• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Analisis dan Pembahasan

3. Uji Stasioner

Salah satu persyaratan penting untuk mengaplikasikan model seri waktu yaitu dipenuhinya asumsi data yang normal atau stabil (stasioner) dari variabel-variabel pembentuk persamaan regresi. Karena penggunaan data dalam penelitian ini dimungkinkan adanya data yang tidak stasioner, maka dalam penelitian ini perlu digunakan beberapa uji stasioner.Dalam melakukan uji stasioneritas, penulis akan melakukan proses analisis yang terdiri dari :

a. Uji Akar Unit (Uji root test)

Pengujian akar unit dilakukan untuk mengetahui apakah data yang digunakan stasioner atau tidak. Data yang stasioner adalah data time series yang tidak mengandung akar unit dan sebaliknya. Untuk mengetahui hal tersebut dapat dilakukan dengan uji Dickey-Fuller

dan uji Philips-Perron (PP) yang merupakan bagian dari uji akar unit.

Dalam penelitian ini untuk mengetahui ada atau tidaknya akar unit pada data penelitian dilakukan dengan menggunakan uji Philips-Perron (PP). Uji Phillips-Perron memasukkan adanya autokorelasi di dalam variable gangguan dengan memasukkan variabel independen berupa kelambanan diferensi. Phillips-Perron (PP) membuat uji akar unit dengan menggunakan metode statistic non perametrik dalam menjelaskan adanya autokorelasi antara variabel gangguan tanpa memasukkan variabel penjelaskelambanan diferensi (Agus Widarjono, 2005).

Statistik distributif t tidak mengikuti statistik distributif normal tetapi mengikuti distributif statistik PP. Prosedur untuk menentukan apakah data stasioner atau tidak dengan cara membandingkan antara nilai statistik PP dengan nilai kritisnya yaitu distribusi statistik Mackinnon. Jika nilai absolut statistik PP lebih besar dari nilai kritisnya, maka data yang diamati menunjukkan stasioner dan jika sebaliknya nilai absolute statistik PP lebih kecil dari nilai kritisnya maka data tidak stasioner.

b. Uji Derajat Integrasi

Data time series pada umumnya adalah data yang tidak stasioner. Untuk menghindari regresi lancung maka harus ditransformasikan data nonstasioner menjadi data stasioner.

Menurut (Nachrowi,2006) dalam berbagai studi ekonometrika, data time series sangat banyak digunakan. Namun dibalik pentingnya data tersebut, ternyata data time series menyimpan berbagai permasalahan, salah satunya yaitu autokorelasi. autokorelasi ini merupakan penyebab yang mengakibatkan data menjadi tidak stasioner, sehingga bila data dapat distasionerkan maka autokorelasi akan hilang dengan sendirinya, karena metode transformasi data untuk membuat data yang tidak stasioner sama dengan transformasi data untuk menghilangkan autokorelasi.

Dalam uji akar unit PP bila menghasilkan kesimpulan bahwa data tidak stasioner, maka diperlukan proses deferensi data. Uji stasioner data melalui proses diferensi ini disebut uji derajat integrasi. Seperti uji akar unit PP, keputusan sampai pada derajat keberapa suatu data akan stasioner dapat dilihat dengan membandingkan antara nilai statistik PP yang diperoleh dari koefisien y dengan nilai kritis distribusi statistik Mackinnon. Jika nilai absolut dari statistik PP lebih besar dari nilai kritisnya pada diferensi tingkat pertama, maka data dikatakan stasioner pada derajat satu. Akan tetapi, jika nilainya lebih kecil maka uji derajat integrasi perlu dilanjutkan pada diferensi yang lebih tinggi sehingga diperoleh data yang stasioner.

Kointegrasi berkaitan erat dengan pengujian terhadap kemungkinan adanya hubungan jangka panjang antara variabel-variabel ekonomi seperti yang dikehendaki oleh teori ekonomi (Insukindro,2001:121). Uji kointegrasi dari dua atau lebih data time series menunjukkan bahwa terdapat hubungan jangka panjang. Data time series dikatakan terkointegrasi jika residu dari tingkat regresi stasioner, maka tingkat regresi akan memberikan estimasi yang tepat untuk hubungan jangka panjang. Dalam melihat suatu model yang dimiliki kointegrasi atau tidak, dapat dilakukan dengan menjalankan uji johansen, uji CRDW, dan uji EG. Dalam penelitian ini untuk melihat ada atau tidaknya kointegrasi dilakukan dengan uji Johansen. Uji Johansen mendasarkan pada kemungkinan maksimum (maximum likelihood) yang memberikan statistik eigen value dan trace untuk menentukan jumlah vektor kointegrasi dalam suatu persamaan. Selain itu pengujian Johansen lebih powerfull (Arif Rahman Hakim, 2015:5). Hipotesis dalam uji ini yaitu:

H0 = Trace statistik < nilai kritis = model tidak terkointegrasi

H1 = Trace statistik> nilai kritis = model terkointegrasi

Adanya indikasi hubungan keseimbangan dalam jangka panjang belum dapat digunakan sebagai bukti bahwa terdapat hubungan antara variabel-variabelnya dalam jangka pendek. Sehingga untuk menentukan variabel mana yang menyebabkan perubahan pada variabel lainnya, maka digunakan penghitungan Error Correction Model

Tujuan pengujian asumsi klasik ini untuk memberikan kepastian bahwa persamaan regresi yang didapatkan memiliki ketepatan dalam estimasi, tidak bias dan konsisten. Model regresi linier berganda (multiple regression ) dapat disebut sebagai model yang baik jika model tersebut memenuhi Kriteria BLUE (Best Linear Unbiased Estimator). BLUE dapat dicapai bila memenuhi Asumsi Klasik.

Uji asumsi klasik yang digunakan terdiri dari uji multikolinearitas, uji autokorelasi, uji heteroskedastisitas.

a. Uji Multikolinearitas

Uji multikolinearitas digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya penyimpangan asumsi klasik multikolinearitas yaitu adanya hubungan linear antar variabel independen dalam model regresi. Multikolinieritas adalah kondisi adanya hubungan linier antar variabel independen (Winarno, 2015: 5.1)

Salah satu cara mendeteksi ada atau tidaknya multikolinearitas adalah dengan uji korelasi. Pada uji korelasi, pengujian multikolinieritas hanya dengan melihat hubungan secara individual antara satu variabel antara variabel independen dan variabel independen lainnya. Tetapi multikolinearitas bisa juga muncul karena satu atau lebih variabel independen merupakan kombinasi linier dengan variabel independen lain. Dalam pengujian ini peneliti akan menguji koefisien korelasi (r) antara variabel independen. Sebagai aturan (rule of thumb), jika koefisien korelasi cukup tinggi,

misalnya mencapai 0,85 diduga terdapat multikolinieritas dalam model. Sebaliknya jika koefisien korelasi relatif rendah maka diduga model tidak mengandung multikolinieritas.

b. Uji Heteroskedastisitas

Uji Heteroskedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan deviasi standar nilai variabel dependen pada setiap variabel independen. Salah satu asumsi penting OLS adalah varian dari dari residual adalah konstan. Namun dalam kenyataannya seringkali varian residual adalah tidak konstan atau disebut dengan heteroskedastisitas. Heteroskedastisitas biasanya terdapat pada data cross section. Sementara itu data time series jarang mengandung unsur homoskedastisitas, dikarenakan ketika menganalisis perilaku data yang sama dari waktu ke waktu fluktuasinya akan relatif lebih stabil (Widarjono, 2005:146).

Untuk mendeteksi ada tidaknya heteroskedastisitas, dapat dilakukan dengan berbagai uji, seperti metode grafik, uji arch, uji glester, uji korelasi spearman, uji goldfeld-quandt, uji bruesch pagan godfrey, dan uji white. Untuk mendeteksi ada atau tidaknya heteroskedastisitas dalam model, peneliti menggunakan uji white.

c. Uji Autokorelasi

Autokorelasi (autocorrelation) adalah hubungan antara residual satu observasi dengan residual observasi lainya. Autokolerasi lebih

mudah timbul pada data yang bersifat runtun waktu (time series), karena berdasarkan sifatnya, data masa sekarang dipengaruhi oleh data pada masa-masa sebelumnya. Meskipun demikian, tetap dimungkinkan autokorelasi dijumpai pada data yang bersifat antar objek (cross section) (Winarno,2015:5.29).

Uji Autokorelasi bertujuan menguji apakah dalam model regresi linier ada korelasi antara kesalahan penganggu pada periode t dengan kesalahan penganggupada periode t-1 (sebelumnya). Jika terjadi korelasi, maka dinamakan ada problem autokorelasi. autokorelasi muncul karena observasi yang berurutan sepanjang waktu berkaitan satu sama lainnya. Masalah ini timbul karena residual (kesalahan penganggu) tidak bebas dari satu observasi ke observasi lainnya. Model regresi yang baik adalah model regresi yang bebas dari autokorelasi. Untuk mendeteksi ada atau tidaknya autokorelasi salah satunya dengan menggunakan uji Breusch Godfrey (Uji BG) atau Uji Lagrange-Multiplier (Uji LM). Uji ini adalah adanya autokorelasi tingkat pertama dalam variabel pengganggu. Caranya yaitu dengan melihat besarnya probabilitas yang diukur dengan signifikan level sebesar 5 % (a = 5 %). Apabila lebih besar dari 5 %, maka data tersebut tidak signifikan dan tidak terdapat autokorelasi.

Error Correction Model (ECM) dikenalkan oleh Sargan, dikembangkan oleh Hendry dan dipopulerkan oleh Engle Granger (Winarno,2015:11.9). ECM merupakan model linier dinamis dalam ekonometri yang digunakan untuk menjelaskan hubungan antar variabel dependen dan independen serta untuk melihat keseimbangan jangka panjang dan jangka pendek antar variabel independen terhadap variabel dependen. ECM ini digunakan untuk menganalisis data berdasarkan runtun waktu (time series). Untuk menganalisis adanya hubungan jangka pendek antar variabel, dimasukkan variabel ECT (Error Correction Term) yang merupakan residual yang diperoleh dari regresi OLS (Ordinary Leasr Square) jangka panjang, Untuk menyatakan apakah model ECM yang digunakan sahih atau tidak maka koefisien Error Correction Term (ECT) harus signifikan. Jika koefisien ini tidak signifikan maka model tidak cocok dan perlu dilakukan perubahan spesifikasi lebih lanjut. (Insukindro, 1993:12-16).

Model ECM yang digunakan dalam penelitian ini telah terbebas dari ketidak stasioneritasan model melalui uji stasioneritas, uji derajat integrasi, uji kointegrasi dan uji asumsi klasik, sehingga model ECM yang digunakan sudah layak untuk dipakai dan di analisis. Proses menuju model ECM yang layak digunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui hubungan jangka pendek dan jangka panjangnya, yaitu sebagai berikut, model ekonometrik. Berikut merupakan model ECM yang digunakan dalam penelitian ini :

NPF = β0 + β1 GDP+ β2 INF+ β3 MM_MPLS + β4 RM_FM + β5 TBH+ ECT

Berdasarkan pada model di atas, maka Model ECM pada penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :

DNPF = β0 + β1 D(GDP)t + β2 D(INF)t + β3 D(MM_MPLS)t + β4

D(RM_FM)t+ β5 ECT(-1)

Dimana :

NPF = Rasio Non Performing Financing GDP = Gross Domestik Product

INF = Inflasi

MM_MPLS = Margin murabahah terhadap profit loss sharing mudharabah

RM_FM = Pembiayaan murabahah terhadap pembiayaan mudharabah

TBH = Tingkat bagi hasil

ECT = Resid (-1)

β 1, β 2, β 3, β 4 = Koefisien regresi ECM jangka pendek

β 5 = Koefisien ECT

6. Uji F

Uji F digunakan untuk mengetahui pengaruh semua variabel independen yang dimasukan dalam model regresi secara bersama-sama

terhadap variabel dependen yang diuji pada tingkat signifikan 0.05. Jika nilai signifikan < 0.05 maka H0 ditolak dan Ha diterima, sebaliknya jika

signifikan > 0.05 maka H0 diterima dan Ha ditolak (Ghozali, 2006: 84).

7. Uji t

Uji statistik t digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh masing-masing variabel independen secara individual terhadap variabel dependen yang diuji pada tingkat signifikan 0.05, jika nilai probability t lebih besar dari 0.05 maka ada pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen (Ghozali, 2006:84).

8. Uji Koefisien Determinasi (R2)

Koefisien determinasi digunakan untuk membuat presentase variasi variabel independen terhadap variabel dependen serta seberapa besar pengaruh dari faktor lain yang tidak dimasukkan ke dalam penelitian. Jika nilai koefisien determinasi adalah 1 berarti kuatnya kemampuan fluktuasi variabel dependen, sebaliknya jika nilainya mendekati angka 0, maka semakin rendah kemampuan fluktuasi variabel dependen (Ghozali, 2006:83). Nilai R2 makin mendekati 0 maka pengaruh semua variabel

independen terhadap variabel dependen makin kecil dan sebaliknya nilai R2 makin mendekati 1 maka pengaruh semua variabel independen terhadap variabel dependen makin besar.

Koefisien determinasi memiliki kelemahan, yaitu bias terhadap jumlah variabel bebas dan jumlah pengamatan dalam model akan

meningkatkan R2 meskipun variabel yang dimasukkan tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel terikatnya.

Untuk mengurangi kelemahan tersebut maka digunakan koefisien determinasi yang telah disesuaikan, Adjusted R Square. Bertambahnya variabel-variabel independen akan semakin memperkecil Adjusted R Square. Nilai Adjusted R Square masih bisa bertambah apabila nilai t absolut variabel yang ditambahkan lebih besar dari 1. Semkin besar Adjusted R Square semakin baik pula model yang digunakan (Winarno, 2015:4.23).

E. Operasional Variabel

Variabel adalah segala sesuatu berbentuk apaun yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga memperoleh informasi dari hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2009:60). Hubungan antar variabel dengan variabel lainnya dalam penelitian ini yaitu :

1. Variabel Independen

Variabel independen sering disebut sebagai variabel bebas. Variabel bebas merupakan variabel yang mempengaruhi atau menjadi sebab perubahan atau timbulnya variabel dependen (Syukra Alhamda, 2016:93). Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

GDP yang dihitung berdasarkan pengeluaran terdiri dari empat komponen utama yaitu, konsumsi dilambangkan C, investasi dilambangkan dengan I, pengeluaran pemerintah dilambangkan dengan G dan Expor yang dilambangkan dengan X serta impor yang dilambangkan dengan M

Y = C + I + G + (X-M) Y = GDP

GDP dalam penelitian ini disajikan dalam miliar rupiah perbulan. Karena laporan GDP adalah pertiwulan dan pertahun, maka data GDP diinterpolasikan menjadi perbulan. Interpolasi data adalah suatu metode yang digunakan untuk menaksir nilai data time series yang pempunyai rentang waktu lebih besar ke data yang memiliki rentang waktu yang lebih kecil, atau sebaliknya (tahunan ke triwulanan,triwulan kebulanan). Interpolasi dalam penelitian ini menggunakan eviews.

b. Inflasi

Dalam ekonomi, inflasi memiliki pengertian suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus menerus. dengan kata lain, inflasi merupakan proses suatu peristiwa dan bukan tinggi- rendahnya tingkat harga (Rodoni & Ali, 2014:195)

Laju inflasi tahun kedua = �� ℎ − �� ℎ �� ℎ �

c. Kebijakan pembiayaan (MM/MPLS)

Kebijakan pembiayaan bank berdasarkan return yang dihasilkan yang direpresentasikan oleh rasio margin murabahah (MM) terhadap profit loss sharing mudharabah (MPLS). Margin murabahah adalah besarnya keuntungan yang diterima oleh bank syariah dari akad jual beli (murabahah). Profit loss sharing mudharabah adalah bagi hasil dari mudharabah yang dibagikan adalah keuntungan (jika perusahaan/bank untung) dan bila mudharib rugi maka shahibul maal menanggung kerugian.

d. Kebijakan pembiayaan (RM/FM)

Kebijakan pembiayaan bank berdasarkan alokasi pembiayaan yang direpresentasikan oleh rasio pembiayaan murabahah (RM) terhadap pembiayaan mudharabah (FM) Pembiayaan murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Pembiayaan mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal sedangkan pihak lainnya sebagai pengelola.

e. Tingkat bagi hasil

Tingkat bagi hasil (equivalen rate) adalah rata-rata tingkat imbalan atas pembiayaan mudharabah dan musyarakah bagi bank syariah pada saat tertentu, dinyatakan dalam prosentase (Veithzal, 2008). Data diperoleh dari publikasi laporan keuangan bulanan.

TBH = Bagi hasil yang diterima x 100 % Jumlah pembiayaan bagi hasil 2. Variabel Dependen

Variabel dependen sering disebut sebagai variabel terikat. Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat karena adanya variabel bebas (Syukra Alhamda,2016:93). Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini adalah

a. Non Performing Financing (NPF)

Non Perfoming Financing (NPF) yaitu untuk mengukur tingkat permasalahan pembiayaan yang dihadapi oleh bank. Semakin tinggi rasio ini, menunjukkan bahwa kualitas pembiayaan semakin tidak sehat. Rumus perhitungan NPF adalah sebagai berikut:

NPF = Pembiayaan bermasalah (KL, D, M) x 100 % Total Pembiayaan

BAB IV PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Objek Penelitian

1. Bank Syariah

Awal tahun 1980-an, diskusi mengenai ekonomi islam mulai dilakukan. Bahkan uji coba telah dilakukan, diantaranya adalah Baitul Mal wa Tamwil Salman bandung dan Koperasi Ridho Gusti Jakarta. Prakarsa lebih khusus bagi pendirian bank islam baru dimulai tahun 1990. MUNAS IV MUI (Majelis Ulama Indonesia) pada Agustus 1990 membentuk kelompok kerja untuk mendirikan Bank Muamalat (Antonio, 2001:24).

Perkembangan bank syariah di Indonesia dapat digambarkan dengan pertumbuhan jumlah BUS maupun UUS, Pada tahun 2005 hanya terdapat 3 BUS yaitu Bank Muamalat, Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega Syariah. Jika dilihat pertumbuhan perbankan syariah dari tahun ke tahun pertumbuhan UUS jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan BUS, namun pada tahun 2010 terdapat penurunan jumlah UUS dikarenakan terdapat beberapa UUS yang melakukan Spin Off. Penambahan BUS terbesar terjadi pada tahun 2010 (5 BUS baru). Tahun 2013 terdapat pengurangan jumlah UUS dikarenakan tutupnya HSBC Syariah dan pada pertengahan 2014 juga kembali terjadi pengurangan dari jumlah UUS dikarenakan BTPN Syariah yang melakukan spin off di bulan Juli 2014. Pada Meret 2016 terdapat 12 BUS, dan 22 UUS yang tersebar di seluruh Indonesia.

Perkembangan bank syariah di Indonesia tidak hanya dilihat dari jumlah BUS maupun UUS, meskipun jumlah BUS dan UUS tidak mengalami peningkatan yang signifikan, namun hal itu tidak terjadi pada perkembangan jumlah jaringan bank syariah yang dihitung berdasarkan jumlah kantor cabang (KC)/kantor pusat operasional (KPO), kantor cabang pembantu (KCP)/unit pelayanan syariah (UPS) dan kantor kas (KK) dimana peningkatan kantor jaringan terus terjadi dari tahun 2005 hanya 458 kantor dan pada akhir tahun 2014 meningkat hingga mencapai 2.151 kantor, akan tetapi terjadi penurunan pada akhir tahun 2015 yaitu jumlah BUS sebanyak 1.990 kantor dan pada Februari 2016 jumlah BUS sebanyak 1.926 kantor. Jumlah jaringan UUS juga mengalami penurunan dari tahun 2012 dan 2013 jumlah jaringan UUS berturut-turut yaitu yaitu sebanyak 517 dan 590, akan tetapi jumlah jaringan UUS mengalami penurunan yaitu pada tahun 2014 hingga awal tahun 2016 yaitu sebanyak 320 kantor pada tahun 2014 dan 312 kantor pada awal tahun 2016. Berikut adalah perbandingan jaringan BUS dan UUS Perbankan Syariah sampai dengan bulan Februari 2016:

Gambar 4.1: Perkembangan Jaringan Perbankan Syariah

0 500 1,000 1,500 2,000 2,500 3,000 2012 2013 2014 2015 Feb- 16 1,745 1,998 2,151 1,990 1,926 517 590 320 311 312

Unit Usaha Syariah bank umum syariah

Dari segi penyaluran dana perbankan syariah dalam bentuk pembiayaan setiap tahunnya mengalami peningkatan meskipun peningkatan pembiayaan pada 2 tahun terkahir kian melambat. Dapat dilihat pada grafik dibawah pada tahun 2012 bank syariah menyalurkan pembiayaan sebesar 147.505 Miliar rupiah, kemudian pada tahun 2013 meningkat sebesar 184.122 Miliar rupah, lalu pada tahun 2014 dan 2015 pembiayaan yang disalurkan yaitu sebesar 199.330 Miliar ripiah dan 212.996 Miliar rupiah.

Gambar 4.2: Perkembangan Pembiayaan yang Diberikan Bank Syariah

Sumber : Otoritas jasa Keuangan (data diolah)

2. Perkembangan Non Performing Financing (NPF)

NPF merupakan Indikator yang menunjukkan kerugian akibat risiko kredit adalah tercermin dari besarnya non perfoming financing (NPF). Berdasarkan data yang diperoleh dari Otoritas Jasa Keuangan, dapat dilihat grafik Pertumbuhan NPF di bawah ini:

0 100,000 200,000 300,000 2012 2013 2014 2015 147,505 184,122 199,330 212,996

Pembiayaan yang Diberikan

Pembiayaan yang Diberikan

Gambar 4.3: Pertumbuhan NPF

Sumber : Otoritas jasa Keuangan (data diolah)

Meningkatnya pembiayaan bermasalah (NPF) menunjukkan adanya perlambatan ekspansi pembiayaan. Grafik di atas menunjukkan bahwa NPF perbankan syariah cenderung naik setiap tahunnya, dari awal tahun 2014 hingga awal tahun 2016 terjadi peningkatan NPF yang cukup tinggi. Pada tahun 2013 Triwulan IV tingkat NPF sebesar 3,08 % meningkat menjadi 4,86 % pada tahun 2014 Triwulan IV, kemudian pada Triwulan 2015 NPF turun menjadi 4,30 %. Pembiayaan bermasalah biasanya bergerak secara proporsional dengan pertumbuhan pembiayaan itu sendiri. Perlambatan pertumbuhan pembiayaan selain dipengaruhi oleh kondisi makro ekonomi juga karena adanya masa transisi pergantian pemerintah sehingga terdapat kebijakan-kebijakan yang harus disesuaikan pada pemerintahan yang baru. Kurangnya pengawasan yang dilakukan oleh bank syariah terhadap nasabah juga menjadi pemicu meningkatnya pembiayaan bermasalah karena size perbankan syariah yang masih kecil sehingga apabila terdapat satu nasabah yang jatuh maka akan

3. Perkembangan Gross Domestic Product (GDP)

Gross Domestic Product (GDP) merupakan ukuran produksi total barang dan jasa dalam suatu perekonomian. GDP yang tumbuh dengan cepat menunjukkan perekonomian yang berkembang dengan peluang yang melimpah bagi perusahaan untuk meningkatkan penjualan. Berdasarkan data yang diperoleh dari Bank Indonesia, dapat dilihat grafik perkembangan GDP dibawah ini:

600,000 640,000 680,000 720,000 760,000 800,000

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I

2012 2013 2014 2015 2016

GDP

Gambar 4.4: Perkembangan Gross Domestic Product

Sumber : Eviews 8 (data diolah)

Berdasarkan grafik di atas, dapat diihat bahwa perkembangan gross domestic product (GDP) selalu mengalami peningkatan yang lambat setiap bulannya, dapat dilihat pada Triwulan IV tahun 2012 GDP menunjukkan angka Rp 647.995,10 lalu meningkat menjadi Rp 683.708,7 pada Triwulan IV tahun 2013, dan terus meningkat di Triwulan IV tahun 2014 sebesar Rp 717.858,3 hingga pada awal 2016 jumlah GDP mencapai Rp 754.213,2. Bank Indonesia menyebutkan bahwa peningkatan pertumbuhan ekonomi

domestik, di tengah kontribusi sektor eksternal yang menurun. Dari sisi permintaan domestik, peningkatan pertumbuhan ekonomi terutama didorong oleh meningkatnya peran Pemerintah, baik dalam bentuk konsumsi pemerintah maupun investasi infrastruktur.

4. Perkembangan Inflasi

Inflasi merupakan fenomena ekonomi yang selalu menarik untuk dibahas terutama mengenai dampaknya yang luas terhadap makso ekonomi agregat: pertumbuhan ekonomi, keseimbangan eksternal, daya saing, tingkat bunga, dan bahkan distribusi pendapatan (Nurul Huda, 2008: 175). Berdasarkan data yang diperoleh dari Bank Indonesia, dapat dilihat grafik perkembangan inflasi di bawah ini :

3 4 5 6 7 8 9

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I

2012 2013 2014 2015 2016

INF

Gambar 4.5: Perkembangan Inflasi

Sumber : Eviews 8 (data diolah)

Berdasarkan grafik di atas, inflasi mengalami fluktuasi setiap bulan dan tahunnya, seperti terlihat pada pertengahan tahun 2013 mengalami kenaikan yang cukup tajam dan jumlah inflasinya mencapai 8,8 % dan pertengahan tahun 2014 mengalami penurunan yang cukup tajam pula

hingga kembali mengalami kenaikan di akhir tahun 2014 yang jumlahnya sebesar 8,4%, hingga pada akhir tahun 2015 jumlah inflasi sebesar 3,3 %. Adanya kenaikan harga di 2013 dikarenakan oleh porsi yang signifikan dari harga bahan bakar Indonesia tetap disubsidi, sementara kenaikan harga bahan bakar menuntut peningkatan secara terus menerus, dan karenanya Bank Dunia, IMF, dan Kantor Dagang & Industri Indonesia (Kadin) terus menekankan pentingnya menghentikan program ini. B. Analisis dan Pembahasan

Semua data yang digunakan dalam analisis ini merupakan data sekunder deret waktu (time series) yang berbentuk bulanan mulai dari periode Januar 2012 sampai Februari 2016. Dalam penelitian ini penulis akan memaparkan mengenai Non Performing Financing (NPF) sebagai dapak dari moral hazard dan adverse selection sebagai variabel dependen (variabel terikat). Sedangkan variabel independen (variabel bebas) terdiri dari Gross Domestic Product, Inflasi, kebijakan perbankan yang direpresentasikan oleh return yang dihasilkan oleh rasio margin murabahah (MM) terhadap profit loss sharing mudharabah (MPLS), alokasi pembiayaan yang direprestasikan oleh rasio pembiayaan murabahah (RM) terhadap pembiayaan mudharabah (FM), dan tingkat bagi hasil.

Alat pengolahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah perangkat lunak (software) komputer Eviews 8 untuk mempercepat perolehan hasil yang dapat menjelaskan variabel-variabel yang diteliti, dengan metode

analisis secara ekonometrik. Adapun hasil dan analisi dari uji yang sudah dilakukan, yakni:

1. Uji Normalitas

Uji normalitas yang digunakan pada penelitian ini menggunakan teknik Jarque-Berra. Pedoman yang digunakan adalah apabila nilai Jarque- Berra tidak signifikan (lebih kecil dari 2), maka data terdistribusi normal. Dan apabila probabilitas lebih besar dari 5% maka data terdistribusi normal (Winarno, 2015:5.43).

Gambar 4.6: Uji Normalitas

Dokumen terkait