• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : PROFIL FORUM MUSYAWARAH PONDOK PESANTREN

B. Metode Istinbat Hukum Bahtsul Masa’il

1. Bahtsul Masail

Bahtsul Masa‟il secara harfiah berarti pembahasan berbagai masalah yang berfungsi sebagai forum resmi untuk membicarakan Al-Masa‟ilud

Diniyah (masalah-masalah keagamaan) terutama berkaitan dengan

al-Masa‟ilul Fiqhiyah (masalah-masalah fiqh). Dari perspektif ini Al-Masa‟ilul

Fiqhiyah termasuk masalah-masalah yang khilafiah (kontroversial) karena jawabannya bisa berbeda pendapat.

Nahdlatul Ulama dalam setiap mengambil keputusannya senantiasa didasarkan pada permusyawaratan para ulama, termasuk di dalamnya keputusan hukum Islam yang diambil oleh Nahdlatul Ulama terlebih dahulu digodok dalam forum bahtsul masa‟il (pembahasan berbagai permasalahan hukum). Sedangkan untuk melaksanakan bahtsul masa‟il tersebut, diperlukan

40

tata cara pelaksanaannya sebagaimana diatur dalam system pengambilan hukum Islam.

Dalam struktur organisasi NU, bahtsul masa‟il dilaksanakan oleh

lembaga yang disebut Lembaga Bahtsul Masail (LBM). Sesuai dengan namanya, bahtsul masa‟il, yang berarti pengkajian terhadap masalah-masalah agama, LBM berfungsi sebagai forum pengkajian hukum yang membahas berbagai masalah keagamaan.

Tugas LBM adalah menghimpun, membahas dan memecahkan masalah-masalah yang menuntut kepastian hukum. Oleh karena itu lembaga ini merupakan bagian terpenting dalam organisasi NU, sebagai forum diskusi alim ulama dalam menetapkan hukum suatu masalah yang keputusannya merupakan fatwa dan berfungsi sebagai bimbingan warga NU dalam mengamalkan agama sesuai dengan paham Ahlussunah Waljamaahmenurut salah satu madzhab empat dan mewujudkan tatanan masyarakat yang demokratis dan berkeadilan demi kesejahteraan umat.

K.H. Syansuri Badawi, salah seorang kiai NU, mengatakan bahwa ijtihad yang dilakukan para ulama NU dalam Bahtsul Masail adalah bentuk qiyas. Tetapi ijtihad yang seperti itu dilakukan sejauh tidak ada qaul (pendapat) para ulama yang dapat menjelaskan masalah itu. Qiyas dilakukan

sejauh tidak bertentangan dengan Al Qur‟an dan Al Hadis. Hal ini sesuai dengan pendapat Imam Syafi‟i bahwa ijtihad itu qiyas.

Ketika menghadapi masalah serius kekinian yang dimasa lalu peristiwa itu belum pernah terjadi, LBM selalu meminta penjelasan terlebih dahulu kepada ahlinya. Setelah kasusnya jelas, barulah dikaji lewat kitab kuning.41

Walaupun LBM merupakan sumbangan yang tak ternilai harganya bagi NU, Namun masih ada kelemahan yang perlu diperhatikan:

a. Kelemahan yang bersifat teknis (kaifiyatul bathsi), yakni belum ada

ketegasan yang bersifat jama‟i mengenai pola bermahzhab antara manhaj dan qauli.

b. Kelemahan organisatoris, yakni belum terkondisikanya dan belum

bakunya hirarhi (martabat) keputusan bahtsul masa‟il yang

diselenggarakan diberbagai tingkatan, mulai dari tingkat muktamar sampai tingkat ranting serta dipesantren-pesantren.

c. Kelemahan komitmen dan kesadaran untuk mensosialisasikan dan melakukannya secara baik hasil putusan bahtsul masail.42

Masail Diniyah yaitu permasalahan yang sedang berkembang untuk dicarikan solusi dari sisi agama. NU mempunyai tiga Komisi Masail Diniyah:

a. Masail Diniyah Waqi‟iyah, yakni permasalahan kekinian yang

menyangkut hukum suatu peristiwa. Misal bagaimana hukum orang Islam meresmikan gereja?

41

Soeleiman Fadeli dan Moh. Subhan, Antologi NU, (Khalista: Surabaya,2008), h. 35-36

42

Busyairi Harits, Islam NU: Pengawal Trasisi Sunni Indonesia, (Khalista: Surabaya, 2010), h. 57-58.

b. Masail Dinniyah Maudhu‟iyah, yakni permasalahan yang menyangkut

pemikiran. Misalnya fikrah Nahdliyah, Globalisasi.

c. Masail Diniyah Qanuniyah, penyikapan terhadap rencana UU yang diajukan pemerintah atau UU peralihan yang baru disahkan. Komisi ini bertugas mengkaji RUU atau UU baru dari sisi agama, untuk diajukan kepada pemerintah sebagai bahan masukan dan koreksi.43

2. Metode Istinbath Hukum Islam di Lajnah Bahtsul Masail.

Mekanisme kerjanya, semua masalah yang masuk ke lembaga ini diinventarisir, kemudian disebarkan ke seluruh ulama, anggota Syuriah dan para pengasuh pondok pesantren yang ada dibawah naungan NU. Selanjutnya para ulama melakukan penelitian terhadap masalah itu dan dijadikan rujukan dari pendapat-pendapat ulama madzhab melalui kitab kuning (klasik). Selanjutnya mereka bertemu dalam satu forum untuk saling beradu argument dan dalil rujukan. Dalam forum ini seringkali mereka harus berdebat keras dalam mempertahankan dalil yang dibawanya, sampai akhirnya ditemukan dasar yang paling kuat. Barulah ketetapan hukum itu diambil bersama.

Pada umumnya, rujukan itu mengikuti pendapat Imam Syafi‟i, karena madzab ini paling banyak diikuti kaum muslimin dan lebih sesuai dengan kondisi sosial, budaya dan geografis Indonesia. Jika pendapat Imam Syafi‟i

tidak tersedia maka pendapat ulama yang lain diambil, sejauh masih dalam lingkungan madzhab yang empat (Syafi‟i, Maliki, Hambali dan Hanafi).

43

Meskipun semua dasar selalu merujuk pada pendapat ulama pendahulu, namun kondisi masyarakat selalu dijadikan pertimbangan dalam penerapannya.44

3. Adapun Metode Istinbath Bahtsul Masail.

a. Mengambil hukum secara langsung dari sumber aslinya, yaitu al-Qur'an dan Sunnah akan tetapi - sesuai dengan sikap dasar bermazhab - mentathibkan (memberlakukan) secara dinamis nash-nash fuqaha dalam konteks permasalahan yang dicari hukumnya.

b. Ijtihad yang dilakukan para ulama NU dalam Bahtsul Masail adalah bentuk qiyas. Tetapi ijtihad yang seperti itu dilakukan sejauh tidak ada qaul (pendapat) para ulama yang dapat menjelaskan masalah itu. Qiyas

dilakukan sejauh tidak bertentangan dengan Al Qur‟an dan Al Hadis. Hal

ini sesuai dengan pendapat Imam Syafi‟i bahwa ijtihad itu qiyas.

c. Dengan menganut salah satu dari empat mazhab dalam fiqih, mengambil sikap dasar untuk "bermazhab". Sikap ini secara konsekuen ditindaklanjuti dengan upaya pengambilan hukum dari referensi (Maraji') berupa kitab-kitab fiqih yang pada umumnya dikerangkakan secara sistematik dalam beberapa komponen: Ibadah, Mua'amalah, Munakahah (hukum keluarga) dan Jinayah atau Qadla (pidana atau peradilan). Dalam hal ini para ulama NU dan forum Bahtsul masa'il mengarahkan orientasinya dalam pengambilan hukum kepada Aqwal Al-Mujtahidin (pendapat para

44

mujtahid) yang muthlaq ataupun muntashib. Bila kebetulan ditemukan Qaul Manshush (pendapat yang telah ada nashnya), maka qaul itulah yang dipegangi. Kalau tidak ditemukan, maka akan beralih ke Qaul Mukharraj (pendapat hasil takhrij). Bila terjadi khilaf (perbedaan pendapat) maka diambil yang paling kuat sesuai dengan pentarjihan para ahlul-tarjih. Mereka juga sering mengambil keputusan sepakat dalam khilaf akan tetapi juga mengambil sikap untuk menentukan pilihan sesuai dengan situasi kebutuhan Hajjiyah Tahsiniyah (kebutuhan sekunder) maupun dlaruriyah (kebutuhan primer).

41

PELARANGAN BERBONCENGAN DENGAN LAWAN JENIS YANG BUKAN MAHRAMNYA

Dokumen terkait