• Tidak ada hasil yang ditemukan

Anthony (1963: 63-67) memberikan definisi mengenai pendekatan, metode, dan teknik. Sebuah pendekatan mendeskripsikan hakikat kegiatan pembelajaran yang dilakukan. Metode adalah keseluruhan rencana dan penyajian materi secara berurutan, tidak ada yang bertentangan, dan semuanya berdasarkan atas

pendekatan yang dipilih. Menurut Anthony (1963), pendekatan bersifat aksiomatis sedangkan metode bersifat prosedural. Sebuah pendekatan dapat terdiri atas beberapa metode. Teknik bersifat implementasional mengenai hal yang sesungguhnya terjadi di kelas. Teknik didefinisikan sebagai sebuah strategi khusus yang digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Teknik harus konsisten dengan metode dan sejalan dengan pendekatan.

Sebuah metode pembelajaran adalah realisasi praktis dari suatu pendekatan, dan sebuah metode setidaknya meliputi prosedur dan teknik sebagai standar minimum (Harmer, 2001: 78). Setiap metode pembelajaran hendaknya menampilkan latar belakang dan tujuan metode tersebut dilengkapi dengan sintak (prosedur) pelaksanaan, peran guru, dan pengaruh metode terhadap keberhasilan pembelajaran (Huda, 2013). Di sisi lain, Richards dan Rodgers (1986: 16) menempatkan pendekatan dan metode pada tahap desain, yaitu tujuan pembelajaran, silabus, dan topik ditentukan terlebih dahulu serta peran guru dan peserta didik, dan materi ajar dispesifikasi. Tahap implementasi, yang oleh Anthony (1963) disebut sebagai teknik, kemudian diberi istilah prosedur. Oleh karena itu, metode, secara teoretis, berhubungan dengan pendekatan, secara susunan ditentukan oleh desain, dan secara praktis terwujudkan dalam prosedur. Dari keempat pendapat tentang metode pembelajaran di atas, penelitian ini cenderung mengarah pada pendekatan metode yang lebih holistik seperti yang dikemukakan oleh Richards dan Rodgers (1986).

Teori Pembelajaran Bahasa

Sebelum metode pembelajaran dibahas lebih lanjut, terlebih dahulu akan dibahas berbagai pendekatan yang mengilhami lahirnya berbagai metode dalam pembelajaran bahasa. Dalam setiap pendekatan terdapat teori tentang pembelajaran bahasa (theory of language learning) dan teori tentang bahasa (theory of language). Berbagai kajian teoretis yang menjadi landasan dalam pembelajaran bahasa antara lain dari sudut pandang behaviorisme, naturalisme, kognitivisme, dan fungsionalisme. Berikut ini adalah penjelasan dari teori-teori tersebut.

1) Behaviorisme

Belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus-respons (Skinner, 1976: 23). Teori ini mementingkan input yang berupa stimulus (berbagai cara atau metode yang diberikan guru untuk membantu peserta didik belajar) dan output yang berupa respons (reaksi atau tanggapan peserta didik terhadap stimulus dari guru tersebut). Faktor lain yang juga dianggap penting oleh aliran behavior adalah faktor penguatan (reinforcement). Penguatan (baik yang positif maupun negatif) adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respons. Hubungan antara stimulus dan respon dipengaruhi oleh lingkungan yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku yang dikenal dengan konsep proses penguatan yaitu memberi penghargaan pada perilaku yang diinginkan (positive reinforcement) dan tidak memberi imbalan apapun pada perilaku yang tidak tepat (negative reinforcement) (Skinner, 1976: 23) Sementara itu, Thorndike menyatakan

bahwa perilaku belajar manusia dipengaruhi oleh lingkungan. Rangsangan dari lingkungan tertentu memperkuat kemampuan berbicara peserta didik.

Teori belajar behaviorisme ini berkembang menjadi aliran struktural yang kemudian melahirkan Direct Method, serta metode Audiolingual dengan penekanan pada drilling dan mimikri (Richards dan Rodgers,1986: 17). Aliran ini berpendapat bahwa faktor eksternal lebih mendominasi dalam pembelajaran bahasa. Kelemahan dari metode-metode tersebut adalah terlalu menekankan pentingnya struktur gramatika sehingga mengesampingkan kompetensi komunikatif peserta didik. Latihan dalam pembelajaran bahasa dengan cara menghapalkan sebagian ungkapan dan kosakata, menghapalkan percakapan, serta melafalkan kata-kata dengan benar tidak mampu membantu peserta didik meningkatkan keterampilan mereka dalam menggunakan bahasa target dalam kehidupan sehari-hari.

2) Naturalisme

Pendekatan naturalisme berdasarkan pada proses dan kondisi pembelajaran. Pandangan naturalisme dimplementasikan dalam Metode Learning, the Silent Way, dan Total Physical Response. Metode Councelling-Learning berpusat pada kondisi ruang kelas tempat peserta didik belajar, dan berusaha mengurangi intimidasi dan rasa tidak nyaman yang dialami peserta didik. Dalam metode tersebut, kondisi kelas sangat mempengaruhi keberhasilan peserta didik. Metode Total Physical Response diciptakan dengan prinsip bahwa bahasa anak dibangun berdasarkan aktivitas motorik dengan cara menghubungkan bahasa dengan tindakan. Sementara itu, metode Silent

way menekankan kebutuhan peserta didik akan rasa aman saat belajar dan kesadaran penuh akan pembelajaran. Berbagai teknik yang ditawarkan dirancang untuk melatih peserta didik menggunakan kecerdasannya untuk memaksimalkan potensi belajar (Richards dan Rodgers,1986: 18-19).

Ketiga metode tersebut lebih sesuai jika diterapkan pada pembelajar bahasa asing yang masih berusia kanak-kanak. Metode TPR memerlukan banyak gerakan motorik seperti dalam permainan yang sangat menarik bagi anak-anak, tetapi orang dewasa akan merasa canggung dan kurang termotivasi, sedangkan metode Silent Way tidak akan banyak membantu peserta didik dalam meningkatkan kompetensi komunikatifnya terutama jika waktu belajar sangat terbatas.

3) Kognitivisme

Kognitivisme memandang bahasa sebagai salah satu kemampuan dari pematangan kognitif dan mengakui pentingnya faktor kemampuan individu dalam belajar tanpa meremehkan faktor eksternal atau lingkungan. Peserta didik berinteraksi dengan lingkungannya dengan jalan mengeksplor dan melakukan percobaan. Proses belajar akan mendatangkan hasil atau bermakna jika guru dalam menyajikan materi pelajaran yang baru dapat menghubungkannya dengan konsep yang relevan yang sudah ada dalam struktur kognisi peserta didik. Perkembangan individu dapat dilihat dari struktur dan fungsi kognitifnya. Fungsi kognitif adalah proses biologis alamiah yang melekat pada seseorang sejak lahir dan tidak berubah seumur hidupnya, sedangkan struktur kognitif mengalami perubahan semenjak masa

kanak-kanak. Perkembangan kognitif dipengaruhi oleh maturasi (kematangan), aktivitas, dan interaksi sosial peserta didik dengan lingkungan bahasa (Richards dan Rodgers,1986: 19-21).

Aliran ini menjadi landasan psikologi pendidikan yang kemudian berkembang menjadi pembelajaran kontekstual. Contextual Teaching and Learning (CTL) menekankan pada proses keterlibatan peserta didik untuk menghubungkan materi yang dipelajari dengan kehidupan nyata. Metode CTL kurang sesuai diterapkan dalam penelitian ini karena subjek penelitian, yakni peserta didik, belum memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang tata hidangan, sehingga akan sulit bagi mereka untuk terlibat secara aktif dalam mengaitkan materi pembelajaran dengan kehidupan nyata di restoran.

4) Fungsionalisme

Teori fungsionalisme menjadi landasan pikiran dari metode komunikatif. Teori ini memperlakukan bahasa sebagai alat untuk menyampaikan dan memahami maksud tuturan secara lisan dan kontekstual, yang melibatkan lokasi (where), waktu (when) dan kepada siapa tuturan ditujukan (to whom) (Brown, 2007: 46). Teori fungsional berkaitan dengan faktor-faktor sosial, bahasa tergantung pada masyarakat penuturnya, bukan pada sistem yang terkandung di dalamnya. Aliran ini kemudian menghasilkan metode Communicative Language Teaching (CLT).

Dalam penelitian ini, bahasa dilihat sebagai media komunikasi dalam interaksi antarindividu. Oleh karena itu, pendekatan yang sesuai dengan arah penelitian ini adalah Communicative Language Teaching (CLT) yang lebih berfokus pada

interaksi antar peserta didik serta aspek kelancaran berbahasa dan pelafalan dibandingkan dengan struktur bahasa secara gramatika (Richards dan Rodgers, 2001). Akan tetapi CLT juga memiliki kelemahan yaitu terletak pada sulitnya memeriksa penggunaan bahasa dari setiap peserta didik, terutama dalam kelas-kelas besar. Peserta didik diperbolehkan membuat kesalahan secara gramatika tetapi mereka perlu dikoreksi oleh guru, tidak secara langsung di tengah percakapan, supaya kompetensi peserta didik dapat berkembang dan mereka tidak mengulangi kesalahan yang sama berkali-kali. Guru memegang peranan penting yang menentukan apakah suasana kelas akan menjadi menarik atau membosankan. Oleh karena itu, guru harus mempersiapkan materi sebelumnya dan berusaha membuatnya menjadi semenarik dan sekreatif mungkin, sehingga peserta didik merasa termotivasi untuk menggunakan bahasa yang dipelajari di kelas. Untuk menutupi kekurangan dari CLT tersebut, penelitian ini menyediakan rubrik penilaian lengkap dengan performance criteria dan performance task yang dapat membantu guru dalam menilai dan memeriksa penggunaan bahasa peserta didik.

Teori Bahasa

Sejumlah pendekatan dan metode pembelajaran bahasa yang telah dibahas sebelumnya tidak akan lengkap jika tidak disertai dengan teori bahasa. Terdapat tiga teori utama mengenai bahasa. Teori pertama adalah teori struktural yang memandang bahasa sebagai sistem struktural yang berhubungan dengan elemen-elemen kode dan makna. Menurut teori ini, target dari pembelajaran bahasa adalah

penguasaan elemen-elemen dalam sistem bahasa tersebut yang dikategorikan ke dalam unit fonologi, gramatika, dan leksikal (Richards dan Rodgers,1986: 16).

Teori kedua adalah teori fungsional yang memandang bahasa sebagai media untuk menyampaikan makna fungsional. Teori ini mengedepankan dimensi semantik dan komunikatif, tidak hanya gramatika dan struktur. Teori ini lebih banyak digunakan dalam pembelajaran English for Specific Purposes (ESP) (Richards dan Rodgers,1986: 17).

Teori ketiga adalah teori interaksional, yaitu teori bahasa yang melihat bahasa sebagai alat untuk merealisasikan hubungan interpersonal dan transaksi sosial antarindividu. Teori ini meliputi analisis interaksi, analisis wacana, dan etnometodologi (Richards dan Rodgers,1986: 17). Dari ketiga teori tersebut, teori fungsional yang melihat bahasa sebagai alat komunikasi dipandang sebagai teori yang paling sesuai dengan arah penelitian ini.

Sejumlah metode pembelajaran bahasa dan teori bahasa yang disebutkan di atas memiliki keunggulan dan kelemahannya tersendiri. Akan tetapi, teori linguistik mengenai fungsi-fungsi bahasa belum banyak diterapkan dalam metode pembelajaran bahasa. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba mengangkat teori fungsi bahasa sebagai landasan fundamental pengembangan sebuah metode pembelajaran bahasa Inggris yang berfokus pada peningkatan keterampilan berbicara peserta didik di bidang vokasional. Berbagai hal yang menjadi pertimbangan dalam pengembangan metode tersebut dibahas sebagai berikut.

2.3.3.1 Desain sistem instruksional

Desain adalah rancangan atau perencanaan tentang cara sebuah pendekatan dikembangkan untuk diimplementasikan di dalam kelas (Padmadewi, 2012:8). Dalam upaya menghasilkan sebuah metode dari suatu pendekatan, sangatlah penting untuk mengembangkan sebuah desain sistem instruksional yang terdiri atas: (a) tujuan, (b) silabus, (c) jenis kegiatan belajar mengajar, (d) peran peserta didik, (e) peran guru, dan (f) peran materi pembelajaran (Richards and Rodgers, 1986:20). Berikut ini adalah uraian singkat mengenai keenam komponen tersebut. (a) Tujuan

Pemilihan teori bahasa dan teori pembelajaran yang digunakan sangat berpengaruh terhadap tujuan yang ingin dicapai oleh sebuah metode pembelajaran. Spesifikasi tujuan pembelajaran harus sudah ditentukan pada tahap perancangan metode. Misalnya, metode tertentu ingin menekankan penguasaan keterampilan lisan, sedangkan metode lainnya ingin membuat peserta didik lebih memahami struktur gramatika dari bahasa target. Metode yang bersifat product-oriented lebih menekankan keakuratan gramatikal, sedangkan metode yang bersifat process-oriented cenderung mementingkan kefasihan dalam berkomunikasi (Richards and Rodgers, 1986:20). Penentuan tujuan sebuah metode harus memperhatikan tiga komponen yakni: 1) performansi yang mendeskripsikan apa yang harus mampu dilakukan peserta didik; 2) kondisi tempat peserta didik akan tampil; dan 3) standar yang mengindikasikan tingkat kemampuan peserta didik (Nunan, 1988: 64).

(b) Silabus

Setiap metode pembelajaran bahasa selalu meliputi aspek konten yaitu sesuatu yang dibicarakan dan aspek kebahasaan yakni bagaimana cara membicarakannya (Richards dan Rodgers, 1986:20). Silabus merupakan garis besar kegiatan yang akan dilakukan, alat pengajaran yang memfasilitasi pembelajaran (Widdowson, 1984: 26). Silabus juga mengandung spesifikasi unit yang akan diajarkan (Allen, 1984: 61). Silabus terdiri atas pilihan materi ajar yang telah disesuaikan dengan tingkat kemahiran dan durasi pembelajaran (Allen, 1984: 65). Silabus dapat berorientasi pada produk (product-oriented syllabus) dan pada proses (process-oriented syllabus). Silabus yang berorientasi pada produk berfokus pada pengetahuan dan keterampilan berbahasa yang harus dikuasai oleh peserta didik pada akhir pembelajaran, sedangkan silabus yang berorientasi pada proses berfokus pada pengalaman belajar (Richards and Rodgers, 1986: 27). Jenis silabus yang berorientasi pada produk antara lain: silabus gramatikal, dan silabus fungsional-nosional (Nunan, 1988: 27). Silabus gramatikal terlalu menekankan aspek kebahasaan. Akan tetapi pembelajaran bahasa tidak hanya mengenai struktur bahasa saja tetapi juga tujuan komunikatif bahasa yang digunakan (Nunan, 1988: 31). Silabus fungsional-nosional meliputi tujuan komunikatif yang ingin dicapai, dengan mempertimbangkan faktor-faktor situasional, kontekstual, dan ekstra linguistik sehingga perancangan silabus menjadi lebih rumit (Nunan, 1988: 37). Jenis silabus yang berorientasi pada proses yakni: silabus prosedural

yang disusun berdasarkan urutan kegiatan belajar, silabus berbasis tugas (task-based syllabus) yang meliputi jenis-jenis aktivitas pembelajaran, dan silabus konten yang berdasarkan materi pembelajaran (Nunan, 1988: 42-49). (c) Jenis kegiatan belajar mengajar

Tujuan sebuah metode akan menentukan pemilihan kegiatan pembelajaran, apakah berfokus pada aspek gramatika atau pada kemampuan komunikatif. Misalnya, metode Audiolingual menggunakan dialog dan latihan pola secara ekstensif; the Silent Way menggunakan kegiatan problem-solving, Communicative Language Teaching menggunakan kegiatan information gap dan information transfer.

Pola pengelompokan peserta didik juga disesuaikan dengan tujuan pembelajaran, apakah peserta didik bekerja sendiri, berpasangan, atau berkelompok. Secara umum, jenis kegiatan yang digunakan dalam pembelajaran bahasa antara lain: dialog, merespon instruksi, group problem-solving, bertukar informasi, improvisasi, tanya jawab, atau drilling (Richards dan Rodgers, 1986:22).

(d) Peran peserta didik

Dalam kegiatan pembelajaran, hendaknya peserta didik merencanakan sendiri program belajarnya dan bertanggung jawab atas segala hal yang dilakukannya di kelas. Peserta didik juga memantau dan mengevaluasi perkembangan belajarnya. Peserta didik merupakan anggota kelompok dan belajar berinteraksi dengan sesamanya, serta peserta didik membantu mengajari peserta didik lain. Peserta didik tidak hanya belajar dari guru,

tetapi juga dari peserta didik lain, dan dari sumber belajar lainnya (Richards dan Rodgers, 1986:76-77).

(e) Peran guru

Dalam Communicative Language Teaching, guru memainkan dua peranan yakni: 1) memfasilitasi proses komunikasi seluruh peserta didik di kelas dengan berbagai jenis kegiatan dan teks, dan 2) bertindak sebagai partisipan independen dalam kelompok belajar mengajar. Guru juga berperan sebagai pengatur sumber belajar, pemandu kegiatan belajar, peneliti sekaligus pembelajar yang mengamati proses pembelajaran (Richards dan Rodgers, 1986:77).

(f) Peran materi pembelajaran

Penentuan materi pembelajaran mencerminkan tujuan utama dari metode (untuk memfasilitasi komunikasi, untuk mempraktikkan konten, dan sebagainya), bentuk materi (buku teks, flash cards, audio visual, software, dan lain-lain), hubungan materi dengan sumber input lainnya (apakah materi berfungsi sebagai sumber input utama atau hanya sebagian kecil), serta kemampuan guru (kompetensi bahasa atau pengalaman guru) (Richards dan Rodgers, 1986:26).

2.3.3.2 Prosedur

Pada tataran ini terlihat realisasi pendekatan dan desain yang digunakan dalam sebuah metode pembelajaran. Terdapat tiga dimensi yang menjadi pertimbangan dalam merencanakan prosedur pembelajaran, antara lain: a) penggunaan kegiatan pembelajaran (drilling, dialog, information-gap) untuk

mempresentasikan bahasa baru dan memperkenalkan aspek kebahasaan dari bahasa target, b) cara kegiatan tertentu digunakan untuk mempraktikkan bahasa, dan c) cara memberikan feedback kepada peserta didik tentang penggunaan bahasa mereka (Richards and Rodgers, 1986:26-27).

2.3.3.3 Penilaian

Setiap proses pembelajaran tentunya meliputi penilaian terhadap hasil belajar peserta didik. Salah satu bentuk penilaian pembelajaran adalah tes, yaitu metode untuk mengukur kemampuan, pengetahuan, atau penampilan peserta didik dalam bidang tertentu (Brown, 2004:3). Terdapat lima jenis tes, yaitu 1) Tes kemampuan bahasa (Language Aptitude Test); 2) Tes kemahiran (Proficiency test); 3) Tes penempatan (Placement Test); 4) Tes diagnostik (Diagnostic Test), dan 5) Tes pencapaian (Achievement Test) (Brown, 2004: 43-47). Berikut ini dijelaskan secara singkat jenis-jenis tes tersebut.

1) Language Aptitude Test

Tes kemampuan bahasa dirancang untuk mengukur kapasitas atau kemampuan umum dalam mempelajari bahasa asing. Contoh tes standar kemampuan bahasa yang digunakan di Amerika Serikat adalah the Modern Language Aptitude Test (MLAT) dan Pimsleur Language Aptitude Battery (PLAB) yang menugasi peserta didik mengerjakan sejumlah latihan berhubungan dengan kebahasaan (Brown, 2004: 43).

2) Proficiency Test

Tes kemahiran untuk mengukur keseluruhan kompetensi berbahasa, meliputi tata bahasa, kosakata, pemahaman membaca dan menyimak.

Contoh jenis tes ini adalah Test of English as a Foreign Language (TOEFL) (Brown, 2004: 44-45).

3) Diagnostic Test

Tes diagnostik dirancang untuk mendiagnosis aspek tertentu dari bahasa, yang dipandang perlu mendapat perhatian khusus. Misalnya, tes pelafalan untuk mendiagnosis fitur-fitur fonologi bahasa Inggris yang sulit dilafalkan oleh peserta didik, sehingga harus dimasukkan ke dalam kurikulum. Tes diagnostik dilakukan sebelum proses pembelajaran dimulai (Brown, 2004: 47).

4) Placement Test

Tes penempatan bertujuan untuk mengelompokkan peserta didik sesuai dengan kemampuan. Tes jenis ini bervariasi menurut kebutuhan pembelajaran yang akan diikuti, di antaranya meliputi pemahaman lisan dan tulisan, open-ended response, dan gap-filling (Brown, 2004: 46). 5) Achievement Test

Tes pencapaian berhubungan langsung dengan pelajaran di kelas, materi, dan seluruh kurikulum. Tes jenis ini harus dilakukan untuk menguji materi ajar tertentu yang difokuskan pada tujuan pembelajaran. Tes ini menganalisis seberapa jauh pemahaman peserta didik terhadap materi yang sudah diajarkan sebelumnya (Brown, 2004: 47).

Metode pembelajaran yang dirancang dalam penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan berbicara. Oleh karena itu, digunakan jenis tes pencapaian (Achievement Test) untuk mengukur hasil belajar peserta didik.

Sebelum melakukan penilaian terhadap keterampilan berbicara peserta didik, perlu diketahui terlebih dahulu tipe-tipe penilaian keterampilan berbicara seperti yang dijelaskan berikut ini (Brown, 2004: 141-142).

1) Imitatif: pada akhir pembelajaran, peserta didik hanya dituntut untuk mampu menirukan kata atau frasa / kalimat. Hal yang diperhatikan pada tipe ini hanyalah kemampuan melafalkan, tidak sampai pada pemahaman atau percakapan interaktif antar peserta didik.

2) Intensif: penilaian tipe kedua ini meliputi kemampuan menghasilkan ujaran lisan yang sangat singkat. Misalnya, membaca keras, melengkapi dialog, dan menerjemahkan kalimat sederhana.

3) Responsif: meliputi interaksi dan pemahaman, tetapi hanya terbatas pada percakapan yang sangat singkat. Misalnya, percakapan mengenai sapaan, basa-basi, permintaan sederhana, serta memberikan pendapat.

4) Interaktif: perbedaan antara responsif dan interaktif terletak pada durasi dan kompleksitas interaksi yang terkadang melibatkan beberapa partisipan. Interaksi dapat berupa transaksional (bertujuan untuk bertukar informasi) atau interpersonal (bertujuan untuk menjalin hubungan sosial).

5) Ekstensif: berupa monolog meliputi pidato, presentasi lisan, dan bercerita. Gaya bahasa cenderung lebih formal dan interaksi dengan pendengar sangat terbatas.

Berdasarkan uraian tipe-tipe penilaian keterampilan berbicara tersebut, dapat disimpulkan bahwa desain metode pembelajaran yang dirancang dalam penelitian ini mengaplikasikan penilaian yang bersifat interaktif. Interactive

Speaking yang dimaksud adalah percakapan (baik transaksional maupun interpersonal) antar peserta didik yang berperan sebagai tamu dan pramusaji di restoran.

Dalam mendesain penilaian yang interaktif, Brown (2004: 167-179) memberikan empat alternatif kegiatan yang dapat dilakukan untuk menilai keberhasilan pembelajaran peserta didik, yakni wawancara (interview), bermain peran (role play), diskusi, dan permainan (games). Berikut ini adalah penjelasan kegiatan-kegiatan tersebut.

1) Interview

Ketika membahas tentang penilaian keterampilan lisan, hal pertama yang terlintas adalah wawancara lisan yaitu penguji dan yang diuji duduk saling berhadapan dan bertukar informasi. Setiap wawancara setidaknya terdiri atas empat bagian, yakni: a) warm-up yang terdiri atas basa-basi, perkenalan, penguji membantu peserta didik merasa nyaman dan mengurangi kecemasan peserta didik; b) Level check yaitu penguji menstimulasi peserta didik untuk merespons setiap pertanyaan sesuai level yang diuji; c) Probe yaitu penguji mengajukan pertanyaan yang sedikit melebihi materi yang sudah diajarkan. Hal ini bertujuan agar peserta didik mengerahkan seluruh pengetahuan kognitif dan linguistiknya; dan d) Wind-down adalah tahap terakhir ketika penguji memberikan pertanyaan mudah sehingga peserta didik merasa lebih santai (Brown, 2004: 168).

2) Role Play

Bermain peran adalah kegiatan yang sangat populer dalam pembelajaran bahasa komunikatif. Dengan bermain peran peserta didik mendapat kebebasan untuk mengembangkan kreativitas berbahasanya. Peserta didik juga diberikan kesempatan untuk berdiskusi dan merencanakan apa yang akan mereka katakan sehingga dapat mengurangi kecemasan yang timbul saat proses penilaian (Brown, 2004: 174).

3) Discussions

Sebagai instrumen penilaian formal, diskusi antar peserta didik sulit untuk dinilai. tetapi sebagai penilaian informal, teknik diskusi menawarkan keotentikan dan spontanitas peserta didik yang tidak didapatkan melalui teknik lainnya. Teknik ini dapat digunakan untuk mengamati bahasa tubuh, gerak kinesik, eye contact, kesantunan, cara menginterupsi, memberi pendapat, dan sebagainya (Brown, 2004: 175).

4) Games

Beberapa jenis permainan yang dapat digunakan untuk melakukan penilaian terhadap kemampuan bahasa peserta didik antara lain: Crossword puzzles, Information gap, dan City maps (Brown, 2004: 175-176).

Dari beberapa teknik penilaian yang dapat digunakan untuk mengumpulkan data mengenai keberhasilan belajar peserta didik, desain metode pembelajaran yang dirancang dalam disertasi ini memilih teknik Interview, Role play dan Information Gap (games) sebagai cara untuk memperoleh penilaian dan menguji keefektifan metode yang dirancang.

Dokumen terkait