• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berdasarkan rumusan masalah yang telah disusun oleh penulis maka pada skripsi ini penulis menggunakan metode deskriptif sebagai metode untuk menganalisis cerita rakyat Batu Debata idup.

Menurut (Sugiyono 2005: 21) menyatakan bahwa metode deskriptif adalah suatu metode yang digunakan untuk menggambarkan atau menganalisis suatu hasil penelitian yang digunakan untuk membuat kesimpulan yang lebih luas.

Dapat dikatakan bahwa penelitian deskriptif merupakan penelitian yang berusaha mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa yang terjadi pada saat sekarang atau masalah aktual.

Pada penelitian ini penulis mendeskripsikan struktur dan susunan sosiologis yang terdapat pada cerita rakyat Batu Debata idup pada masyarakat etnik toba khususnya di daerah Baktiraja.

3.2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian disebutkan rencana tempat dan waktu dilaksanakannya penelitian. Lokasi penelitian menurut (Iskandar 2008:219) adalah situasi dan kondisi lingkungan tempat yang berkaitan dengan masalah penelitian.

Penelitian terhadap skripsi ini dilakukan di Desa Simangulampe, Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbang Hasundutan. Dengan alasan lokasi Batu Debata Idup terletak di daerah tersebut. Di daerah ini penulis akan mencari dan menemukan informan supaya penulis dapat lebih mudah untuk mengumpulkan data penelitian sesuai objek yang akan diteliti.

Daerah Desa Simangulampe ini juga merupakan daerah yang mudah dijangkau dan mudah dilewati oleh banyak masyarakat, karena sudah adanya transportasi dan jalan yang memudahkan penulis dalam meneliti objek tersebut.

3.3. Sumber Data Penelitian

Sumber data terkait dengan subjek penelitian darimananya data diperoleh.

Subjek penelitian sastra adalah teks-teks novel, cerita rakyat/ legenda, drama dan puisi. Dalam skripsi ini adalah Cerita rakyat.

Sumber data menurut (Zuldafrial 2012:46) “adalah subjek dari mana data dapat diperoeh”. Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah subjek darimana data diperoleh yang terbagi atas dua bagian, yaitu :

1. Sumber Data Primer

Sumber data primer adalah sumber data data mentah yang diperoleh dari lapangan dan belum pernah di analisis.

2. Sumber Data Sekunder

Sumber Data Sekunder adalah sumber data yang sudah pernah diteliti dan dijadikan acuan untuk penelitian selanjutnya dari sudut pandang orang lain.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis, menggunakan sumber data primer berupa hal-hal yang mencakup keterangan nilai-nilai sosial dalam cerita rakyat Batu Debata Idup di Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbang Hasundutan.

3.4. Instrumen Penelitian

Instrumen berarti alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data , pada penelitian ini instrumen yang digunakan adalah :

1. Alat Perekam (tape recorder) yang digunakan untuk mewawancarai informan saat pengumpulan data sesuai dengan objek penelitian

2. Kamera yang digunakan untuk mengambil gambar dari objek penelitian apabila saat melakukan penelitian upacara adat tersebut.

3. Alat tulis dan kertas yang digunakan untuk mencatat segala hal yang dianggap penting yang diterima dari informan dan berhubungan dengan objek penelitian guna menunjang kelengkapan data dalam penyelesaian skripsi ini.

3.5.Metode Pengumpulan Data

Teknik Pengumpulan data merupakan cara mengumpulkan data yang dibutuhkan untuk menjawab rumusan masalah penelitian (Juliansyah Noor, 2011 : 138). Umumnya cara mengumpulkan data dapat menggunakan beberapa teknik, yakni :

1. Metode Wawancara

Metode wawancara merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang dilakukan berhadapan secara langsung dengan yang diwawancarai tetapi dapat juga diberikan daftar pertanyaan dahulu untuk dijawab oleh informan yang telah dipilih untuk memberikan informasi yang mendukung objek cerita rakyat yang akan diteliti.

2. Metode Observasi

Metode kepustakaan adalah teknik yang menuntut adanya pengamatan dari peneliti baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap objek penelitian (Bungin 2007 : 115). Alasan peneliti menggunakan observasi yaitu untuk menyajikan gambaran realistis, perilaku atau kejadian.

3. Metode Kepustakaan

Metode kepustakaan adalah mengumpulkan data dengan membaca buku-buku yang relavan untuk membantu menyelesaikan dan melengkapi data yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

3.6. Metode Analisis Data

Analisis data merupakan serangkaian kegiatan yang terkait dengan pengumpulan data , seperti redukasi data, penarikan kesimpulan serta pengabsahan data kegiatan lainnya. Analisis dilakukan dengan pemaparan dalam bentuk deskriptif terhadap masing-masing data secara fungsional dan relasional (Miles dan Huberman 1984 : 21).

Untuk metode struktural dan teori sosiologi sastra, penulis menggunakan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Mengumpulkan dan menulis data yang diperoleh dari lapangan.

2. Data yang diperoleh dari lapangan kemudian diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia.

3. Menganalisis data sesuai dengan Rumusan Masalah.

4. Mangaplikasikan hasil analisis tersebut kedalam laporan skripsi dan memaparkannya dengan baik.

5. Membuat kesimpulan.

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Unsur-unsur Intrinsik Pada Cerita Batu Debata Idup.

4.1.1 Tema yang diungkapkan secara lisan pasti mengandung tema, karena sebuah karya sastra pasti mempunyai pokok pikiran utama atau isi pembicaraan yang hendak disampaikan kepada si pembaca ataupun si pendengar.

Didalam cerita Batu Debata Idup, Penulis menyatakan bahwa tema cerita adalah: Batu yang diukir menyerupai bentuk manusia dan dijadikan menjadi tempat penyembahan, batu itu disembah sebagai Dewa/Debata. Batu itu diberi nama Debata Idup yang dimana juga dipercayai sebagai dewa pengobatan yang mampu memberi hidup dari ancaman kematian.

Hal ini dapat dilihat dalam kutipan cerita :

“...Patung na di gorga nai di goari mai Debata Idup. Alai manjua do Datu Pangabang di goar i ala di pingkiran na Debata Idup ima Dewa Pangobatan.

Botul doi ninna Datu Sontang Banua “Debata Idup ima dewa ni ubat, jala dang ubat, alai ditangan na adong ubat. Ibana ma bona ni parbinotoan ni

parubaton. Pangubaton ima ‘mangidupi’ mangalean ngolu sian angka hamatean alani angka parsahiton.

Digorga Datu Pangabang ma sapulu parlapihan laho umbahen inganan ni ubat na di pulungnai. Jala di pahat ibana ma tong batu sarupa songon parlapihan inganan ni ubat i. Didok ma parlapihan i tu angka gelleng nai Debata Idup jala batu i di goari Batu Debata Idup. Dipatorang Datu Pangabang i ma tu angka gelleng na “Sude parlapihan on unang be di bolongkon hamu manang di tiopi hamu, dohot batu na hu pahat on unang be di parmeam-meam hamu. On ma na gabee batu si sombaon ta bahen Debata ta”. Dang be disungkun manang aha, di olohon gelleng naima jala dang hea be adong mangganggu pulungan ubat ni pandaoni i.”

Terjemahan:

“...Patung yang di ukir itu diberi nama Debata Idup. Akan tetapi Datu Pangabang menolak pemberian nama itu karena Debata Idup adalah Dewa Pengobatan. Benar, kata Datu Sontang Banua. “Debata Idup adalah dewa obat, dan bukan obat, tapi ditangannya ada obat. Dia adalah sumber pengetahuan pengobatan. Pengobatan adalah “mangidupi” memberi hidup

dari ancaman kematian karena penyakit”.

Datu Pangabang kemudian menempa 10 wadah penyimpanan bahan obat racikannya dan juga mengukir batu membentuk persis seperti wadah penyimpanan obat tersebut. Kepada anak-anaknya disebut itu Debata Idup dan batu itu disebut Batu Debata Idup. Datu Pangambang menjelaskan kepada anak-anaknya “Semua wadah ini jangan lagi kalian buang atau kalian pegang, dan batu yang telah saya ukir ini jangan kalian

main-mainkan. Ini akan menjadi batu yang akan kita sembah sebagai dewa kita” Tanpa bertanya panjang lebar, mereka mengiyakan dan tidak pernah lagi terjadi gangguan terhadap bahan obat racikan sang tabib.

4.1.2 Alur / Plot

Alur atau plot merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan tidak sedikit orang yang menganggapnya sebagai yang terpenting diantara berbagai unsur fiksi yang lain. Tanpa alur kita tidak akan tau bagaimana jalan cerita tersebut, apakah alur maju, alur mundur atau alur bolak balik.

Alur atau plot dalam cerita Batu Debata Idup adalah sebagai berikut :

1. Tahap Situasi (Situation)

Pada tahap ini pengarang mulai melukiskan suatu keadaan. Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita, pemberi informasi awal, dan lain-lain yang terutama, berfungsi untuk melandas tumpui cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya. Dalam bagian ini pengarang menceritakan tentang tambar dan taor yang sudah di buat dan dikumpulkan oleh Datu Pangabang selalu dibuang oleh anak-anaknya :

Hal ini dapat dilihat dalam kutipan cerita :

“...Datu Pangabang ima sahalak pandaoni ni halak batak naung godang ditanda halak. Tung mancai nunut do ibana mambahen angka pulungan ubat laho mangobati angka sahit. Lao do ibana mandiori tu tombak, mambuat

angka ramba bulung, parbue ni hau, urat ni hau dohot lampak ni hau, di papungu mai. Ima dibahen gabe ubat laho pamalumhon angka sahit ni jolma na marsahit. Angka abak ni pulungan i ima nadigoari “tambar” dipabuni mai dibagas parlapihan bulu. Sian angka mansam ni bulung-bulung dohot parbue ni hau dohot pati ni angka urat ni hau, di pulung mai gabe dasor ni obat ima digoari “taor” dipabuni mai di parlapihan ni bulu dohot dibagas ni hudon tano. Ala pandaoni na baru dope, tontu ibana sai lalap dope mambhen hobim sian angka na dapot na laho mambahen angka pulungan na lebih mangkan mangobati angka sahit.”

Terjemahan :

“...Datu Pangabang seorang tabib batak yang mulai populer. Dia sangat ulet melakukan penelitian bahan obat untuk berbagai penyakit yang ditemukannya.

Dia pergi ke hutan menjelajah, beragam tanaman, akar kayu dan kulitnya dikumpulkan. Semua itu dikumpulkan kemudian itu dijadikan menjadi ramuan obat untuk menyembuhkan berbagai penyakit yang diderita orang lain. Hasil racikannya kemudian disebut “tambar” disimpan dalam wadah sederhana.

Dari beragam dedaunan dan buah serta sari pati akar-akaran kemudian diracik menjadi bahan dasar obat cair yang disebut “taor”. Disimpan dalam wadah bambu dan periuk tanah. Sebagai tabib pemula, tentu saja dia masih tetap melakukan evaluasi dari setiap penemuannya untuk mendapatkan bahan yang lebih ampuh mengobati penyakit tertentu.”

2. Tahap Pemunculan Konflik (Generating Circumstances)

Tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik itu sendiri dan konflik itu sendiri akan berkembang dan atau akan dikembangkan menjadi konflik-konflik ke tahap berikutnya. Pada peristiwa selanjutnya mulai bergerak dimana ketika Rumintang membuang ramuan obat .

Hal ini dapat dilihat dalam kutipan cerita :

“...Jotjot do diremengi among nai si Rumintang ala torus pasisihon masam ni angka pulungan na di peangkon di maribar inganan ni jabu. Tingki si Rumintang padengganhon asa denggan di inganan na asing pikkirna. Momar ma Datu Pangabang , dirimpu ibana nunga dibolongkon boru nai sude angka pulungan i ala dirimpu si Rumintang i sude raup-raup.”

Terjemahan :

“Rumintang sering sekali kena dampratan ayahandanya karena sering mengasingkan ragam bahan obat yang terletak sembarangan di ruangan rumah. Ketika Rumintang hendak ingin menata lebih rapi di lain tempat,pikirnya. Datu Pangabang kebingungan, dia menyangka bahan itu dibuang putrinya karena Rumintang menganggap semua itu adalah sampah.”

3. Tahap Peningkatan Konflik (Rising Action)

Tahap peningkatan konflik, konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan di kembangkan kadar intensitasnya.

Keadaan pada cerita ini mulai memuncak ketika ramuan obat Datu Pangabang tidak lagi ada ditempat penyimpanannya.

Hal ini dapat dilihat dalam kutipan cerita:

“...Disada tingki jimburma muruk ni Datu Pangabang i tu si Rumintang.

Didok ma “didia pulungan ni ubat na hupeakhon di bagas ni bulu on. Boasa dang dison be? Ise mambuat?”

Dilausi borunai ma “jadi nadibagasan ni bulu i, pulungan ni ubat ni among do hape? Hurippu do dang pulungan ni ubat i, makana hubolonghon tingki paias jabu au”. Tingki i paias para-para dohot telate ni jabu batak, inganan ni nasida tinggal. Dapot ni ibana ma buntalan ni bulung pisang na marisi songon hirta ni coklat naung marbirong di bagas ni hudon. Dirimpu ibana mai sambal na lupa di pangan jala naung basi, jadi di bolongkon ibana. Tung so dirimpu ibana doi “tambar” pulungan ni ubat na laho mangubati sahit sampu-sampu.”

Terjemahan :

“...Suatu ketika, Datu Pangabang benar-benar kecewa dan marah kepada Rumintang. Dan berkata “dimana ramuan obat yang kuletakkan di dalam bamboo ini, kenapa tidak lagi disini? Siapa yang mengambil?”

Kemudian putrinya menjawab “Apakah yang didalam periuk itu ramuan obat ayah? Saya pikir itu bukan ramuan obat, sehingga saya sudah membuangnya saat saya membersihkan rumah.” Saat itu Rumintang melakukan pembersihan langit-langit rumah dan talete rumah batak tempat mereka

tinggal. Dia menemukan bungkusan daun pisang berisi benda seperti kotoran coklat kehitaman didalam periuk. Dia menyangka itu adalah sambal yang lupa dimakan dan tentu saja sudah basi. Dia membuangnya. Samaselaki dia tidak menduga benda itu adalah “tambar” hasil racikan ayahnya yang terbaru obat penyakit sampu-sampu.”

4. Tahap Klimaks (Climax)

Tahap klimaks, konflik dan atau pertentangan yang terjadi yang dilakukan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak.

Peristiwa mencapai puncak ketika Datu Pangabang sudah sangat marah.

Hal ini dapat dilihat dalam kutipan cerita :

“...Tung mancai muruk hian do Datu Pangabang tu si Rumintang, umbahen muruk among nai alani ubat i na dilului do i marbulan-bulan sian tombak na maol hian didalani jala maol dimasuki angka jolma. “Nunga tung mancai loja situtu au mangalului angka pulungan i sian angka harangan na lomak, boasa ingkon bolongkonon mu i” ninna Datu Pangabang ma mamuruki boru nai.

Alai dibahen Datu Pangabang ma muse mangatasi halensen ni si Rumintang, di bahen Datu Pangabang ma parlapihan sian bulu. Tubagas ni bulu i ma di pamasuk pulungan ni ubat i, di tutup Datu Pangabang ma ujung ni bulu i dohot lampak ni gaol jala di ikat mai gomos.”

Terjemahan:

“...Datu Pangabang betul-betul sangat marah kepada putrinya Rumintang.

Yang membuat dia marah karena ramuan obat yang dibuang Rumintang itu

dicari berbulan-bulan lamanya dari hutan yang sulit dimasuki orang-orang .

“Saya sudah terlalu lelah mencari semua ramuan itu dari hutan yang rimbun yang sulit di jelajah oleh banyak orang, kenapa kamu harus membuang itu?”

Ucapnya dengan nada memarahi Rumintang. Kemudian Datu Pangabang membuat wadah dari bambu, kedalam bambu itulah ramuan obat tersebut di masukkan. Datu pangabang kemudian menutupnya dengan pelepah pisang dan mengikatnya dengan kuat.”

5. Tahap Penyelesaian (Denouement)

Tahap penyelesaian konflik yang telah mencapai klimaks diberi jalan keluar.

Pada tahap penyelesaian ini Datu Sontang Banua memberi penjelasan kepada putrinya Rumintang.

Hal ini dapat dilihat dalam kutipan cerita :

“...Jadi dipatorang among nai ma tu boru nai “parlapian ni bulu on gabe inganan ni pulungan ni ubat, unang be dibolongkon manang di papinda tu inganan na asing, jala unang diparmeam-meam manang ditiopi hamu molo sosian parbinotoan hu” “Olo among” ninna si Rumintang ma mangalusi, jala si Rumintang pe nunga mangantusi.”

Terjemahan :

“...Kemudian ayahnya menjelaskan kepada putrinya itu “ Wadah bambu ini akan menjadi tempat ramuan obat, maka jangan dibuang lagi atau dipindahkan ke tempat lain dan jangan dimainkan atau pun dipegang tanpa sepengetahuan ayah.”

“baik ayah” kata Rumintang, dan tentu Rumintang sudah mengerti.”

4.1.3 Latar atau Setting

Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menunjuk pada pengertian tempat, hubungan waktu sejarah dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Latar atau setting adalah tempat berlangsungnya peristiwa dalam suatu cerita atau tempat kejadian yang terdapat dalam sebuah karya sastra. Latar bukan hanya merupakan daerah atau tempat, namun waktu, peristiwa penting dan bersejarah. Dengan mengetahui dan memahami latar dalam sebuah karya sastra yang dituangkan menjadi cerita akan memudahkan pembaca untuk memahami latar dalam sebuah karya sastra yang dituangkan dalam bentuk cerita.

Latar tempat dalam cerita rakyat ini adalah terjadi di Baktiraja. Cerita ini terjadi di Huta Godang, terletak di Desa Simangulampe Kecamatan Baktiraja Kabupaten Humbang Hasundutan.

Dalam cerita Batu Debata Idup ini terdapat tiga latar, yaitu :

1. Latar Tempat 2. Latar Waktu 3. Latar Sosial

1. Latar Tempat

Latar tempat menunjuk pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya sastra. Cerita Batu Debata Idup ini dilatarkan pada 3 tempat yakni : Sawah, Huta Goduk, Huta Godang dan Simangulampe.

Latar tempat di Sawah dapat dilihat dalam kutipan cerita :

“...Disada tingki, manggorai ma among nai sian balian manjou si Togap na marmeam diparmahanan. Disuruh among nai ma si Togap mangalului bulu laho mambahen ponot dalan ni aek di balian.”

Terjemahan :

“...Suatu ketika, ayahnya berteriak dari sawah memanggil Togap yang asik bermain di penggembalaannya tidak jauh dari ayahnya bekerja. Dia minta agar Togap sudi mencarikan sepotong bambu untuk digunakan saluran air di pematang sawah.”

Latar tempat di Huta Goduk terdapat pada sinopsis cerita :

“...Di sada tingki naeng papindahon huta ma Datu Pangabang, di tingki i huta maringanan di robean manang dolok-dolok huta i di goari mai Huta Sigoduk, naeng di papindah ma i tu toru dolok. Disiala tingki najolo dope halak batak maringanan manang marhuta di ginjang ni robean do.”

Terjemahan :

“...Namun pada suatu waktu Datu Pangambang ingin memindahkan perkampungan yang saat itu masih berada diatas gunung dimana perkampungan itu disebut dengan Huta Sigoduk, dan ingin memindahkannya ke kaki gunung. Kerena pada zaman dahulu masyarakat batak bermukim di atas gunung.”

Latar Tempat di Huta Godang terdapat sinopsis cerita :

“...Ditingki mangalandas huta, di papindah ma Batu Debata Idup i, dibahen ma batu i di harbangan ni huta na di landas nai. di goari ma huta i “huta godang”. Na papindahon batu i ima Datu Sontang Banua, di papindah sian dolok-dolok i tu huta godang.”

Terjemahan :

“...Pada saat ingin merintis atau membuat perkampungan baru, Batu Debata Idup tersebut dipindahkan. Kemudian Batu tersebut diletakkan di pintu masuk desa yang baru dirintis. Desa itu diberi nama dengan nama Huta Godang. Yang berperan dalam pemindahan batu tersebut adalah Datu Sontang Banua. Datu Sontang Banua memindahkannya dari gunung perkampungan awal ke Huta Godang.”

Latar Tempat di Simangulampe terdapat sinopsis cerita:

“...Na papindahon batu i ima Datu Sontang Banua, di papindah sian dolok-dolok i tu huta godang. Huta i sahat tu nuaeng di ingani masyarakat simangulampe. Tingki i huta Simangulampe tano kosong do naso di ingani jolma dope, didok najolo i tao toba di ninna i, alai lam marsik ma tao i gabe mambahen tano kosng ma bogas i, laos di landas ma huta simangulampe disi.

Di peangkon ma Batu Debata Idup i di harbangan ni huta godang.”

Terjemahan:

“...Datu Sontang Banua memindahkannya dari gunung perkampungan awal ke Huta Godang. Desa yang sampai saat ini masih di huni Masyarakat Simangulampe. Dimana dulunya desa Simangulampe merupakan tanah tidur yang sama sekali belum pernah disentuh oleeh manusia, konon katanya dahulu desa tersebut masih merupakan genangan Danau Toba, akan tetapi semakin surutnya Danau Toba membuat tanah itu menjadi kosong. Batu Debata Idup diletakkan tepat di pintu masuk desa Huta godang.”

2. Latar Waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya sastra. Latar yang terdapat pada cerita ini menunjukkan suatu peristiwa pada zaman itu.

Latar waktu terjadi pada pagi hari yakni ketika Datu Sontang Banua memindahkan batu tersebut kemudian menyembahnya :

Hal ini dapat dilihat dalam kutipan cerita :

“...Di sada tingki di parnaik ni mata niari, dung di paindah Batu Debata Idup i tu harbangan ni huta, marpangidoan ma Datu Sontang Banua. Marsomba ma ibana tu Batu Debata Idup i. “Diharbangan ni huta on ma ho dipeakhon, ho ma nagabe manjaga huta on, padao ma huta on sian angka parmaraan na naeng mancoba ro manegai huta on. Ho ma na gabe Debata si sombaon di huta on” ninna Datu Sontang Banua.”

Terjemahan :

“...Pada suatu hari saat ketika matahari mulai terbit, setelah Batu Debata Idup itu dipindahkan ke pintu masuk perkampungan, Datu Sontang Banua kemudian membuat permintaan. Dia menyembah Batu Debata Idup itu

“Engkau diletakkan dipintu masuk ini, engkaulah yang menjadi penjaga perkampungan ini, jauhkan dari marabahaya yang hendak mencoba mendatangi perkampungan ini, engkaulah yang akan menjadi dewa sebagai tempat penyembahan di perkampungan ini” ucap Datu Sontang Banua.”

3. Latar Sosial

Latar sosial menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat disuatu tempat yang diceritakan dalam suatu karya sastra. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks yaitu berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, spritual dan lain sebagainya. Latar sosial yang menyebabkan terjadinya cerita ini adalah keberadaan Batu Debata Idup yang dipercayai dapat membawa berkat bagi masyarakat di perkampungan itu.

Latar sosial menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat disuatu tempat yang diceritakan dalam suatu karya sastra. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks yaitu berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, spritual dan lain sebagainya. Latar sosial yang menyebabkan terjadinya cerita ini adalah keberadaan Batu Debata Idup yang dipercayai dapat membawa berkat bagi masyarakat di perkampungan itu.

Dokumen terkait