(FMP3) Se-Jawa Timur)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.Sy)
ASMAHADY
NIM: 108043100016PRODI PERBANDINGAN MAZHAB FIQIH JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli yang di ajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar sarjana strata 1 (satu) di Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semuasumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta
3. Jika di kemudianhari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan darikarya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta: 08 Mei 2014 M 08 Rajab 1435 H
ii
Asmahady. NIM:108043100016. Berbocengan Lawan Jenis Yang Bukan Mahram (Perspektif Bahtsul Masa`il Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) se-Jawa Timur). Perbandingan Mazhab Fiqih, Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2014, 54 hal.
Skripsi ini merupakan upaya menjelaskan pemasalahan terkait berboncengan selain mahram, penulis menganalisis terkait hukum yang dikeluarkan oleh hasil bahtsul masail Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3), menjelaskan apa mahram itu sendiri, batasan batasan mahram, pendapat para ulama-ulama terdahulu, dasar-dasar hukum yang digunakan oleh para ulama tersebut. Yang menjadi focus penulis ialah, Bagaimana pendapat Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) se-Jawa tentang berboncengan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya, Bagaimana metode istinbat hukum tentang berboncengan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya.
Terkait jenis penelitian yang di gunakan dalam skripsi ini ialah deskriptif analisis dan penelitian pustaka (library research). Pendekatan yang digunakan dalam skripsi ini ialah analisis fatwa Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) se-Jawa Timur dan pendapat para ulama-ulama terdahulu.
Kata kunci : mahram, batasan-batasan mahram ,larangan berboncengan selain
iii
Assalammu‟alaikum. Wr. Wb.
Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa
melimpahkan rahmat, nikmat, dan karunia-Nya kepada kita semua. Salawat serta
salam semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan Nabi besar Muhamad SAW
berserta semua keluarganya dan para sahabatnya dan juga para pengikut sunnahnya
sampai akhir zaman.
Banyak hal yang ingin penulis sampaikan dalam kata berupa ungkapan terima
kasih setulus dan sedalam-dalamnya kepada para pihak yang telah membantu penulis
secara materil maupun moril untuk menyelesaikan tugas akhir kuliah yaitu
penyusunan karya tulis ilmiah (skripsi).
Demikian juga kepada semua pihak yang telah banyak membantu penulis
dalam menyelesaikan karya tulis ini, yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Olehnya pada kesempatan ini dengan rendah hati penulis mengungkapkan terima
kasih yang setulus-tulusnya kepada :
1. Bapak Dr. Phil. JM Muslimin, MA, selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
beserta jajaranya.
2. Dr. H. Muhammmad Taufiki, M.Ag selaku Kepala Jurusan Pebandingan dan
iv
4. Bapak Drs. H. Ahmad Yani, MA selaku Dosen Pembimbing Skripsi Penulis yang
telah banyak memberikan arahan, meluangkan waktu dengan penuh keikhlasan,
dan kesabaran serta dukungan do’a, waktu, dan motivasi sehingga skripsi ini
dapat diselesaikan dengan baik.
5. Seluruh dosen dan civitas akademika Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah mengajarkan ilmunya
kepada penulis. Semoga ilmu yang telah Bapak atau Ibu berikan, bermanfaat dan
berguna untuk penulis.
6. Kepala dan Seluruh staf Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum serta
Perpustakaan Utama yang telah memberikan fasilitas-fasilitas dalam
penyelesaian skripsi penulis.
7. Kepada orang tua penulis, ayahanda H. Ma’asan Dinuk (Alm) dan ibunda
Umiyati yang telah melahirkan dan membesarkan ananda. Tiada kata yang dapat
ku ucapkan selain ucapan terima kasih yang tak terbatas untuk semua
pengorbanan yang telah diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan
perkuliahan dan skripsi ini. Karena ku yakin kasih sayang, cinta suci, dan
pengorbanan kalian takkan tertandingi adanya, oleh karena itu aku akan selalu
berusaha membuat kalian tersenyum bangga. Ucapan ribuan terima kasih atas
v
serta selalu memberikan masukan kepada penulis dalam membuat skripsi ini.
9. Teman-teman seperjuangan penulis angkatan 2008 jurusan perbandingan hukum
dengan semangat perjuangan dan solidaritas yang telah diberikan kepada penulis
dengan segala hormat dan terima kasih penulis sampaikan semoga kisah
persahabatan ini akan tetap terjalin selamanya.
10. Juga kepada berbagai pihak lain yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu atas
bantuannya dalam penyusunan skripsi ini.
Dengan ini penulis sampaikan dengan perasaan rendah hati dan penuh hormat
rasa terima kasih setulus dan sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang telah
berjasa dalam menyelesaikan laporan karya tulis ilmiah ini. Semoga jasa dan amal
baiknya mendapat balasan yang lebih baik dan berkah di dunia dan akhirat. Amin.
Wassalamu‟alaikum, Wr.Wb.
Jakarta: 08 Mei 2014 M 08 Rajab 1435 H
vi
ABSTRAK ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... vi
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi masalah ... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6
D. Review Studi Terdahulu ... 7
E. Metodelogi Penelitian ... 8
F. Sistematika Penulisan ... 13
BAB II : PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP BATASAN MAHRAM ... 14
A. Pengertian Mahram ... 14
B. Dasar Hukum Batasan Mahram ... 16
C. Batasan Mahram Laki-laki dan Perempuan ... 24
BAB III : PROFIL FORUM MUSYAWARAH PONDOK PESANTREN PUTRI (FMP3), DAN BATSUL MASA’IL ... 31
A. Profil Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) ... 31
vii
LAWAN JENIS YANG BUKAN MAHRAMNYA ... 41
A. Pandangan Ulama Terhadap Larangan Boncengan Yang Bukan Mahram ... 41
B. Pandangan Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) terhadap Larangan Boncengan yang Bukan Mahram ... 45
C. Analisa Penulis Terhadap Larangan Boncengan yang Bukan Mahram ... 48
BAB V : PENUTUP ... 51
A. Kesimpulan ... 51
B. Saran-saran ... 53
DAFTAR PUSTAKA ... 55
1
A. Latar Belakang Masalah
Seiring perkembangan zaman, manusia memiliki ketergantungan terhadap
kendaraan dalam untuk memenuhi kebutuhan mobilitas, baik itu kendaraan
pribadi maupun kendaraan umum, di darat, di laut maupun di udara. Dewasa ini
masyarakat cenderung memilih kendaraan yang murah, fleksibel, dan cepat untuk
mencapai tujuan.
Kendaraan alternatif yang dipilih dan diminati oleh mayoritas masyarakat
di Indonesia adalah sepeda motor. Sepeda motor mempunyai kompatibilitas tinggi
dalam memenuhi kebutuhan masyarat. Hal ini terbukti karena kendaraan sepeda
motor dapat mencangkup berbagai sudut pemukiman di kota-kota maupun di
daerah terutama daerah padat penduduk. Menurut UU di Indonesia kendaraan ini
hanya berkapasitas dua orang.1
Di Indonesia, baik pengendara maupun penumpang itu tidak mengenal
adanya perbedaan kelamin, usia, maupun SARA. Dalam pelaksanaannya di
lapangan, karena tidak adanya perbedaan jenis kelamin, maka banyak pengendara
sepeda motor yang saling berboncengan dengan lawan jenis. Akibat hal tersebut
1
maka timbullah berbagai dampak termasuk diantaranya dapat menimbulkan
fitnah.
Oleh karena itu, tepatnya pada 14 Januari 2010 Forum Musyawarah
Pondok Pesantren Putri (FMP3) se-Jawa Timur, mengeluarkan sejumlah Fatwa
Haram, salah satunya Fatwa Perempuan Tukang Ojek Atau Perempuan Naik
Ojek. Fatwa tersebut di keluarkan oleh FMP3 di Pondok Pesantren Lirboyo,
Kediri Jawa Timur, yang diikuti oleh 258 peserta yang berasal dari 46 Pondok
Pesantren di Jawa Timur dan dua pondok pesantren di Jawa Tengah. Fatwa
(opini hukum dalam Islam) tersebut tentu saja menimbulkan banyak pendapat,
terlebih pada isu haramnya perempuan menjadi tukang ojek dan haram naik ojek.
Pro dan kontra fatwa ini belum lagi usai, pada Agustus 2010 lalu, Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Lebak, Banten, Jawa Barat pun mengeluarkan fatwa sejenis
yakni berboncengan sepeda motor berbeda jenis kelamin dengan bukan
mahramnya haram hukumnya, karena dianggap mengundang pornografi maupun
pergaulan bebas.2
Di dalam Islam, berboncengan dengan lawan jenis yang bukan mahram itu
juga terjadi ketika zaman Rasulullah, yaitu ketika Rasulullah SAW. membawa
Asma‟ ra. (adik ipar Nabi) di Madinah, tatkala dia memikul beban yang berat di
atas kepalanya. Maka, Rasulullah SAW. hendak merundukkan untanya agar bisa
2
dinaiki Asma‟, namun Asma‟ lebih suka melanjutkan perjalanannya, dengan tidak
menaiki (unta Nabi).
Al-Bukhari telah mengeluarkan dari Asma‟ binti Abi Bakar berkata:
…
“
”.
Artinya : “Saya pernah membawa benih dari tanah az-Zubair (suami saya), yang telah diberikan oleh Rasulullah saw., dipanggul di atas kepala saya… sampai pernyataan beliau: Kemudian, Rasulullah saw. berkata: Ikh, ikh agar beliau bisa membonceng saya di belakangnya, tetapi saya merasa malu.”3 (H.R.Bukhari)
Dari hadits tersebut, kita dapat ketahui bahwa di atas unta itu ada punuk,
dimana yang pertama bisa dinaiki oleh seseorang, setelah itu berikutnya bisa
dinaiki di belakangnya, sementara orang yang kedua tidak harus menyentuh orang
yang pertama. Punuk tadi ada di antara kedua orang tersebut. Orang yang kedua
pun bisa memegang punuk tadi, sesuka hatinya. Dengan kata lain, unta itu
merupakan kendaraan yang memungkinkan untuk dinaiki dua orang, dimana satu
sama lain tidak harus saling berpegangan.
Dari penjelasan di atas, berboncengan dengan lawan jenis yang bukan
mahramnya itu diperbolehkan. Hal ini dapat terwujudkan apabila memenuhi
beberapa syarat, yaitu:
3
1. Tidak terjadi ikhtilath (persinggungan badan)
2. Tidak terjadi khalwah (berkumpulnya laki-laki dan wanita di tempat sepi yang
menurut kebiasaan umum sulit terhindar dari perbuatan yang diharamkan)
3. Tidak melihat aurat selain dalam kondisi dan batas-batas yang diperbolehkan
syara‟
4. Tidak terjadi persentuhan kulit
5. Sedang bepergian bagi wanita untuk kepentingan ziarah atau yang lain
menurut satu pendapat diperbolehkan, meski tidak disertai mahram apabila
aman dari fitnah (hal-hal yang diharamkan).4
Dalam masalah ini perbandingan antara alat yang dikendarakan pada
jaman nabi dan kendaraan pada zaman sekarang ini. Pada masa nabi kendaraan
yang digunakan adalah onta sedangkan pada jaman sekarang ini adalah motor
yang dimana sangat jauh berbeda diantara keduanya. Perbedaan antara keduanya
adalah onta memiliki punuk yang bisa dijadikan sebagai pembatas antara
pengendara dan penumpangnya, sehingga antara keduanya tidak dapat saling
bersentuhan. Sedangkan semua jenis motor tidak memiliki halangan antara
pengendara dan penumpangnya sehingga hal ini dapat menyebabkan terjadinya
sesuatu yang tidak dibolehkan seperti bersentuhannya badan yang bisa saja
menimbulkan syahwat.
4
Oleh karena itu, tinjauan bahtsul masa`il yang dikeluarkan oleh Forum
Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) se-Jawa Timur tentang
pengharaman berboncengan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya menurut
penulis sangat penting sekali sehingga umat Islam dapat mengetahui dan
memahami lebih mendalam mengenai hukum mengendarai dengan lawan jenis
yang bukan mahramnya. Berdasarkan hal-hal di atas, penulis merasa tertarik
untuk meneliti lebih jauh tentang “Berbocengan Lawan Jenis Yang Bukan
Mahram (Perspektif Bahtsul Masa`il Forum Musyawarah Pondok Pesantren
Putri (FMP3) se-Jawa Timur)”.
B. Identifikasi Masalah 1. Pembatasan Masalah
Dalam penelitian ini penulis hanya membatasi penelitiannya pada
analisa larangan wanita berboncengan dengan bukan mahramnya terkait fatwa
Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) se-Jawa Timur. Penulis
akan mendeskripsikan faktor-faktor yang menyebabkan FMP3 se-Jawa Timur
mengeluarkan fatwa tersebut dan dampaknya.
2. Perumusan Masalah
Untuk mengetahui pembahasan ini lebih lanjut dan mendalam penulis
perlu membatasi dan merumuskan pokok-pokok masalah tersebut agar tidak
terjadi pandangan yang terlalu luas dan tumpang tindih dalam pernulisan
a. Bagaimana pendapat Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3)
se-Jawa tentang berboncengan dengan lawan jenis yang bukan
mahramnya?
b. Bagaimana metode istinbat hukum tentang berboncengan dengan lawan
jenis yang bukan mahramnya?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Manfaat Penulisan
Pada dasarnya tujuan adalah merupakan suatu alasan penting bagi kita
dalam melakukan suatu pekerjaan, oleh sebab itulah perlu dirumuskan apakah
yang menjadi tujuan dari penulisan dan penyelesaian skripsi ini. Adapun yang
menjadi tujuan penulisan dalam skripsi ini adalah:
a. Untuk mengetahui bagaimana pandangan hukum Islam terhadap batasan
yang bukan mahram.
b. Untuk mendeskripsikan faktor-faktor yang menjadi penyebab larangan
terhadap pengendara yang berboncengan dengan selain mahramnya.
c. Untuk mengetahui apa saja dampak yang dihasilkan pada masyarakat
terhadap fatwa pelarangan berboncengan dengan selain mahramnya.
2. Manfaat Penulisan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan
hukum Islam serta sebagai bahan pertimbangan bagi instansi-instansi terkait
terutama:
a. Bagi penulis sendiri, diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah
wawasan dan pengetahuan yang lebih luas khususnya di bidang hukum
Islam sehingga dapat diterapkan di lingkungan masyarakat.
b. Bagi program studi Perbandingan Mazhab Fiqih semoga hasil penelitian
ini dapat menambah khazanah pengetahuan, melengkapi dan memberikan
informasi yang berharga mengenai fatwa majelis ulama tentang
pelarangan berboncengan dengan selain mahramnya.
c. Bagi masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam semoga hasil penelitian
ini dapat menjadi pengetahuan mengenai hukum islam secara mendalam.
D. Review Studi Terdahulu
Sebelum membuat proposal skripsi ini, penulis melakukan beberapa studi
pada penelitian sebelumnya, sehingga mendapat beberapa ide dan wawasan
baru dalam mendukung penyusunan proposal skripsi ini. Dalam beberapa
penelitian ada banyak yang selanjutnya agar lebih jelas penulis sudah mencatat
beberapa penelitian dibawah berikut ini :
- Muhammad Gusmakin, (102044225097) dengan judul “Kemitrasejajaran
Perempuan Dan Laki-laki Dalam Perspektif Hukum Islam” penelitian ini
membahas masalah ke sejajaran antara laki-laki dan perempuan. Dalam
menghadapi kesejajaran laki-laki dan perempuan dalam pandangan
masyarakat Islam, serta kebebasan perempuan dala berekspresi menurut
pandangan islam, dan juga kedudukan perempuan dalam islam. Perbedaan
yang mendasar bagi penulis adalah aspek kajian penelitian. Skripsi di atas
mendeskripsikan aspek kesejajaran antara laki-laki menurut hukum isam serta
kedudukan perempuan dalam pandangan Islam dan juga kebabasan
perempuan dalam berekspresi, sedangkan penulis ingin membahas lebih
spesifik lagi yaitu mengenai. larangan wanita berboncengan dengan bukan
mahramnya terkait hasil Bahtsul Masa‟il Forum Musyawarah Pondok
Pesantren Putri (FMP3) se-Jawa Timur. Serta mendeskripsikan faktor-faktor
yang menyebabkan FMP3 se-Jawa Timur mengeluarkan fatwa tersebut dan
dampaknya.
E. Metode Penelitian
Paradigma menurut Robert A. Friedrichs adalah suatu gambaran yang
mendasar mengenai pokok permasalahan yang dipelajari dalam suatu disiplin.5
Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma
fenomenologis. Paradigma fenomenologis yaitu berusaha memahami fenomena
atau kenyataan sosial maupun perilaku manusia dari segi berfikir maupun
bertindak orang-orang itu sendiri.6
5
Imam S dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003), 91.
Dalam hal ini, peneliti berusaha memahami suatu kenyataan tentang hasil
Bahtsul Masa‟il, yaitu: pelarangan berboncengan dengan lawan jenis yang bukan
mahramnya.
Adapun pendekatan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan
kualitatif, karena berupaya untuk menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan
kualitatif ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh).7
- Jenis Penelitian
Dilihat dari segi penelitian yang berdasarkan bahan-bahan tertulis atau
bahan pustka, maka. Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam skripsi ini
adalah metode penelitian normatif8, yaitu penelitian yang memuat deskripsi
tentang masalah yang diteliti berdasarkan bahan-bahan hukum tertulis.
Penelitian ini bersifat kepustakaan yaitu penelitian yang dilakukan dengan
cara mengkaji buku-buku, literatur-literatur dan bahan pustaka yang ada
relevansinya dengan judul skripsi ini. Metode ini dimaksudkan untuk
memberikan gambaran secara nyata mengenai situasi tertentu atau keterkaitan
hubungan antara berbagai fenomena secara aktual dan teratur. Dalam hal ini
peneliti berusaha memberikan gambaran secara nyata mengenai batasan non
muhrim dalam Islam.
7
Ibid, hlm. 3.
- Sumber Data dan Metode Pengumpulan Data
1. Sumber Data
Sumber data adalah sesuatu yang sangat penting dalam suatu
penelitian. Yang dimaksud sumber data dalam suatu penelitian adalah
subjek dari mana data diperoleh.9 Dalam penelitian ini peneliti
menggunakan tiga sumber yaitu :
a. Data primer yaitu data yang didapat dari bahan-bahan yang diperlukan
dalam hal ini, yaitu Al-quran dan hadis, kaidah-kaidah fiqih, pendapat
Ulama-ulama Terdahulu dan Kontemporer, FPM3 se-Jawa Timur.10
b. Sumber Data Sekunder adalah data yang didapat dari sumber kedua.
Data ini merupakan data pelengkap yang nantinya akan dikorelasikan
dengan sumber data primer, antara lain berwujud buku-buku, jurnal
dan majalah, maupun catatan pribadi.11
c. Sumber Data Tersier adalah data penunjang, yakni bahan-bahan yang
memberi petunjuk dan penjelasan terhadap sumber data primer dan
sekunder, diantaranya kamus-kamus dan ensiklopedi.12
9
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek,
(Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1998), hlm.114.
10
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 2005), hlm.12.
11
Ibid, hlm.12.
12
2. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi
pustaka (library research)13, yaitu penelitian yang dilakukan dengan
mengkaji buku-buku atau sumber-sumber yang diperlukan dalam hal ini
adalah Alquran, Al-hadis, pendapat ulama terdahulu dan kontmporer,
Fatwa Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) se-Jawa
Timur. Sebagai rujukan utama dan buku yang berkaitan tentang
masalah-masalah kejahatan narkotika dan yang ada relevansinya dengan skripsi
ini.
3. Metode Pengolahan Data
Sebelum data di analisis, perlu dilakukan proses pengolahan data
terlebih dahulu untuk memisahkan data yang relevan dengan tujuan
penelitian dan mana yang tidak, dengan proses sebagai berikut:
a. Editing (pemeriksaan ulang), dengan tujuan data yang dihasilkan
berkualitas baik.14 Dalam hal ini peneliti membaca kembali data atau
keterangan yang telah dikumpulkan dengan, buku catatan, daftar
pertanyaan (interview guide) jika masih ada hal-hal yang salah dan
meragukan.
b. Analyzing (analisis), proses ini merupakan yang terpenting dalam
penelitian kualitatif yang selalu harus disandingkan dengan upaya
13
ibid., h.12.
14
interpretatif. Karena prinsip pokok penelitian jenis ini adalah
menemukan teori dari data.
c. Concluding (penarikan kesimpulan) yaitu dengan cara menganalisis
data secara komprehensif serta menghubungkan makna data yang ada
dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian.
- Teknik Analisis Data
a. Teknik yang digunakan adalah deskriptif komparatif.15 Tahap analisis
deskriptif adalah tahap penyajian data terhadap berboncengan dengan
lawan jenis yang bukan mahramnya.
Sedangkan tahap analisis komparatif dilakukan dalam upaya
membandingkan antara prinsip-prinsip hukum Islam, para ulama terdahulu dan
hasil keputusan bahtsul masa‟il Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri
(FMP3)se-Jawa timur.
Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis menggunakan Buku Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, UIN Pres, 2007 yang merupakan Pedoman dari Penulisan
karya ilmiah mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada umunya,
khususnya Mahasiswa Fakultas Syari‟ah dan Hukum.16
15
Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti setatus sekelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Penelitian deskriptif ini ingin mencari jawab secara mendasar tentang sebab-akibat, dengan menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya atau munculnya suatu fenomena tertentu.
16 Fakultas Syari‟ah dan Hukum,
F. Sistematika Penulisan
Untuk sistematika penulisan, seluruh skripsi ini terdiri dari lima bab,
masing-masing bab terdiri dari sub bab. Adapun sistematikanya sebagai berikut:
BAB I Berisikan latar belakang masalah, Pembatasan Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penulisan, Studi
Pendahuluan, dan Sistematika Pembahasan.
BAB II Membahas tentang pengertian mahram serta pandangan hukum Islam tentang batasan yang bukan mahram.
BAB III Untuk mendeskripsikan profil Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3), dan Metode Istinbat Bahtsul Masa‟il.
BAB IV Analisa terhadap hasil Bahtsul Masa‟il tentang pelarangan berboncengan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya dan
implikasinya di masyarakat.
14
A. Pengertian Mahram
Penyebutan istilah muhrim, dalam makna saudara di kalangan masyarakat
sering kita jumpai. Akan tetapi penggunaan istilah muhrim disini adalah salah,
karena istilah yang mereka maksud adalah mahram. Secara definisi arti ke-dua
istilah tersebut sangatlah berbeda. Walaupun kata muhrim dan mahram berasal
dari bahasa Arab tetapi kata muhrim berasal dari kata muhrimun, (mimnya di
dhammah) yang maknanya adalah orang yang berihram dalam pelaksanaan
ibadah haji sebelum tahallul. Sedangkan mahram berasal dari kata mahramun,
(mimnya di-fathah).
Mahram ini berasal dari kalangan wanita, yaitu orang-orang yang haram
dinikahi oleh seorang lelaki selamanya (tanpa batas). Di sisi lain lelaki ini boleh
melakukan safar (perjalanan) bersamanya, boleh berboncengan dengannya, boleh
melihat wajahnya, tangannya, boleh berjabat tangan dengannya dll., sesuai
dengan hukum-hukum mahram.
Mahram secara bahasa adalah seseorang yang diharamkan menikah
dengannya.17 Adapun mahram secara istilah adalah seorang laki-laki yang
diharamkan menikah dengan seorang perempuan selamanya karena nasab, seperti
17Imam Rozi‟
hubungan bapak, anak, saudara dan paman, atau karena sebab yang mubah seperti
suami, anak suami, mertua, saudara sesusuan.
Seperti yang dijelaskan dalam Firman Allah SWT dalam Surat An-Nisa‟
ayat 23.
(
ةروسلا
:ءاسنلأ
)Artinya: “Diharamkan atas kalian menikahi ibu-ibu kalian, anak-anak perempuan kalian, saudara perempuan kalian, saudara-saudara perempuan bapak kalian, saudara-saudara-sudara perempuan ibu kalian, anak perempuan dari saudara laki-laki kalian, anak perempuan dari saudara perempuan kalian, ibu-ibu kalian yang menyusui kalian, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu isteri kalian (mertua), anak-anak isteri kalian yang dalam pemeliharaan-mu dari isteri yang telah kalian campuri, tetapi jika kalian belum campur dengan iteri kalian itu (dan sudah kalian ceraikan), maka tidak berdosa kalian menikahinya. Dan diharamkan bagi kalian issteri-isteri ank kandung kalian (menantu), dan menghimpun (dalam perkawinan dua perempuan bersaudara, kecuali yang terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya allah maha pengampun lagi maha
Imam Ibnu Hajar Al-Asqolani memberikan definisi: “Mahrom adalah
seseorang yang tidak boleh dinikahi selamanya”.18
Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah memberikan definisi: “Mahram
adalah semua orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya karena sebab
nasab, persusuan dan pernikahan.”19
Sedangkan mahram dimasyarakat lebih dikenal dengan istilah khusus
yaitu: haram dinikahi karena masih termasuk keluarga dan dalam mazhab Syafi‟i
dengan tambahan tidak membatalkan wudhu bila disentuh.
B. Dasar Hukum Batasan Mahram.
Karena ikhtilat (bercampurnya laki-laki dan perempuan dalam satu
tempat) ini sudah menjadi suatu hal yang biasa terjadi di lingkungan kita terutama
di Negara kita yang tidak menggunakan hokum islam secara kaffah. Untuk
mencegah hal-hal yang tidak diinginkan terjadi karena ikhtilat tersebut, sebagai
seorang muslim kita harus mengetahui dasar hokum batasan-batasan mahram
yang telah Allah tentukan, baik itu yang berasal dari Al-Quran maupun
As-Sunnah. Berikut ini beberapa dasar hokum tentang batasan mahram :
1. Firman Allah „Azza Wa Jalla dalam surah Al Isra‟ ayat 32:
:ءارساا ةروسلا(
)
18
Ibnu Hajar Al Asqolani, Fathul bari, ( t.t., :Al Makhtabah Salafiyah, t.th.), juz 9, h. 332.
19
Artinya: “Dan janganlah kalian mendekati zina.” (QS. Al-Isra‟: 32)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang ayat ini: “Allah
subhanahu wata‟ala berfirman dalam rangka melarang hamba-hamba-Nya
dari perbuatan zina dan larangan mendekatinya, yaitu larangan mendekati
sebab-sebab dan pendorong-pendorongnya.”20
Asy-Syaikh As-Sa‟di rahimahullah menjelaskan tentang ayat ini di
dalam tafsirnya, “Larangan mendekati zina lebih mengena ketimbang
larangan melakukan perbuatan zina, karena larangan mendekati zina
mencakup larangan terhadap semua perkara yang dapat mengantarkan
kepada perbuatan tersebut. Barangsiapa yang mendekati daerah larangan, ia
dikhawatirkan akan terjerumus kepadanya, terlebih lagi dalam masalah zina
yang kebanyakan hawa nafsu sangat kuat dorongannya untuk melakukan
zina.”21
2. Firman Allah SWT dalam Surat An-Nisa‟ ayat 23.
20Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 5/55
21
:ء سنلأ ةروسلا)
(
Artinya : “Diharamkan atas kalian menikahi ibu-ibu kalian, anak-anak perempuan kalian, saudara perempuan kalian, saudara-saudara perempuan bapak kalian, saudara-saudara-sudara perempuan ibu kalian, anak perempuan dari saudara laki-laki kalian, anak perempuan dari saudara perempuan kalian, ibu-ibu kalian yang menyusui kalian, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu isteri kalian (mertua), anak-anak isteri kalian yang dalam pemeliharaan-mu dari isteri yang telah kalian campuri, tetapi jika kalian belum campur dengan isteri kalian itu (dan sudah kalian ceraikan), maka tidak berdosa kalian menikahinya. Dan diharamkan bagi kalian issteri-isteri anak kandung kalian (menantu), dan menghimpun (dalam perkawinan dua perempuan bersaudara, kecuali yang terjadi pada masa lampau.
Sesungguhnya allah maha pengampun lagi maha
penyayang.”(An-Nisa‟ ayat 23).
Surat An-Nisa ayat 23 menjelaskan wanita-wanita yang haram
dinikahi baik karena nasab, karena sepersusuan, karena mushaharah
(pernikahan), maupun karena jam' (menggabung dua pereempuan bersaudara).
Demikian juga menjelaskan tentang wanita-wanita yang halal dinikahi.
Yang diharamkan karena nasab adalah ibu, puteri, saudari, saudari
bapak (bibi), saudari ibu (bibi dari pihak ibu), puteri dari saudara kita yang
laki-laki dan puteri dari saudara kita yang perempuan. Lihat juga penjelasan
lakum maa waraa'a dzaalikum) seperti puteri paman dari bapak ('amm) dan
puteri bibi dari bapak ('ammah), demikian pula puteri paman dari ibu (khaal)
maupun puteri bibi dari ibu (khaalah). Dengan demikian, sepupu halal
dinikahi.
Yang diharamkan karena sepersusuan–yang disebutkan dalam ayat- adalah ibu susu dan saudari susu. Namun tidak hanya sebatas ini, karena
dalam hadits disebutkan,
Artinya : Diriwayatkan dari Aisyah berkata Rasulullah SAW. "Karna Sesungguhnya persusuan itu mengharamkan seperti juga haramnya keturunan22." (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka keharaman dinikahi menyebar sebagaimana nasab. Dengan
demikian, anak yang disusukan tidak boleh menikahi:
1. Wanita yang menyusuinya (karena dianggap sebagai ibunya),
2. Ibu wanita yang menyusuinya (karena ia neneknya),
3. Ibu bagi suami wanita yang menyusuinya (ia neneknya juga),
4. Saudari ibu yang menyusuinya (khaalahnya),
5. Saudari suami wanita yang menyusui („ammahnya),
6. Saudari sepersusuan, baik sekandung, sebapak maupun seibu.
22
7. Puteri anak laki-laki si wanita yang menyusuinya dan puteri dari puteri
si wanita yang menyusui dst. ke bawah.
Yang diharamkan karena mushaharah (pernikahan), jumlahnya ada 4,
yaitu: istri bapak dst. ke atas, istri anak dst. ke bawah, baik mereka sebagai
ahli waris maupun terhalang (mahjub), ibu istri kita dst. ke atas (seperti
neneknya, baik dari pihak bapaknya maupun ibunya) dan anak tiri yaitu puteri
dari istri kita yang lahir dari selain kita.
3. Al-Bukhari telah mengeluarkan dari Asma‟ binti Abi Bakar berkata:
Di dalam Islam, berboncengan dengan lawan jenis yang bukan
mahram itu juga terjadi ketika zaman Rasulullah, yaitu ketika Rasulullah
SAW. membawa Asma‟ ra. (adik ipar Nabi) di Madinah, tatkala dia memikul beban yang berat di atas kepalanya. Maka, Rasulullah SAW. hendak
merundukkan untanya agar bisa dinaiki Asma‟, namun Asma‟ lebih suka
melanjutkan perjalanannya, dengan tidak menaiki (unta Nabi).
…
“
”.
Artinya : “Saya pernah membawa benih dari tanah az-Zubair (suami saya), yang telah diberikan oleh Rasulullah saw., dipanggul di atas kepala
berkata: Ikh, ikh agar beliau bisa membonceng saya di belakangnya, tetapi saya merasa malu.”23 (H.R.Bukhari)
Dari hadits tersebut, kita dapat ketahui bahwa di atas unta itu ada
punuk, dimana yang pertama bisa dinaiki oleh seseorang, setelah itu
berikutnya bisa dinaiki di belakangnya, sementara orang yang kedua tidak
harus menyentuh orang yang pertama. Punuk tadi ada di antara kedua orang
tersebut. Orang yang kedua pun bisa memegang punuk tadi, sesuka hatinya.
Dengan kata lain, unta itu merupakan kendaraan yang memungkinkan untuk
dinaiki dua orang, dimana satu sama lain tidak harus saling berpegangan.
4. Dari Ibnu „Abbas r.a.
Artinya: Dari Ibnu „Abbas r.a., katanya dia mendengar Nabi SAW. Berkhutbah, sabdanya: “seorang laki-laki tidak boleh berada di tempat sunyi dengan seorang perempuan, melainkan harus diserrtai mahram. Begitu pula seorang perempuan tidak boleh berjalan sendirian, melainkan harus bersama mahram”.Tiba tiba berdiri seorang laki-laki, lalu dia bertanya: “istriku hendak menunaikan ibadah haji, sedangkan aku ditugaskan untuk
23
berperang kesana dan kesitu; bagaimana itu ya Rasulullah?” jawab Rasulullah SAW. “Pergilah kamu haji bersama
isterimu!”24
(H.R. Muslim)
Imam nawawi mensyarahkan hadis ini, bahwa hadis ini menjadi dasar
dari madzhab syafi‟i dan jumhur ulama bahwasanya keharusan seorang wanita untuk keluar bersama mahram, baik itu muahram dari persusuan, maupun
muhrim dari nasab seperti anak, saudara, keponakan dan paman.25 Pada
akhirnya, beliaupun menyimpulkan bahwa setiap perjalanan yang dilakukan
oleh seoarang wanita, baik itu tiga hari, 2 hari maupun satu hari itu dilarang
bagi wanita kecuali bersama mahramnya.26
5. Dari „Uqubah bin „Amir r,a.
Artinya: Dari „Uqubah bin „Amir r.a., katanya Rasulullah SAW, bersabda:
“Hindarilah olehmu masuk kerumah-rumah wanita!” lalu bertanya Anshar, “Ya, Rasulullah! Bagaimana pendapat anda tentang al-Hamwu (keluarga dekat bagi suaminya27). jawab Rasulullah SAW.,
“Bahkan itulebih berbahaya.”28
(H.R. Muslim).
24
HR. Muslim, Al-Imam Muslim, Shahih Muslim, Kitab Haji, Bab Safarul Mar‟ah Ma‟a Mahram (Bandung: Sirkah Ma‟arif,1978) , Juz.1, h. 563.
25
Imam An-Nawawi, Al Minhaj Syarah Shahih Suslim, (t.t., :darrul afkar dauliah, t.th.,), h. 839
26
Ibid, h. 839
27
Al Hamwu, keluarga dekat bagi suami, seperti paman suami, saudaranya, anak saudaranya, dan sebagainya.
28
Di jelaskan oleh hadits di atas bahwa keluarga dari suami berpotensi
untuk menimbulkan fitnah dan dilarang untuk berkhalwat. Dikarnakan kerabat
atau keluarga dekat sering berada dalam satu rumah atau satu temapat jika
sedang bertamu yang bisa menimbulkan pitnah.
6. Dari Abu Hurairah r.a.
Artinya : “Dari Abu Harairah r.a., katanya Rasulullah SAW bersabda:”Seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari kiamat tidak boleh melakukan perjalanan sehari semalam,
melainkan harus bersama muhrim.”29
(H.R. Muslim).
Pada keterangan hadits diatas keharusan seorang wanita untuk
bersama mahramnya pada saat selama perjalanan terlebih dalam perjalanan
yang menempuh waktu selama sehari semalam, oleh sebab itu hadis diatas
mengharuskan jika seorang wanita ditemani mahramnya selama perjalanan
agar terhidar dari hal-hal yang tidak di inginkan.
29
7. Dari Jabir r.a.
Artinya: Dari Jabir r.a : Sesungguhnya Nabi SAW Bersabda:”Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah tidak berhalwat dengan wanita yang tidak di dampingi dengan mahramnya. Karena sesungguhnya yang
ketiga adalah setan.”30
(H.R. Ahmad)
Hadis ini menunjukan bahwa kholwat antara laki-laki dan perempuan
baik itu dalam sebuah perjalanan maupun hal-hal lain yang berbentuk halwat
itu dialarang oleh syari‟at.
C. Batasan Mahram Laki-laki dan Perempuan
Islam menetapkan beberapa kriteria syar‟i pergaulan antara laki-laki dan
perempuan untuk menjaga kehormatan, melindungi harga diri dan kesuciannya.
Kriteria syar‟i itu juga berfungsi untuk mencegah perzinahan dan sebagai
tindakan prefentif terjadinya kerusakan masal. Diantaranya, Islam mengharamkan
ikhtilath (bercampur laki-laki dan perempuan dalam satu tempat) dan khalwat
(berduaan antara laki-laki dan perempuan), memerintahkan adanya sutrah
(pembatas) yang syar‟i dan menundukkan pandangan, meminimalisir
30
pembicaraan dengan lawan jenis sesuai dengan kebutuhan, tidak memerdukan dan
menghaluskan perkataan ketika bercakap dengan mereka, dan kriteria lainnya.
Perkara-perkara ini, menjadi kaidah yang penting untuk kebaikan
semuanya. Sesunguhnya perkara ini berbeda antara satu dengan lainnya, atau satu
kebudayaan dengan lainnya, dan pengakuan lainnya yang tidak sesuai dengan
kenyataan dan realita.
Interaksi dan komunikasi antara laki-laki dan perempuan sebenarnya
boleh-boleh saja, dengan syarat wanitanya tetap mengenakan hijabnya, tidak
memerdukan suaranya, dan tidak berbicara di luar kebutuhan. Adapun jika
wanitanya tidak menutup diri serta melembutkan suaranya, mendayu-dayukannya,
bercanda, bergurau, atau perbuatan lain yang tidak layak, maka diharamkan.
Bahkan bisa menjadi pintu bencana, kuburan penyesalan, dan menjadi penyebab
terjadinya banyak kerusakan dan keburukan.
Wajib berhati-hati, karena setan terkadang menipu seseorang dengan
merasa agamanya kuat tidak terpengaruh dengan percakapan itu. Padahal dia
sedang terjerumus pada jerat kebinasaan dan berada di atas jalan kesesatan.
Realita adalah saksi terbaik. Betapa banyak orang menentang petunjuk Nabi SAW
dengan melanggar larangannya akhirnya ia tercampak di atas keburukan.
Barangsiapa yang tidak memiliki hajat untuk berinteraksi dengan lawan
jenis, maka menjauhinya lebih baik dan selamat. Jika ada suatu kebutuhan yang
1. Ghadlul Bashar (menundukkan pandangan)
Allah Ta‟ala berfirman,
:رونلا ةروسلا)
(
Artinya: “Katakanlah kepada laki – laki yang beriman, hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (QS. An-Nuur: 30).
Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat pertama di atas mengatakan,
”Ayat ini merupakan perintah Allah Ta‟ala kepada hamba-Nya yang beriman
untuk menundukkan pandangan mereka dari hal-hal yang haram. Janganlah
mereka melihat kecuali pada apa yang dihalalkan bagi mereka untuk dilihat
(yaitu pada istri dan mahramnya). Hendaklah mereka juga menundukkan
pandangan dari hal-hal yang haram. Jika memang mereka tiba-tiba melihat
sesuatu yang haram itu dengan tidak sengaja, maka hendaklah mereka
memalingkan pandangannya dengan segera.”31
Dalam lanjutan ayat ini, Allah juga berfirman,
ةروسلا)
رونلا
:
13
(
31 Al Imam Hafiz Abi Fida‟I Ismail bin Katsir, Tafsir Al Qur‟an Al
Artinya: “Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menundukkan pandangannya, dan kemaluannya” (QS. An -Nuur: 31).
Ketika menafsirkan ayat kedua di atas, Ibnu Katsir juga mengatakan,
”Firman Allah “Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: hendaklah
mereka menundukkan pandangan mereka‟ yaitu hendaklah mereka
menundukkannya dari apa yang Allah haramkan dengan melihat kepada orang
lain selain suaminya. Oleh karena itu, mayoritas ulama berpendapat bahwa
tidak boleh seorang wanita melihat laki-laki lain (selain suami) baik dengan
syahwat dan tanpa syahwat. Sebagian ulama lainnya berpendapat tentang
bolehnya melihat laki-laki lain dengan tanpa syahwat.32 Berdasarkan hal ini
ditetapkan nya keharaman tentang melihat aurat lawan jenis yang bukan
muhrim.
2. Tidak berduaan atau berkhalwat dengan wanita asing (bukan mahram dan bukan istrinya).
Dalam Shahihul Muslim, dari Ibnu Abbas radliyallah „anhu, Nabi
shallallahu „alaihi wasallam bersabda:
32
Artinya: Dari Ibnu Abbas, dari Nabi Shallallahu „Alaihi wa Sallam, dia bersabda: “Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang
wanita, kecuali bersama mahramnya.”33
(H.R. Muslim)
Dijelaskan pula, dari Amir Bin Rabi‟ah,
Artinya : Dari Amir Bin Rabi‟ah, ia berkata, Rasulullah SAW “Jangan lah seorang lelaki berduan dengan seorang perempuan yang tidak halal baginya. Karena sesungguhnya yangketiga adalah setan.kecuali ditemani mahramnya.”34(HR. Ahmad)
3. Berusaha agar tidak ikhtilath dengan gadis yang bisa menyebabkan fitnah.
Firman Allah „Azza Wa Jalla dalam surah Al Isra‟ ayat 32:
:ءارساا ةروسلا(
)
Artinya: “Dan janganlah kalian mendekati zina.” (QS. Al-Isra‟: 32)
Larangan dalam ayat ini dengan konteks “Jangan kalian mendekati”
menunjukkan bahwa Al-Qur‟an telah mengharamkan zina begitu pula pendahuluan-pendahuluan yang dapat mengantar kepada perbuatan zina serta
33
HR. Muslim, Al-Imam Muslim, Shahih Muslim,Kitab Haji, (Bandung: Sirkah
Ma‟arif,2007)cet.8 Juz.3, Hal. 27, No. 1281
34
sebab-sebabnya secara keseluruhan seperti melihat, ikhtilath, ber-khalwat,
tabarruj dan lain-lain.”
Allah Ta‟ala berfirman guna melarang hamba-hambanya dari perbuatan
zina, mendekatinya, dan berinteraksi dengan hal-hal yang dapat menimbulkan
atau menyeret kepada perzinaan. “Dan janganlah kamu mendekati perzinaan. Sesungguhnya perzinaan itu adalah perbuatan keji, “yakni dosa yang besar“, dan
satu jalan yang buruk” yakni perzinaan itu merupakan jalan dan perilaku yang
terburuk.35
4. Tidak bersalaman dengan wanita yang bukan mahram, karena diharamkan.
Dalam Al-Mu‟jam Al-Kabir milik Imam Ath-Thabrani, dari Ma‟qil bin
Yasar berkata, Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam bersabda:
Artinya : Telah memberikan hadits kepada saya Abdan bin Ahmad Sana Nasar bin Ali beliau berkata: saya Abi sana Sadad bin Said dari Abi Ala
telah mebberikan hadis kepada saya Ma‟qul bin Yasar, beliau berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Andaikata kepala salah seorang
35
laki-laki ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.”36
5. Allah telah memerintahkan beberapa adab yang agung kepada para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan segenap wanita muslimah yang masuk
di dalamnya.
Allah berfirman di dalam al-Quran surat Al-Ahzab ayat 32 :
: ازحاا ةروسلا)
(
Artinya: “Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan
ucapkanlah perkataan yang baik.”(QS. Al-Ahzab: 32)
Imam ibnu katsir lebih lanjut menafsirkan ayat ini bahwa tidak
diperbolehkan bagi wanita berbincang dengan ajanib lawan jenis seperti
berbincang dengan suami atau mahram nya37. Begitu juga, Imam Qurthubi dalam
ayat ini beliau menafsirkan bahwa disunnahkan bagi wanita untuk merendahkan
suaranya ketika berbincang dengan lawan jenis yang bukan mahram38
36
Al Hafidz Ahmad Athobary, Mu‟jam Alkabir, (t.t., Maktabah Ibnytaimiyah,1991),cet.1 , juz 20, h. 211-212.
37
Al Imam Hafiz Abi Fida‟I Ismail bin Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, (t.t., Darrul Kutub Ilmiah, t.th.), juz 6, h.362.
38
31
DAN BATSUL MASA’IL
A. Profil Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3)
FMP3 adalah sebuah acara pengkajian yang dilakukan oleh pondok
pesantren putri se-Jawatimur dan Madura. FMP3 itu sendiri adalah Forum
aspirasi Pondok pesantren Putri untuk membahas permasalahan-permasalahan
yang ada dimasyarakat, nantinya akan dibahas pada forum tersebut. Akan
menghadirkan tutor-tutor dari kalangan dunia pesantren yang sudah mumpuni
dibidangnya masing-masing.
FMP3 diadakan pertama kali di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi'at
al-Qur'aniyyah (HMQ) Lirboyo - Kediri - Jatim. Acara ini biasa dilakukan di
tiap-tiap pondok pesantren yang telah di pilih menjadi penyelengara acara. Pada acara
tersebut, biasanya panitia FMP3 se-Jawa dan Madura mengundang ratusan
pondok pesantren salaf putri, tetapi yang tercatat sebagai peserta yang hadir ada
sekitar lima puluhan pondok pesantren.
Dalam acara tersebut, seluruh perwakilan pesantren melaksanakan diksusi
yang dikemas dalam bingkai Bahtsul Masail. Bahtsul Masail yang dilaksanakan
santri putri merupakan suatu pergerakan progresif yang baik di lingkungan
pesantren, mengingat pesantren selama ini terlihat sebagai sub kultur yang
keagamaan maupun sosial. Selain itu, bahtsul masail tersebut secara tidak
langsung telah mengajak para santri untuk terus membuka dasar hukum berupa
kitab-kitab kuning sebagai landasan berideologi. Agar santri putri terus
melakukan aktualisasi zaman dengan tetap merujuk pada kitab kuning, karena
sekarang ini sudah jarang santri yang mempelajari kitab kuning sebagai landasan
hukum mereka.
Sedangkan Tujuan bahtsul masa‟il menurut Majelis Musyawarah Pondok Pesantren Lirboyo yaitu:
Pertama, bahtsul masa‟il bisa dijadikan sebagai mediator dalam rangka mensosialisasikan gagasan-gagasan baru pemahaman ajaran
Islam kepada masyarakat.
Kedua, bahtsul masa‟il dapat difungsikan sebagai ajang penempaan ketrampilan, kreatifitas dan kualitas intelektual santri di
pesantren, pemupukan jiwa kritis dan inovatif terhadap
berbagai disiplin ilmu-ilmu agama, khususnya fikih.
Ketiga, melalui bahtsul masa‟il dapat dipersiapkan sejak dini kader-kader yang mumpuni dalam mengakomodir beragam
perbedaan pemikiran yang berkembang di kalangan umat,
untuk kemudian memberikan formulasi terbaik secara arif dan
bijaksana.39
39
FMP3 ( Forum Musyawarah Pondok Pesantren ) putri se-jawa timur. Berikut
susunan kepengurusan.
- PELINDUNG :
1. KH. Ahmad Idris Marzuqi P3TQ. Lirboyo Kota Kediri
2. KH. M.Anwar Manshur P3HM. Lirboyo Kota Kediri
3. KH. M.Abdul Aziz Manshur PP. Tarbiyatunnasyiaat Paculgowang Jombang
4. KH. Abdulloh Kafabihi Mahrus P3HMQ. Lirboyo Kota Kediri
5. KH. Nurul Huda PP. Al Falah Ploso Kediri
6. KH. Zainuddin Jazuli PP. Al Falah Ploso Kediri
7. KH. Anwar Iskandar PP. As Sa‟idiyah Jamsaren Kediri 8. KH. Muhammad Subadar PP. Roudlotul „Ulum Besuk Pasuruan 9. KH. Miftahul Akhyar PP. Miftahussunnah Surabaya
10. KH. Masrukhin PP. Hidayatut Thullab Kamulan Trenggalek
11. KH. Masbukhin Faqih PP. Mambaussholihin Suci Manyar Gresik
12. KH. Sadid Jauhari PP. As Sunniyyah Kencong Jember
13. KH. Imam Yahya Malik PP. Al Ma‟ruf Bandar Lor Kota Kediri
14. KH. Masyhudi PP. Hidayatut Thullab Kamulan Trenggalek
15. KH. Mujib Imron PP. Al Yasini Areng-areng Sambisirah Pasuruan
16. Ibu Hj. Badriyah Jazuli PP. Al Badriyah Ploso Mojo Kediri
17. Ibu Hj. Qoni‟atuz Zahro Sa‟id PP. As Sa‟idiyah Jamsaren Kediri 18. Ibu Hj. Lilik Nur Kholidiah PP. Al Badriyah Al Hikmah Purwoasri
20. Ibu Hj. Azzah Nuur Laila P3HMQ. Lirboyo Kota Kediri
- PENASEHAT :
1. KH. Atho‟illah Sholahuddin PP. Lirboyo Kota Kediri
2. KH. Asyrofi Abi Yusa PP. Darussalam Sumbersari Pare Kediri.
3. KH. Dliyauddin PP. Manba‟ul Hikmah Mantenan Blitar
4. KH. Muhibbul Aman Ali PP. Roudlotul „Ulum Besuk Kejayan Pasuruan 5. KH. Ibnu Shodiq PP. Hidayatul Mubtadi-in Ngunut Tulungagung
6. KH. Bahrul Huda PP. An Nur Gondanglegi Malang
7. Agus H. Reza Ahmad Zahid PP. Al Mahrusiyah Lirboyo Kota Kediri
8. Agus Anang Darunnaja PP. As Sa‟idiyah Jamsaren Kediri
9. Agus Fauzi Hamzah PP. Miftahul „Ulum Pare Kediri
10. Agus H. Abdul Mu‟id Shohib PP. Mambaul Ma‟arif Denanyar Jombang 11. Agus H. Ibrahim Abdul Hafidz PP. Hidayatus Sholihin Turus Kediri
12. Agus H. Dahlan Ridlwan PP. Roudlotul Huffazh Kodran Mojo Kediri
13. Agus H. Huda PP. Suci Manyar Gresik
14. Agus Jamil PP. Wali Songo Cukir
- DEWAN HARIAN:
Ketua Umum : HM. Adibussholeh (P3HM. Lirboyo Kota Kediri)
Ketua Satu : Ma‟adzallah (P3.Darussalam Sumbersari Kediri)
Ketua Dua : M. Fadloli (P3HM. Lirboyo Kota Kediri)
Ketua Tiga : H. Muhammad (P3HMQ. Lirboyo Kota Kediri)
Sekretaris Umum : Yusuf Nur (P3HM. Lirboyo Kota Kediri)
Sekretaris Satu : Teten Rustendi (P3HM. Lirboyo Kota Kediri)
Sekretaris Dua : Qurrotu A'yunin (P3HMQ. Lirboyo Kota Kediri)
Sekretaris Tiga : Tri Fina F. (P3TQ. Lirboyo Kota Kediri)
Berndahara : M. Najib Yasin (P3HM. Lirboyo Kota Kediri)
Wakil bendahara : Ria Mustika Sari (PP. Al Mahrusiyyah Lirboyo Kota
Kediri)40
B. Metode Istinbat Hukum Bahtsul Masa’il
1. Bahtsul Masail
Bahtsul Masa‟il secara harfiah berarti pembahasan berbagai masalah yang berfungsi sebagai forum resmi untuk membicarakan Al-Masa‟ilud
Diniyah (masalah-masalah keagamaan) terutama berkaitan dengan
al-Masa‟ilul Fiqhiyah (masalah-masalah fiqh). Dari perspektif ini Al-Masa‟ilul
Fiqhiyah termasuk masalah-masalah yang khilafiah (kontroversial) karena
jawabannya bisa berbeda pendapat.
Nahdlatul Ulama dalam setiap mengambil keputusannya senantiasa
didasarkan pada permusyawaratan para ulama, termasuk di dalamnya
keputusan hukum Islam yang diambil oleh Nahdlatul Ulama terlebih dahulu
digodok dalam forum bahtsul masa‟il (pembahasan berbagai permasalahan hukum). Sedangkan untuk melaksanakan bahtsul masa‟il tersebut, diperlukan
40
tata cara pelaksanaannya sebagaimana diatur dalam system pengambilan
hukum Islam.
Dalam struktur organisasi NU, bahtsul masa‟il dilaksanakan oleh lembaga yang disebut Lembaga Bahtsul Masail (LBM). Sesuai dengan
namanya, bahtsul masa‟il, yang berarti pengkajian terhadap masalah-masalah agama, LBM berfungsi sebagai forum pengkajian hukum yang membahas
berbagai masalah keagamaan.
Tugas LBM adalah menghimpun, membahas dan memecahkan
masalah-masalah yang menuntut kepastian hukum. Oleh karena itu lembaga
ini merupakan bagian terpenting dalam organisasi NU, sebagai forum diskusi
alim ulama dalam menetapkan hukum suatu masalah yang keputusannya
merupakan fatwa dan berfungsi sebagai bimbingan warga NU dalam
mengamalkan agama sesuai dengan paham Ahlussunah Waljamaahmenurut
salah satu madzhab empat dan mewujudkan tatanan masyarakat yang
demokratis dan berkeadilan demi kesejahteraan umat.
K.H. Syansuri Badawi, salah seorang kiai NU, mengatakan bahwa
ijtihad yang dilakukan para ulama NU dalam Bahtsul Masail adalah bentuk
qiyas. Tetapi ijtihad yang seperti itu dilakukan sejauh tidak ada qaul
(pendapat) para ulama yang dapat menjelaskan masalah itu. Qiyas dilakukan
sejauh tidak bertentangan dengan Al Qur‟an dan Al Hadis. Hal ini sesuai
Ketika menghadapi masalah serius kekinian yang dimasa lalu
peristiwa itu belum pernah terjadi, LBM selalu meminta penjelasan terlebih
dahulu kepada ahlinya. Setelah kasusnya jelas, barulah dikaji lewat kitab
kuning.41
Walaupun LBM merupakan sumbangan yang tak ternilai harganya
bagi NU, Namun masih ada kelemahan yang perlu diperhatikan:
a. Kelemahan yang bersifat teknis (kaifiyatul bathsi), yakni belum ada
ketegasan yang bersifat jama‟i mengenai pola bermahzhab antara
manhaj dan qauli.
b. Kelemahan organisatoris, yakni belum terkondisikanya dan belum
bakunya hirarhi (martabat) keputusan bahtsul masa‟il yang
diselenggarakan diberbagai tingkatan, mulai dari tingkat muktamar
sampai tingkat ranting serta dipesantren-pesantren.
c. Kelemahan komitmen dan kesadaran untuk mensosialisasikan dan
melakukannya secara baik hasil putusan bahtsul masail.42
Masail Diniyah yaitu permasalahan yang sedang berkembang untuk
dicarikan solusi dari sisi agama. NU mempunyai tiga Komisi Masail Diniyah:
a. Masail Diniyah Waqi‟iyah, yakni permasalahan kekinian yang menyangkut hukum suatu peristiwa. Misal bagaimana hukum orang
Islam meresmikan gereja?
41
Soeleiman Fadeli dan Moh. Subhan, Antologi NU, (Khalista: Surabaya,2008), h. 35-36
42
b. Masail Dinniyah Maudhu‟iyah, yakni permasalahan yang menyangkut pemikiran. Misalnya fikrah Nahdliyah, Globalisasi.
c. Masail Diniyah Qanuniyah, penyikapan terhadap rencana UU yang
diajukan pemerintah atau UU peralihan yang baru disahkan. Komisi
ini bertugas mengkaji RUU atau UU baru dari sisi agama, untuk
diajukan kepada pemerintah sebagai bahan masukan dan koreksi.43
2. Metode Istinbath Hukum Islam di Lajnah Bahtsul Masail.
Mekanisme kerjanya, semua masalah yang masuk ke lembaga ini
diinventarisir, kemudian disebarkan ke seluruh ulama, anggota Syuriah dan
para pengasuh pondok pesantren yang ada dibawah naungan NU. Selanjutnya
para ulama melakukan penelitian terhadap masalah itu dan dijadikan rujukan
dari pendapat-pendapat ulama madzhab melalui kitab kuning (klasik).
Selanjutnya mereka bertemu dalam satu forum untuk saling beradu argument
dan dalil rujukan. Dalam forum ini seringkali mereka harus berdebat keras
dalam mempertahankan dalil yang dibawanya, sampai akhirnya ditemukan
dasar yang paling kuat. Barulah ketetapan hukum itu diambil bersama.
Pada umumnya, rujukan itu mengikuti pendapat Imam Syafi‟i, karena madzab ini paling banyak diikuti kaum muslimin dan lebih sesuai dengan
kondisi sosial, budaya dan geografis Indonesia. Jika pendapat Imam Syafi‟i tidak tersedia maka pendapat ulama yang lain diambil, sejauh masih dalam
lingkungan madzhab yang empat (Syafi‟i, Maliki, Hambali dan Hanafi).
43
Meskipun semua dasar selalu merujuk pada pendapat ulama pendahulu,
namun kondisi m