• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. METODE ANALISIS

Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi analisis fisik dan analisis kimia. Seluruh data analisis diperoleh dari dua ulangan dan dua analisis (duplo), kecuali data analisis rendemen dan distribusi ukuran diperoleh dari tiga kali penggilingan (tiga ulangan) dan satu analisis (simplo).

a. Analisis Fisik 1. Rendemen

Nilai rendemen pembuatan beras jagung didasarkan pada perbandingan antara total berat beras jagung yang telah disosoh dengan berat jagung pipil awal yang digunakan.

Rendemen (%) = berat beras hasil sosoh x 100% berat jagung pipil

2. Distribusi Ukuran

Perhitungan distribusi ukuran beras jagung didasarkan pada perbandingan antara berat beras jagung ukuran tertentu dengan total berat beras jagung. Perhitungan distribusi ukuran beras jagung juga didasarkan pada perbandingan antara berat beras jagung ukuran tertentu dengan berat jagung pipil yang digunakan.

Distribusi Ukuran = berat beras ukuran X x 100% (% terhadap beras jagung total) berat total beras jagung

Distribusi Ukuran (% dari jagung pipil) = berat beras ukuran X x 100% berat jagung pipil

3. Densitas Kamba (Muchtadi dan Sugiyono, 1992)

Penentuan nilai densitas kamba beras jagung dilakukan dengan menggunakan gelas ukur 50 ml. Pada tahap awal dilakukan penimbangan dan pencatatan berat gelas ukur kosong, kemudian beras jagung dimasukkan ke dalam gelas ukur 50 ml hingga tanda tera dan ditimbang. Berat 50 ml beras jagung ditentukan berdasarkan selisih antara berat gelas ukur 50 ml yang diisi beras jagung hingga tanda tera dengan berat gelas ukur 50 ml kosong. Densitas kamba didasarkan pada perbandingan antara berat 50 ml beras jagung dengan volume gelas ukur yakni 50 ml.

Berat Jagung 50 ml (g) = (berat gelas ukur + jagung) – berat gelas ukur kosong

Densitas Kamba (g/ml) = berat beras jagung 50 ml (g) x 100 volume gelas ukur (50 ml)

4. Tingkat Penyerapan Air

Penentuan tingkat penyerapan air beras jagung ditentukan berdasarkan jumlah air yang diserap oleh beras jagung selama perlakuan awal yakni selama perendaman dalam air dingin (± 27° C) dan perendaman dalam air panas (suhu awal ± 100° C). Tingkat penyerapan air beras jagung diperoleh dari selisih antara jumlah air awal yang ditambahkan untuk merendam beras jagung dengan jumlah air sisa setelah perendaman selama waktu tertentu. Tingkat penyerapan air pada setiap variabel waktu perendaman kemudian dirata-ratakan untuk menghasilkan rata-rata tingkat penyerapan air beras jagung.

Sebanyak 50 gram beras jagung untuk setiap ukuran dimasukkan dalam wadah yang telah diisi dengan air. Jumlah awal air perendam yang digunakan adalah 100 ml. Keempat beras jagung kemudian direndam dengan variabel waktu perendaman dalam air dingin adalah 1 jam, 2 jam, 3 jam, 4 jam, dan 5 jam, sedangkan variabel waktu perendaman dalam air panas adalah 10 menit, 20 menit, 30 menit, 40 menit, 50 menit, dan 60 menit. Selama perendaman dalam air panas, suhu air tidak dipertahankan konstan 100° C. Setelah direndam sesuai dengan variabel waktu yang ditetapkan, jumlah sisa air perendam diukur kembali.

Jumlah Air yang Diserap (ml) = jumlah air awal (ml) – jumlah air akhir (ml)

Tingkat Penyerapan Air (%) = jumlah air yang diserap (ml) x 100% jumlah air awal (ml)

5. Tingkat Pengembangan

Pengembangan beras jagung ditentukan dengan mengukur selisih ketinggian beras jagung awal di dalam rice cooker (sebelum ditanak) dengan ketinggian akhir beras setelah matang dengan menggunakan penggaris. Penentuan tingkat pengembangan didasarkan pada perbandingan pengembangan beras jagung dengan ketinggian awal beras jagung sebelum ditanak.

Analisis tingkat pengembangan dilakukan pada beras jagung kontrol (tanpa perlakuan awal) dan beras jagung yang telah diberi perlakuan awal sesuai dengan SOP penanakan. Beras jagung tersebut kemudian ditanak menggunakan rice cooker dengan perbandingan beras jagung dan air tanak sesuai dengan SOP penanakan.

Sejumlah sampel beras jagung diberi perlakuan awal sesuai dengan SOP penanakan. Beras jagung A, B, C, dan D diberi perlakuan awal perendaman dalam air dingin berturut-turut selama 5 jam, 4 jam, 3 jam, dan 1 jam. Keempat beras jagung tersebut juga diberi perlakuan

awal perendaman dalam air panas berturut-turut selama 60 menit, 50 menit, 30 menit, dan 10 menit.

Setelah direndam sesuai dengan variabel waktu yang ditetapkan, keempat ukuran beras jagung ditanak menggunakan rice cooker dengan perbandingan beras jagung dan air tanak sesuai SOP penanakan. Beras jagung A dan B ditanak dengan perbandingan beras jagung dan air tanak sebesar 1:7, sedangkan beras jagung C ditanak dengan perbandingan beras jagung dan air tanak sebesar 1:5. Beras jagung D ditanak dengan perbandingan beras jagung dan air tanak sebesar 1:4. Sebelum rice cooker dinyalakan, tinggi awal beras jagung di dalam rice cooker diukur kemudian setelah proses penanakan selesai tinggi akhir beras yang telah matang diukur kembali.

Pengembangan (cm) = ketinggian akhir (cm) – ketinggian awal (cm)

Tingkat Pengembangan (%) = pengembangan (cm) x 100% ketinggian awal (cm)

6. Tingkat Kematangan

Penentuan tingkat kematangan beras jagung secara organoleptik didasarkan pada parameter ada tidaknya serbuk tepung jagung berupa bintik putih pada bagian tengah nasi jagung yang telah matang. Jika nasi jagung yang telah matang dibelah dan pada bagian tengahnya ditemukan serbuk tepung (bintik putih) maka nasi tersebut dinyatakan belum matang.

7. Tingkat Gelatinisasi

Penilaian kematangan beras jagung juga didasarkan pada tingkat gelatinisasi pati. Tingkat gelatinisasi dapat dilihat dari tingkat

birefringence granula pati beras jagung yang dapat diamati dengan

Sejumlah sampel nasi jagung dicampur dengan air suling kemudian suspensi yang terbentuk diteteskan pada gelas objek dan ditutup dengan gelas penutup. Preparat diuji dengan meneruskan cahaya melalui polarizer dan diamati tingkat birefringence. Selama pengamatan analyzer diputar hingga cahaya terpolarisasi sempurna, selanjutnya gambar yang terlihat dipotret.

Apabila granula pati yang diamati sudah tidak menunjukkan kontras gelap terang (warna biru kuning) maka pati tersebut telah kehilangan sifat birefringence. Hilangnya sifat birefringence ini menunjukkan bahwa pati telah tergelatinisasi secara sempurna dan nasi jagung dinyatakan matang.

b. Analisis Kimia

1. Kadar Air Metode Oven (Apriyantono et al., 1989)

Kadar air suatu bahan menunjukkan banyaknya kandungan air per satuan bobot bahan. Analisis kadar air dengan metode oven didasarkan atas berat yang hilang. Kadar air diukur dengan metode oven karena kandungan bahan volatil pada sampel rendah dan sampel tidak terdegradasi pada suhu 100° C. Prinsip metode ini adalah pengeringan sampel dalam oven bersuhu 100-102° C hingga diperoleh berat yang tetap.

Cawan aluminium kosong dikeringkan dalam oven pada suhu 100-102° C selama 15 menit lalu didinginkan dalam desikator selama 10 menit. Cawan aluminium kosong yang telah didinginkan kemudian ditimbang (W2). Sampel ditimbang sebanyak ± 5 gram (W) dan dimasukkan ke dalam cawan. Cawan yang telah berisi sampel dikeringkan dalam oven pada suhu 100-102° C selama 6 jam, lalu didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang (W1). Pengeringan diulangi hingga diperoleh berat sampel yang relatif konstan (berat dianggap konstan jika selisih berat sampel kering yang ditimbang ≤0.0005 gram).

Kadar Air (%bb) = W – (W1 – W2) x 100%

W

Kadar Air (%bk) = W – (W1 – W2) x 100% W1 – W2

Keterangan:

W = berat sampel awal (gram)

W1 = berat cawan + sampel yang telah dikeringkan (gram) W2 = berat cawan kosong (gram)

2. Kadar Abu Metode Pengabuan Kering (Apriyantono et al., 1989) Abu merupakan residu anorganik dari proses pembakaran atau oksidasi komponen organik bahan pangan. Kadar abu menunjukkan total mineral yang terkandung dalam suatu bahan. Analisis kadar abu metode pengabuan kering dilakukan dengan cara mendestruksi komponen organik sampel dengan menggunakan suhu tinggi di dalam tanur pengabuan hingga terbentuk abu berwarna putih keabuan dan diperoleh berat konstan. Prinsip metode ini adalah menimbang sisa mineral hasil pembakaran bahan organik pada suhu sekitar 550° C.

Cawan porselen kosong dibakar dalam tanur selama 15 menit lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang (W2). Sampel ditimbang sebanyak 3-5 gram (W) lalu dimasukkan ke dalam cawan porselen kemudian dibakar dalam tanur pengabuan hingga diperoleh abu berwarna putih keabuan atau hingga diperoleh berat konstan. Pengabuan dilakukan dalam dua tahap. Pertama pada suhu sekitar 400° C dan kedua pada suhu 550° C. Setelah pengabuan selesai, dinginkan cawan beserta isinya dalam desikator kemudian ditimbang (W1). Pengabuan diulangi hingga diperoleh berat sampel yang relatif konstan (berat dianggap konstan jika selisih berat sampel kering yang ditimbang ≤0.0005 gram).

Kadar Abu (%bb) = W1 – W2 x 100 % W

Kadar Abu (%bk) = kadar abu (%bb) x 100 % [100 – kadar air (%bb)]

Keterangan:

W = berat sampel awal (gram)

W1 = berat cawan + sampel yang telah diabukan (gram) W2 = berat cawan kosong (gram)

3. Kadar Protein Metode Kjeldahl Mikro (Apriyantono et al., 1989) Protein merupakan senyawa yang mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N. Metode penetapan kadar protein dengan metode Kjeldahl didasarkan pada pengukuran kadar nitrogen total dalam suatu bahan. Kadar protein yang diperoleh adalah kadar protein kasar (crude

protein) karena dihitung berdasarkan pada nitrogen yang terkandung

dalam bahan dikali dengan angka konversi 6.25. Angka konversi 6.25 berasal dari angka konversi serum albumin yang biasanya mengandung 16% nitrogen (Winarno, 2004).

Prinsip metode ini adalah penetapan protein berdasarkan oksidasi bahan-bahan berkarbon dan konversi nitrogen menjadi amonia. Selanjutnya amonia bereaksi dengan kelebihan asam membentuk amonium sulfat. Larutan dibuat menjadi basa dan amonia diuapkan untuk kemudian diserap dalam larutan asam borat. Nitrogen yang terkandung dalam larutan ditentukan dengan titrasi menggunakan HCl.

Sejumlah kecil sampel (kira-kira akan dibutuhkan 3-10 ml HCl 0.01 N atau 0.02 N) ditimbang, dipindahkan ke dalam labu Kjeldahl 30 ml. Setelah itu, ditambahkan 1.9 ± 0.1 gram K2SO4, 40 ± 10 mg HgO, dan 2.0 ± 0.1 ml H2SO4 ke dalam labu Kjeldahl yang berisi sampel. Jika sampel lebih dari 150 mg, ditambahkan 0.1 ml H2SO4 untuk setiap 10 mg bahan organik di atas 15 mg. Setelah itu, beberapa butir batu didih dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl yang berisi sampel. Labu Kjeldahl yang berisi sampel dan telah dimasukkan batu didih lalu didihkan selama 1-1.5 jam hingga cairan menjadi jernih.

Setelah cairan jernih, labu Kjeldahl yang berisi sampel didinginkan dan ditambahkan sejumlah kecil air secara perlahan-lahan, kemudian didinginkan kembali. Isi labu dipindahkan ke dalam alat destilasi. Labu Kjeldahl yang isinya sudah dipindahkan ke dalam alat

destilasi dicuci dan dibilas 5-6 kali dengan 1-2 ml air, air cucian ini dipindahkan ke dalam alat destilasi.

Erlenmeyer 125 ml diisi dengan 5 ml larutan H3BO3 dan 2-4 tetes indikator (campuran dua bagian metil merah 0.2% dalam alkohol dan satu bagian methylen blue 0.2% dalam alkohol), lalu diletakan di bawah kondensor. Ujung tabung kondensor harus terendam di bawah larutan H3BO3. Tambahkan 8-10 ml larutan NaOH-Na2S2O3 dan lakukan destilasi sampai tertampung kira-kira 15 ml destilat dalam erlenmeyer. Setelah itu, tabung kondensor dibilas dengan air dan air bilasannya ditampung dalam erlenmeyer yang sama. Selanjutnya isi erlenmeyer diencerkan hingga 50 ml kemudian dititrasi dengan HCl 0.02 N sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Penetapan nilai protein blanko dilakukan dengan cara yang sama namun tanpa menggunakan sampel.

Keterangan: Faktor konversi untuk tepung jagung adalah 6.25

4. Kadar Lemak Metode Soxhlet (AOAC, 1984)

Analisis kadar lemak dengan metode ekstraksi Soxhlet dilakukan dengan cara mengekstrak lemak dari bahan dengan menggunakan pelarut organik non-polar. Ekstraksi dilakukan dengan cara refluks pada suhu yang sesuai dengan titik didih pelarut. Selama proses ini, pelarut akan merendam sampel dan mengekstrak lemak/minyak dalam sampel. Proses refluks dilakukan hingga pelarut berwarna jernih yang menandakan tidak ada lagi lemak/minyak yang terlarut. Prinsip metode ini adalah mengekstrak lemak dengan pelarut heksana kemudian setelah pelarut diuapkan, lemak dalam sampel ditimbang.

Sampel berupa tepung-tepungan dihidrolisis terlebih dahulu dengan menggunakan HCl 25% sebelum diekstraksi untuk mengeluarkan lemak yang terperangkap dalam matriks pati, serat, dan selulosa sehingga kadar lemak yang terukur menggambarkan kadar lemak sesungguhnya dari bahan.

Tahap Hidrolisis. Sampel ditimbang 1-2 gram (W), dimasukkan

ke dalam gelas piala, kemudian ditambahkan 30 ml HCl 25% dan 20 ml air serta beberapa batu didih. Gelas piala ditutup dengan gelas arloji dan dididihkan selama 15 menit dalam ruang asam, kemudian disaring dengan kertas saring dalam keadaan panas dan dicuci dengan air panas hingga tidak bereaksi asam lagi (diketahui dengan pengukuran pH-meter). Kertas saring yang digunakan untuk menyaring larutan sampel dikeringkan berikut isinya pada oven bersuhu 105o C.

Tahap Ekstraksi Lemak. Labu lemak yang akan digunakan

dikeringkan dalam oven bersuhu 105o C selama 15 menit lalu didinginkan di dalam desikator, kemudian ditimbang (W2). Kertas saring kering hasil hidrolisis dimasukkan ke dalam selongsong kertas saring (timbel) yang telah dialasi dengan kapas. Selongsong (timbel) disumbat dengan kapas lalu dimasukkan ke dalam alat ekstraksi Soxhlet yang telah dihubungkan dengan kondensor dan labu lemak.

Pelarut heksana sebanyak 150 ml dimasukkan ke dalam alat ekstraksi, kemudian sampel direfluks selama ± 6 jam hingga pelarut yang turun kembali ke labu lemak berwarna jernih. Setelah itu, pelarut heksana disuling (didestilasi) dan ditampung pada wadah yang lain. Selanjutnya, labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dikeringkan dalam oven pada suhu 105° C hingga diperoleh berat konstan, lalu didinginkan di dalam desikator dan ditimbang (W1).

Kadar Lemak (%bb) = W1 – W2 x 100 % W

Kadar Lemak (%bk) = kadar lemak (%bb) x 100 % [100 – kadar air (%bb)]

Keterangan:

W = berat sampel awal (gram)

W1 = berat labu lemak + lemak hasil ekstraksi (gram) W2 = berat labu lemak kosong (gram)

5. Kadar Karbohidrat by difference (AOAC, 1995)

Karbohidrat dapat dikelompokkan menjadi karbohidrat yang dapat dicerna (digestible carbohydrate) dan karbohidrat yang tidak dapat dicerna (non-digestible carbohydrate). Karbohidrat yang dapat dicerna adalah karbohidrat yang dapat dipecah oleh enzim α-amilase di dalam sistem pencernaan manusia dan menghasilkan energi. Analisis digestible carbohydrate yang banyak digunakan adalah penentuan total karbohidrat dengan metode by difference. Perhitungan kandungan karbohidrat dilakukan dengan cara pengurangan 100% dengan persentase kandungan air, protein, lemak, dan abu.

Kadar Karbohidrat (%) = 100% – (% kadar protein + lemak + air + abu)

6. Kadar Serat Pangan Metode Enzimatik (Asp et al., 1983)

Serat pangan (dietary fiber) merupakan komponen bahan makanan nabati yang tahan terhadap proses hidrolisis oleh enzim-enzim pada sistem pencernaan manusia (Schneeman, 1989). Untuk menganalisis kadar serat pangan suatu bahan maka keberadaan lemak, protein, dan pati dalam bahan tersebut harus dihilangkan terlebih dahulu. Penentuan kadar serat pangan dengan metode enzimatik melibatkan tiga enzim yaitu termamyl, pepsin, dan pankreatin. Termamyl adalah enzim α-amilase yang bersifat tahan panas, aktif pada berbagai pH, serta tidak terlalu terpengaruh aktivitas dan stabilitasnya oleh ion Ca (Walon, 1980).

Inkubasi sampel dalam air mendidih dengan penambahan enzim termamyl bertujuan memberikan proses gelatinisasi yang cukup serta pre-hidrolisis terhadap pati. Termamyl sangat efektif untuk berbagai

tipe pati dan produk sumber serat lainnya. Termamyl menyebabkan terjadinya hidrolisis cepat dari pati selama gelatinisasi (Spiller, 2001).

Enzim pepsin memecah molekul protein menjadi molekul yang lebih sederhana yakni pepton. Enzim pankreatin merupakan campuran dari beberapa enzim pencernaan yang diproduksi oleh kelenjar pankreas yakni tripsin, amilase, dan lipase. Enzim tripsin bekerja menghidrolisis protein menjadi oligopeptida. Enzim amilase berperan menghidrolisis pati menjadi oligosakarida dan maltosa, sedangkan enzim lipase memecah trigliserida menjadi asam lemak dan gliserol.

Sampel diekstrak lemaknya dengan menggunakan Petroleum Eter selama 15 menit pada suhu kamar. Sampel bebas lemak ditimbang sebanyak 1 gram (W), dimasukkan dalam gelas piala, lalu ditambahkan 25 ml buffer fosfat 0.1 M pH 6 dan dibuat suspensi. Selanjutnya ditambahkan 0.1 ml termamyl, kemudian gelas piala ditutup dengan kertas alufo lalu diinkubasi dalam air mendidih (suhu 100° C) selama 15 menit dan diaduk setiap interval 5 menit. Setelah 15 menit, gelas piala diangkat dan didinginkan.

Selanjutnya, ditambahkan 20 ml aquades dan pH diatur menjadi 1.5 dengan menambahkan HCl 1 M. Setelah itu ditambahkan 100 mg pepsin, ditutup kertas alufo, dan diinkubasi pada suhu 40o C selama 60 menit dalam inkubator bergoyang, lalu diangkat dan didinginkan. Setelah didinginkan, sampel ditambahkan dengan 20 ml aquades dan pH nya diatur menjadi 6.8 dengan menambahkan NaOH 1 M, lalu ditambahkan 100 mg pankreatin, ditutup kertas alufo, dan diinkubasi kembali pada suhu 40o C selama 60 menit dalam inkubator bergoyang.

Setelah 60 menit, sampel diangkat dan didinginkan lalu diatur kembali pH nya menjadi 4.5 dengan menambahkan HCl 1 M. Selanjutnya disaring dengan penyaring vakum menggunakan kertas saring Whatman 42 yang telah diketahui bobot keringnya, dibilas dengan 2 x 10 ml aquades. Residu yang diperoleh merupakan serat pangan tidak larut (IDF), sedangkan filtrat merupakan serat pangan larut (SDF).

Residu (IDF) kemudian dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 95% dan 2 x 10 ml aseton. Kertas saring dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu 105o C hingga diperoleh berat konstan dan ditimbang (D1). Kertas saring lalu diabukan dalam tanur bersuhu 500o C selama minimal 5 jam, didinginkan dalam desiktor dan ditimbang (I1).

Volume filtrat (SDF) ditepatkan dengan aquades hingga 100 ml dan ditambahkan 400 ml etanol 95% hangat (60o C), lalu diendapkan selama 1 jam. Selanjutnya disaring dengan penyaring vakum menggunakan kertas saring Whatman 42 yang telah diketahui bobot keringnya, dibilas dengan 2 x 10 ml etanol 78% dan 2 x 10 ml aseton. Kertas saring dikeringkan dengan oven pada suhu 105o C hingga diperoleh berat konstan kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang (D2). Kertas saring lalu diabukan dalam tanur bersuhu 500o C selama minimal 5 jam kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang (I2). Nilai blanko diperoleh dengan cara yang sama namun tanpa menggunakan sampel (B1 dan B2).

IDF (%bb) = (D1 – I1 – B1) x 100% berat sampel (W)

SDF (%bb) = (D2 – I2 – B2) x 100% berat sampel (W)

Kadar Serat Pangan (TDF) (%bb) = IDF + SDF

Kadar Serat Pangan (%bk) = kadar serat pangan (%bb) x 100% [100 – kadar air (%bb)]

7. Nilai Kalori Makanan (Almatsier, 2001)

Perhitungan nilai kalori didasarkan pada faktor Atwater menurut komposisi karbohidrat, lemak, protein, serta nilai energi faal makanan.

Nilai Kalori Makanan = Faktor Atwater x Kandungan Gizi Bahan Pangan Nilai Kalori = (4 kkal/g x kadar karbohidrat) + (9 kkal/g x kadar lemak)

8. Uji Organoleptik

Uji organoleptik bertujuan mengetahui tingkat preferensi konsumen terhadap keempat ukuran beras jagung. Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji rangking hedonik. Uji ini termasuk ke dalam uji penerimaan (acceptance/preference test). Uji penerimaan berkaitan dengan penilaian seseorang akan suatu sifat atau kualitas suatu bahan yang menyebabkan orang menyukai bahan tersebut. Tujuan uji penerimaan adalah mengetahui apakah suatu komoditi atau sifat sensorik tertentu dapat diterima oleh masyarakat (Soekarto, 1985).

Uji rangking hedonik digunakan untuk membandingkan tingkat kesukaan panelis terhadap keseluruhan atau atribut sensori dari beberapa sampel. Uji ini disebut juga dengan preference ranking test. Kelebihan uji ini adalah prosesnya yang cepat, mudah, dan tidak menyulitkan konsumen karena tidak mengharuskan konsumen untuk mengingat. Namun, apabila digunakan untuk sampel yang terdiri lebih dari satu set sampel, hasil penilaian antar set sampel tersebut tidak dapat dibandingkan. Metode ini cocok untuk penilaian preferensi secara visual dan taktil (Lawless dan Heymann, 1998).

Pengujian organoleptik dilakukan dengan menggunakan 30 orang panelis tidak terlatih. Sampel yang disajikan adalah beras jagung yang telah ditanak hingga matang. Parameter yang diuji adalah ukuran beras jagung. Panelis diminta untuk memberikan penilaian peringkat kesukaan terhadap keempat ukuran beras jagung. Peringkat yang digunakan adalah 1-4 dimana nilai 1 (satu) menunjukkan peringkat kesukaan tertinggi, sedangkan nilai 4 (empat) menunjukkan peringkat kesukaan terendah. Hasil penilaian peringkat kesukaan selanjutnya dianalisis secara statistik dengan menggunakan analisis Friedman Test dan uji lanjut Least Significant Difference (LSD).

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Dokumen terkait