutuhkan suhu tinggi dan waktu reaksi yang panjang (Sriyanti dkk, 2005).
Magnesium silikat dapat digunakan dalam bidang fuel berdasarkan kemampuannya sebagai adsorpsi aflatoksin dalam gandum dan sebagai adsorben untuk studi adsorpsi asam lemak bebas (Free Fatty Acids atau FFA) dalam minyak sawit mentah (Crude Palm Oil atau CPO). Senyawa ini akan menyerap asam lemak bebas menggunakan ikatan hidrogen yang terjadi antara gugus karbonil (C=O) asam lemak dengan permukaan gugus silanol (Si-O-H) pada senyawa tersebut (Clowutimon et al., 2011).
2.6. Luas Permukaan Dan Luas Porositas
Luas permukaan dan porositas merupakan karakteristik yang sangat penting pada berbagai material. Penentuan dari isotherm adsorbs pada desorbsi merupakan variabel yang sangat penting untuk menentukan stuktur pori dan metode BET digunakan untuk menentukan total luas permukaan (Brown, 2003). Suatu padatan dapat dikatakan sebagai berpori apabila memiliki pori-pori berupa lubang, terusan (chanel) atau celah yang lebih dalam dari luasnya. Pori-pori memiliki tipe yang berbeda dan diklasifikasikan berdasarkan aliran zat yang masuk melalui pori seperti Gambar 2.4 berikut.
Gambar 2.4 Perbedaan jenis pori (Schubert dan Husing, 2006)
Tipe pori umumnya diklasifikasikan menjadi dua tipe yaitu:
1. Pori yang terisolasi dari pori yang lain disebut closed-pores (a)
2. Pori yang terbuka ke permukaan luar dari padatan, yang di pengaruhi sifat makroskopik padatan dan tidak aktif dalam reaksi kimia disebut open-pores yang terdiri dari: bentuk botol tinta (ink-bottle) (b), bentuk silinder terbuka (c), bentuk (funnel atau slishaped) (d), pori terbuka pada kedua ujung (through pores) (e), silinder tertutup (silinder blind) (f) dan porositas yang kasar (roughness) pada permukaan luar (g) (Schubert dan Husing, 2006).
Dalam karakterisasi pori sering digunakan istilah seperti yang terdapat pada Table 2.1 berikut ini.
Table 2.1 Istilah yang digunakan dalam karakterisasi padatan
Istilah Keterangan
Densitas True density
Apparent density
Bulk density
Densitas dari material termasuk pori dan kekosongan interpartikel (densitas dari jaringan padatan)
Densitas dari material tertutup dan pori yang tidak dapat dilalui
Densitas material termasuk pori dan kekosongan interpatikel (massa pertotal volume, dengan volume = fase padatan + pori tertutup + pori terbuka)
Volume pori Volume pori
Ukuran pori Biasanya disebut lebar pori (diameter), jarak dari dua dinding yang berlawanan
Porositas Perbandingan dari volume total pori Vp dengan volume yang terlihat (apparent volume) v dari partikel atau serbuk
Luas permukaan Area yang tercapai pada permukaan padatan per satuan unit material
Luas pori atau diameter pori didefinisikan seabagi diameter untuk pori silinder dan jarak antara dinding pori yang berlawanan dalam pori bentuk celah. Luas pori diklasifikasikan oleh International Union of Pure and Applied Chemistry (IUPAC) terbagi 3:
1. Mikropori, diameter lebih kecil dari 2 nm (d<2 nm)
2. Mesopori , diameter diantara 2 sampai 50 nm (2 nm <d> 50 nm) 3. Makropori, diameter lebih besar dari 50 nm (d > 50 nm)
Untuk menjelaskan pori padatan secara kualitatif dan kuantitatif diperlukan informasi tentang porositas, densitas, luas permukaan spesifik atau ukuran pori dan distribusi ukuran pori pada padatan berpori. Nilai hasil pengukurannya sangat ditentukan oleh metode yang digunakan, biasanya metode hanya dapat mendeteksi pori yang terbuka. Metode yang digunakan berupa adsorpsi molekul ke dalam celah.
Hasil yang diperoleh tergantung pada ukuran molekul yang dilewatkan pada permukaan pori. Misalnya untuk nilai luas permukaan akan lebih kecil jika digunakan molekul yang besar, sebaliknya nilai luas permukaan akan semakin besar jika digunakan molekul yang lebih kecil. Berikut ini skema adsorbsi gas pada permukaan menggunakan ukuran molekul yang berbeda (Schubert dan Husing, 2006).
Gambar 2.5 Skema Adsorbsi gas pada permukaan pori material dengan perbedaan ukuran molekul gas (Schubert dan Husing, 2006)
Menurut International Union of Pure and Applied Chemistry (IUPAC), terdapat enam klasifikasi isotherm adsorbsi seperti yang diperlihatkan gambar 2.6.
Gambar 2.6 Klasifikasi Isotherm Adsorbsi menurut International Union Of Pure and Applied Chemistry (IUPAC)
Tipe I : merupakan karakteristik material mikropori (d < 2 nm)
Tipe II dan Tipe III : merupakan karakteristik material yang tidak berpori dan makropori (d > 50 nm)
Tipe IV dan Tipe V : merupakan karakteristik material mesopori (2 nm < d <50 nm) dimana terdapat pembentukkan multilayer dari kurva adsorbsi dan desorbsi.
Tipe VI : merupakan karakteristik padatan dua dimensi yang sangat homogen seperti grafit.
Parameter yang dapat mengkarakterisasi pori adalah luas permukaan spesifik (S) dengan satuan [m2/g], volume mikropori (WMP) dengan satuan [cm3/g]. Volume pori (W) merupakan jumlah volume mikropori dan mesopori adsorben dalam [cm3/g] dan Pores Size Distribution (PSD) yang merupakan suatu grafik dari ΔVp/ΔDp versus Dp, dimana Vp adalah akumulasi pori hingga luas pori Dp diukur [cc-STP/GA]. Unit cc-STP menunjukkan jumlah pengukuran adsorbat dalam centimeter kubik pada STP yakni pada temperatur standar dan tekanan standar masing-masing 273,15 K dan tekanan 76 Torr (1.011325 x 105 Pa) (Schubert dan Husing, 2006).
2.7 Metil Ester
Metil ester merupakan bahan yang dihasilkan dari reaksi kimia antara minyak nabati atau lemak hewani dengan alkohol. Alkohol yang paling banyak digunakan adalah metanol dan etanol. Fatty Acid Methyl Ester (FAME) lebih mudah terbentuk dibandingkan dengan etil ester asam lemak. Hal ini karena metil ester asam lemak lebih reaktif dan lebih volatil daripada etil ester asam lemak (Maher, 2006).
Salah satu metode yang dapat digunakan untuk membuat ester yaitu dengan mereaksikan asam karboksilat dengan alkohol melalui reaksi kondensasi yang secara umum ditunjukkan pada reaksi 2.1 berikut:
R C OR'
O
Ester
R C
O
OH H O R' H2O
H2SO4
+ +
Asam Karboksilat Alkohol
Esterifikasi asam karboksilat dengan alkohol yang dikatalisis oleh asam disebut dengan esterifikasi Fischer, seperti esterifikasi asam asetat dengan etanol menggunakan katalis asam sulfat yang menghasilkan etil asetat. Esterifikasi Fischer berjalan dengan lambat jika tidak menggunakan asam-asam kuat, tetapi mencapai kesetimbangan setelah beberapa jam ketika asam karboksilat dan alcohol direfluks dengan sedikit asam sulfat pekat atau asam klorida (Solomons, 2011). Asam sulfat yang digunakan sebagai katalis menghasilkan jumlah ester yang lebih besar dari pada asam klorida (Oluwaniyi, 2003).
Reaksi esterifikasi bersifat reversible, maka untuk memperoleh rendemen tinggi dari ester, kesetimbangan harus digeser kearah sisi ester. Salah satu teknik yang digunakan adalah menggunakan salah satu zat pereaksi secara berlebih. Teknik lain adalah dengan membuang salah satu produk dari dalam campuran reaksi.
Misalnya, dengan menghilangkan air (Fessenden, 1986). Pada umumnya, zat pereaksi yang digunakan secara berlebih adalah alkohol. Hal ini dikarenakan alkohol
dan air dapat membentuk campuran heteroazeotrop, sehingga air yang terbentuk dapat dihilangkan (Nowicki, 2013). Untuk menghilangkan air yang terbentuk juga dapat digunakan asam sulfat pekat, hal ini disebabkan karena asam sulfat pekat bersifat higroskopik (Austin, 1996).
2.8 Adsorpsi
Adsorpsi merupakan suatu proses penyerapan oleh padatan tertentu terhadap Zat tertentu yang terjadi pada permukaan padatan karena adanya gaya tarik atom atau molekul pada permukaan zat padat tanpa meresap kedalam (Atkins, 1999). Secara umum adsorpsi merupakan proses penggumpalan substansi terlarut (soluble) yang ada dalam larutan, oleh permukaan zat atau benda penyerap, dimana terjadi suatu ikatan kimia fisika antara substansi dengan penyerapnya. Definisi lain menyatakan adsorpsi sebagai suatu peristiwa penyerapan pada lapisan permukaan atau antar fasa, dimana molekul dari suatu materi terkumpul pada permukaan bahan pengadsorpsi atau adsorben (Masamune, 1964).
2.8.1 Jenis-Jenis Adsorpsi
Jenis-Jenis Adsorpsi berdasarkan interaksi molekular antara permukaan adsorben dengan adsorbat, adsorpsi dibedakan 2 jenis yaitu adsorpsi fisika dan adsropsi kimia (Treybal, 1980).
1. Adsorpsi Fisika
Adsorpsi fisika (fisisorpsi) merupakan adsorpsi yang terjadi karena adanya gaya Van der Waals. Gaya Van der Waals adalah gaya tarik-menarik yang relatif lemah antara adsorbat dengan permukaan adsorben. Pada adsorpsi fisika, adsorbat tidak terikat kuat pada adsorben sehingga adsorbat dapat bergerak dari suatu bagian permukaan adsorben ke bagian permukaan adsorben lainnya dan pada permukaan yang ditinggalkan oleh adsorbat tersebut dapat digantikan oleh adsorbat lainnya.
Adsorpsi fisika merupakan peristiwa reversibel sehingga jika kondisi operasinya diubah, maka akan membentuk kesetimbangan yang baru. Proses adsorpsi fisika
terjadi tanpa memerlukan energi aktivasi. Ikatan yang terbentuk dalam adsorpsi ini dapat diputuskan dengan mudah yaitu dengan pemanasan pada temperatur sekitar 150–200oC selama 2-3 jam (Treybal, 1980).
2. Adsorpsi Kimia
Adsorpsi kimia (kimisorpsi) merupakan adsorpsi yang terjadi karena terbentuknya ikatan kimia antara molekul-molekul adsorbat dengan adsorben. Ikatan yang terbentuk merupakan ikatan yang kuat sehingga lapisan yang terbentuk merupakan lapisan monolayer. Pada adsorpsi kimia yang terpenting adalah spesifikasi dan kepastian pembentukan monolayer sehingga pendekatan yang digunakan adalah dengan menentukan kondisi reaksi. Adsorpsi kimia tidak bersifat reversibel dan umumnya terjadi pada suhu tinggi diatas suhu kritis adsorbat. Oleh karena itu, untuk melakukan proses desorpsi dibutuhkan energi yang lebih tinggi untuk memutuskan ikatan yang terjadi antara adsorben dengan adsorbat (Treybal, 1980). Kimisorpsi terjadi dengan diawali adsorpsi secara fisika (fisisorpsi), yaitu partikel-partikel adsorbat mendekat ke permukaan adsorben melalui gaya Van der Waals atau melalui ikatan hidrogen, kemudian diikuti oleh adsorpsi kimia yang terjadi setelah adsorpsi fisika. Pada adsorpsi kimia, partikel yang melekat pada permukaan akan membentuk ikatan kimia (Atkins, 1999).
2.8.2 Mekanisme Adsorpsi
Menurut Reynolds (1982), mekanisme penyerapan adsorben terhadap zat terlarut terbagi menjadi 4 tahap diantaranya :
1. Transfer molekul-molekul zat terlarut yang teradsorpsi menuju lapisan film yang mengelilingi adsorben.
2. Difusi zat terlarut yang teradsorpsi melalui lapisan film yang mengelilingi adsorben (film diffusion process).
3. Difusi zat terlarut yang teradsorpsi melalui kapiler atau pori dalam adsorben (pore diffusion process).
4. Adsorpsi zat terlarut yang teradsorpsi pada dinding pori atau permukaan adsorben.
2.8.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Adsorpsi
Faktor-faktor yang mempengaruhi dari proses adsorpsi adalah sebagai berikut:
1. Adsorben
Pada umumnya adsorben dapat berupa zat padat maupun cair. Adapun
karakteristik adsorben padat yang baik antara lain memiliki luas permukaan yang besar sehingga daya adsorpsinya juga semakin besar, memiliki tingkat kemurnian yang tinggi agar daya adsorpsinya lebih baik, memiliki daya tahan yang tinggi, tidak terjadi perubahan massa maupun struktur selama proses adsorpsi maupun desorpsi, serta dapat direcovery untuk dapat digunakan secara berulang. Berdasarkan kepolarannya adsorben dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu:
a. Adsorben polar (hidrofilik) yaitu adsorben yang dapat mengadsorpsi molekul- molekul zat yang bersifat polar misalnya silika gel, aluminium oksida dan zeolit.
b. Adsorben non polar (hidrofobik) yaitu adsorben yang dapat mengadsorpsi molekul-molekul zat yangbersifat non polar, contoh adsorben seperti ini antara lain karbon aktif dan bahan polimer seperti polyetylen dan polystyrene serta turunannya.
2. Adsorbat
Adsorbat dapat berupa zat padat elektrolit maupun non elektrolit. Adsorbat yang bersifat elektrolit daya adsorpsinya besar karena mudah mengion sehingga antar molekul-molekulnya saling tarik-menarik. Sedangkan adsorbat yang bersifat zat non elektrolit adsorpsinya sangat kecil. Ukuran molekul adsorbat juga merupakan hal penting agar proses adsorpsi dapat terjadi, karena molekul-molekul yang dapat diadsorpsi adalah molekul-molekul yang diameternya lebih kecil atau sama dengan diameter pori adsorben. Kepolaran adsorbat juga perlu diperhatikan karena molekul- molekul polar lebih kuat diadsorpsi daripada molekul yang nonpolar. Molekul yang lebih polar dapat menggantikan molekul-molekul yang kurang polar yang lebih dahulu teradsorpsi.
3. Konsentrasi
Semakin tinggi konsentrasi larutan kontak antara adsorben dengan adsorbat semakin besar sehingga adsorpsinya juga semakin besar.
4. Luas Permukaan
Semakin luas permukaan adsorben, gaya adsorpsi akan semakin besar sebab kemungkinan zat untuk diadsorpsi juga semakin luas. Jadi semakin halus suatu adsorben maka daya adsorpsinya semakin besar.
5. Suhu
Semakin tinggi suhu, molekul-molekul adsorbat akan bergerak cepat sehingga kemungkinan menangkap atau mengadsorpsi molekul-molekul semakin sulit (Alberty, 1987).
Beberapa gaya yang dapat menyebabkan terjadinya adsorpsi diantaranya adalah :
(1) interaksi non polar Van der Walls, (2) pembentukan ikatan hidrogen, (3) pertukaran ion dan (4) pembentukan ikatan kovalen. Adsorpsi fisika sering sekali
menunjukkan adsorpsi dari adanya gaya Van der Walls, terjadi karena adanya gaya adhesi antara zat terlarut dengan adsorben. Gaya-gaya paling kuat yang ada dalam adsorpsi molekul-molekul kecil dari larutan cair yaitu pertukaran ion dan ikatan hidrogen. Adsorpsi zat terlarut oleh adsorben padat cenderung membentuk ikatan hidrogen jika salah satu mempunyai kelompok ikatan hidrogen sebagai donor dan yang lainnya sebagai akseptor (Yun, 2001).
2.8.4 Parameter Adsorpsi 2.8.4.1 Kapasitas Adsorpsi
Kinetika kimia mencakup suatu pembahasan tentang kecepatan (laju) reaksi dan bagaimana proses reaksi berlangsung. Definisi tentang laju reaksi adalah 11 suatu perubahan konsentrasi pereaksi maupun produk dalam satuan waktu (Keenan,1984). Orde reaksi merupakan bagian dari persamaan laju reaksi. Orde reaksi terhadap suatu komponen menurut Atkins (1999) merupakan pangkat dari konsentrasi komponen itu, dalam persamaan laju reaksi.
2.8.4.2 Isoterm Adsorpsi Langmuir
Model kinetika adsorpsi Langmuir ini berdasarkan pada asumsi sebagai berikut: lajuadsorpsi akan bergantung pada faktor ukuran dan struktur molekul adsorbat, sifat pelarut dan porositas adsorben, situs pada permukaan yang homogen dan adsorpsi terjadi secara monolayer. Proses adsorpsi heterogen memiliki dua tahap, yaitu : (a) perpindahan adsorbat dari fasa larutan ke permukaan adsorben dan (b) adsorpsi pada permukaan adsorben. Tahap pertama akan bergantung pada sifat pelarut dan adsorbat yang terkontrol (Oscik,1982).
Bagian yang terpenting dalam proses adsorpsi yaitu situs yang dimiliki olehadsorben yang terletak pada permukaan, akan tetapi jumlah situs-situs ini akan berkurang jika permukaan yang tertutup semakin bertambah (Husin dan Rosnelly, 2005). Persamaan isoterm adsorpsi Langmuir tersebut dapat ditulis dalam bentuk persamaan linier :
=
=
(1)Dimana C adalah konsentrasi kesetimbangan, m adalah jumlah zat yang teradsorpsi per gram adsorben, b adalah kapasitas adsorpsi dan K adalah tetapan kesetimbangan adsorpsi. Dari kurva linier hubungan antara C/m versus C maka dapat ditentukan nilai b dari kemiringan (slop) dan K dari intersep kurva. Energi adsorpsi (Eads) yang didefinisikan sebagai energi yang dihasilkan apabila satu mol ion logam teradsorpsi dalam adsorben dan nilainya ekuivalen dengan nilai negatif dari perubahan energi Gibbs standar, ΔG0 dapat dihitung menggunakan persamaan :
E = -ΔG0ads = RT ln K (2)
Dengan R adalah tetapan gas umum (8,314 J/mol K), T adalah temperatur (K) dan K adalah konstanta kesetimbangan yang diperoleh dari persamaan Langmuir, sehingga energi total adsorpsi E harganya sama dengan negatif energi bebas Gibbs (Oscik, 1982).
2.8.4.3 Isoterm Adsorpsi Freundlich
Model isoterm Freundlich menjelaskan bahwa proses adsorpsi pada bagian permukaan adalah heterogen dimana tidak semua permukaan adsorben mempunyai daya adsorpsi. Model isoterm Freundlich menunjukkan lapisan adsorbat yang terbentuk pada permukaan adsorben adalah multilayer. Hal tersebut berkaitan dengan ciri-ciri dari adsorpsi secara fisika dimana adsorpsi dapat terjadi pada banyak lapisan (multilayer) (Husin and Rosnelly, 2005).
Bentuk persamaan Freundlich adalah sebagai berikut :
qe = Kf Ce1/n (1)
Dimana qe adalah jumlah adsorbat yang terserap tiap satuan berat adsorben (mg/g), Ce adalah konsentrasi setimbang adsorbat dalam fase larutan (mg/L), Kf dan n adalah konstanta empiris yang tergantung pada sifat padatan, adsorben dan suhu (Soeprijanto et al, 2006). Penentuan konstanta Kf dan n dapat dilakukan dengan linierisasi persamaan (3) :
log (qe) = log (Kf) + log (Ce) (2)
Kf dan n dapat dicari dengan membuat kurva ln(qe) berbanding ln(Ce). Kf didapat dari titik potong dengan sumbu tegak dan n dari tangen arah garis lurus yang terbentuk. Koefisisen Kf sering dikaitkan dengan kapasitas adsorpsi adsorben sehingga mencerminkan jumlah rongga dalam adsorben tersebut (Singh dan Alloway, 2006).
2.8.5 Adsorpsi Secara Batch
Proses adsorpsi batch dilakukan untuk skala kecil seperti laboratorium, dengan cara mencampurkan media dan solute, juga dilakukan pengadukan agar terjadi kontak secara merata. Proses batch ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik adsorben yang digunakan dan dinyatakan dengan hubungan antara penurunan zat yang diserap dan berat adsorben yang digunakan pada koefisien dari persamaan yang
ada. Pada proses adsorpsi batch ini, hasilnya dapat ditampilkan dengan menggunakan kurva adsorpsi isoterm. Selain itu, adsorpsi batch juga dapat digunakan untuk mengukur efisiensi removal dengan cara membandingkan konsentrasi limbah sebelum proses adsorpsi dan setelah proses adsorpsi (Raditya, 2014).
2.9 Minyak Kelapa Sawit
Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis JACQ) adalah tanaman berkeping satu yang termasuk dalam famili Palmae. Nama genus Elaeis berasal dari bahasa Yunani Elaion atau minyak, sedangkan nama species Guinensis berasal dari kata Guinea, yaitu tempat dimana seorang ahli bernama Jacquin menemukan tanaman kelapa sawit pertama kali di pantai Guinea.Salah satu dari beberapa tanaman golongan palm yang dapat menghasilkan minyak adalah kelapa sawit (Ketaren, 1986).
Minyak kelapa sawit bersifat setengah padat pada suhu kamar dengan titik cair antara 40-70oC, berwarna kuning jingga karena mengandung pigmen karotenoida.
Berdasarkan perbedaan titik cairnya CPO dibagi menjadi 2 (dua) fraksi besar, yaitu fraksi olein (ringan) berbentuk cair yang mengandung asam lemak jenuh dan fraksi stearin (berat) yang berbentuk padat pada suhu kamar mengandung asam lemak tak jenuh (Serlahawaty, 2007).
Minyak kelapa sawit selain mengandung komponen utama trigliserida sebesar 94% juga mengandung ALB pada kisaran 3-5%, serta komponen non trigliserida yang jumlahnya sangat kecil sekitar 1% termasuk karotenoida, tokoferol, tokotrienol, sterol, triterpen alkohol, fosfolipida, glikolipida dan berbagai komponen trace element. Minyak kelapa sawit mengandung lemak, asam lemak, karotenoida dan tokoferol dimana komponen penyusun minyak sawit terdiri atas trigliserida dan non trigliserida (Tambun, 2002). Asam lemak penyusun trigliserida terdiri dari asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh, asam lemak jenuh yang terkandung berkisar 47-48% mempunyai ikatan tunggal, sedangkan asam lemak tidak jenuh terkandung berkisar 52-53% yang mempunyai ikatan rangkap (Kuswardhani, 2007).
Asam lemak bebas adalah asam lemak yang berada sebagai asam bebas tidak terikat sebagai trigliserida. Asam lemak bebas dihasilkan oleh proses hidrolisis dan oksidasi biasanya bergabung dengan lemak netral. Hasil reaksi hidrolisa minyak sawit adalah gliserol dan ALB. Reaksi ini akan dipercepat dengan adanya faktor- faktor panas, air, keasaman, dan katalis (enzim). Semakin lama reaksi ini berlangsung, maka semakin banyak kadar ALB yang terbentuk (Ketaren, 1986).
2.10 Karakterisasi Material Nanopori
2.10.1 Metode Adsorpsi Brunauer-Emmet-Teller (BET)
Teori BET adsorpsi multilayer untuk menentukan luas permukaan (S) dikembangkan oleh Brunauer, Emmet dan Teller. Proses adsorpsi digambarkan sebagai proses lapisan dengan lapisan (Layer-by-layer), permukaan secara energetik dianggap homogen, medan adsorpsi sama dalam setiap tempat permukaan, serta proses adsorpsi dianggap tidak bergerak (setiap molekul yang diadsorpsi pada sisi dasar permukaan). Lapisan pertama molekul yang diadsorpsi memiliki energi interaksi dengan medan adsorps (Ea0) dan interaksi vertikal antara molekul setelah lapisan pertama (EL0) sama terhadap panas liqufaksi adsorbat dan molekul yang diadsorpsi tidak berinteraksi secara menyamping (Roque-Malherbe, 2007).
Prinsip kerja surface area analyzer menggunakan mekanisme adsorpsi gas, umumnya nitrogen, argon dan helium, pada permukaan suatu bahan padat yang akan dikarakterisasi pada suhu konstan biasanya suhu mendidih dari gas tersebut.
Tentunya telah banyak teori dan model perhitungan yang dikembangkan para peneliti untuk mengubah data yang dihasilkan alat ini berupa jumlah gas yang dijerap pada berbagai tekanan dan suhu tertentu (disebut juga isotherm) menjadi data luas permukaan, distribusi pori, volume pori, dan lain sebagainya (Rianto, 2012).
Jumlah lapisan yang diadsorp ditunjukkan dengan persamaan Maron dan Lando. BET digunakan untuk karakterisasi permukaan suatu material yang meliputi luas permukaan/surface area (SA, m2/g), diameter pori (D) dan volume pori (Vpr, cc/g). Teori BET menjelaskan bahwa adsorbsi terjadi di atas lapisan adsorbat monolayer. Sehingga, isotherm adsorbs BET dapat diaplikasikan untuk adsorbs multilayer.Proses adsorpsi digambarkan sebagai proses lapisan dengan lapisan (Layer-by-layer), permukaan secara energetik dianggap homogen, medan adsorpsi sama dalam setiap tempat permukaan. Proses adsorpsi dianggap tidak bergerak (setiap molekul yang diadsorb pada sisi dasar adsorbs pada permukaan). Lapisan pertama molekul yang diadsorb memiliki energi interaksi dengan medan adsorbs (Ea0) dan interaksi vertical antara molekul setelah lapisan pertama (EL0) sama terhadap panas liqufaksi adsorbat dan molekul yang diadsorb tidak berinteraksi secara menyamping. Model adsorbsi BET digambarkan sebagai berikut (Roque- Malherbe, 2007).
Untuk menerapkan persamaan isotherm BET terhadap data adsorpsi yang diperoleh digunakan persamaan linier berikut:
= ( ) ( ) ⁄
Atau dapat dituliuskan sebagai berikut :
( ) = + ( ) ( )
= tekanan akhir
= tekanan jenuh
= volume gas yang terserap pada tekanan
= volume gas terserap pada monolayer
C = merupakan parameter yang dapat ditentukan dengan cara berikut:
Dengan A adalah konstanta, merupakan panas yang diserap lapisan pertama dan
adalah panas yang dikondensasi dari gas.
Untuk area yang dilewati setiap molekul dalam monolayer dianggap sempurna, dimana untuk nitrogen (N2) = 0,162 nm2 pada 77K dan argon (Ar) = 0,138 nm2 pada 87K (Kanellopoulos, 2011).
2.10.2 Metode Barret-Joyner-Halenda (BJH)
Metode BJH digunakan untuk menentukan distribusi ukuran pori/particle size distribution (PSD). Tekanan relatif awal proses desorpsi dalam metode Barret- Joyner- Halenda (BJH) berlangsung pada range 0,9 < P/Po < 0,95 dan semua pori telah diisi fluida adsorbat. Pada tahap pertama (j=1) dalam proses desorpsi hanya melibatkan pemindahan kondensasi kapiler. Tahap berikutnya melibatkan pemindahan kondensat dari inti pori dan penipisan multilayer dalam pori yang lebih besar (misalnya pori telah siap dikosongkan dari kondesat).
Distribusi ukuran pori Barret-Joyner-Halenda (BJH-PSD) dapat dihitung menggunakan persamaan berikut ini.
(
) ( ( ) ∑
)
Keterangan :
= volume pori pada berbagai tekanan relatif
= jari-jari pori
= jari-jari inti
= perubahan volume pada berbagai tekanan relatif = ketebalan lapisan yang diserap
Ac = area terbuka pori yang kosong (Roque-Malherbe, 2007).
2.10.3 Spektroskopi Difraksi Sinar-X (XRD)
Spektroskopi difraksi sinar-x (X-Ray diffraction / XRD) merupakan salah satu metode karakterisasi material. Teknik ini digunakan untuk mengidentifikasi fasa kristalin dalam material dengan cara menentukan parameter struktur kisi serta untuk mendapatkaan ukuran partikel. Difraksi sinar-x terjadi pada hamburan elastis foton- foton sinar-x oleh atom dalam sebuah kisi periodik. Hamburan monokromatis sinar x dalam fasa tersebut memberikan interferensi yang konstruktif.
Dasar penggunaan difraksi sinar-x untuk mempelajari kisi Kristal adalah berdasarkan persamaan Bragg (Cullity, 1978) :
n.λ = 2.d.sin θ ; n =1,2,…
dengan; λ adalah panjang gelombang sinar-x yang digunakan, d adalah jarak antara dua bidang kisi, θ adalah sudut antara sinar datang dengan bidang normal, n adalah bilangan bulat yang disebut sebagai orde pembiasan.
Berdasarkan persamaan Bragg, ketika seberkas sinar-x menumbuk sampel kristal, maka bidang kristal itu akan mendifraksi sinar-x yang memiliki panjang gelombang sama dengan jarak antar kisi dalam kristal. Semakin banyak jumlah elektron yang terdapat disekeliling atom pada suatu bidang, makin besar intensitas pantulan yang disebabkan oleh bidang tersebut dan menyebabkan makin jelas spot yang terekam pada film. Dengan menggunakan metoda yang dikenal dengan nama metoda sintesis Fourier, kita dapat menghubungkan intensitas spot dengan kepekatan distribusi elektron yang terdapat dalam unit sel. Dengan mengamati kepekatan distribusi elektron dalam unit sel, kita dapat menduga letak atom dalam unit sel tersebut. Atom akan terletak pada daerah-daerah yang mempunyai kepekatan distribusi elektron maksimum (Bird, 1993).
2.10.4 Fourier Transform Infra Red Spectroscopy (FTIR)
Fourier Transform Infra-Red (FT-IR) Spectroscopy merupakan metode yang digunakan untuk mengamati interaksi interaksi molekul dengan radiasi elektromagnetik. FTIR adalah alat yang dipergunakan untuk menganalisis secara kuantitatif maupun kualitatif untuk kuantitatif adalah berdasarkan gugus fungsi yang ada dengan menggunakan standar. Pada umumnya sampel yang dianalisis dapat berupa padatan, caran dan gas, masing-masing mempergunakan sel yang berbeda- beda (Stevens, 2011).
Spektroskopi inframerah merupakan metode yang digunakan untuk mengamati interaksi molekul dengan radiasi elektromagnetik.Prinsip dasar spektroskopi inframerah yaitu interaksi antara vibrasi atom-atom yant berikatan/gugus fungsi dalam molekul yang mengadsorbsi radiasi gelombang elektromagnetik inframerah.Untuk dapat mengadsorbsi, molekul harus mempunyai perubahan momen dipolsebagai akibat dari vibrasi (Khopkar, 2008).
Terdapat dua macam vibrasi molekul, yaitu vibrasi ulur (stretching) dan vibrasi tekuk (bending). Vibrasi ulur adalah suatu gerakan berirama di sepanjang sumbu ikatan sehingga jarak antar atom bertambah atau berkurang. Vibrasi tekuk dapat terjadi karena perubahan sudut-sudut ikatan antara ikatan-ikatan pada sebuah atom atau karena gerakan sebuah gugusan. Contoh liukan (twisting), goyangan (rocking), dan getaran punter (torsional) yang menyangkut perubahan sudut-sudut ikatan dengan acuan seperangkat koordinat yang disusun arbiter dalam molekul.
Hanya vibrasi yang menghasilkan perubahan momen dwi kutub secara berirama saja yang teramati di dalam inframerah (Silverstein et al., 1981).
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Alat
- Peralatan Gelas Pyrex
- Furnace Control 1100oC Fisher
- Oven
- Hotplate Stirrer Thermilyte
- Neraca Digital AS 220/C/2 Radwag
- Indikator Universal
- Kertas Saring Whatmann no. 42
- Cawan Porselen
- Labu Leher Tiga Pyrex
- Labu Leher Satu Pyrex
- Kondensor - Termometer
- Fourier Transform Infrared
- Difraktometer Sinar-X Rigaku 600 Miniflex
- Brunauer-Emmett-Teller adsorpmeter
3.2 Bahan - Sekam padi
- NaOH p.a. Merck
- HCl p.a. Merck
- MgO p.a. Merck
- Etanol p.a. Merck
- Asam Oleat p.a Sigma-Aldrich
- Metanol p.a. Merck
- n-Heksana p.a Merck
- Benzene p.a. Merck
- H2SO4(p) p.a. Merck
- CaCl2 anhidrat p.a. Merck - Indikator Phenoptalein
- Minyak Sawit Kasar - Aquadest
3.3 Prosedur Penelitian
3.3.1 Esterifikasi Asam Oleat Dengan Metanol
Ke dalam labu leher tiga dimasukkan 25 ml asam oleat kemudian ditambahkan 50 ml metanol dan 13 ml benzene sambil diaduk dengan menggunakan pengaduk magnet. Dirangkai alat refluks dan diteteskan H2SO4(p) sebanyak 2 ml melalui corong penetes. Direfluks selama 3 jam pada suhu 70oC – 80oC, hasil reaksi kemudian diuapkan dengan menggunakan rotarievaporator. Selanjutnya residu diekstraksi dengan 100 ml n-heksana, kemudian dicuci dengan 10 ml aquadest sebanyak dua kali. Lapisan atas dikeringkan dengan CaCl2 anhidrat dan disaring. Filtrat diuapkan mengunakan rotarievaporator, residu yang diperoleh diukur volumenya kemudiandi analisis dengan spektroskopi FT-IR.
3.3.2 Pembuatan Larutan Natrium Silikat
Sekam padi sebanyak 100 g dicuci lalu dikeringkan, kemudian direndam dalam 1L NaOH 10% sambil dipanaskan hingga mendidih selama 6 jam lalu disaring. Ke dalam filtrat ditambahkan HCl 11% hingga pH=7 sehingga terbentuk gel lalu di diamkan selama satu malam pada suhu kamar kemudian di saring. Gel silika kemudian di cuci dengan aquadest panas hingga gel berubah warna dari warna coklat menjadi warna putih. Gel silika kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 110oC lalu dihaluskan hingga berbentuk serbuk. 5,4 g serbuk silika di masukkan ke dalam 70 mL NaOH 10%, di panaskan pada suhu 110oC sambil diaduk menggunakan hotplate stirrer selama 3 jam membentuk larutan natrium silikat.
3.3.3 Pembuatan Magnesium Silikat dengan Template Metil Oleat
Kedalam larutan natrium silikat dimasukkan 2 g metil oleat setetes demi setetes sambil diaduk. Dilarutkan 3,6 g MgO di dalam 100 ml aquadest, dipanaskan pada suhu 110oC sambil di aduk menggunakan hotplate stirrer selama 1,5 jam hingga terbentuk sol MgO. Campuran larutan natrium silikat dan larutan metil oleat ditambahkan suspensi Mg(OH)2 kemudian diaduk selama 4 jam pada suhu 110oC hingga diperoleh padatan putih. Kemudian dikeringkan di dalam oven pada suhu 90oC selama 24 jam lalu dikalsinasi pada suhu 900oC selama 4 jam. Padatan yang berwarna putih dicuci dengan aquadest hingga pH netral lalu dikeringkan di dalam oven pada suhu 110oC lalu dikarakterisasi menggunakan analisis FT-IR, XRD dan BET.
3.3.4 Adsorpsi ALB dari CPO
Ditimbang 1 g CPO kemudian ditambahkan 50 ml Alkohol netral. Kemudian dimasukkan 1 g magnesium silikat kedalam larutan CPO dalam Alkohol netral.
Diaduk dan ditempatkan dalam sentrifuse selama 30 menit, selanjutnya disaring untuk memisahkan filtrat dan adsorben. Filtrat dari hasil penyaringan ditentukan kandungan asam lemak bebas yang masih terkandung di dalamnya dengan metode titrasi (Masmur I, 2016)
3.4 Bagan Penelitian
3.4.1 Esterifikasi Asam Oleat Dengan Metanol
25 ml Asam Oleat
Dimasukkan ke dalam labu leher tiga Ditambahkan 50 ml metanol Ditambahkan 13 ml benzene
Dirangkai alat refluks dan magnetik stirrer
Ditambahkan 2 ml H2SO4 (p) 98% melalui corong penetes Direfluks selama 3 jam pada suhu 70oC - 80oC
Diuapkan dengan rotarievaporator
Residu Filtrat
Diekstraksi dengan 100 ml n-heksan Dicuci dengan aquadest secara berulang Didiamkan hingga terbentuk 2 lapisan
Lapisan atas
Lapisan bawah
Dikeringkan dengan CaCl2 anhidrat Disaring
Filtrat Residu
Diuapkan dengan rotarievaporator
Filtrat
Diukur volume yang diperoleh Cairan Metil
Oleat
Dikarakterisasi dengan FT-IR Hasil
3.4.2 Pembuatan Larutan Natrium Silikat
100 gram sekam padi utuh
Dicuci dengan aquadest Dikeringkan
Disaring
Direndam dalam 1 L NaOH 10% sambil dipanaskan selama 6 jam
Filtrat Residu
Ditambahkan HCl 11% hingga pH = 7 hingga terbentuk gel berwarna coklat Didiamkan selama satu malam pada suhu kamar
Disaring
Gel Silika Residu
Dicuci dengan menggunakan aquadest panas hingga berubah warna dari coklat menjadi putih
Dikeringkan didalam oven pada suhu 110oC
Dihaluskan Serbuk Silika
Dimasukkan 5,4 g kedalam 70 ml NaOH 10%
Diaduk sambil dipanaskan pada suhu 110oC menggunakan hotplate stirrer selama 3 jam
Larutan Natrium Silikat
3.4.3 Pembuatan Magnesium Silikat Dengan Template Metil Oleat
Dicampurkan campuran natrium silikat-metil oleat dengan larutan Mg(OH)2
Diaduk selama 4 jam pada suhu 110oC hingga diperoleh padatan putih
Dikeringkan pada suhu 90oC selama 24 jam Dikalsinasi pada suhu 900oC selama 4 jam
Dicuci dengan aquadest hingga pH netral Dikeringkan didalam oven pada suhu 110oC
Dikarakterisasi dengan FT-IR, XRD dan BET
Larutan Natrium Silikat 3,6 g MgO
Dimasukkan setetes demi setetes 2 g metil oleat pada larutan natrium silikat
Dimasukkan dalam 100 ml aquadest Dipanaskan pada suhu 110oC sambil diaduk menggunakan hotplate stirrer selama 1,5 jam
Suspensi Putih
Padatan Putih
Padatan Putih
Hasil
3.4.4 Adsorpsi ALB dari CPO
MgSiO3 (1 g)
Endapan Filtrat
CPO dalam etanol (1 gr ; 50 ml)
Disentrifugasi selama 30 menit Disaring
Dititrasi dengan larutan NaOH Dihitung kadar ALB
Kandungan ALB (%)