• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di lahan pertanian petani Kecamatan Juwiring, Cawas, dan Trucuk, Laboratorium Lapang Klinik Tanaman, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor yang berada di Kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten, dan Laboratorium Taksonomi Serangga dan Museum Serangga Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan pada bulan Februari 2012 sampai Oktober 2012.

Pengambilan Sampel Kelompok Telur

Lokasi pengambilan sampel kelompok telur S. Incertulas dilakukan di 3 kecamatan. Masing-masing kecamatan terdiri dari 3 desa, dan masing-masing desa ditentukan 3 hamparan. Tiga kecamatan tersebut yaitu:

1. Kecamatan Juwiring dengan 3 desa yaitu Desa Bulurejo, Kwarasan, dan Tlogorandu

2. Kecamatan Cawas dengan 3 desa yaitu Desa Karangasem, Pogung, dan Tirtomarto

3. Kecamatan Trucuk dengan 3 desa yaitu Desa Wonosari, Kradenan, dan Sumber.

Gambar 2 Contoh hamparan padi tempat dilakukannya pengambilan kelompok telur

Pengambilan kelompok telur masing-masing desa dilakukan sebanyak 5 kali setiap 2 minggu sekali. Pengambilan kelompok telur dilakukan dengan transek hamparan menyusuri pematang sawah dari ujung ke ujung atau hingga ditemukan 25 kelompok telur (Gambar 2).

Hamparan yang diamati terdiri dari sejumlah patok, ukuran untuk setiap patok ±1200 m². Kelompok telur yang ditemukan dimasukkan ke dalam tabung berdiameter 4 cm dan tinggi 4.5 cm.

Penyiapan Wadah Pemeliharaan Telur

Tempat pemeliharaan kelompok telur menggunakan dua buah gelas plastik dengan ukuran yang berbeda. Ukuran gelas yang satu lebih kecil dari yang lainnya. Gelas yang berukuran lebih kecil dilubangi bagian bawahnya. Kelompok telur dan kapas lembab diletakkan di dalam gelas berukuran lebih besar kemudian gelas berukuran kecil diletakkan menumpuk di atas gelas berukuran lebih besar kemudian bagian gelas paling atas ditutup dengan menggunakan kain kassa seperti yang terlihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Rancangan tempat pemeliharaan kelompok telur (a) tempat pemeliha- raan telur yang dibuat di laboratorium (b)

Penggunaan tempat seperti ini dimaksudkan untuk memberi ruang hidup yang berbeda antara larva penggerek dengan parasitoid, sehingga dengan mudah parasitoid dan larva dapat dipisahkan. Parasitoid yang menetas terbang ke wadah bagian atas dengan melewati lubang, sedangkan larva tetap berada pada wadah bagian bawah.   a Kain kassa penutup Gelas ukuran sedang Kapas lembab Gelas kecil Kelompok telur S. incertulas b

Pengamatan Lapang

Pengamatan lapang dilakukan dengan memperhatikan lingkungan sekitar tempat penelitian, pola tanam padi, intensitas penggunaan pestisida, dan untuk memperoleh informasi dilakukan wawancara kepada petani setempat. Petani yang diwawancara berjumlah 30 orang untuk setiap kecamatan.

Penghitungan Kelompok Telur, Larva Hidup, Telur Gagal Menetas, Parasitisasi, dan Total Telur

Kelompok telur yang diambil dari setiap desa dihitung dan dipindahkan ke wadah pemeliharaan kemudian disimpan sampai menetas. Setelah telur menetas, dilakukan penghitungan jumlah larva dan parasitoid yang hidup dan keluar. Larva yang menetas dihitung persentasenya dengan menggunakan rumus:

% %

Sedangkan jika parasitoid yang muncul, persentase parasitisasinya dihitung dengan menggunakan rumus:

% %

Setelah larva menetas atau setelah masa penetasan telur habis, dilakukan pembedahan kelompok telur, dengan tujuan untuk mengetahui jumlah telur yang tidak menetas. Persentase telur yang gagal menetas dihitung dengan menggunakan persamaan:

% %

Untuk penghitungan total telur dihitung dengan menggunakan rumus:

Identifikasi Parasitoid Telur S. incertulas

Parasitoid yang keluar dari telur diidentifikasi dengan menggunakan bantuan mikroskop compound dan kunci identifikasi Taxonomy of Rice Insect

Pests and Their Arthropod Parasites and Predators, oleh Alberto T Barrion dan James A. Litsinger. Proses identifikasi dilakukan berdasarkan pengamatan karakter morfologi tubuh parasitoid.

Analisis Data

Pengolahan data dilakukan untuk melihat perbedaan jumlah kelompok telur, persentase larva hidup, persentase telur gagal menetas, dan persentase parasitisasi antar kecamatan untuk masing-masing waktu pengamatan. Data hasil penghitungan kemudian dilanjutkan dengan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%. Analisis statistika dilakukan dengan menggunakan program

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Kabupaten Klaten

Kabupaten Klaten terletak di Provinsi Jawa Tengah. Sebelah utara kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Boyolali, di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo, di sebelah selatan Kabupaten Gunung Kidul, dan di sebelah barat dengan Kabupaten Sleman. Kabupaten Klaten merupakan salah satu lumbung padi di Jawa Tengah. Saat ini lebih dari 80% hasil produksi pertanian pangan di Kabupaten Klaten adalah beras. Dari total lahan yang digunakan untuk bertanam padi, hampir 60% diantaranya beririgasi teknis, sebagian besar sisanya beririgasi semi teknis, dan hanya sebagian kecil yang merupakan lahan irigasi tadah hujan (Istiaji 2011).

Pola tanam di Kecamatan Juwiring, Delanggu, Polanharjo, dan Wonosari adalah padi-padi-padi. Wilayah-wilayah ini memiliki daerah tergenang sepanjang tahun sehingga ketersediaan air membuat petani menanam padi sepanjang tahun, hal ini justru mengakibatkan kegagalan panen paling banyak karena serangan wereng batang cokelat (Istiaji 2011).

Perbedaan Lokasi antar Kecamatan

Kecamatan Juwiring termasuk daerah beririgasi teknis. Air tersedia sepanjang tahun, sehingga memungkinkan pola tanam yang dilakukan petani padi- padi-padi (Gambar 4c). Sistem pertanaman padi di Kecamatan Juwiring berlangsung tidak serempak (Gambar 4a). Dari hasil wawancara dengan petani padi di Kecamatan Juwiring diketahui bahwa sebagian besar petani (66.7%) menggunakan varietas Inpari 13. Keseragaman varietas padi membuat kerapuhan genetik dan ditemukan varietas rentan yang menyebabkan populasi wereng berlipat ganda (Istiaji 2011).

Gambar 4 Sistem tanam tidak serempak (Yuliani, TS) (a), ketersediaan air mencukupi (Yuliani, TS) (b), dan pola tanam padi sepanjang tahun di Kecamatan Juwiring (c)

Varietas Inpari 13 merupakan bantuan dari pemerintah daerah setempat. Namun masih ada sebagian kecil petani yang menggunakan benih padi varietas lainnya seperti Inpari 1, IR 64, Situ Bagendit, dan Ciherang. Jarak tanam yang digunakan 20×20 cm sampai 25×25 cm. Penggunaan pupuk kimia di Kecamatan Juwiring lebih tinggi dibandingkan dengan Kecamatan Cawas dan Trucuk. Pupuk yang biasa dipakai petani yaitu pupuk NPK dan dosis pupuk yang digunakan untuk ukuran satu patok lebih dari 100 kg/patok, sedangkan untuk penggunaan pupuk organik atau kotoran hewan hanya beberapa orang saja yang menggunakannya. Frekuensi penyemprotan pestisida pada Kecamatan Juwiring paling tinggi dibandingkan dengan Kecamatan Cawas dan Kecamatan Trucuk karena penyemprotan dilakukan secara rutin 2-5 kali penyemprotan hingga waktu panen. OPT pada Kecamatan Juwiring hanya dikendalikan dengan menggunakan pestisida kimia dan petani tidak pernah mengendalikan dengan cara lain.

Berbeda dengan Kecamatan Juwiring, Kecamatan Cawas merupakan lahan pertanian dengan irigasi tadah hujan semi teknis. Kecamatan Cawas mengalami masa sulit air pada musim tanam ketiga (Gambar 5b). Pertanaman padi di Kecamatan Cawas berlangsung serempak (Gambar 5a). Petani lebih banyak menanam padi varietas IR 64 (41%). Namun tidak sedikit petani yang menanam varietas lain seperti Inpari 13, Situ Bagendit, Ciherang, Mekongga, Bunda Sri Madrim, dan Bestari.

Gambar 5 Sistem tanam serempak (a), ketersediaan air musim tanam ketiga (b), pola tanam padi-padi-palawija di Kecamatan Cawas (c)

Jarak tanam yang biasa digunakan petani adalah 20×20 cm. Penggunaan pupuk kimia tidak terlalu tinggi seperti di Kecamatan Juwiring, karena pemupukan untuk satu patok kurang dari 100 kg/patok, sedangkan untuk penggunaan kotoran hewan, hanya beberapa petani yang menggunakan kotoran hewan sebagai pupuk organik. Penggunaan pestisida kimia dilakukan untuk mengendalikan OPT. Penyemprotan dilakukan secara rutin 2-4 kali sampai panen.

Sistem irigasi di Kecamatan Trucuk yaitu semi teknis, pada musim tanam ketiga petani menanam palawija atau bukan padi karena kesulitan air. Tanaman bukan padi yang biasa ditanam adalah tembakau, jagung, dan kacang kedelai. Sistem tanam di Kecamatan Trucuk berlangsung serempak (Gambar 6a). Varietas padi yang banyak ditanam di Kecamatan Trucuk adalah IR 64 (43.4%). Namun petani lainnya ada juga yang menanam varietas lain seperti Way Apo Buru, Sri Madim, Inpari 13, Situ Bagendit, Mekongga, Mentik wangi, dan Ciherang. Jarak tanam yang digunakan 20×20 cm. Panggunaan pupuk kimia kurang dari 100kg/patok, sedangkan untuk penggunaan pupuk organik dari kotoran hewan lebih banyak, dibandingkan dengan petani di daerah Cawas dan Juwiring. Pengendalian OPT tidak hanya dengan pestisida kimia tetapi juga dengan menggunakan pestisida nabati yang dibuat bersama oleh kelompok tani.

Gambar 6 Sistem tanam serempak (a), ketersediaan air musim tanam ketiga (b) menjadikan pola tanam padi-padi-palawija di Kecamatan Trucuk (c)

Kelompok Telur S. incertulas

Jumlah kelompok telur yang ditemukan di setiap kecamatan pada tiap kali pengamatan selalu berbeda. Kelompok telur yang menempel di daun diambil beserta helai daun sepanjang 3 cm, karena apabila tidak diambil dengan daunnya maka kelompok telur menjadi hancur dan rusak. Ukuran kelompok telur bervariasi mulai dari 0.3-1.0 cm (Gambar 7b).

Gambar 7 Kelompok telur diamati di bawah mikroskop (a) dan variasi ukuran kelompok telur (b)

Berdasarkan Tabel 1, jumlah kelompok telur terbanyak ditemukan di Kecamatan Juwiring, hal ini karena Kecamatan Juwiring merupakan lahan

a b c

b a

Tabel 1 Jumlah kelompok telur di 3 kecamatan

Lokasi Pengamatan ke-

a Rata-rata 1 2 3 4 5 Kec. Juwiring 73.67 ± 2.08 a 66.67 ± 6.66 a 38.00 ± 33.81 a 7.67 ± 2.08 a 60.00 ± 20.22 a 63.00 Kec. Cawas 10.00 ± 15.62 a 0.67 ± 1.15 b 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 c 0.00 ± 0.00 b 2.13 Kec. Trucuk 33.67 ± 32.08 ab 2.67 ± 10.88 a 3.00 ± 5.20 a 4.67 ± 2.52 b 0.67 ± 0.58 b 8.93 a

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji duncan pada taraf 5%

Tabel 2 Persentase larva S. incertulas yang hidup

Lokasi Pengamatan ke-

a Rata-rata 1 2 3 4 5 Kec. Juwiring 57.20 ± 6.34 a 7.12 ± 7.05 a 4.11 ± 4.89 a 63.07 ± 9.69 a 18.40 ± 16.90 a 29.98 Kec. Cawas 1.04 ± 1.80 c 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 b 0.00 ± 0.00 b 0.21 Kec. Trucuk 41.00 ± 6.20 b 0.44 ± 0.75 a 13.25 ± 22.95 a 44.41 ± 16.60 a 33.30 ± 57.70 ab 26.49 a

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji duncan pada taraf 5%

pertanian irigasi teknis dengan ketersediaan air mencukupi sepanjang tahun. Petani memanfaatkan keadaan ini dengan terus menanam padi terus-menerus, yang menyebabkan ketersediaan inang di lapang untuk S. incertulas selalu ada. Padi yang ditanam dua kali setahun mengakibatkan serangga inang cenderung mampu mempertahankan populasinya dari satu musim tanam ke musim tanam berikutnya (Hamid et al. 2003).

Kelompok telur lebih banyak ditemukan pada tanaman muda, dibandingkan dengan tanaman tua, karena unsur nitrogen (N) lebih banyak pada tanaman muda dibandingkan dengan tanaman tua, pendapat ini didukung oleh Yani (1985) yang mengemukakan bahwa kekurangan N biasanya menyebabkan pertumbuhan tanaman tertekan dan menimbulkan gejala klorosis yang mula-mula timbul pada daun tua sedangkan daun muda tetap berwarna hijau. Petani di Kecamatan Juwiring biasa memberi pupuk pada saat awal penanaman. Pupuk N yang tinggi dapat membuat tanaman menjadi sukulen. Jika tanaman mengandung unsur N banyak maka tanaman lebih lunak sehingga lebih mudah diserang oleh larva S. incertulas. Menurut Bernays (1990), aplikasi pupuk N yang tinggi tidak akan berdampak pada biologi serangga tetapi akan merubah morfologi, biokimia, dan fisiologi dari tanaman inang.

Gambar 8 Kelompok telur ditemukan pada tanaman umur 2 MST (a), dan tanaman umur 5 MST (b)

Kelompok telur pada tanaman muda biasanya ditemukan di atas permukaan daun dan agak mendekati ujung daun (Gambar 8a), namun pada tanaman tua biasanya ditemukan di bawah permukaan daun dan jauh dari ujung daun (Gambar 8b). Jumlah kelompok telur di Kecamatan Trucuk dan Cawas lebih kecil dari jumlah kelompok telur yang ditemukan di Kecamatan Juwiring, hal ini karena pada musim tanam ketiga air sedikit di Kecamatan Trucuk dan Cawas sehingga petani mengganti tanamannya dengan tanaman selain padi yang dapat menyebabkan siklus hama terputus sehingga keberadaan kelompok telurnya di Kecamatan Cawas dan Trucuk tidak sebanyak di Kecamatan Juwiring.

Larva Hidup

Kelompok telur yang dipelihara dalam gelas plastik membutuhkan waktu sampai dengan 1 minggu untuk menetas (karena tidak semua kelompok telur memiliki umur yang sama), pendapat ini didukung oleh Soehardjan (1976) yang mengemukakan bahwa stadia telur bervariasi antara 6 sampai 9 hari. Dari kelompok telur yang menetas dapat keluar larva S. incertulas, parasitoid, ataupun larva S. incertulas dan parasitoid. Larva yang keluar dihitung jumlahnya dengan menggunakan counter.

Berdasarkan Tabel 2, persentase larva hidup tertinggi terdapat pada Kecamatan Juwiring. Hal ini membuktikan bahwa S. incertulas telah beradaptasi dengan baik terhadap lingkungannya, sehingga untuk S. incertulas pada Kecamatan Juwiring memiliki kemampuan bertahan hidup yang lebih baik dibandingkan S. incertulas di Kecamatan Cawas dan Trucuk. Kondisi ini didukung dengan adanya ketersediaan tanaman inang yang tidak pernah terputus, penggunaan insektisida yang kurang bijaksana (tidak memenuhi 5T) serta pemupukan yang berlebihan. Semakin banyak larva yang hidup maka semakin banyak populasi serangga ini pada generasi selanjutnya.

Kegagalan Menetas

Tidak semua telur S. incertulas memiliki kemampuan menetas yang sama. Oleh karena itu dilakukan pembedahan pada telur untuk mengetahui jumlah telur yang tidak menetas (Gambar 9).

Gambar 9 Pembedahan telur yang berisi larva mati (a) dan parasitoid mati (b)

Berdasarkan Tabel 3, persentase kegagalan menetas pada 3 kecamatan tidak berbeda nyata. Telur yang menetas dapat keluar sebagai larva S. incertulas

atau jika telur terparasit akan keluar sebagai parasitoid, sedangkan telur yang tidak menetas dapat disebabkan oleh infeksi patogen sehingga larva mati sebelum keluar dari telur, atau embrio telur tidak berkembang. Menurut Yunus (2012) di lapang sering terjadi kerusakan kelompok telur karena pengaruh faktor luar, penyebabnya adalah air pengairan sebagai akibat curah hujan yang tinggi.

Parasitisasi

Tingkat parasitisasi parasitoid ditentukan oleh keberadaan inang. Berdasarkan Tabel 4 persentase parasitisasi tertinggi terdapat pada Kecamatan Juwiring diikuti oleh Kecamatan Trucuk dan Cawas. Keberadaan telur di Kecamatan Juwiring selalu ada sehingga dapat menjadi inang untuk parasitoid telur S. incertulas. Berbeda dengan Kecamatan Cawas dan Trucuk yang memiliki pertanaman padi serempak dan setiap musim tanam ketiga tanaman dirotasi dengan tanaman selain padi seperti kedelai, jagung, tembakau, dan lainnya. Hal ini mengakibatkan terputusnya persediaan tanaman inang bagi PBPK

b a

Tabel 3 Persentase telur gagal menetas

Lokasi Pengamatan ke-

a Rata-rata 1 2 3 4 5 Kec. Juwiring 6.30 ± 1.04 a 8.61 ± 3.88 a 13.59 ± 2.53 a 4.97 ± 0.44 a 4.32 ± 2.22 a 7.56 Kec. Cawas 26.82 ± 23.34 a 17.17 ± 29.74 a 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 a 8.80 Kec. Trucuk 12.27 ± 3.86 a 8.99 ± 10.88 a 9.27 ± 16.60 a 7.40 ± 10.30 a 3.64 ± 6.30 a 8.31 a

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji duncan pada taraf 5%

Tabel 4 Persentase parasitisasi

Lokasi Pengamatan ke-

a Rata-rata 1 2 3 4 5 Kec. Juwiring 36.40 ± 6.72 a 84.27 ± 8.50 a 82.30 ± 7.19 a 31.96 ± 9.32 a 77.30 ± 17.10 a 62.45 Kec. Cawas 65.11 ± 56.43 a 16.16 ± 27.99 a 0.00 ± 0.00 b 0.00 ± 0.00 b 0.00 ± 0.00 b 16.25 Kec. Trucuk 46.73 ± 5.56 a 57.24 ± 50.06 a 10.81 ± 18.72 b 48.19 ± 11.90 a 29.70 ± 51.40 ab 38.53 a

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji duncan pada taraf 5%

sehingga jumlah serangga ini tidak semakin tinggi pada musim tanam selanjutnya. Keberadaan telur S. incertulas yang sedikit menyebabkan keberadaan parasitoid sedikit. Fluktuasi kelimpahan individu yang muncul sangat bergantung pada pola kelimpahan kelompok telur S. incertulas (Yunus 2012).

Identifikasi parasitoid yang keluar dari kelompok telur dilakukan dengan menggunakan buku kunci identifikasi Taxonomy of rice insect pests and their arthopod parasites and predators, oleh Alberto T Barrion dan James A Litsinger.

Gambar 10 Parasitoid telur PBPK di 3 kecamatan Tetrastichus schoenobii (a)

Telenomus rowani (b), Trichogramma japonicum (c), dan

Telenomus sp. (d), serta hiperparasitoid Trichomalopsis sp.

Identifikasi dilakukan berdasarkan pengamatan karakter morfologi pada tubuh serangga. Parasitoid yang ditemukan pada Kecamatan Juwiring, Cawas, dan Trucuk adalah Tetrastichus schoenobii Ferriere (Hymenoptera: Eulophidae),

Telenomus rowani Gahan (Hymenoptera: Scelionidae), Telenomus sp., dan

Trichogramma japonicum Ashmead (Hymenoptera: Trichogrammatidae). Hasil

ini tidak sesuai dengan pernyataan Yunus (2012), ditemukan 3 jenis parasitoid telur yaitu Tetrastichus schoenobii, Telenomus, rowani, dan Trichogramma

japonicum. Hal ini terjadi mungkin karena perbedaan tempat dan waktu penelitian

yang digunakan, sehingga memungkinkan keanekaragaman yang berbeda pada c

b a

tempat yang berbeda. Ketiga parasitoid ini diketahui juga menyerang kelompok telur penggerek batang padi putih (PBPP) saat terjadi ledakan di Karawang pada awal 1990-an (Rauf 2000). Hiperparasitoid yang ditemukan di Kecamatan Juwiring yaitu Trichomalopsis sp. (Gambar 10e), namun diduga spesies ini merupakan Trichomalopsis apanteloctena Crawford (Hymenoptera: Pteromalidae), pendapat ini didukung oleh Yunus (2012) yang juga menemukan spesies ini saat kelimpahan parasitoid tinggi.

Berdasarkan buku identifikasi Taxonomy of Rice Insect Pests and Their Arthropod Parasites and Predators, ciri morfologi parasitoid telur Tetrastichus

schoenobii yaitu tubuh berwarna biru metalik atau berkilau hijau, antena cokelat

kecuali skapus berwarna kuning dengan sensor cokelat pada jantan, tungkai berwarna kuning, toraks halus dan berkilau, abdomen betina berelongasi, dan abdomen jantan berbentuk agak oval (Gambar 10a). Ciri morfologi Telenomus

rowani yaitu metasoma panjang dan licin, antena jantan berwarna kuning, antena

jantan berbentuk moniliform atau seperti manik-manik, sedangkan bentuk antena betina menggada ke bagian ujung, dan panjang skapus betina 4.9 kali lebarnya (Gambar 10b). Ciri morfologi Trichogramma japonicum yaitu bentuk ovipositor lebih ramping daripada tibia ketiga, antena jantan memiliki rambut panjang, genitalia jantan agak oval berelongansi (Gambar 10c).

Jumlah kelompok telur di Kecamatan Juwiring setiap minggunya tidak jauh berbeda, namun pada pengamatan ketiga jumlahnya sangat menurun, hal ini terjadi karena pada pengamatan ketiga, hamparan lebih banyak terdapat patok yang berisi tanaman berumur tua dan patok kosong. Kelompok telur di Kecamatan Juwiring dapat ditemukan dari pengamatan pertama hingga pengamatan kelima, sehingga pengamatan parasitoid dapat dilakukan dari pengamatan pertama hingga pengamatan kelima.

Gambar 11 menunjukkan bahwa keanekaragaman parasitoid pada Kecamatan Juwiring tinggi. Parasitoid yang terdapat pada kecamatan Juwiring yaitu T. schoenobii, T. rowani, dan T. japonicum, Telenomus sp., serta ditemukan 1 hiperparasitoid Trichomalopsis sp. Parasitisasi didominasi oleh T. schoenobii. Kecamatan Juwiring merupakan daerah tertinggi terjadinya parasitisasi karena terdapat jumlah kelompok telur yang lebih banyak dibandingkan dengan

Kecamatan Cawas dan Trucuk. Keanekaragaman serangga baik parasitoid maupun inang yang tinggi mungkin disebabkan oleh jumlah pengambilan contoh yang lebih banyak (Hamid et al. 2003). Jumlah kelompok telur dipengaruhi oleh jumlah inang. Di Kecamatan Juwiring berlangsung sistem tanam tidak serempak dengan pola tanam padi-padi-padi sehingga ketersediaan inang selalu ada. Penanaman padi terus menerus dan tumpang tindih mendorong meningkatnya populasi wereng coklat (Sosromarsono dan Soemawinata 1986).

Gambar 11 Fluktuasi jumlah kelompok telur dan parasitoid telur di Kecamatan Juwiring

Jumlah parasitoid yang tinggi menyebabkan munculnya hiperparasitoid. Hiperparasitoid yang ditemukan di Kecamatan Juwiring yaitu Trichomalopsis sp., namun diduga spesies ini merupakan Trichomalopsis apanteloctena. Hal ini sesuai dengan pernyataan Yunus (2012) pada saat kemelimpahan parasitoid tinggi akan muncul satu spesies hiperparasitoid yaitu Trichomalopsis apanteloctena. Menurut Nakamatsu dan Tanaka (2004) hiperparasitoid Trichomalopsis

apanteloctena merupakan suatu idiobion ektoparasitoid pada prapupa atau pupa

parasitoid Cotesia kariyai (Nakamatsu dan Tanaka 2004).

Jumlah kelompok telur S. incertulas pada Kecamatan Cawas sangat rendah sehingga keragaman jenis parasitoid rendah pula. Gambar 12 menunjukkan bahwa

0 500 1000 1500 2000 2500 1 2 3 4 5 Jum lah kelom pok telu r dan pa rasi toid Pengamatan ke- Kelompok Telur PBPK Tetrastichus schoenobii Telenomus rowani Trichogramma japonicum Telenomus sp. Trichomalopsis sp.

kelompok telur hanya ditemukan pada pengamatan pertama dan kedua. Pada pengamatan ke 3, 4, dan 5 tidak ditemukan kelompok telur, sehingga tidak dapat dilakukan pengamatan parasitoid untuk pengambilan ke 3, 4, dan 5. Hal ini menunjukkan bahwa S. incertulas lebih menyukai tanaman pada masa awal tanam, sedangkan pada pengamatan selanjutnya tidak lagi ditemukan kelompok telur. Parasitoid telur yang ditemukan pada Kecamatan Cawas hanya 2 jenis yaitu

T. schoenobii dan T. rowani

Gambar 12 Fluktuasi jumlah kelompok telur dan parasitoid telur di Kecamatan Cawas

Ketersediaan air yang sedikit pada musim tanam ketiga di Kecamatan Cawas membuat petani daerah ini menanam tanaman selain padi. Pada musim tanam ketiga petani menanam tanaman selain padi seperti kedelai, jagung, tembakau, dan lainnya. Rotasi tanaman seperti ini dapat memutus siklus hidup serangga S. incertulas karena ketersediaan inang bagi serangga ini tidak tersedia selama 1 musim tanam. Populasi S. incertulas yang rendah menyebabkan jumlah kelompok telur rendah sehingga munculnya jumlah dan keragaman parasitoid menjadi rendah.

Gambar 13 menunjukkan bahwa kelompok telur di Kecamatan Trucuk lebih banyak ditemukan di pengamatan 1 dibandingkan dengan pengamatan

0 50 100 150 200 250 1 2 3 4 5 Jum lah kelom pok telur dan para si toid Pengamatan ke- Kelompok telur PBPK Tetrastichus schoenobii Telenomus rowani Trichogramma japonicum Telenomus sp. Trichomalopsis sp.

selanjutnya, karena pada saat pengamatan 1 tanaman masih berumur sangat muda yang sebagian besar tanaman baru saja dipindah tanam. Namun kelompok telur masih dapat ditemukan sampai pengamatan kelima, sehingga pengamatan parasitoid dapat dilakukan hingga pengambilan sampel kelima.

Parasitoid yang ditemukan di Kecamatan Trucuk lebih beragam dibandingkan dengan Kecamatan Cawas. Namun karena jumlah kelompok telur tidak sebanyak di Kecamatan Juwiring sehingga kelimpahan parasitoid tidak tinggi maka tidak ditemukan hiperparasitoid pada Kecamatan Trucuk. Parasitoid yang ditemukan pada daerah ini yaitu T. schoenobii, T. rowani, Telenomus sp.,

dan T. japonicum.

Gambar 13 Fluktuasi jumlah kelompok telur dan parasitoid telur di Kecamatan Trucuk

Berdasarkan Gambar 14, persentase T. schoenobii pada Kecamatan Juwiring 67%, Cawas 96%, dan Trucuk 43%, yang merupakan persentase tertinggi pada setiap kecamatan. Hal ini menunjukkan T. schoenobii memiliki kemampuan adaptasi yang baik terhadap lingkungan, sehingga parasitoid ini dapat mendominasi di Kecamatan Juwiring, Cawas, dan Trucuk.

0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 1 2 3 4 5 Jum lah kelom pok telur dan parasitoid y ang ditem ukan Pengamatan ke- Kelompok telur PBPK Tetrastichus schoenobii Telenomus rowani Trichogramma japonicum Telenomus sp. Trichomalopsis sp.

  s p s 3 k M G m T s i Di K sehingga dap pengamatan schoenobii l 3 yang ber kelompok te MST. Gambar 14 Peng mempengaru Terbunuhny seperti yan insektisida le 12 Kecamatan pat diketahu ke 1, 2, 3, 4 lebih banyak rumur 0-6 elur pada pen

Persentase kecamata ggunaan pest uhi kelimp ya musuh ala g dikemuka ebih sering t % 20% 1% Kecamata 39% 15% Kecam Trucuk dan ui umurnya. U 4, 5 yaitu 0 M k memarasit MST, seda ngamatan ke e parasitisas an Pengg tisida yang pahan S. ami dapat m akan oleh terdapat pad 67% % 0% an Juwiring % 3% 0% matan Trucuk n Cawas pe Umur tanam MST, 2 MST kelompok t angkan T. e 4 dan 5 ya i masing-m gunaan Pest kurang bijak incertulas meningkatkan Istiaji (201 da hamparan % 43% k enanaman b man padi di K T, 4 MST, 6 elur pada pe rowani leb

aitu saat tana

asing jenis tisida ksana (tidak

Dokumen terkait