• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan dengan mengambil tanah yang berasal dari rizosfer kedelai di Kelurahan Simpang Kecamatan Berbak Kabupaten Tanjung Timur Provinsi Jambi. Analisis jenis dan jumlah spora FMA dilakukan di tiga

laboratorium yaitu: laboratorium Bioteknologi Hutan dan Lingkungan Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB, laboratorium Kriptogram, Pusat Penelitian Biologi, LIPI, Cibinong dan laboratorium Anatomu Kayu, Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Kemenhut, Bogor. Kegiatan dilakukan Bulan Agustus 2013.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah tanah dari rizosfer tanaman kedelai dan kantong plastik. Kedelai yang dibudidayakan adalah varietas Anjasmoro. Alat yang digunakan adalah mikroskop binokuler, saringan bertingkat ukuran 425, 300, 150 dan 53 µm, timbangan analitik dan alat untuk analisis sifat fisik dan kimia tanah.

Prosedur Kerja

Tanah untuk penangkaran FMA diambil dari rizosfer kedelai dengan kedalaman 0 – 20 cm dan diameter 20 cm berikut tanaman kedelai yang tumbuh di atasnya. Tanah untuk penangkaran FMA diambil dari rizosfer 20 tanaman kedelai, kemudian tanah dari rizosfer kedelai masing-masing dimasukkan ke dalam kantong plastik. Kedelai yang dibudidayakan adalah varietas Anjasmoro. Contoh tanah untuk analisis hara merupakan komposit dari 10 titik pengambilan contoh dengan bobot masing-masing 500 g dari 2 kedalaman yaitu 0 – 30 cm dan 30 – 60 cm dan dimasukkan ke dalam kantong plastik. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian IPB.

Isolasi spora menggunakan 25 g sampel tanah. Isolasi spora FMA dari sampel tanah dilakukan dengan metode tuang saring basah (Finlay 2004) dan dilanjutkan dengan sentifugasi dari Brundrett et al. (1996). Proses sentrifugasi akan menghasilkan lapisan di tengah tabung yaitu antara lapisan air dengan glukosa yang merupakan kumpulan partikel-partikel yang mengandung spora FMA. Lapisan tersebut selanjutnya diambil dan dituangkan ke dalam saringan bertingkat (425, 300, 150 dan 53 µm) dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan glukosa. Endapan yang tersisa dalam saringan dituangkan ke dalam cawan Petri dan kemudian dilihat di bawah mikroskop untuk penghitungan jumlah spora. Penentuan jenis FMA mengacu pada kriteria yang diajukan oleh Schenck dan Perez (1990).

Pengamatan

Peubah yang diamati adalah kepadatan spora FMA serta sifat fisik dan kimia tanah pada contoh tanah. Pengamatan spora dilakukan dengan menggunakan miskroskop binokuler. Pengamatan spora ini dilakukan sebagai dasar untuk melakukan trapping FMA. Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif melalui tabulasi data.

23 HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis tanah sebelum penelitian dilakukan pada lahan yang akan ditanami kedelai di Kelurahan Simpang Kecamatan Berbak Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi (Tabel 3.1).

Beberapa indikator yang diperlukan dalam mengaitkan hasil analisis tanah dengan keberadaan FMA antara lain: fraksi yang menyusun tekstur tanah, KTK, C, N, P dan pH. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Safir dan Duniway (1988) bahwa sebaran mikoriza dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain jenis dan struktur tanah, unsur hara P dan N dalam tanah, air, pH, dan suhu tanah.

Setelah dilakukan karakterisasi dan identifikasi dengan pendekatan metode Schenck dan Perez (1990) maka diperoleh 2 species FMA dari genus Glomus yaitu

Glomus fasciculatum dan Glomus fecundisporum berdasarkan karakter utama yang dijumpai pada spora FMA (Tabel 3.2). Gambar spora disajikan pada Gambar 3.1 Tabel 3.1 Hasil analisis tanah sebelum penelitian

No. Parameter Kedalaman

(0-30) cm Harkat (30-60) cm Harkat

1. pH 1:1 H2O 4.70 masam 4.80 masam

2. pH 1:1 KCl 4.00 sangat

masam

4.00 sangat masam

3. C-org (%) 3.59 tinggi 1.83 rendah

4. N-Total (%) 0.33 sedang 0.17 rendah

5. P Bray I (ppm) 16.80 sedang 7.80 sangat

rendah 6. P HCl 25% (ppm) 164.50 sangat

tinggi

73.50 sangat tinggi

7. Ca (me/100g) 6.61 sedang 2.39 rendah

8. Mg (me/100g) 4.22 tinggi 2.73 tinggi

9. K (me/100g) 0.46 0.14

10. Na (me/100g) 0.47 0.22

11. KTK(me/100g) 33.62 tinggi 19.21 sedang

12. KB (%) 34.98 sedang 28.53 rendah

13. Al (me/100g) 0.90 rendah 2.34 sedang

14. H (me/100g) 0.12 0.30 15. Fe (ppm) 25.74 tinggi 34.65 tinggi 16. Cu (ppm) 3.66 rendah 3.92 rendah 17. Zn (ppm) 4.70 sedang 3.43 sedang 18. Mn (ppm) 19.74 sedang 23.50 tinggi 19. Pasir (%) 0.73 0.54 20. Debu (%) 58.94 46.47 21. Liat (%) 40.33 52.99

Tabel 3.2 Daftar jenis-jenis FMA yang diisolasi tanah rizosfer kedelai lahan pasang surut

Bangsa/Suku/ Jenis

Karakter utama spora

Susunan Warna Bentuk Ukuran (µm) Tebal dinding (µm) Lapisan dinding (µm) Glomerales Glomeraceae Glomus

fasciculatum Aggregat Kuning bulat 43–195 9.01 1

Glomus

fecundisporum Tunggal Kuning bulat 147–217

7.04

&5.36 2 Keberadaan FMA merupakan hal yang penting bagi ketahanan suatu ekosistem. FMA akan meningkatkan stabilitas tanaman dan keragaman tumbuhan serta meningkatkan produktivitas tanaman. Oleh karena itu, ketersediaan inokulan dalam kuantitas dan kualitas yang baik merupakan faktor penting dalam penggunaan FMA dalam skala yang lebih luas. Langkah awal yang dilakukan adalah karakterisasi dan identifikasi FMA dari sampel tanah terutama untuk mendapatkan FMA lokal

Gambar 3.1 Species FMA: a. Glomus fasciculatum dan b. Glomus fecundisporum

Dari hasil karakterisasi dan identifikasi FMA yang dilakukan terhadap lahan yang akan ditanami kedelai di lahan pasang surut, diperoleh bahwa jumlah spora yang diperoleh cukup rendah yaitu 2.33 spora untuk Glomus fasciculatum dan 1.67 spora untuk Glomus fecundisporum (Tabel 3.3). Keberadaan fungi mikoriza di alam tersebar luas, menurut Smith dan Read (2008), lebih dari 80 % jenis-jenis

25 tanaman berasosiasi dengan FMA. Nadarajah dan Nawawi (1997) menyatakan bahwa FMA dapat dijumpai dalam bebarapa tipe ekosistem darat seperti semak, sabana daerah arid, semi arid, hutan hujan tropika dan padang rumput.

Tabel 3.3 Jumlah spora dalam 25 g tanah

Species FMA Jumlah Spora Jumlah Rata-rata

I II III Glomus Fasciculatum 2 2 3 7 2.33 Glomus fecundisporum 1 2 2 5 1.67

Jumlah spora yang diperoleh dalam kegiatan eksplorasi ini tergolong rendah yaitu 4 spora. Kondisi ini berkaitan erat dengan sifat fisik dan kimia tanah lokasi penelitian yang memiliki KTK dan kadar liat yang tinggi, kadar C yang tinggi dan N sedang. Hal lain yang perlu diperhatikan menurut Delvian (2003) dalam melakukan eksplorasi spora FMA dari suatu lahan adalah musim, karena jumlah spora juga dipengaruhi oleh musim.

Hasil penelitian Puspitasari et al. (2012) mendapatkan bahwa peningkatan KTK dalam tanah berbanding terbalik dengan jumlah spora Glomus dan

Acaulospora, dimana dengan adanya peningkatan KTK maka jumlah spora Glomus

dan spora Acaulospora akan mengalami penurunan yang signifikan. Namun, jumlah spora jenis Gigaspora mengalami peningkatan. Diperoleh pula bahwa berdasarkan nilai korelasi, peningkatan unsur C dan N berbanding terbalik dengan jumlah spora Glomus dan Acaulospora, yaitu dengan adanya peningkatan unsur C dan N maka jumlah spora Glomus dan spora Acaulospora akan mengalami penurunan.

Di antara genus FMA yang ada di alam, maka Glomus merupakan genus yang paling banyak ditemukan untuk setiap rizosfer tumbuhan pionir yang diamati. Clark (1997) menyatakan bahwa Glomus memiliki masa dormansi yang singkat, mempunyai daya kecambah cukup baik dan waktu kecambah paling cepat yaitu sekitar ± 6 minggu. Hal ini menunjukkan bahwa Glomus mempunyai tingkat adaptasi yang cukup tinggi terhadap berbagai kondisi lingkungan. Selain itu, fraksi liat yang tinggi dalam suatu massa tanah akan mempengaruhi keberadaan jenis FMA.

Tanah yang didominasi oleh fraksi lempung merupakan kondisi yang diduga sesuai untuk perkembangan spora Glomus (Koske 1987) sedangkan di tanah berpasir genus Gigaspora juga ditemukan dalam jumlah tinggi. Pada tanah berpasir, pori-pori tanah terbentuk lebih besar dibanding tanah lempung dan keadaan ini diduga sesuai untuk perkembangan spora Gigaspora yang berukuran lebih besar daripada spora Glomus (Widiastuti dan Kramadibrata 1992). Hal ini juga

dinyatakan oleh Rainiyati et al. (2007) bahwa perbedaan kepadatan spora kemungkinan dipengaruhi oleh perbedaan lingkungan (jenis tanah, hara tanaman, ketinggian tempat, cahaya) dan musim pada saat pengambilan contoh tanah