• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penulis dalam penelitian ini menggunakan metode data kuantitatif dengan menggunakan analisis statistik melalui pendekatan regresi berganda,

yaitu suatu analisis yang mengukur pengaruh antar variabel yang melibatkan lebih dari dua variabel independen terhadap variabel dependen.

Dalam penelitian ini, metode analisis data yang digunakan adalah metode korelasi kesalahan atau dikenal dengan nama error correction model (ECM), yang digunakan untuk mengetahui pengaruh jangka panjang dan pendek antar variabel independen terhadap variabel dependen

Analisis data akan dilakukan dengan bantuan aplikasi komputer, program EVIEWS 8. Aplikasi EViews 8 digunakan peneliti karena peneliti menggunakan data time series dibandingkan dengan SPSS yang kurang cocok, dalam hal uji-uji statistik terkait data time series, Eviews sangat powerful membantu penelitian. Pengujia ECM baru dapat dilakukan bila terdapat indikasi adanya hubungan jangka panjang dengan menggunakan uji kointegrasi. Variabel-variabel dikatakan terkointegrasi bila stasioner pada ordo yang sama. Untuk menguji kestasioneran data, maka pada penelitian ini digunakan Phillips Perron (PP) test.

Nilai koefisien regresi sangat berarti sebagai dasar analisis. Koefisien β

akan bernilai positif (+) jika menunjukkan hubungan yang searah antara variable independen dengan variabel dependen, Artinya kenaikan variabel independen akan mengakibatkan kenaikan variabel dependen, begitu pula sebaliknya jika variable independen mengalami penurunan. Sedangkan nilai

β akan negatif (-) jika menunjukkan hubungan yang berlawanan, artinya kenaikan variabel independen akan mengakibatkan penurunan variabel dependen, demikian pula sebaliknya. Uji yang pertama dilakukan adalah uji

normalitas dimana untuk melihat apakah nilai residual terdistribusi normal atau tidak. Selanjutnya model persamaan yang diperoleh dari pengolahan data diupayakan tidak terjadi gejala multikolinieritas, heteroskedastisitas dan autokorelasi. Untuk mengetahui ada tidaknya gejala-gejala tersebut akan dilakukan uji terlebih dahulu dengan uji asumsi klasik. Berikut ini merupakan alat yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Uji Normalitas

Uji normalitas adalah untuk melihat apakah nilai residual terdistribusi normal atau tidak. Model regresi yang baik adalah memiliki nilai residual yang terdistribusi normal. Jadi uji normalitas bukan dilakukan pada masing-masing variabel tetapi pada nilai residualnya. Sering terjadi kesalahan yang jamak yaitu bahwa uji normalitas dilakukan pada masing-masing variabel. Hal ini tidak dilarang tetapi model regresi memerlukan normalitas pada nilai residualnya bukan pada masing-masing variable penelitian. Sebenarnya normalitas dapat dilihat dari gambar histogram, namun seringkali polanya tidak mengikuti kurva normal, sehingga sulit disimpulkan. Akan lebih mudah bila melihat koefisien Jarque-Bera dan Probabilitasnya. Kedua angka ini saling mendukung. (Winarno,2015:5.43)

Langkah-langkah pengujian normalitas data sebagai berikut: Hipotesis:

H0: Model tidak Normal

Bila probabilitas Obs*R2> 0.05 → Signifikan, H1 diterima

Bila probabilitas Obs*R2< 0.05 → Tidak signifikan, H1 ditolak

2. Uji Linieritas

Uji linieritas adalah pengujian yang dilakukan untuk melihat apakah spesifikasi model yang digunakan sudah benar atau tidak (Insukindro,2001:100). Spesifikasi model yang digunakan merupakan hasil dari pemilihan model yang dianggap tepat sesuai dengan landasan teori. Namun pada prakteknya terkadang model yang dipilih belum tepat digunakan dalam penelitian, oleh karena itu perlu dilakukan pendeteksian terhadap model tersebut. Pendeteksian model tersebut menggunakan uji linieritas, kemudian dari pengujian ini akan diperoleh informasi mengenai bentuk model empiris dan menguji variabel yang relevan untuk dimasukkan dalam model empiris.

Uji linearitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji RESET (Regression Error Specifitation Tes) versi Ramsey yang mengembangkan uji secara umum kesalahan spesifikasi. Dalam pengujian Ramsey (RESET), yang perlu diperhatikan adalah nilai F hitung, dengan hipotesis:

H0 = Model tidak linier

H1 = Model linier

Apabila nilai F hitung lebih besar dari nilai F kritisnya pada α

tertentu menunjukkan signifikan, maka hipotesis H0 diterima, artinya

lebih kecil dari nilai F kritisnya pada α tertentu menunjukkan tidak

signifikan dan H0 ditolakyang artinya model yang digunakan linier.

Kemudian pengambilan keputusan juga dapat dilakukan dengan melihat nilai probabilitas yaitu nilai digunakan untuk mengukur tingkat terjadinya suatu kejadian yang acak atau sering disebut juga dengan peluang atau kemungkinan. Nilai probabilitas yaitu sebagai berikut: 1) Bila probabilitas Obs*R2 > 0,05 maka signifikan, dan menolak H

0,

maka model dikatakan linier

2) Bila probabilitas Obs*R2< 0,05 maka tidak signifikan, dan menerima H0, maka model dikatakan tidak linier

3. Uji Stasioneritas

Salah satu persyaratan penting untuk mengaplikasikan model seri waktu yaitu dipenuhinya asumsi data yang normal atau stabil (stasioner) dari variabel-variabel pembentuk persamaan regresi. Karena penggunaan data dalam penelitian ini dimungkinkan adanya data yang tidak stasioner, maka dalam penelitian ini perlu digunakan beberapa uji stasioner.Dalam melakukan uji stasioneritas, penulis akan melakukan proses analisis yang terdiri dari :

a. Uji Akar Unit (Uji root test)

Pengujian akar unit dilakukan untuk mengetahui apakah data yang digunakan stasioner atau tidak. Data yang stasioner adalah data time series yang tidak mengandung akar unit dan sebaliknya. Untuk mengetahui hal tersebut dapat dilakukan dengan uji Dickey-Fuller

dan uji Philips-Perron (PP) yang merupakan bagian dari uji akar unit.

Dalam penelitian ini untuk mengetahui ada atau tidaknya akar unit pada data penelitian dilakukan dengan menggunakan uji Philips-Perron (PP). Uji Phillips-Perron memasukkan adanya autokorelasi di dalam variable gangguan dengan memasukkan variabel independen berupa kelambanan diferensi. Phillips-Perron (PP) membuat uji akar unit dengan menggunakan metode statistic non perametrik dalam menjelaskan adanya autokorelasi antara variabel gangguan tanpa memasukkan variabel penjelaskelambanan diferensi (Agus Widarjono, 2005).

Statistik distributif t tidak mengikuti statistik distributif normal tetapi mengikuti distributif statistik PP. Prosedur untuk menentukan apakah data stasioner atau tidak dengan cara membandingkan antara nilai statistik PP dengan nilai kritisnya yaitu distribusi statistik Mackinnon. Jika nilai absolut statistik PP lebih besar dari nilai kritisnya, maka data yang diamati menunjukkan stasioner dan jika sebaliknya nilai absolute statistik PP lebih kecil dari nilai kritisnya maka data tidak stasioner.

b. Uji Derajat Integrasi

Data time series pada umumnya adalah data yang tidak stasioner. Untuk menghindari regresi lancung maka harus ditransformasikan data nonstasioner menjadi data stasioner.

Menurut (Nachrowi,2006) dalam berbagai studi ekonometrika, data time series sangat banyak digunakan. Namun dibalik pentingnya data tersebut, ternyata data time series menyimpan berbagai permasalahan, salah satunya yaitu autokorelasi. autokorelasi ini merupakan penyebab yang mengakibatkan data menjadi tidak stasioner, sehingga bila data dapat distasionerkan maka autokorelasi akan hilang dengan sendirinya, karena metode transformasi data untuk membuat data yang tidak stasioner sama dengan transformasi data untuk menghilangkan autokorelasi.

Dalam uji akar unit PP bila menghasilkan kesimpulan bahwa data tidak stasioner, maka diperlukan proses deferensi data. Uji stasioner data melalui proses diferensi ini disebut uji derajat integrasi. Seperti uji akar unit PP, keputusan sampai pada derajat keberapa suatu data akan stasioner dapat dilihat dengan membandingkan antara nilai statistik PP yang diperoleh dari koefisien y dengan nilai kritis distribusi statistik Mackinnon. Jika nilai absolut dari statistik PP lebih besar dari nilai kritisnya pada diferensi tingkat pertama, maka data dikatakan stasioner pada derajat satu. Akan tetapi, jika nilainya lebih kecil maka uji derajat integrasi perlu dilanjutkan pada diferensi yang lebih tinggi sehingga diperoleh data yang stasioner.

Kointegrasi berkaitan erat dengan pengujian terhadap kemungkinan adanya hubungan jangka panjang antara variabel-variabel ekonomi seperti yang dikehendaki oleh teori ekonomi (Insukindro,2001:121). Uji kointegrasi dari dua atau lebih data time series menunjukkan bahwa terdapat hubungan jangka panjang. Data time series dikatakan terkointegrasi jika residu dari tingkat regresi stasioner, maka tingkat regresi akan memberikan estimasi yang tepat untuk hubungan jangka panjang. Dalam melihat suatu model yang dimiliki kointegrasi atau tidak, dapat dilakukan dengan menjalankan uji johansen, uji CRDW, dan uji EG. Dalam penelitian ini untuk melihat ada atau tidaknya kointegrasi dilakukan dengan uji Johansen. Uji Johansen mendasarkan pada kemungkinan maksimum (maximum likelihood) yang memberikan statistik eigen value dan trace untuk menentukan jumlah vektor kointegrasi dalam suatu persamaan. Selain itu pengujian Johansen lebih powerfull (Arif Rahman Hakim, 2015:5). Hipotesis dalam uji ini yaitu:

H0 = Trace statistik < nilai kritis = model tidak terkointegrasi

H1 = Trace statistik> nilai kritis = model terkointegrasi

Adanya indikasi hubungan keseimbangan dalam jangka panjang belum dapat digunakan sebagai bukti bahwa terdapat hubungan antara variabel-variabelnya dalam jangka pendek. Sehingga untuk menentukan variabel mana yang menyebabkan perubahan pada variabel lainnya, maka digunakan penghitungan Error Correction Model

Tujuan pengujian asumsi klasik ini untuk memberikan kepastian bahwa persamaan regresi yang didapatkan memiliki ketepatan dalam estimasi, tidak bias dan konsisten. Model regresi linier berganda (multiple regression ) dapat disebut sebagai model yang baik jika model tersebut memenuhi Kriteria BLUE (Best Linear Unbiased Estimator). BLUE dapat dicapai bila memenuhi Asumsi Klasik.

Uji asumsi klasik yang digunakan terdiri dari uji multikolinearitas, uji autokorelasi, uji heteroskedastisitas.

a. Uji Multikolinearitas

Uji multikolinearitas digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya penyimpangan asumsi klasik multikolinearitas yaitu adanya hubungan linear antar variabel independen dalam model regresi. Multikolinieritas adalah kondisi adanya hubungan linier antar variabel independen (Winarno, 2015: 5.1)

Salah satu cara mendeteksi ada atau tidaknya multikolinearitas adalah dengan uji korelasi. Pada uji korelasi, pengujian multikolinieritas hanya dengan melihat hubungan secara individual antara satu variabel antara variabel independen dan variabel independen lainnya. Tetapi multikolinearitas bisa juga muncul karena satu atau lebih variabel independen merupakan kombinasi linier dengan variabel independen lain. Dalam pengujian ini peneliti akan menguji koefisien korelasi (r) antara variabel independen. Sebagai aturan (rule of thumb), jika koefisien korelasi cukup tinggi,

misalnya mencapai 0,85 diduga terdapat multikolinieritas dalam model. Sebaliknya jika koefisien korelasi relatif rendah maka diduga model tidak mengandung multikolinieritas.

b. Uji Heteroskedastisitas

Uji Heteroskedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan deviasi standar nilai variabel dependen pada setiap variabel independen. Salah satu asumsi penting OLS adalah varian dari dari residual adalah konstan. Namun dalam kenyataannya seringkali varian residual adalah tidak konstan atau disebut dengan heteroskedastisitas. Heteroskedastisitas biasanya terdapat pada data cross section. Sementara itu data time series jarang mengandung unsur homoskedastisitas, dikarenakan ketika menganalisis perilaku data yang sama dari waktu ke waktu fluktuasinya akan relatif lebih stabil (Widarjono, 2005:146).

Untuk mendeteksi ada tidaknya heteroskedastisitas, dapat dilakukan dengan berbagai uji, seperti metode grafik, uji arch, uji glester, uji korelasi spearman, uji goldfeld-quandt, uji bruesch pagan godfrey, dan uji white. Untuk mendeteksi ada atau tidaknya heteroskedastisitas dalam model, peneliti menggunakan uji white.

c. Uji Autokorelasi

Autokorelasi (autocorrelation) adalah hubungan antara residual satu observasi dengan residual observasi lainya. Autokolerasi lebih

mudah timbul pada data yang bersifat runtun waktu (time series), karena berdasarkan sifatnya, data masa sekarang dipengaruhi oleh data pada masa-masa sebelumnya. Meskipun demikian, tetap dimungkinkan autokorelasi dijumpai pada data yang bersifat antar objek (cross section) (Winarno,2015:5.29).

Uji Autokorelasi bertujuan menguji apakah dalam model regresi linier ada korelasi antara kesalahan penganggu pada periode t dengan kesalahan penganggupada periode t-1 (sebelumnya). Jika terjadi korelasi, maka dinamakan ada problem autokorelasi. autokorelasi muncul karena observasi yang berurutan sepanjang waktu berkaitan satu sama lainnya. Masalah ini timbul karena residual (kesalahan penganggu) tidak bebas dari satu observasi ke observasi lainnya. Model regresi yang baik adalah model regresi yang bebas dari autokorelasi. Untuk mendeteksi ada atau tidaknya autokorelasi salah satunya dengan menggunakan uji Breusch Godfrey (Uji BG) atau Uji Lagrange-Multiplier (Uji LM). Uji ini adalah adanya autokorelasi tingkat pertama dalam variabel pengganggu. Caranya yaitu dengan melihat besarnya probabilitas yang diukur dengan signifikan level sebesar 5 % (a = 5 %). Apabila lebih besar dari 5 %, maka data tersebut tidak signifikan dan tidak terdapat autokorelasi.

Error Correction Model (ECM) dikenalkan oleh Sargan, dikembangkan oleh Hendry dan dipopulerkan oleh Engle Granger (Winarno,2015:11.9). ECM merupakan model linier dinamis dalam ekonometri yang digunakan untuk menjelaskan hubungan antar variabel dependen dan independen serta untuk melihat keseimbangan jangka panjang dan jangka pendek antar variabel independen terhadap variabel dependen. ECM ini digunakan untuk menganalisis data berdasarkan runtun waktu (time series). Untuk menganalisis adanya hubungan jangka pendek antar variabel, dimasukkan variabel ECT (Error Correction Term) yang merupakan residual yang diperoleh dari regresi OLS (Ordinary Leasr Square) jangka panjang, Untuk menyatakan apakah model ECM yang digunakan sahih atau tidak maka koefisien Error Correction Term (ECT) harus signifikan. Jika koefisien ini tidak signifikan maka model tidak cocok dan perlu dilakukan perubahan spesifikasi lebih lanjut. (Insukindro, 1993:12-16).

Model ECM yang digunakan dalam penelitian ini telah terbebas dari ketidak stasioneritasan model melalui uji stasioneritas, uji derajat integrasi, uji kointegrasi dan uji asumsi klasik, sehingga model ECM yang digunakan sudah layak untuk dipakai dan di analisis. Proses menuju model ECM yang layak digunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui hubungan jangka pendek dan jangka panjangnya, yaitu sebagai berikut, model ekonometrik. Berikut merupakan model ECM yang digunakan dalam penelitian ini :

NPF = β0 + β1 GDP+ β2 INF+ β3 MM_MPLS + β4 RM_FM + β5 TBH+ ECT

Berdasarkan pada model di atas, maka Model ECM pada penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :

DNPF = β0 + β1 D(GDP)t + β2 D(INF)t + β3 D(MM_MPLS)t + β4

D(RM_FM)t+ β5 ECT(-1)

Dimana :

NPF = Rasio Non Performing Financing GDP = Gross Domestik Product

INF = Inflasi

MM_MPLS = Margin murabahah terhadap profit loss sharing mudharabah

RM_FM = Pembiayaan murabahah terhadap pembiayaan mudharabah

TBH = Tingkat bagi hasil

ECT = Resid (-1)

β 1, β 2, β 3, β 4 = Koefisien regresi ECM jangka pendek

β 5 = Koefisien ECT

6. Uji F

Uji F digunakan untuk mengetahui pengaruh semua variabel independen yang dimasukan dalam model regresi secara bersama-sama

terhadap variabel dependen yang diuji pada tingkat signifikan 0.05. Jika nilai signifikan < 0.05 maka H0 ditolak dan Ha diterima, sebaliknya jika

signifikan > 0.05 maka H0 diterima dan Ha ditolak (Ghozali, 2006: 84).

7. Uji t

Uji statistik t digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh masing-masing variabel independen secara individual terhadap variabel dependen yang diuji pada tingkat signifikan 0.05, jika nilai probability t lebih besar dari 0.05 maka ada pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen (Ghozali, 2006:84).

8. Uji Koefisien Determinasi (R2)

Koefisien determinasi digunakan untuk membuat presentase variasi variabel independen terhadap variabel dependen serta seberapa besar pengaruh dari faktor lain yang tidak dimasukkan ke dalam penelitian. Jika nilai koefisien determinasi adalah 1 berarti kuatnya kemampuan fluktuasi variabel dependen, sebaliknya jika nilainya mendekati angka 0, maka semakin rendah kemampuan fluktuasi variabel dependen (Ghozali, 2006:83). Nilai R2 makin mendekati 0 maka pengaruh semua variabel

independen terhadap variabel dependen makin kecil dan sebaliknya nilai R2 makin mendekati 1 maka pengaruh semua variabel independen terhadap variabel dependen makin besar.

Koefisien determinasi memiliki kelemahan, yaitu bias terhadap jumlah variabel bebas dan jumlah pengamatan dalam model akan

meningkatkan R2 meskipun variabel yang dimasukkan tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel terikatnya.

Untuk mengurangi kelemahan tersebut maka digunakan koefisien determinasi yang telah disesuaikan, Adjusted R Square. Bertambahnya variabel-variabel independen akan semakin memperkecil Adjusted R Square. Nilai Adjusted R Square masih bisa bertambah apabila nilai t absolut variabel yang ditambahkan lebih besar dari 1. Semkin besar Adjusted R Square semakin baik pula model yang digunakan (Winarno, 2015:4.23).

Dokumen terkait