INDIKASI MORAL HAZARD DAN ADVERSE SELECTION
DALAM PENYALURAN DANA PIHAK KETIGA
(Studi Kasus : Bank Syariah Periode Januari 2012 – Februari 2016)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Untuk Memenuhi Syarat-syarat Meraih Gelar Sarjana Ekonomi
Oleh : Nur Anisha NIM : 1113081000123
JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
INDIKASI MORAL HAZARD DAN ADVERSE SELECTION
DALAM PENYALURAN DANA PIHAK KETIGA
(Studi Kasus : Bank Syariah Periode Januari 2012 – Februari 2016)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Untuk Memenuhi Syarat-syarat Meraih Gelar Sarjana Ekonomi
Oleh :
Nur Anisha NIM : 1113081000123
JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN KOMPREHENSIF
Hari ini tanggal 9 Agustus 2016 telah dilakukan Ujian Komprehensif atas Mahasiswa :
1. Nama : Nur Anisha 2. NIM : 1113081000123 3. Jurusan : Manajemen/ MIPS
4. Judul Skripsi : Indikasi Moral Hazard dan Adverse Selection dalam Penyaluran Dana Pihak Ketiga (Studi Kasus : Bank Syariah Periode Januari 2012 – Februari 2016)
Setelah mencermati dan memperhatikan penampilan dan kemampuan yang bersangkutan selama proses ujian komprehensif, maka diputuskan bahwa mahasiswa tersebut di atas dinyatakan LULUS dan diberi kesempatan untuk melaksanakan ke tahap Ujian Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Jurusan Manajemen pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI
Hari ini tanggal 23 September 2016 telah dilakukan Ujian Skripsi atas
Mahasiswa :
5. Nama : Nur Anisha 6. NIM : 1113081000123 7. Jurusan : Manajemen/ MIPS
8. Judul Skripsi : Indikasi Moral Hazard dan Adverse Selection dalam Penyaluran Dana Pihak Ketiga (Studi Kasus : Bank Syariah Periode Januari 2012 – Februari 2016)
Setelah mencermati dan memperhatikan penampilan dan kemampuan yang bersangkutan selama proses ujian skripsi, maka diputuskan bahwa mahasiswa tersebut di atas dinyatakan LULUS dan skripsi ini diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Nur Anisha
NIM : 1113081000123
Fakultas : Ekonomi dan Bisnis Jurusan : Manajemen/ MIPS
Dengan ini menyatakan bahwa :
1. Tidak menggunakan ide orang lain tanpa mampu mengembangkan dan mempertanggungjawabkan.
2. Tidak melakukan plagiat naskah orang lain.
3. Tidak menggunakan karya orang lain tanpa menyebutkan sumber asli atau tanpa izin pemilik karya.
4. Tidak melakukan pemanipulasian dan pemalsuan data.
5. Mengerjakan sendiri karya ini dan mampu bertanggung jawab atas karya ini.
Apabila dikemudian hari ada tuntutan dari pihak lain atas karya saya, dan telah melakukan pembuktian yang dapat dipertanggungjawabkan, ternyata memang ditemukan bukti bahwa saya telah melanggar pernyataan di atas, maka saya siap untuk dikenai sanksi berdasarkan aturan yang berlaku di Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Demikan Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.
Yang Menyatakan
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Identitas Pribadi
Nama : Nur Anisha
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 03 Oktober 1994
Alamat Rumah : Jl. Kartika RT.017/04 No. 46 Kelurahan
Meruya Utara, Kecamatan Kembangan, Kota Jakarta Barat, Provinsi DKI Jakarta.
Ayah : Jamin
Ibu : Anah
Telepon : 089 7018 9929
Email : Nuranishaa99@gmail.com
Pendidikan Formal
2000 – 2006 MI. Yapiri
2006 – 2009 MTs Darunnajah Ulujami 2009 – 2012 MA Darunnajah Ulujami
2012 – 2014 Program Profesional TI Perbankan Syariah CCIT Fakultas Teknik Universitas Indonesia. 2013 – 2016 Program Sarjana S1 Manajemen
FEB UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pendidikan Non Formal
Pelatihan Sharia Banking 2015
Pengalaman Organisasi
ABSTRACT
This research aimed to indicate whether the moral hazard and adverse selection problems in the distribution of third party funds (mudharabah financing) are distributed by Islamic Banks as well as to analyze the cause of moral hazard and adverse selection and risk mitigation to overcome these problems. Moral hazard is identified from the causes of non performing financing (NPF), which is seen from the variables Gross Domestic Product (GDP), inflation, the ratio of return (margin) murabahah (MM) to return profit loss sharing mudharabah (MPLS), and the ratio of murabahah financing (RM) to mudharabah financing (FM), while adverse selection is identified from the causes of non performing financing (NPF) which is seen from the variable level of revenue sharing (TBH). The data used comes from islamic banking statistics published by the financial services authority (FSA) in the period January 2012 to February 2016. The result of the research by the Error Correction Model (ECM) shows the short term increase GDP and TBH affect the NPF, whereas in the long term increase GDP, the ratio of margin murabahah (MM) to return profit loss sharing mudharabah (MPLS), and the ratio of murabahah financing (RM) to mudharabah financing (FM), TBH, and deflation increase the NPF. Increasing NPF caused by rising GDP, the ratio of margin murabahah (MM) to return profit loss sharing mudharabah (MPLS), and deflation indicate the moral hazard in islamic banks, while increasing NPF caused by rising TBH indicate the adverse selection in islamic banks. The moral hazard and adverse selection demonstrates that bank both less careful in financing and less incentive in monitoring and screaning process.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah terdapat indikasi moral hazard dan adverse selection dalam penyaluran dana pihak ketiga (dalam bentuk pembiayaan mudharabah) yang disalurkan oleh bank syariah serta menganalisis penyebab terjadinya moral hazard dan adverse selection dan mitigasi risiko yang dilakukan bank syariah dalam mengatasi masalah tersebut. Moral hazard diidentifikasi dari penyebab terjadinya non performing financing (NPF), yang dilihat dari variabel Gross Domestic product (GDP), inflasi, rasio return (margin) murabahah (MM) terhadap return profit loss sharing mudharabah (MPLS), dan rasio alokasi pembiayaan murabahah (RM) terhadap pembiayaan mudharabah (FM), sedangkan adverse selection diidentifikasi dari penyebab terjadinya non performing financing (NPF) yang dilihat dari variabel tingkat bagi hasil (TBH). Data yang digunakan bersumber dari statistik perbankan syariah yang dipublikasikan oleh Otoritas jasa keuangan (OJK) pada periode Januari 2012 sampai Februari 2016. Hasil penelitian dengan metode Error Correction Model (ECM) menunjukkan dalam jangka pendek peningkatan GDP dan TBH akan mempengaruhi NPF, sedangkan dalam jangka panjang peningkatan GDP, rasio margin murabahah terhadap margin profit loss sharing mudharabah, TBH dan penurunan inflasi akan meningkatkan NPF. NPF meningkat yang disebabkan oleh meningkatnya GDP, rasio return (margin) murabahah (MM) terhadap return profit loss sharing mudharabah (MPLS), dan menurunnya inflasi mengindikasikan adanya moral hazard di bank syariah. Sedangkan meningkatnya NPF yang disebabkan oleh meningkatnya TBH mengindikasikan adanya adverse selection di bank syariah. Indikasi moral hazard dan adverse selection menunjukkan bank kurang hati-hati dalam menyeleksi dan menyalurkan pembiayaan atau bank kurang melakukan monitoring maupun screening.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur hanya bagi Allah yang telah menciptakan kita dalam keadaan mencintai agamanya dan berpegang pada syariat-Nya. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad yang telah berjihad untuk menyiarkan ajaran-ajaran Islam yang agung dalam akhlak beliau yang mulia, dan semoga kesejahteraaan dan rahmat senantiasa juga tercurah untuk keluarganya dan para sahabatnya terkasih yang senantiasa mengikuti petunjuknya, sehingga mereka beruntung dengan mendapat ridha dan pahala dari sisi Allah.
Terselesaikannya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada :
1. Kedua orang tua saya, Bapak Jamin dan Ibu Anah yang selalu memberikan dukungan baik moril maupun materil, memberikan kasih sayang, cinta, dan selalu mendoakan dengan penuh rasa ikhlas. Kalian adalah motivasi terkuat bagi penulis untuk bisa segera menyelesaikan skripsi ini.
2. My Brothers, Rizky Ramadhan dan Faizal Syarif yang selalu memberi motivasi kepada penulis untuk menjadi kakak baik, semoga kita akan menjadi anak yang selalu bisa menjadi kebanggan bapak dan mama.
3. Bapak Dr. M. Arif Mufraini, Lc., MA selaku Dekan FEB, Bapak Dr. Amilin, SE.Ak., M.Si selaku Wadek I FEB, Bapak Dr. Ade Sofyan Mulazid, MH selaku Wadek II FEB, dan Bapak Dr. Desmadi Saharuddin, Lc., MA selaku Wadek III FEB, yang telah memberikan jalan bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak Prof. Dr. Ahmad Rodoni. sebagai Dosen Pembimbing Skripsi yang telah meluangkan waktunya di tengah kesibukan untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyusun skripsi ini serta motivasinya yang begitu besar pada penulis.
6. Ibu Ela Patriana, MM. selaku Sekretaris Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 7. Bapak Rahmatullah, M.Ag. selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah
mengarahkan dan memotivasi selama penulis menuntut ilmu di kampus ini. 8. Seluruh Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, terima kasih atas curahan ilmu
yang Bapak dan Ibu berikan kepada penulis.
9. Seluruh Staf Tata Usaha dan karyawan Fakultas Ekonomi dan Bisnis, atas kerja kerasnya melayani mahasiswa dengan baik, membantu dalam mengurus kebutuhan administrasi, keuangan dan lain-lainnya.
10. Sahabat terbaikku Azka Amany yang telah membantu, memotivasi, dan menghibur penulis dari awal perkuliahan, hingga penulis menyelesaikan skripsi ini.
11. Teman seperjuanganku selama di CCIT FTUI dan MIPS, terimakasih atas dukungan dan motivasi kalian. Semoga Allah SWT selalu memudahkan langkah kalian untuk menuju cita-cita dan tujuan.
12. Sahabat-sahabatku yaitu Amanda Febriana, Lailatul jannah, Najwa Fithrati,
Siti Sarah Anggraeni, Khritmadanty Angelita, Ayu Indah Wati, Citra Mi’rajul
Ummah, Ayu Setia Mauliddini, Dwi Ratnasari, Dedeh Rahmawati, Shofwatun Niswah, Annisa Nasharuddin, Dika Nurmalita Sari, Eliza Nur, Meruni Sani Putri, Teddy Azhari, Afief Amrullah, Chanasya Bayu Ananda, dan Razi Nur Arif yang selalu mendukung, mendoakanku, memotivasi, dan menghibur selama proses menyelesaikan skripsi ini.
13. Keluarga besar Komda FEB yang telah memberikan pengalaman dan pelajaran yang beigitu berharga selama masa perkuliahan yang menjadikan penulis lebih baik lagi dari waktu-ke waktu. Semoga kekeluargaan kita tetap terjaga.
15. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah ikut berkontribusi dalam penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini masih memiliki banyak kekurangan. Dengan segenap kerendahan hati penulis mengharapkan saran, arahan maupun kritikan yang konstruktif demi penyempurnaan hasil penelitian ini. Skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak, baik dunia perbankan, dunia akademisi, para pembaca serta bagi penulis sendiri sebagai proses pengembangan diri.
Jakarta, 05 September 2016 Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN KOMPREHENSIF ... ii
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI ... Error! Bookmark not defined. LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH ... iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi
ABSTRACT ... vii
1. Identifikasi Masalah ... 10
2. Batasan Masalah ... 11
3. Rumusan Masalah ... 11
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 14
A. Landasan Teori ... 14
1. Moral Hazard ... 14
2. Adverse Selection ... 17
3. Pembiayaan Mudharabah ... 20
4. Masalah Keagenan dalam Pembiayaan Mudharabah ... 21
5. Penyebab Konflik Keagenan ... 25
6. Identifikasi Risiko Bank Syariah ... 26
7. Non Performing Financing ... 28
8. Faktor-Faktor Penyebab Pembiayaan Bermasalah ... 30
10. Inflasi ... 34
11. Tingkat Bagi Hasil ... 37
B. Keterkaitan Antar Variabel ... 39
C. Penelitian Terdahulu ... 42
D. Kerangka Pemikiran ... 47
E. Hipotesis ... 52
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 54
A. Ruang Lingkup Penelitian ... 54
B. Metode Penentuan Sampel ... 54
C. Metode Pengumpulan Data ... 55
D. Metode Analisis Data ... 56
E. Operasional Variabel ... 70
BAB IV PEMBAHASAN ... 74
A. Gambaran Umum Objek Penelitian ... 74
1. Bank Syariah ... 74
2. Perkembangan Non Performing Financing (NPF) ... 76
3. Perkembangan Gross Domestic Product (GDP) ... 78
4. Perkembangan Inflasi ... 79
B. Analisis dan Pembahasan ... 80
1. Uji Normalitas ... 81
2. Uji Linieritas ... 82
3. Uji Stasioner ... 82
5. Uji Asumsi Klasik ... 87
6. Regresi Metode Error Correction Model (ECM) ... 91
7. Uji simultan (Uji F) ... 96
8. Uji Secara individual (Uji t) ... 96
9. Uji Adjusted R Square ... 101
C. Interpretasi Data ... 102
1. Jumlah GDP dan Tingkat NPF ... 102
4. Jumlah RM/FM dan Tingkat NPF ... 109
5. Jumlah TBH dan Tingkat NPF ... 112
BAB V PENUTUP ... 119
A. Kesimpulan ... 119
B. Implikasi ... 121
DAFTAR PUSTAKA ... 123
DAFTAR TABEL
No. Keterangan Halaman
Tabel 2.1: Kategori NPF ... 29
Tabel 2.2: Penelitian Terdahulu ... 42
Tabel 4.1: Uji Akar Unit nilai Phillips-Perron test pada Tingkat Level ... 83
Tabel 4.2: Uji Akar Unit Phillips-Perron test pada First Difference... 84
Tabel 4.3: Hasil Uji t ... 97
DAFTAR GAMBAR
No. Keterangan Halaman
Gambar 1.1: Perkembangan NPF ... 5
Gambar 1.2: Perkembangan Inflasi ... 7
Gambar 1.3: Perkembangan GDP ... 8
Gambar 2.1: Pengukuran Moral Hazard dan Adverse Selection ... 50
Gambar 2.2: Kerangka Pemikiran ... 51
Gambar 4.1: Perkembangan Jaringan Perbankan Syariah ... 75
Gambar 4.2: Perkembangan Pembiayaan yang Diberikan Bank Syariah ... 76
Gambar 4.3: Pertumbuhan NPF ... 77
Gambar 4.4: Perkembangan Gross Domestic Product ... 78
Gambar 4.5: Perkembangan Inflasi ... 79
Gambar 4.6: Uji Normalitas ... 81
Gambar 4.7: Uji Linearitas ... 82
Gambar 4.8: Uji Johansen Kointegrasi ... 86
Gambar 4.9: Uji Multikolinieritas ... 88
Gambar 4.10: Uji Autokorelasi ... 89
Gambar 4.11: Uji Autokorelasi dengan WLS ... 89
Gambar 4.12: Uji Heteroskedastisitas ... 90
Gambar 4.13: Hasil Analisis Jangka Panjang ... 92
DAFTAR LAMPIRAN
No. Keterangan Halaman
Lampiran 1 : Data Penelitian Januari 2012-Februari 2015 ... 127
Lampiran 2 : Uji Normalitas ... 128
Lampiran 3 : Uji Linearitas ... 128
Lampiran 4 : Uji Stasioner Variabel NPF ... 129
Lampiran 5 : Uji Stasioner Variabel GDP ... 130
Lampiran 6 : Uji Stasioner Variabel Inflasi ... 131
Lampiran 7 : Uji Stasioner Variabel MM/MPLS ... 132
Lampiran 8 : Uji Stasioner Variabel RM/FM ... 132
Lampiran 9 : Uji Stasioner Variabel TBH ... 133
Lampiran 10 : Uji Derajat Integrasi Variabel NPF ... 134
Lampiran 11 : Uji Derajat Integrasi Variabel GDP ... 135
Lampiran 12 : Uji Derajat Integrasi Variabel Inflasi ... 136
Lampiran 13 : Uji Derajat Integrasi Variabel MM/MPLS ... 136
Lampiran 14 : Uji Derajat Integrasi Variabel RM/FM ... 137
Lampiran 15 : Uji Derajat Integrasi Variabel TBH ... 138
Lampiran 16 : Uji Kointegrasi Johansen Test ... 139
Lampiran 17 : Uji Asumsi Klasik ... 139
Lampiran 18 : Hasil Analisis Jangka Panjang... 142
Lampiran 19 : Hasil Uji ECT ... 142
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Goldstein Morris (1998) mengungkapkan istilah moral hazard kembali
populer sejak terjadinya krisis keuangan di Asia. Krisis keuangan tersebut
dipicu dari pemberian kredit yang kurang berhati-hati dalam memberikan
pinjaman. Sejalan dengan itu back up yang disediakan bank sentral membuat
bank semakin berani mengambil risiko dalam memberikan pinjaman.
Back up yang disediakan bank sentral merupakan solusi dari turunnya
tingkat kepercayaan masyarakat karena terdapat beberapa bank yang
dilikuidasi akibat krisis moneter yang menghantam Indonesia pada tahun
1998. Dalam pelaksaannya back up tersebut memang dapat menumbuhkan
kembali kepercayaan masyarakat terhadap bank, tetapi ruang lingkup yang
terlalu luas menyebabkan timbulnya moral hazard.
Moral hazard dalam dunia perbankan setidaknya dibedakan atas dua
tingkatan, yaitu moral hazard pada tingkat bank dan pada tingkat nasabah.
Moral hazard pada tingkat bank yaitu moral hazard dalam penyaluran dana
pihak ketiga yaitu risky lending behavior yang menyebabkan timbulnya
moral hazard dan adverse selection ditingkat nasabah, mengacu dari Vaubel
(1983) dalam Dreher (2004) yang menyebutkan bahwa tindakan tersebut
termasuk dalam moral hazard tidak langsung. Sedangkan moral hazard
dari pemerintah atau keberadaan lembaga penjamin simpanan dalam hal ini
dikategorikan sebagai moral hazard langsung.
Moral hazard terjadi akibat persoalan regulasi dan
perundang-undangan yang lemah, aspek penjaminan simpanan dan aspek penjaminan
kredit. Moral hazard sangatlah mengancam kemajuan usaha dan organisasi,
selain itu secara perlahan-lahan dapat menghilangkan responsibility dan
akuntabilitas dalam suatu perusahaan, dampaknya produktivitas dan kinerja
akan turun dan menjadikan perusahaan tidak memiliki daya saing. Beberapa
pendapat ekonom mengatakan bahwa salah satu diantara penyebab krisis
ekonomi di berbagai negara adalah karena adanya tindakan moral hazard dari
pemilik perbankan maupun pemilik kapital. Krisis ekonomi yang terjadi di
tahun 1998 dan krisis global tahun 2008 salah satu penyebabnya adalah
karena tindakan moral hazard (Ibrahim Taswan dan Ragimun, 2011:7)
Salah satu tindakan moral hazard yaitu ketidakhati-hatian bank dalam
menyalurkan pembiayaan, yang dimana ketidakhati-hatian tersebut dapat
menimbulkan kredit macet. Dani Prabowo (2014) mengatakan adanya kasus
kredit macet pada Bank Bukopin senilai Rp 76 miliar akibat fasilitas kredit
yang disalurkan itu tidak digunakan sebagaimana mestinya. Kemudian kasus
kredit macet sebesar Rp 2,7 triliun di Bank Mandiri, dan masuknya Bank
Persyarikatan dalam kategori bank dalam pengawasan khusus dalam sudut
pandang moral hazard. Hal tersebut menunjukkan kurangnya kehati-hatian
dan monitoring yang dilakukan oleh pihak bank sehingga nasabah melakukan
Muhammad Imanuddin (2010) menyebutkan bahwa selain moral
hazard juga terdapat adverse selection, yang dimana adanya ketidak
seimbangan informasi yang dilakukan oleh salah satu pihak, yang
menyebabkan pihak lain tidak mengetahui kondisi yang sebenarnya terhadap
suatu usaha. Sehingga pilihan yang ditetapkan hanya menguntungkan satu
pihak saja, dan merugikan pihak yang lain.
Menurut Anwar Nasution (2003) dalam tulisannya berjudul
Masalah-masalah Sistem Keuangan dan Perbankan Indonesia. Adverse Selection
merupakan salah satu bentuk asimetri informasi yang terjadi sebelum
transaksi keuangan dilakukan karena peminjam dengan kualitas rendah
(memiliki risiko kredit tinggi) biasanya akan mencari pinjaman dengan bunga
tinggi. Dari masalah adverse selection inilah sebagian besar dari pinjaman
biasanya merupakan kredit bermasalah. Asimetri informasi ini juga
menggambarkan dampak lanjutan dari krisis finansial pada perekonomian
misalnya dalam kondisi suku bunga naik, mungkin berakibat pada adverse
selection sehingga mengakibatkan penurunan penawaran kredit oleh bank.
Demikian pula kondisi penurunan nilai agunan yang menyebabkan timbulnya
debitur dengan net worth yang rendah.
Bank atau pemilik modal dikatakan mengalami masalah adverse
selection apabila dalam penyaluran kredit, bank tidak memiliki kemampuan
dan pengetahuan untuk membedakan beberapa projek investasi berdasarkan
risiko yang dihadapi. Dari masalah adverse selection inilah sebagian besar
dapat terjadi apabila suku bunga pasar meningkat, terkadang peminjam
sengaja menyembunyikan informasi yang sebenarnya menyangkut kondisi
keuangan serta resiko investasi untuk mendapatkan pinjaman baru setelah
kenaikan bunga.
Perbankan Syariah IB (2009) mengungkapkan bahwa berkembangnya
moral hazard di perbankan konvensional tidak terlepas dari sistem
operasionalnya dimana resiko tidak terdistribusi secara proporsional pada
pihak-pihak terkait. Resiko tidak tersebar secara merata antara pemilik dana,
pengguna dana, serta pihak bank. Dalam pendistribusian resiko, Perbankan
berbasis syariah dirasa mampu menjadi jalan keluar dari permasalahan kridit
macet, karena menggunakan prinsip bagi hasil dalam menjalankan kegiatan
operasionalnya. Bank syariah juga menjalankan kegiatan operasinya dengan
sistem transparansi dan kemitraan antara bank dan nasabah serta prinsip
keadilan yang diharapkan mampu menjadikan perekonomian Indonesia
menjadi lebih baik. Perbankan syariah menggunakan profit and loss sharing
(PLS) sebagai pengganti bunga. Secara teori keberadaan sistem profit and
loss sharing berimplikasi kepada risiko serta peluang moral hazard di
perbankan sebab risiko menjadi tanggungan kedua pihak. Bank syariah dan
nasabah dipaksa untuk menyusun suatu desain kontrak yang optimal bagi
kedua belah pihak, sebab keduanya akan berbagi risiko maupun hasil.
Bank syariah menawarkan imbalan kepada masyarakat pemilik dana
dengan sistem bagi hasil yang ditentukan pada awal perjanjian. Hal inilah
syariah. Peningkatan jumlah dana pihak ketiga pada bank, mendorong pihak
bank untuk menyalurkan dana tersebut kepada calon debitur dengan harapan
mendapat bagi hasil dari penyaluran pembiayaan tersebut. Seiring dengan
perkembangan kegiatan perbankan diiringi pula peningkatan penyelewengan
yang terjadi yang merupakan dampak dari tindakan lalai yang mengabaikan
prinsip kehati-hatian.
Mulya E. Siregar (2015) mengatakan bahwa hingga akhir 2015
perkembangan bisnis perbankan syariah mengalami penurunan yang drastis,
pertumbuhan aset yang sempat mencapai 49 persen pada tahun 2013 tidak
dapat terulang lagi. Pada tahun 2015 pertumbuhan bank syariah hanya
mencapai 7,98 persen pada juli 2015. Turunnya pertumbuhan perbankan
syariah tidak hanya terjadi dari sisi aset, namun juga pada pembiayaan dan
dana pihak ketiga (DPK). Pertumbuhan yang melambat ini diperparah pula
oleh meningkatnya rasio pembiayaan bermasalah (non performing
financing/NPF). Pertumbuhan NPF dapat dilihat dari gambar dibawah ini:
Gambar 1.1: Perkembangan NPF
Sumber : Statistik Perbankan Syariah (Data Diolah)
Pada gambar diatas menunjukkan bahwa kredit bermasalah pada bank
syariah cenderung meningkat setiap tahunnya, pada tahun 2012 kredit
2.22% 2.62%
4.33% 4.50%
0.00% 2.00% 4.00% 6.00%
2012 2013 2014 Jul-15
NPF
bermasalah sebesar 2,22% kemudian meningkat sebesar 2,62%. Lalu
peningkatan NPF melonjak pada tahun 2014 hingga sebesar 4,33%, hingga
pada bulan Juli 2015 NPF sebesar 4,50%.
Di sektor perbankan, perlu diadakan langkah-langkah memperkuat
manajemen risiko, seperti screening dan monitoring terhadap kredit-kredit
berisiko guna meminimalisir dampak negatif dari adverse selection dan moral
hazard dari kreditor serta menerapkan spesialisasi dalam bentuk pinjaman
sebagai salah satu upaya menyeleksi kelayakan suatu perusahaan atau
perorangan pada saat mengajukan pinjaman. Pembiayaan bermasalah dapat
dipicu oleh kondisi ekonomi makro suatu negara yang dapat memberikan
pengaruh bagi kelancaran suatu usaha. Di antaranya adalah Inflasi. Inflasi
merupakan salah satu variabel ekonomi makro yang digunakan untuk
mengukur kondisi perekonomian negara. Jika tingkat inflasi suatu negara
tinggi dapat berpengaruh terhadap perekonomian, baik dari segi pendapatan,
investasi, suku bunga, nilai tukar dan lain sebagainya.
Tingkat inflasi yang tinggi akan berakibat terhadap turunnya
kemampuan masyarakat untuk memenuhi segala kebutuhannya, dan pada
akhirnya akan mempengaruhi pendapatan yang diperoleh lembaga perbankan
yaitu dari tingkat pengembalian pinjaman atau pembiayaan dan akan
meningkatkan rasio dari pembiayaan bermasalah (non performing financing)
(Siti Jamiatun Nafiah, 2007: 4). Perkembangan inflasi dapat dilihat pada
Gambar 1.2: Perkembangan Inflasi
Sumber : Kebijakan Moneter Bank Indonesia (Data Diolah)
Berdasarkan gambar diatas bahwa dari akhir tahun 2012 hingga akhir
tahun 2013 inflasi mengalami peningkatan yang sangat tajam dari 4,30%
sampai 8,38%, kemudian diakhir tahun 2014 terjadi peningkatan sebesar
0,2% dari akhir tahun 2013 sehingga menjadi 8,36%, dan inflasi mengalami
penurunan pada Juli 2015 sebesar 7,26%. Kemudian selain inflasi terdapat
faktor faktor ekonomi makro yang dapat meningkatkan NPF yaitu gross
domestic product (GDP).
Gross domestic product (GDP). termasuk faktor yang mempengaruhi
kemampuan masyarakat dalam membayar kredit. Estimasi GDP akan
menentukan perkembangan perekonomian. GDP berasal dari jumlah barang
konsumsi yang bukan termasuk barang modal. Dengan meningkatnya jumlah
barang konsumsi menyebabkan perekonomian bertumbuh, dan meningkatkan
skala omset penjualan perusahaan, karena masyarakat yang bersifat
konsumtif dan menandakan bahwa kemampuan masyarakat dalam membayar
kredit juga akan meningkat. GDP di Indonesia setiap tahunnya mengalami
penurunan, berikut merupakan data GDP Indonesia:
Gambar 1.3: Perkembangan GDP
Sumber : Profil Ekonomi Kementrian Perdagangan RI (Data Diolah)
Dapat dilihat dari gambar diatas bahwa GDP mengalami penurunan
setiap tahunnya. Pada tahun 2012 GDP sebesar 6,03 %, kemudian menurun
pada tahun 2013 menjadi 5,56 %, dan terus menurun hingga pada tahun 2015
sebesar 4,79%. Hal tersebut menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia
sedang mengalami penurunan. Peningkatan inflasi serta penurunan GDP
membuat masyarakat sulit untuk memenuhi kewajibannya dalam membayar
kredit, terlebih lagi hal tersebut dapat mendukung debitur untuk melakukan
tindakan-tindakan yang tidak sesuai kontrak. Dalam hal ini pihak perbankan
harus berhati-hati dalam menyeleksi calon debitur yang akan diberikan
pembiayaan.
Siti Jamiatun Nafiah (2007) moral hazard dapat diindikasikan dari
melihat laju inflasi terhadap rasio NPF. Jika inflasi mengalami penurunan
maka diharapkan rasio NPF juga akan menurun, akan tetapi apabila tingkat
inflasi menurun dan rasio NPF meningkat berarti adanya ketidak hati-hatian
bank dalam menyalurkan Dana Pihak Ketiga (DPK) atau kurangnya
6.03
5.56
5.02 4.79
0 2 4 6 8
2012 2013 2014 2015
GDP
monitoring maupun screening dalam memilih calon debitur dari pihak bank
sehingga mengakibatkan naiknya rasio NPF.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mustofa Edwin dan Ranti
Wiliasih (2007) moral hazard dapat diindikasikan apabila NPF meningkat
pada saat GDP meningkat. Idealnya, ketika GDP meningkat maka terjadi
peningkatan transaksi ekonomi, dunia bisnis lebih menggeliat sehingga jika
pada kondisi tersebut NPF meningkat, mengindikasi bank kurang berhati-hati
atau kurang melakukan monitoring.
Penelitian terkait moral hazard juga dilakukan oleh Desty Setyowati
(2008) moral hazard dapat diindikasikan pada saat kondisi pasar real setate
yang direpresentasikan oleh perubahan harga rumah meningkat. Idealnya
ketika harga rumah meningkat maka permintaan untuk kredit rumah
menurun, jumah penyaluran kredit rumah juga akan menurun sehingga jika
pada kondisi tersebut NPF meningkat, mengindikasikan bank kurang
berhati-hati atau kurang monitoring.
Indikasi adverse selection dapat dilihat dari tingkat bagi hasil yang
ditetapkan oleh bank, apabila pada kondisi bagi hasil yang ditetapkan untuk
nasabah tinggi namun jumlah NPF meningkat maka hal tersebut terindikasi
adanya adverse selection. Karena idealnya pada saat bagi hasil yang
ditetapkan tinggi maka nasabah akan lebih mampu memenuhi kewajibannya
terhadap bank dan apabila dalam kondisi tersebut nasabah justru tidak dapat
membayar kewajibannya maka adanya ketidak seimbangan informasi yang
pada nasabah yang berkualitas buruk. Karena nasabah yang berkualitas buruk
akan menyampaikan kepada bank bahwa dirinya memiliki karakteristik yang
tinggi sehingga layak untuk mendapatkan bagi hasil yang tinggi pula. Hal ini
menunjukkan bahwa shahibul mal dapat menggunakan skema bagi hasil
untuk menyeleksi mudharib dan menekan permasalahan adverse selection
(Misnen Ardiansyah, 2014: 265).
Penelitian ini penulis menganalisis bagaimana ketidakhati-hatian pihak
bank dalam menyalurkan dana pihak ketiga berdampak pada terjadinya
pembiayaan bermasalah (Non Performing Financing). Selain itu
menganalisis bagaimana ketidak seimbangan informasi yang terjadi sebelum
akad disepakati akan berdampak pada terjadinya pembiayaan bermasalah
(Non Performing Financing). Penelitian ini juga menganalisis penyebab
terjadinya resiko moral hazard dan adverse selection pada pembiayaan
mudharabah serta cara memitigasi risiko tersebut.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk meneliti
“INDIKASI MORAL HAZARD DAN ADVERSE SELECTION
DALAM PENYALURAN DANA PIHAK KETIGA (Studi Kasus : Bank Syariah Periode Januari 2012 – Februari 2016)”
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, masalah-masalah dalam
a. Moral hazard dan adverse selection sebagai salah satu penyebab
meningkatnya non performing financing (NPF)pada bank.
b. Bank syariah dianggap mampu untuk mengurangi tingkat kredit
macet, karena bank syariah manerapkan sistem profit and loss
sharing. Akan tetapi bank syariah juga tidak dapat sepenuhnya
terhindar dari praktik moral hazard dan adverse selection.
c. Dibutuhkan identifikasi mengenai faktor-faktor yang mendorong
terjadinya moral hazard dan adverse selection bank syariah. Serta
melakukan mitigasi risiko untuk meminimalisir tindakan tersebut.
2. Batasan Masalah
Agar penelitian ini lebih terarah, terfokus dan tidak meluas, penulis
membatasi masalah dalam penulisan penelitian ini. Adapun batasan
masalah dalam penelitian ini adalah :
a. Rasio not performing financing dijadikan indikator untuk melihat
kemungkinan terjadinya moral hazard dan adverse selection
b. Hanya menggunakan GDP dan Inflasi sebagai faktor eksternal yang
menyebabkan not performing financing
c. Penelitian dilakukan dari laporan keuangan bank syariah yang
dipublikasikan oleh Otoritas Jasa keuangan (OJK)
3. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah :
a. Apakah terdapat indikasi moral hazard dan adverse selection dalam
b. Bagaimana faktor-faktor yang mendorong terjadinya moral hazard
dan adverse selection dalam pembiayaan mudharabah pada bank
syariah?
c. Bagaimana mitigasi risiko yang dilakukan oleh bank syariah untuk
meminimalisir tindakan moral hazard dan adverse selection?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini
adalah :
a. Menganalisis indikasi moral hazard dan adverse selection
dalam pembiayaan mudharabah pada bank syariah.
b. Menganalisis faktor-faktor yang mendorong terjadinya moral
hazard dan adverse selection dalam pembiayaan mudharabah
pada bank syariah.
c. Menganalisis mitigasi risiko yang dilakukan oleh bank syariah
untuk meminimalisir tindakan moral hazard dan adverse
selection
2. Manfaat Penelitian
Melalui penelitian ini diharapkan akan memperoleh manfaat antara
lain :
a. Bagi Penulis
Penelitian ini menjadi salah satu sarana bagi penulis yang dimana
tentang praktek manajemen perbankan syariah khususnya tentang
masalah yang berkaitan dengan moral hazard dan adverse selection
dalam penyaluran dana pihak ketiga.
b. Bagi Perbankan
Penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk membantu pihak
manajemen bank terhadap pemberian keputusan pembiayaan untuk
meminimalisir terjadinya risiko pembiayaan.
c. Bagi Akademisi
Penelitian ini akan menambah kepustakaan di bidang manajemen
perbankan syariah dan dapat dijadikan sebagai bahan bacaan untuk
menambah wawasan pengetahuan tentang moral hazard dan adverse
selection terhadap penyaluran dana pihak ketiga dan Penelitian ini dapat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori
1. Moral Hazard
Penggunaan istilah “moral hazard’’ pada awalnnya digunakan dalam
bidang asuransi. Dalam kamus Inggris maka "moral hazard" diterangkan
sebagai "the hazard arising from the uncertainty or honesty of the
insured". Sebagai contoh bila seorang pengusaha yang mengambil
asuransi resiko kebakaran untuk gudangnya. Ketika ia terjepit hutang dan
menjelang jatuh tempo maka kecenderungannya akan mengambil jalan
pintas dan melakukan ketidak jujuran, ia akan membakarnya sendiri
gudangnya untuk mendapatkan dana asuransi sebagai ganti ruginya.
Moral hazard terjadi karena seorang individu atau lembaga bertindak
yang tidak sesuai dengan apa yang terdapat didalam kontrak. Hal ini dipicu
dari tindakan ketidak hati-hatian dalam memberikan tanggung jawab
kepada pihak lain tersebut dan kurangnya pengawasan atau monitoring
dari instansi terkait serta kurang tegasnya terhadap pemberlakuan sanksi
bagi individu atau lembaga yang melakukan pelanggaran. Dalam hal ini
Bank Indonesia juga berperan dalam melakukan pengawasan dan
monitoring terhadap kebijakan-kebijakan yang terdapat dalam manajemen
bank.
Moral hazard dapat didefinisikan menjadi empat berdasarkan kondisi
kondisi monitoring disability (hidden action). Prinsipal tidak dapat
mengamati atau memonitor perilaku agen. Ketidak mampuan memonitor
tindakan secara konseptual menunjukkan ketidakpastian mengenai
hubungan antara tindakan agen dengan hasil untuk principal,
ketidaksamaan informasi antara kedua pihak, kebutuhan untuk melakukan
kesepakatan mengenai masalah insentif untuk agen, ketidakmampuan
membuat kontrak untuk menghilangkan masalah (tanpa kemampuan untuk
memonitor perilaku agen, kontrak yang dibuat tidak dapat dilaksanakan).
Prinsipal dan agen diasumsikan mempunyai potensi untuk konflik
kepentingan.
Kedua, moral hazard terjadi karena adanya undesirable behavior
production (perilaku yang tidak diinginkan) dipandang dari perspektif
prinsipal. Agen tidak cukup menjamin tindakannya akan menguntungkan
prinsipal atau bisa mengurangi kerugian yang mungkin terjadi. Moral
hazard diidentifikasi sebagai hasil dari perilaku agen yang berisiko.
Ketiga, moral hazard terjadi karena undesirable outcome (impact)
production. Moral hazard merupakan bentuk oportunisme pasca
kontraktual yang timbul karena tindakan yang mempunyai konsekuensi
efisiensi yang tidak dapat diobservasi secara bebas sehingga seseorang
bisa memenuhi kepentingan pribadinya atas biaya pihak lain. Keempat,
moral hazard sebagai bentuk dari morals disability. Moral hazard terjadi
karena kecenderungan perilaku-perilaku yang tidak bermoral seperti tidak
Moral hazard dalam dunia perbankan setidaknya dapat dibedakan atas
2 tingkatan. Pertama, moral hazard di tingkat bank dan yang kedua adalah
moral hazard di tingkat nasabah. Moral hazard ditingkat bank dapat
dibedakan, diantaranya yaitu:
a. Moral hazard dalam penyaluran dana pihak ketiga, yaitu risky lending
behavior yang menyebabkan timbulnya Moral hazard dan adverse
selection. Ditingkat nasabah yang disebut juga Moral hazard tidak
langsung (mengacu pada pengertian Moral hazard yang dikemukakan
oleh Vaubel (1983) dalam Dreher (2004).
b. Moral hazard ketidakhati-hatian bank dalam menyalurkan kredit
karena adanya penjaminan dari pemerintah atau keberadaan lembaga
penjamin simpanan dalam hal ini termasuk dalam Moral hazard
langsung (mengacu pada pengertian Moral hazard yang dikemukakan
oleh Vaubel (1983) dalam Dreher (2004)
c. Moral hazard pada saat penyaluran bank tidak mencerminkan bank
sebagai lembaga intermediasi atau tidak meyalurkan dana kepada
sektor riil (Desty Setyowati, 2008:14).
d. Moral hazard ketika bank memberikan cost of fund yang rendah dan
menerapkan tingkat yang tinggi, juga termasuk dalam katagori Moral
hazard dan lainnya. (Desty Setyowati, 2008:14).
Moral hazard pada bank terjadi ketika bank syariah sebagai mudharib
tidak berhati-hati dalam menyalurkan dana sehingga berpotensi
Moral hazard lainnya yaitu pada saat bank tidak membayarkan bagian
shahibul maal sebagaimana rasio yang telah ditetapkan di awal perjanjian,
atau ketidakpatuhan bank syariah terhadap prinsip-prinsip syariah juga
dapat dikategorikan dalam tindakan moral hazard. Sedangkan moral
hazard pada nasabah umumnya terjadi pada produk pembiayaan yang
berbasis pada equity financing (mudharabah dan musyarakah) atau biasa
dikenal dengan profit loss sharing. Akad mudharabah yang tidak
mensyaratkan jaminan dan juga memberikan hak penuh pada mudharib
untuk menjalankan usaha tanpa campur tangan shahibul maal dan
ditanggungnya kerugian oleh shahibul maal (kecuali kesalahan
manajemen) mengakibatkan akad pembiayaan ini sangat rentan terhadap
masalah moral hazard. Moral hazard pada sisi nasabah ini merupakan isu
global yang menyebabkan bank syariah lebih memilih dengan pembiayaan
dengan basis debt financing (murabahah, ishtisna, dan salam).
2. Adverse Selection
Adverse selection merupakan permasalahan asymmetric information
yang terjadi ex ante, yakni sebelum disalurkannya kredit/pembiayaan.
Adverse selection merupakan permasalahan yang timbul ketika pemilik
dana memilih entrepreneur yang akan diberikan kredit/pembiayaan
(Tarsidin, 2010:43). Hal ini dikarenakan pemilik dana/shahibul maal tidak
mengetahui dengan pasti karakteristik mudharib. Adverse selection dalam
besar membuahkan hasil yang tidak diinginkan (adverse) yaitu risiko
kredit yang buruk (Mishkin,2008:50).
Pada kontrak bagi hasil, jumlah profit tidak diperjanjikan dalam
kontrak. Skema bagi hasil ditetapkan dimuka dan akan tetap berlaku
berapa pun profit yang diperoleh mudharib dari usaha atau proyek yang
dijalankan. Dengan demikian, mudharib kurang termotivasi untuk
mencapai suatu jumlah profit tertentu. Hal ini menyebabkan mudharib
akan menyatakan bahwa dirinya memiliki karakteristik tinggi pada saat
mengajukan kredit atau pembiayaan dan memperoleh rasio bagi hasil yang
tinggi untuk dirinya (Tarsidin,2010: 45).
Pemilik dana atau shahibul maal akan menawarkan rasio bagi hasil
yang lebih tinggi kepada mudharib yang memiliki karakteristik tinggi.
Karena mudharib dengan karakteristik tinggi akan menghasilkan profit
yang besar yang berdampak pada tingginya pendapatan bagi hasil yang
akan diterima oleh pemillik dana/shahibul maal. Sedangkan untuk
mudharib dengan karakteristik rendah, hanya ditawarkan rasio bagi hasil
yang rendah juga baginya. Dengan demikian, skema bagi hasil yang
ditawarkan oleh pemilik dana/shahibul maal merupakan suatu alat seleksi.
Kemungkinan mudharib akan berusaha menyatakan pada bank atau
shahibul maal bahwa dirinya memiliki karakteristik tinggi sehingga
selayaknya memperoleh kredit atau pembiayaan dan rasio bagi hasil yang
selection, yakni bank atau shahibul maal salah memilih mudharib yang
berhak memperoleh kredit atau pembiayaan.
Untuk mengatasi permasalahan adverse selection, pihak bank atau
shahibul maal perlu mengetahui karakteristik mudharib. Melalui analisis
atas dokumen yang diajukan mudharib, shahibul maal bisa memperoleh
sebagian informasi yang diperlukan untuk menilai karakteristik mudharib.
Karakteristik mudharib tersebut dapat diketahui dengan tepat melalui
suatu verifikasi yang berbiaya relatif besar.
Pendekatan lainnya juga dapat dilakukan dengan tidak sepenuhnya
mengandalkan pada verifikasi. Shahibul maal dapat menawarkan suatu
skema bagi hasil yang lebih menguntungkan bagi mudharib apabila
mudharib menyatakan dengan benar karakteristiknya. Melalui skema bagi
hasil tersebut diharapkan adanya pengungkapan informasi privat yang
dimiliki oleh mudharib kepada shahibul maal. Skema bagi hasil tersebut
harus dapat membuat mudharib menyatakan dengan sebenarnya
karakteristiknya (Tarsidin,2010:46).
Mudharib akan dihadapkan pada risiko bahwa dirinya tidak
memperoleh kredit pembiayaan jika menyatakan dengan benar
karakteristiknya. Di samping itu, mudharib juga dihadapkan pada
kemungkinan bahwa dirinya memperoleh rasio bagi hasil yang lebih
rendah jika menyatakan dengan benar karakteristiknya. Dengan demikian,
pengungkapan informasi privat yang dimiliki oleh mudharib kepada
compatible (insentif yang diperoleh cukup). Mudharib yang bersedia
memperoleh pembiayaan dengan rasio bagi hasil yang rendah
mengindikasikan bahwa karakteristiknya rendah. Sedangkan mudharib
dengan karakteristik yang tinggi tidak akan menerima kontrak bagi hasil
yang menawarkan rasio bagi hasil yang rendah. Meskipun dengan rasio
bagi hasil yang rendah tersebut mudharib tetap dapat memperoleh level
utilitas tertentu yang diinginkannya, namun mudharib dengan katakterisik
tinggi tersebut memiliki banyak alternatif pembiayaan lainnya yang
menawarkan rasio bagi hasil yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan
bahwa shahibul maal dapat menggunakan skema bagi hasil untuk
menyeleksi mudharib dan menekan permasalahan adverse selection.
3. Pembiayaan Mudharabah
Menurut Fatwa DSN-MUI No: 07/DSNMUI/IV/2000, mudharabah
adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama
(shahibul maal) menyediakan 100% modal, sedangkan pihak lainnya
menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut
kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi
ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat dari
kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian tersebut diakibatkan karena
kecurangan atau kelalaian si pengelola, maka si pengelola harus
bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Mekanisme atau tatacara pemberian pembiayaan dimulai dari proses
ditindaklanjuti dengan permohonan tertulis. Dilanjutkan dengan
pengumpulan data dan investigasi untuk pembiayaan produktif, data yang
diperlukan adalah kemampuan nasabah dalam melunasi pembayaran
dengan cara melihat bisnis plannya dan rencana alternatif jika terjadi hal
yang tidak terduga, data obyek pembiayaan, data jaminan. Selanjutnya
dilakukan Analisa pembiayaan dengan berbagai metode salah satunya
dengan metode 5C yaitu capacity, character, capital, collateral dan
condition (Zulkifli, 2007:145)
4. Masalah Keagenan dalam Pembiayaan Mudharabah
Teori keagenan (agency theory) menjelaskan bahwa hubungan agensi
muncul ketika satu orang atau lebih (principal) mempekerjakan orang lain
(agent) untuk memberikan suatu jasa dan kemudian mendelegasikan
wewenang pengambilan keputusan kepada agent tersebut. (Jensen dan
Meckling,1976:5). Tiga asumsi sifat dasar manusia guna menjelaskan
tentang teori agensi yaitu: manusia pada umumnya mementingkan diri
sendiri (self interest), manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai
persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan manusia selalu
menghindari risiko (risk averse) (Eisenhardt,1989:58).
Adanya masalah keagenan memunculkan biaya agensi yang terdiri
dari (Jensen dan Meckling, 1976: 6) :
a. The monitoring expenditure by the principle, yaitu biaya pengawasan
yang dikeluarkan oleh prinsipal untuk mengawasi perilaku dari agen
b. The bounding expenditure by the agent (bounding cost), yaitu biaya
yang dikeluarkan oleh agen untuk menjamin bahwa agen tidak
bertindak yang merugikan prinsipal.
c. The residual loss, yaitu penurunan tingkat utilitas prinsipal maupun
agen karena adanya hubungan agensi
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, kontrak mudharabah yang
dijalankan oleh lembaga keuangan syariah (bank/BMT) merupakan suatu
kontrak yang mengandung peluang besar terjadinya imperfect information
bila salah satu pihak tidak jujur. Dengan kata lain kontrak mudharabah
sarat terjadinya imperfect information dalam hubungan antara principal
(shahibul maal) dengan agent (mudharib), maka muncullah masalah
asymmetric information. Asymmetric information adalah kondisi yang
menunjukkan sebagian investor mempunyai informasi dan yang lainnya
tidak memilikinya (Jogiyanto, 2000:369).
Masalah keagenan pada kontrak mudharabah berasal dari tiga sumber
(Algoud dan Lewis 2003:120). Pertama, tidak adanya syarat jaminan yang
akan memperburuk problem adverse selection. Menurut teori perbankan
Islam dana yang disediakan berdasarkan kontrak profit loss sharing
terutama akan mendorong para pengusaha baru yang tidak memiliki aset
apapun selain usaha (tenaga) dan keahlian mereka, tanpa jaminan
digolongkan memiliki resiko tinggi.
Kedua, kontrak mudharabah akan cenderung memunculkan moral
pengusaha untuk mengambil tindakan yang sesuai, selain itu juga tidak
membatasi aktivitas pengusaha dengan menentukan intensitas usahanya.
Ketiga, karena pengeluaran perusahaan seluruhnya ditanggung oleh
lembaga keuangan (bank/BMT).
Selanjutnya menurut Khalil dalam Manzilati (2011:285-286), secara
umum menunjukkan tiga masalah utama keagenan yang terkait dengan
kontrak mudharabah diantaranya: pertama, besarnya ketidakpastian
(uncertainty) maksudnya adalah kontrak bagi hasil merupakan kontrak
yang bisa dipastikan adanya ketidakpastian pendapatannya. Khususnya
pada lembaga keuangan (bank/BMT). Ketidak pastian ini berasal dari hasil
yang tergantung sepenuhnya pada keputusan investasi perusahaan yang
dibuat oleh agen. Lebih jauh agen tidak diawasi secara penuh oleh
principal (bank/BMT), sehingga memiliki sejumlah kebebasan dan bisa
berpeluang menimbulkan masalah, misalkan agen tidak transparan dalam
menyampaikan hasil yang diperoleh.
Masalah kedua, linieritas yang ekstrim (extreme linearity),
maksudnya adalah linier sharing antara hasil dengan kinerja dari proyek
yang dihasilkan, hasil akhir yang diharapkan tergantung sepenuhnya pada
kemampuan/keterampilan pengusaha (agent) dan tingkat usaha yang
dihasilkan. Masalah ketiga, adalah terkait dengan kekuatan untuk
menentukan pilihan/kebijakan (discretionary power). Kontrak
mudharabah juga merepresentasikan suatu kekuatan kebijakan semenjak
keputusan terkait dengan investasi dan distribusi aliran kas berikutnya. Hal
ini menimbulkan discration yang penuh atas aset pengusaha, sama seperti
yang dimiliki manajer pada proyek sendiri tanpa menghadapi resiko
kerugian secara keuangan. Berbeda dengan modal di dalamnya tidak ada
hak otomatis untuk membuat pengangkatan direktur dengan menggunakan
kekuatan voting, yang mengijinkan pemodal untuk mencampuri bila ada
kesalahan terkait dengan aktivitas operasional.
Pembiayaan mudharabah memiliki risiko masalah keagenan yang
relatif tinggi karena nasabah menggunakan dana bukan seperti yang tertera
dalam kontrak, kelalaian dan kesalahan yang disengaja, serta nasabah yang
tidak jujur akan menyembunyikan keuntungan (Multifiah, Asfi Manzilati,
dan Laili Hurriati, 2015: 55). Dalam upaya mengatasi atau mengurangi
masalah keagenan ada dua cara yang dapat dilakukan principal untuk
mengurangi risiko akibat tindakan agen yaitu pemilik modal melakukan
pengawasan (monitoring) dan agen sendiri melakukan pembatasan atas
tindakan-tindakannya (bonding), sehingga dapat mengurangi kesempatan
penyimpangan yang dilakukan oleh agen. (Jensen dan Mackling, 1976:5)
Monitoring merupakan simbol penting dalam interaksi pada kerja
sama mudharabah. Melalui monitoring shahibul maal mendapatkan
informasi yang benar apakah nasabah bisa dipercaya telah mengarahkan
segala kemampuan yang dimiliki untuk investasi tersebut, juga apakah
nasabah juga selalu menjaga amanah dengan bertindak jujur dalam
sehingga keuntungan menjadi kecil (Manzilati, 2011:289). Batasan yang
diterapkan untuk meminimalisir terjadinya masalah keagenan maka
lembaga keuangan syariah menerapkan batasan tertentu baik dalam jangka
waktu pembiayaan maupun jumlah pembiayaan.
5. Penyebab Konflik Keagenan
Pemilik harus mengendalikan konflik keagenan untuk menghindari
permasalahan yang mengganggu kemajuan perusahaan di masa
mendatang. Permasalahan keagenan ditelusuri dari beberapa kondisi,
seperti penggunaan arus kas bebas (free cash flow) pada aktifitas yang
tidak menguntungkan, peningkatan kekuasaan manajer dalam melakukan
over investment, dan consumption of excessive perquisites (Jensen, 1986).
Dalam hal ini yang dimaksud manajer atau agent adalah pengelola dana
atau mudharib sedangkan pemilik perusahaan atau principal adalah
shahibul maal.
Manajer berperan untuk memaksimalkan pemegang saham namun
manajer yang tidak signifikan dalam kepemilikan perusahaan
memungkinkan untuk melakukan berbagai hal yang bukan untuk
kepentingan pemegang saham (Duc Hong Vo dan Van Thanh-Yen
Nguyen, 2014: 274). Masalah keagenan antara pemegang saham dengan
manajer, potensial terjadi jika manajer memiliki kurang dari 100% saham
perusahaan. Karena tidak semua keuntungan akan dapat dinikmati oleh
manajer, maka mereka tidak berkonsentrasi pada maksimisasi
manajer oleh pemegang saham untuk mengelola perusahaan. Akan
memunculkan perbedaan kepentingan dan informasi yang tidak lengkap
(asymetry information) antara pemilik perusahaan (principal) dengan agen
(agent). Perbedaan sangat mungkin terjadi karena para agen tidak perlu
menanggung resiko sebagai akibat adanya kesalahan dalam pengambilan
keputusan bisnis, begitu pula jika mereka tidak dapat meningkatkan nilai
perusahaan. Resiko tersebut sepenuhnya ditanggung oleh principal.
Karena tidak menanggung resiko dan tidak mendapat tekanan dari pihak
lain dalam mengamankan investasi para principal, maka agen cenderung
membuat keputusan yang tidak optimal (Jensen dan Meckling, 1976:5)
Pembiayaan mudharabah rentan terhadap resiko kerugian karena 2
faktor yang pertama yaitu faktor internal yang berupa kurangnya SDM
yang ahli dalam penerapan pembiayaan syariah khususnya pada
pembiayaanmudharabah dan yang kedua faktor eksternal yang berupa
kondisi masyarakat yang tingkat kejujurannya dan keamanahannya belum
terjamin (Muhammad, 2008:2). Dalam pembiayaan mudharabah ini
dibutuhkannya keterbukaan antara kedua belah pihak mengenai untung
rugi suatu bisnis yang dijalankan, jika nasabah tidak menyampaikan secara
transparant tentang hasil yang diperoleh maka aktivitas tersebut
menimbulkan masalah keagenan yang berupa adverse seletion maupun
moral hazard.
Penerapan manajemen risiko pada perbankan syariah disesuaikan
dengan ukuran dan kompleksitas usaha serta kemampuan Bank. Bank
Indonesia menetapkan aturan manajemen risiko ini sebagai standar
minimal yang harus dipenuhi oleh BUS dan UUS sehingga perbankan
syariah dapat mengembangkannya sesuai dengan kebutuhan dan tantangan
yang dihadapi namun tetap dilakukan secara sehat, istiqomah, dan sesuai
dengan Prinsip Syariah.
Pada peraturan Bank Indonesia Nomor 13/23/PBI/2011 pasal 5,
bahwa termasuk dalam kelompok Risiko Kredit adalah Risiko konsentrasi
pembiayaan. Risiko konsentrasi pembiayaan merupakan Risiko yang
timbul akibat terkonsentrasinya penyediaan dana kepada 1 (satu) pihak
atau sekelompok pihak, industri, sektor, atau area geografis tertentu yang
berpotensi menimbulkan kerugian cukup besar yang dapat mengancam
kelangsungan usaha Bank.
Risiko ini timbul apabila Bank memberikan pembiayaan berbasis bagi
hasil kepada nasabah dimana bank ikut menanggung risiko atas kerugian
usaha nasabah yang dibiayai (profit and loss sharing). Dalam hal ini,
perhitungan bagi hasil tidak hanya didasarkan atas jumlah pendapatan atau
penjualan yang diperoleh nasabah namun dihitung dari keuntungan usaha
yang dihasilkan nasabah. Apabila usaha nasabah mengalami
kebangkrutan, maka jumlah pokok pembiayaan yang diberikan bank
kepada nasabah tidak akan diperoleh kembali. Masalah keagenan juga
perbedaan kepentingan antara mudharib dan shahibul maal sehingga
memungkinkan mudharib menyembunyikan keuntungan yang sebenarnya,
dan hal ini akan mengurangi keuntungan shahibul maal. Berdasarkan
masalah ini diperlukan suatu mekanisme dalam memotivasi mudharib
sehingga dapat mengalokasikan dananya pada bisnis yang tepat serta tidak
menyembunyikan keuntungan yaitu dengan monitoring terhadap usaha
yang dilakukan oleh mudharib, dan apabila shahibul maal terkonsentrasi
pada satu atau beberapa jenis usaha saja maka akan mempermudah kontrol
terhadap kebijakan yang diambil oleh mudharib.
7. Non Performing Financing
Sebagai indikator yang menunjukkan kerugian akibat risiko kredit
adalah tercermin dari besarnya non performing loan (NPL), dalam
terminologi bank syariah disebut non perfoming financing (NPF). Non
Performing Financing (NPF) adalah rasio antara pembiayaan yang
bermasalah dengan total pembiayaan yang disalurkan oleh bank syariah.
Berdasarkan kriteria yang sudah ditetapkan oleh Bank Indonesia kategori
yang termasuk dalam NPF adalah pembiayaan kurang lancar, diragukan
dan macet.
=� � � ℎ %
Dalam peraturan bank indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tanggal 5
Oktober 2006 tentang Penilaian Kualitas Bank Umum yang melaksanakan
lancar (L), dalam perhatian khusus (DPK), kurang lancar (KL), diragukan
(D), macet (M). Berikut merupakan tabel perhitungan NPF berdasarkan
kemampuan bayar nasabah (debitur) di bank syariah:
Tabel 2.1: Kategori NPF
Jenis Pembiayaan Kategori yang Diperhitungkan Dalam NPF Kurang Sumber: wawancara dengan Bank Syariah
Non performing financing (NPF) akan berdampak pada menurunnya
tingkat bagi hasil yang dibagikan pada pemilik dana. Hubungan antara
bank dan nasabah didasarkan pada dua unsur yang saling terkait, yaitu
hukum dan kepercayaan. Suatu bank hanya dapat melakukan kegiatan dan
mengembangkan usahanya apabila nasabah percaya untuk menempatkan
uangnya. Kemudian setelah menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan, bank kemudian menyalurkan kembali kepada
8. Faktor-Faktor Penyebab Pembiayaan Bermasalah
Sebab-sebab pembiayaan bermasalah dapat berasal dari pihak bank
maupun pihak nasabah, faktor internal dan faktor eksternal diantaranya
sebagai berikut (Trisadini Prasastinah Usanti dan A. Shomad, 2008 : 16) :
a. Faktor Internal (berasal dari pihak bank)
1) Kurang baiknya pemahaman atas bisnis nasabah
2) Kurang dilakukan evaluasi keuangan nasabah
3) Kesalahan setting fasilitaspembiayaan (berpeluang melakukan
sidestreaming)
4) Perhitungan modal kerja tidak didasarkan kepada bisnis usaha
nasabah
5) Proyeksi penjualan terlalu optimis
6) Proyeksi penjualan tidak memperhitungkan kebiasaan bisnis dan
kurang memperhitungkan aspek kompetitor
7) Aspek jaminan tidak diperhitungkan aspek marketable lemahnya
supervisi dan monitoring
8) Terjadinya erosi mental: kondisi ini dipengaruhi timbali balik
antara nasabah dengan pejabat bank sehingga mengakibatkan
proses pemberian pembiayaan tidak didasarkan pada praktek
perbankan yang sehat.
b. Faktor Eksternal (dari pihak nasabah)
1) Karakter nasabah tidak amanah (tidak jujur dalam memberikan
2) Melakukan sidestreaming penggunaan dana
3) Kemampuan pengelolaan nasabah tidak memadai sehingga kalah
dalam persaingan usaha
4) Usaha yang dijalankan relatif baru
5) Bidang usaha nasabah telah jenuh
6) Tidak mampu menanggulangi masalah/ kurang menguasai bisnis
7) Meninggalnya key person
8) Terjadi bencana alam
9) Adanya kebijakan pemerintah: peraturan suatu produk atau sektor
ekonomi atau industri dapat berdampak positif maupun negatif
bagi perusahaan yang berkaitan dengan industri tersebut.
Setiap terjadi pembiayaan bermasalah maka bank syariah akan
berupaya untuk menyelamatkan pembiayaan, berdasarkan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 13/9/PBI/2011 Tentang perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 10/PBI/2008 Tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi
Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. Restrukturisasi pembiayaan adalah
upaya yang dilakukan Bank dalam rangka membantu nasabah agar dapat
menyelesaikan kewajibannya, antara lain melalui:
1) Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan jadwal
pembayaran kewajiban nasabah atau jangka waktunya tidak termasuk
perpanjangan atas pembiayaan mudharabah atau musyarākah yang
memenuhi kualitas lancar dan telah jatuh tempo serta bukan
2) Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau
seluruh persyaratan Pembiayaan tanpa menambah sisa pokok
kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada Bank, antara lain
meliputi: Perubahan jadwal pembayaran, perubahan jumlah angsuran,
perubahan jangka waktu, perubahan nisbah dalam pembiayaan
mudharabah atau musyarakah, perubahan proyeksi bagi hasil dalam
pembiayaan mudharabah dan musyarakah, dan pemberian potongan.
3) Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan persyaratan
pembiayaan yang antara lain meliputi: penambahan dana fasilitas
pembiayaan bank, konversi akad pembiayaan, konversi pembiayaan
menjadi surat berharga syariah berjangka waktu menengah, dan
konversi pembiayaan menjadi penyertaan modal sementara pada
perusahaan yang disertai dengan rescheduling atau reconditioning
9. Gross Domestic Product (GDP)
GDP adalah produk barang dan jasa total yang dihasilkan dalam
perekonomian suatu negara di dalam masa satu tahun. GDP didalamya
merupakan pendapatan faktor produksi milik bangsa Indonesia yang
berada di dalam negeri ditambah milik bangsa asing di dalam negeri.
GDP dihitung biasanya dengan menggunakan dua keterangan menurut
patokan harga yang dipakai, yaitu :
a. Harga Konstan
� ℎ = × �� ℎ����
� ℎ = �� ℎ�� × ��
Hkx = Harga konstan
Hbx = Harga berlaku
IHK = Indeks harga konsumen
100 = Indeks harga konsumen tahun dasar
X = Tahun tertentu
GDP nominal (atau disebut GDP atas dasar harga berlaku) merujuk
kepada nilai GDP tanpa memperhatikan pengaruh harga. Sedangkan
GDP riil (atau disebut GDP atas dasar harga konstan) mengoreksi angka
GDP nominal dengan memasukkan pengaruh dari harga. GDP dapat
dipahami melalui cara perhitungan pendapatan nasional berikut dibawah
ini (Triyanto, 1983: 16).
�� = � +
��� = �� −
�� = ��� − �
Dimana :
GNP = Produk nasional bruto
GDP = Produk domestik bruto
NNP = Produk nasional neto
F = Pendapatan neto terhadap luar negeri atas faktor-faktor produksi
D = Penyusutan
Nit = Pajak tidak langsung neto, yaitu selisih antara pajak tidak langsung
NI = Pendapatan nasional (Y)
Jika persamaan digabungkan maka didapat persamaan sebagai berikut:
� = �� + � + −
10. Inflasi
Secara umum inflasi berarti kenaikan tingkat harga secara umum dari
barang/ komoditas dan jasa selama suatu periode waktu tertentu. Inflasi
dapat dianggap sebagai fenomena moneter karena terjadinya penurunan
nilai unit perhitungan moneter terhadap suatu komoditas (Karim, 2010:
135)
Laju inflasi merupakan tingkat perubahan harga secara umum untuk
berbagai jenis produk dalam rentang waktu tertentu misalnya per bulan,
per triwulan atau per tahun. Inflasi diukur dengan tingkat inflasi (rate of
inflation) yaitu tingkat perubahan dari tingkat harga secara umum (Murni,
2006:203).
Persamaannya adalah sebagai berikut:
Tingkat hargat – Tingkat hargat-1
x 100 = Rate of Inflation Tingkat hargat-1
Adapun jenis inflasi dapat dibedakan berdasarkan pada tingkat-tingkat
laju inflasi, yaitu (Murni, 2006:204):
a. Moderat Inflation
Laju inflasinya antara 7% sampai dengan 10% adalah inflasi yang
ditandai dengan harga-harga yang meningkat secara lambat.
seperti ini orang-orang masih mau untuk memegang uang dan
menyimpan kekayaannya dalam bentuk uang daripada dalam bentuk
aset riil.
b. Galloping Inflation
Adalah inflasi ganas yang tingkat laju inflasinya antara 20%
sampai dengan 100%. Yang dapat menimbulkan gangguan-gangguan
serius terhadap perekonomian dan timbulnya distorsi-distorsi besar
dalam perekonomian. Hal ini ditandai dengan uang kehilangan
nilainya dengan cepat, sehingga orang tidak suka memegang uang
atau lebih baik memegang barang. Kredit jangka panjang di dasarkan
pada indeks harga atau menggunakan mata uang asing seperti Dollar
serta kegiatan investasi masyarakat lebih banyak di luar negeri.
c. Hyper Inflation
Adalah inflasi yang tingkat inflasinya sangat tinggi (di atas
100%). Inflasi ini sangat mematikan kegiatan perekonomian
masyarakat. Berdasarkan kepada sumber atau penyebab kenaikan
harga-harga yang berlaku, inflasi biasanya dibedakan kepada tiga
bentuk Berikut (Sukirno, 2011:333):
1) Inflasi Tarikan Permintaan (Demand Pull Inflation)
Inflasi ini biasanya terjadi pada masa perekonomian
berkembang dengan pesat. Kesempatan kerja yang tinggi
menciptakan tingkat pendapatan yang tinggi dan selanjutnya