• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

PEMBAHASAN UMUM

Untuk mencapai hasil yang optimum, maka kedelai memerlukan faktor pertumbuhan yang kondusif di antaranya adalah tercukupinya kebutuhan tanaman akan unsur hara makro terutama P. Unsur hara tersebut digunakan untuk pembentukan ATP yang merupakan sumber energi utama pada hampir semua proses biologis. Kedelai juga harus mampu menyerap unsur hara tersebut dari dalam tanah untuk memenuhi kebutuhannya terhadap unsur hara P.

Kedelai menyerap P dalam tanah melalui akar, namun akar kedelai memiliki keterbatasan untuk menyerap unsur hara. Akar tanaman hanya mampu menyerap P yang dapat dijangkaunya dan P tersebut harus bebas atau tidak terjerap oleh partikel-partikel logam ataupun liat di dalam tanah. Oleh karena itu, kemampuan akar dalam menyerap P di dalam tanah akan ditingkatkan dengan adanya FMA yang bersimbiosis dengan akar kedelai.

FMA mampu meningkatkan serapa hara, disebabkan di samping membentuk hifa internal, mikoriza juga membentuk hifa eksternal. Penyerapan unsur hara khususnya P sangat dipengaruhi oleh panjang total hifa yang hidup, penyebaran hifa di dalam tanah dan oleh energi kinetik penyebaran hifa. P yang terakumulasi pada hifa eksternal akan segera diubah menjadi senyawa polifosfat dengan adanya enzim fosfatase. Di dalam arbuskula senyawa polifosfat dipecah menjadi fosfat anorganik yang kemudian dilepaskan ke dalam jaringan tanaman inang.

Di antara indikator yang mengaitkan hasil analisis tanah yang dilakukan sebelum penelitian dengan keberadaan FMA antara lain: fraksi yang menyusun tekstur tanah, KTK, C, N, P dan pH tanah. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Safir dan Duniway (1988) bahwa sebaran mikoriza dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain jenis dan struktur tanah, unsur hara P dan N dalam tanah, air, pH, dan suhu. Setelah dilakukan karakterisasi dan identifikasi dengan pendekatan metode Schenck dan Perez (1990) maka diperoleh 2 species FMA dari genus Glomus yaitu

Glomus fasciculatum dan Glomus fecundisporum berdasarkan karakter utama yang dijumpai pada spora FMA. Namun jumlah spora yang diperoleh cukup rendah yaitu 2.33 spora untuk Glomus fasciculatum dan 1.67 spora untuk Glomus fecundisporum. Clark (1997) menyatakan bahwa Glomus memiliki masa dormansi yang singkat, mempunyai daya kecambah cukup baik dan waktu kecambah paling cepat yaitu sekitar ± 6 minggu. Hal ini menunjukkan bahwa Glomus mempunyai tingkat adaptasi yang cukup tinggi terhadap berbagai kondisi lingkungan.

Rendahnya jumah spora yang diperoleh, berkaitan erat dengan sifat fisik dan kimia tanah lokasi penelitian yang memiliki KTK dan kadar liat yang tinggi, kadar C yang tinggi dan N sedang. Hal lain yang perlu diperhatikan menurut Delvian (2003) dalam melakukan eksplorasi spora FMA dari suatu lahan adalah musim, karena jumlah spora juga dipengaruhi oleh musim.

Puspitasari et al. (2012) mendapatkan dalam penelitiannya bahwa peningkatan KTK, C dan N dalam tanah berbanding terbalik dengan jumlah spora

Glomus dan Acaulospora, dimana dengan adanya peningkatan KTK maka jumlah spora Glomus dan spora Acaulospora akan mengalami penurunan yang signifikan.

Koske (1987) menyatakan bahwa tanah yang didominasi oleh fraksi lempung merupakan kondisi yang diduga sesuai untuk perkembangan spora

103

Glomus sedangkan di tanah berpasir genus Gigaspora juga ditemukan dalam jumlah tinggi. Menurut Widiastuti dan Kramadibrata (1992) pada tanah berpasir, pori-pori tanah terbentuk lebih besar dibanding tanah lempung dan keadaan ini diduga sesuai untuk perkembangan spora Gigaspora yang berukuran lebih besar daripada spora Glomus.

Pada Percobaan 1 (satu) diperoleh jumlah spora FMA yang tergolong rendah yaitu 4 spora dalam 25 g sampel tanah. Oleh karena itu perlu dilakukan kegiatan trapping FMA. Hasil trapping FMA akan digunakan dalam percobaan selanjutnya.

Penggunaan metode kultur trapping untuk memperoleh spora FMA yang baru, bila pada kegiatan karakterisasi dan identifikasi, belum terjadi sporulasi. Setelah dilakukan trapping maka spora baru akan muncul dan dapat lebih beragam jenisnya serta mempunyai viabilitas yang tinggi apabila dibiakkan kembali. Kolonisasi akar yang maksimum akan dicapai pada tanah yang kurang subur kondisinya. Baik N maupun P akan mengurangi kolonisasi akar bila terdapat di dalam tingkat ketersediaan yang tinggi. Kolonisasi akan meningkat jika kandungan N yang tinggi dan P pada jumlah yang moderat, tetapi pada kondisi P yang tinggi maka penambahan N akan menjadi penghambat terbentuknya infeksi akar dan jumlah spora.

Penelitian ini menunjukkan bahwa kegiatan trapping dengan berbagai jenis tanaman inang, menambah jumlah spesies FMA yang ditemukan. Hal ini disebabkan karena pada saat karakerisasi dan identifikasi sebelum trapping FMA, miselium FMA dalam tanah dan akar kedelai belum berkembang secara sempurna. Setelah dilakukan trapping FMA, maka miselium FMA di dalam tanah berkembang dengan baik karena didukung oleh kondisi lingkungan yang kondusif. Kondisi lingkungan yang kondusif serta kebutuhan metabolit hara yang cukup membuat spora berkembang baik dan keragamannya menjadi meningkat.

Proses trapping FMA (Percobaan 2) membuktikan bahwa perbanyakan jenis dan jumlah spora FMA harus dilakukan untuk mengeksplorasi keberadaan FMA pada lahan yang akan ditanami kedelai. Eksplorasi jenis dan jumlah spora FMA sangat diperlukan untuk menjamin infektivitas dan efektivitas inokulan terhadap tanaman kedelai dari rizosfer inang yang berbeda. Infektivitas dan efektivitas inokulan yang optimal akan terjadi pada kedelai bila jenisnya kompatibel dan jumlahnya memadai.

Walaupun secara umum dinyatakan bahwa FMA sebagai simbion obligat, tidak memilih inang spesifik, namun penelitian ini menghasilkan fenomena yang menarik. Penelitian ini menunjukkan bahwa FMA mempunyai kekhasan tersendiri dalam bersimbiosis dengan tanaman inang, sehingga spora dapat berkembang dengan baik. Setiap jenis tanaman inang berinteraksi dengan jenis FMA yang berbeda, bahkan perbedaan varietas atau galur pada Glycine max berinteraksi dengan jenis FMA yang berbeda. Di antara jenis tanaman inang yang digunakan dalam proses trapping FMA, maka tanaman inang yang menghasilkan dua species FMA adalah Zea mays (Glomus clarum dan Acaulospra tuberculata), Pueraria javanica (Glomus macrocarpum dan Acaulospora scrobiculata) serta Glycine max

galur Sibayak Pangrango (Glomus clarum dan Septoglomus constrictum). Jenis tanaman inang lain menghasilkan satu species FMA yaitu: Sorghum bicolor

(Glomus clarum), Glycine max varietas Tanggamus (Glomus fecundisporum),

Slamet (Septoglomus constrictum), Glycine max varietas Wilis (Septoglomus constrictum) dan Glycine max galur Pangrango Godek (Glomus fasciculatum).

Bakhtiar (2002) menyatakan bahwa meskipun setiap tanaman mampu dijadikan inang pertumbuhan bagi FMA namun terdapat beberapa tanaman yang merupakan inang spesifik FMA. Hal ini dapat dilihat dari respon kolonisasi akar pada tingkat infeksi yang maksimum. Menurut Brundrett et al. (1996) pemilihan tanaman inang untuk produksi FMA dalam kultur pot memberikan pengaruh yang besar pada pembentukan spora FMA dan infeksi akar. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Sieverding (1991) bahwa spesies FMA, tanaman inang, media tanam dan kondisi lingkungan, mempengaruhi waktu pembentukan spora. Menurut Ratnayake et al. (1978), infeksi FMA pada tanaman inang juga ditentukan oleh eksudat akar yang dikeluarkan berupa gula, asam organik dan asam amino yang merupakan makanan bagi FMA. Setiap tanaman mengeluarkan eksudat akar yang berbeda sehingga respon FMA terhadap tanaman inang juga tidak sama.

Zea mays menghasilkan jumlah spora lebih banyak dibandingkan dengan tanaman inang lain. Dalam hal jumlah spora, hanya Sorghum bicolor yang mampu mengimbangi Zea mays tetapi Sorghum bicolor hanya mengandung satu species FMA yaitu Glomus clarum. Pueraria javanica dan Glycine max galur Sibayak Pangrango menghasilkan 2 species FMA yaitu Glomus macrocarpum dan

Acaulospora scrobiculata pada inang Pueraria javanica serta Glomus clarum dan

Septoglomus constrictum pada inang Glycine max galur Sibayak pangrango, tetapi jumlah sporanya sedikit.

Umumnya proses trapping FMA mengharapkan kolonisasi akar yang tinggi serta jumlah spora yang banyak. Jumlah spora dapat meningkat disebabkan oleh tingkat ketuaan akar tanaman. Pengamatan Suhardi (1989) menunjukkan bahwa perkembangan spora biasanya terjadi karena terjadi reaksi terhadap pertumbuhan akar, maka produksi spora akan semakin banyak setelah tanaman inang mendekati dewasa dan bahkan ketika mendekati tua pada saat panen.

Penelitian ini menunjukkan bahwa Zea mays selain memiliki keunggulan pada jenis dan kelimpahan spora, Zea mays juga lebih tinggi kolonisasi akar, bobot inokulum, bobot basah akar dan bobot kering akar diikuti oleh Sorghum bicolor

yang juga berpengaruh signifikan dengan tanaman inang lain. Hal ini disebabkan golongan Zea mays memiliki akar yang banyak dan sistem perakaran yang luas. Hal ini sejalan dengan pendapat Suhardi (1989), syarat dalam pemilihan tanaman inang untuk produksi FMA adalah tanaman tumbuh cepat dan menghasilkan banyak akar. Menurut Anas dan Tampubolon (2004), akar tanaman inang yang banyak dengan derajat infeksi akar oleh FMA yang tinggi merupakan indikator sumber inokulum FMA yang baik.

Proses trapping FMA dapat dilakukan di rumah kaca atau di lapangan tergantung kebutuhan. Bila belum diperoleh kepastian kehadiran FMA pada lahan yang akan ditanami kedelai, maka sebaiknya dilakukan kegiatan identifikasi dan karakterisasi FMA. Bila kehadiran FMA pada lahan yang akan ditanami kedelai memiliki jumlah yang kurang memadai, maka perlu dilakukan trapping FMA.

Berdasarkan hasil penelitian trapping FMA (Percobaan 2), maka dari segi praktis di lapangan, lahan yang pernah diinokulasi FMA, dapat disisipkan jagung di antara tanaman pokok dalam jarak 2 – 4 m untuk mempertahankan jumlah dan jenis FMA yang terdapat di dalam tanah. Lahan yang belum pernah diinokulasi dengan FMA, bila diyakini pada lahan tersebut ada FMA, maka dapat dilakukan

105 dengan mengatur pola tanam. Dua bulan waktu yang tersedia antara panen padi dengan penanaman kedelai dapat dilakukan budidaya jagung untuk tujuan silase (makanan ternak). Penanaman jagung dilakukan dengan sedikit pupuk P untuk memicu aktivitas FMA yang ada di dalam tanah untuk bersimbiosis dengan jagung serta menghasilkan propagul yang lebih banyak.

Hasil Percobaan 2 (dua) yang telah diperoleh dalam rangkaian percobaan ini, perlu diuji dalam skala rumah kaca dalam bentuk Percobaan 3 (tiga). Percobaan 3 (tiga) untuk menelaah kompatibilitas inokulan dari rizosfer inang yang berbeda terhadap kedelai pada budidaya jenuh air dan budidaya konvensional.

Hasil penelitian dari Percobaan 3 (tiga) menunjukkan bahwa tanaman kedelai yang diinokulasi dengan inokulan dari rizosfer Zea mays dan Sorghum bicolor lebih respon meningkatkan kadar P dibandingkan dengan yang diinokulasi dengan inokulan dari rizosfer Pueraria javanica, Glycine max atau yang tanpa diinokulasi. Respon kedelai yang diinokulasi dengan inokulan dari rizosfer Zea mays terhadap kondisi budidaya jenuh air dibandingkan budidaya konvensional, lebih besar daripada kedelai yang diinokulasi dengan inokulan dari rizosfer Sorghum bicolor. Kedelai yang diinokulasi dengan inokulan dari rizosfer Glycine max dan Pueraria javanica serta tanpa inokulan memiliki kadar P yang sama pada budidaya jenuh air dan budidaya konvensional.

Serapan P kedelai terbesar diperoleh pada interaksi budidaya jenuh air dengan inokulan dari rizosfer Zea mays dengan peningkatan 37 mg/tanamandan berbeda nyata dibandingkan budidaya konvensional dengan tanpa inokula berbeda nyata dengan perlakuan lain kecuali budidaya jenuh air dengan inokulan dari rizosfer Sorghum bicolor. Kedelai yang diinokulasi dengan inokulan dari rizosfer

Zea mays lebih responsif meningkatkan serapan P pada budidaya jenuh air dibandingkan dengan kedelai yang diinokulasi dengan inokulan dari rizosfer

Sorghum bicolor. Kedelai yang diinokulasi dengan inokulan dari rizosfer Pueraria javanica tidak memberikan respon terhadap perbedaan cara budidaya untuk melakukan serapan P. Kedelai yang diinokulasi dengan inokulan dari rizosfer

Glycine max mengalami tekanan pada kondisi budidaya jenuh air untuk melakukan serapan P.

Isolat FMA dari rizosfer Zea mays memberikan serapan P dan efisiensi relatif serapan hara P dan efisiensi relatif inokulan tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lain, hal ini berkaitan dengan kolonisasi akar pada perlakuan isolat FMA dari rizosfer Zea mays sebesar 56.17% yang berdasarkan kriteria Rajapakse dan Miler termasuk kategori tinggi (51% - 75%). Tingginya tingkat infeksi sangat dipengaruhi oleh tanaman inangnya. Prasetia, Haryani dan Trisilawati (2012) melaporkan hasil penelitiannya bahwa Zea mays mempunyai perakaran yang cocok untuk berlangsungnya pertumbuhan FMA sehingga dapat hidup dengan optimal.

Kedelai yang diinokulasi dengan inokulan dari rizosfer Zea mays lebih respon meningkatkan peubah efisiensi relatif inokulan (72.79%) pada budidaya jenuh air dibandingkan tanaman inang yang lain. Kedelai yang diinokulasi dengan inokulan dari rizosfer Pueraria javanica memberikan respon yang sama pada kedua cara budidaya. Kedelai yang diinokulasi dengan inokulan dari rizosfer Glycine max

malah mengalami penurunan nilai peubah efisiensi relatif inokulannya.

Kedelai yang diinokulasi dengan inokulan dari rizosfer Zea mays lebih respon meningkatkan bobot kering brangkasannya dibandingkan dengan kedelai yang diinokulasi dengan inokulan dari rizosfer Sorghum bicolor pada budidaya

jenuh air. Kedelai yang diinokulasi dengan inkulan dari rizosfer Pueraria javanica

dan Glycine max memberikan respon yang sama pada budidaya jenuh air dan budidaya konvensional pada peubah bobot kering brangkasan.

Kedelai yang diinokulasi dengan inokulan dari rizosfer Zea mays

memberikan respon dengan meningkatkan jumlah polong isi pada budidaya jenuh air, sementara perlakuan lain memberikan respon yang sama pada kedua cara budidaya yang dicobakan. Produksi biji kering terberat diperoleh pada interaksi budidaya jenuh air dengan inokulan dari rizosfer Zea mays dengan peningkatan 11.87 g dibandingkan dengan tanpa inokulan dengan budidaya konvensional dan namun berbeda nyata dengan perlakuan lain. Kedelai yang diinokulasi dengan inokulan dari rizosfer Zea mays memberikan respon dengan meningkatkan bobot kering biji pada budidaya jenuh air, sementara perlakuan lain memberikan respon yang sama pada kedua cara budidaya yang dicobakan.

Inokulan dari rizosfer Zea mays menyebabkan kedelai memiliki serapan N lebih besar dari perlakuan lain. Inokulan dari rizosfer Zea mays menghasilkan serapan K lebih banyak dibandingkan dengan tanpa inokulan, berbeda nyata dengan Pueraria javanica namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan lain.

Inokulan dari rizosfer Zea mays meningkatkan serapan N, P dan K oleh tanaman, sehingga kadar N dan P dalam jaringan tanaman juga meningkat. Meningkatnya kadar P dalam jaringan tanaman mengakibatkan peningkatan efisiensi relatif serapan hara P. Inokulan dari rizosfer Zea mays juga meningkatkan efisiensi relatif inokulan.

Akar yang memiliki FMA dapat meningkatkan kapasitas pengambilan hara karena waktu hidup akar yang dikolonisasi diperpanjang dan derajat percabangan serta diameter akar diperbesar, sehingga luas permukaan absorbsi akar diperluas (Abbott dan Robson 1984). Serapan air yang lebih besar oleh tanaman bermikoriza,juga membawa unsur hara yang mudah larut dan terbawa oleh aliran masa seperti N, K dan S, sehingga serapan unsur tersebut juga makin meningkat. Di samping serapan hara melalui aliran masa, serapan P yang tinggi juga disebabkan karena hifa FMA juga mengeluarkan enzim fosfatase, sehingga dengan enzim tersebut hifa-hifa cendawan mampu melepaskan ikatan P dari mineral liat pada tanah dan merombak P bentuk ion fosfor sehingga tersedia dan dapat dimanfaatkan bagi tanaman (Nathanson et al. 1984). Akar yang bermikoriza dapat meningkatkan serapan hara terutama P. Adanya unsur P dalam jumlah cukup dalam tanah memacu pembentukan polong per tanaman yang semakin tinggi (Sieverding 1991).

Kondisi ini juga ditunjang oleh kelimpahan spora FMA tertinggi yang diperoleh inang tanaman jagung pada percobaan trapping FMA dan digunakan sebagai bahan inokulan pada percobaan ini. Populasi spora FMA yang tinggi juga diduga disebabkan kondisi lingkungan yang lebih sesuai, optimal, dan kompatibel dalam mendukung pertumbuhan dan perkembangan spora FMA serta kemungkinan tidak adanya jamur antagonis yang menghambat sporulasi FMA meningkatnya serapan P dan ERSHP akan meningkatkankan jumlah polong isi, menekan jumlah polong hampa meningkatkan bobot 100 biji dan bobot biji kering.

Budidaya jenuh air meningkatkan serapan N, P dan K, sehingga meningkatkan kadar N, P dan K dalam jaringan tanaman. Meningkatnya kadar P dalam jaringan tanaman mengakibatkan peningkatan efisiensi relatif serapan hara P. Budidaya jenuh air juga meningkatkan efisiensi relatif inokulan.

107 Budidaya jenuh air akan mereduksi Fe3+ menjadi Fe2+, sehingga tidak menjadi racun bagi tanaman. Reduksi besi ini dianggap sebagai reaksi terpenting karena meningkatkan ketersediaan P dan melepaskan kation ke kompleks dapat dipertukarkan. Ketersediaan P akibat reaksi reduksi ini karena budidaya jenuh air akan mengakibatkan berkurangnya penggunaan pupuk P untuk memperoleh hasil yang sama.

Budidaya jenuh air memberikan kondisi yang lebih baik bagi lingkungan pertumbuhan perakaran karena ketersediaan air yang cukup sehingga membentuk akar dan bintil akar lebih banyak. Pertumbuhan akar dan bintil akar meningkat setelah fase aklimatisasi karena tanaman memperbaiki pertumbuhannya sebagai suatu mekanisme adaptasi morfologi terhadap kondisi lahan basah untuk pembentukan akar-akar baru guna menggantikan fungsi akar-akar yang mati akibat terjenuhi air. Mekanisme adaptasi tersebut dimulai dengan meningkatnya kandungan 1-aminocyclopropane-1-carboxylic acid (ACC) akar yang diikuti oleh kandungan etilen akar. Etilen akar akan meningkatkan terbentuknya jaringan aerenkima dan perakaran baru (Ghulamahdi et al. 1999). Pertumbuhan akar-akar baru ini akan meningkatkan pembentukan bintil akar (Inderadewa et al. 2004) yang selanjutnya meningkatkan aktivitas nitrogenase dan serapan hara oleh akar (Ghulamahdi et al. 2006). Pembentukan akar-akar baru dapat meningkatkan jumlah bintil akar yang berkorelasi positif dengan bobot kering bintil (Taiz dan Zeiger 2002), dengan bobot kering bintil akar yang lebih banyak memungkinkan bagi tanaman untuk mendapatkan N yang lebih banyak (Purwaningrahayu et al. 2004). Peningkatan kadar N akibat menggunakan budidaya jenuh air dibandingkan dengan budidaya konvensional akan mampu mendorong pertumbuhan tanaman. Hal ini ditunjukkan oleh pertumbuhan dan hasil kedelai yang dikelola dengan budidaya jenuh air meningkat karena serapan N dan pertumbuhan akar di atas permukaan air tanah meningkat. Legum dengan bintil akar dapat memanfaatkan gas nitrogen dari udara maupun nitrogen anorganik dari dalam tanah dalam bentuk ion amonium dan nitrat. Nitrat mula-mula direduksi menjadi nitrit oleh nitrat reduktase sedangkan gas nitrogen disemat oleh nitrogenase (Taufiq et al.2007). Nitrogen merupakan unsur hara pembentuk sebagian komponen tanaman seperti asam amino, sistem enzim dan bagian dari molekul klorofil (Marschner 1995).

Budidaya jenuh air menghasilkan diameter batang 1.3 mm lebih besar dan berbeda nyata dibandingkan dengan budidaya konvensional. Jadi, walaupun budidaya konvensional menghasilkan kolonisasi akar yang lebih banyak, tetapi budidaya jenuh air mampu meningkatkan bobot kering brangkasan kedelai. Oleh karena itu, budidaya jenuh air memberikan pertumbuhan terbaik bagi kedelai.

Budidaya jenuh air memperlambat umur berbunga 1 (satu) hari dan berbeda nyata dibandingkan budidaya konvensional. Budidaya jenuh air menghasilkan umur berbunga 0.87 hari lebih lambat dibandingkan dengan budidaya konvensional. Budidaya konvensional menghasilkan jumlah polong hampa 0.8 polong lebih banyak dan berbeda nyata dibandingkan dengan budidaya jenuh air.

Budidaya jenuh air memperlambat umur berbunga dan umur panen kedelai. Budidaya jenuh air meningkatkan jumlah polong isi dan mengurangi jumlah polong hampa, sehingga mampu meningkatkan produksi biji kering. Kelembaban tanah dalam jumlah yang cukup sepanjang hidupnya, akan memberikan pertumbuhan dan hasil yang tinggi bagi tanaman, pertumbuhan bintil terus berlanjut sampai fase pengisian polong dan menyebabkan penundaan penuaan (Nathanson et al. 1984).

Kecukupan penyediaan air untuk mencapai kelengasan tanah optimal merupakan komponen budidaya kedelai yang sangat penting (Suriadikarta 2005).

Ghulamahdi (2011) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa tanaman kedelai yang ditanam dengan teknologi budidaya jenuh air menunjukkan pertumbuhan dan hasil yang nyata lebih tinggi dibandingkan tanaman kedelai yang ditanam tanpa pengairan (kontrol). Hal ini diduga karena teknologi budidaya jenuh air memungkinkan tanah dalam keadaan kapasitas lapang.

Peningkatan nilai variabel tanaman kedelai pada budidaya jenuh air dibandingkan dengan yang ditanam pada budidaya konvensional, disebabkan karena adanya ketersediaan air yang stabil di bawah permukaan tanah, sehingga kelembaban tanah berada dalam kondisi kapasitas lapang. Kondisi ini sekaligus mampu menekan oksidasi pirit. Keberadaan lapisan pirit pada media tanam akan menjadi faktor penghambat pertumbuhan kedelai, jika ditanam secara budidaya konvensional, hal ini ditunjukkan oleh rendahnya variabel kedelai yang ditanam secara konvensional dibandingkan dengan budidaya jenuh air. Pada budidaya konvensional, kondisi air tanah akan turun melebihi lapisan pirit. Pirit yang mengalami oksidasi menghasilkan asam sulfat dan senyawa besi bebas bervalensi 3 (Fe3+). Hasil akhirnya merupakan tanah dengan reaksi masam ekstrim (pH <3.5), dan banyak mengandung ion-ion sulfat (SO4-), besi bervalensi 2 (Fe2+), dan aluminium (Al3+). Asam sulfat akan melarutkan sejumlah besar logam-logam berat, antara lain Al, Mn, Zn dan Cu sehingga bersifat toksik. Penerapan budidaya jenuh air akan menyebabkan pirit dalam keadaan reduktif karena sebagian ruang pori tanah diisi oleh air. Oksidasi pirit menjadi Fe dapat ditekan dan terhindar dari penurunan pH yang makin rendah (Suwarto et al. 1994).

Kondisi air yang stabil dari awal stadia vegetatif hingga stadia kematangan (Nathanson et al. 1984) dan tingginya suhu siang di daerah pasang surut dapat menyebabkan meningkatnya jumlah bunga yang muncul. Tersedianya air membuat daun menjadi hijau lebih lama dan aktifitas fotosintesis akan meningkat sehingga fotosintat yang dihasilkan cukup untuk memenuhi kebutuhan tanaman baik bagi pertumbuhan vegetatif maupun pembentukan dan pengisian polong. Hal inilah yang menyebabkan meningkatnya variabel vegetatif dan variabel generatif yang bermuara pada meningkatnya jumlah polong isi dan produksi biji kering. Hal ini sejalan dengan penelitian Ghulamahdi (2011) yang mendapatkan bahwa budidaya jenuh air meningkatkan tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah cabang, jumlah polong isi, bobot kering biji per petak, dan bobot 100 biji.

Budidaya jenuh air dengan semua interaksinya memperlambat umur berbunga dan umur panen kedelai. Budidaya jenuh air dengan inokulan dari rizosfer