• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. Andi-Pallawa (2012), Rahimy dan Safarpour (2012), Luardini (2009) serta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. Andi-Pallawa (2012), Rahimy dan Safarpour (2012), Luardini (2009) serta"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 Tinjauan Pustaka

Penelitian ini menggunakan sejumlah disertasi dan artikel dari jurnal terakreditasi dan Internasional sebagai kajian pustaka. Studi terdahulu yang dikaji dalam penelitian ini antara lain Murdana (2014), Albakrawi (2013), Putra (2013), Andi-Pallawa (2012), Rahimy dan Safarpour (2012), Luardini (2009) serta Ratmanida dan Al-Hafizh (2008). Ketujuh penelitian tersebut akan dikaji sebagai berikut.

Pustaka pertama bersumber dari disertasi Murdana (2014) dengan judul “Kesantunan Berbahasa Inggris Pramuwisata dalam Memandu Wisatawan Mancanegara di Bali: Sebuah Kajian Sosiopragmatik” yang mengkaji peringkat kesantunan berdasarkan variasi tutur, jenis-jenis tindak tutur, serta fungsi dan makna tindak tutur, dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang bertumpu pada filosofi fenomenologis. Murdana (2014) melakukan penelitian terhadap pramuwisata di empat wilayah di Bali, yakni Kabupaten Badung, Kabupaten Gianyar, Kabupaten Tabanan, dan Kota Denpasar. Hasil temuannya berupa tuturan dalam bahasa Inggris yang digunakan oleh pramuwisata yang diklasifikasikan sebagai berikut. 1) Jenis variasi tutur: variasi tutur formal, variasi tutur informal, dan variasi tutur bidang profesi. 2) Jenis tindak tutur: tindak tutur lokusioner, tindak tutur ilokusioner, dan tindak tutur perlokusioner. 3) Makna

(2)

tindak tutur: makna lokusi, makna ilokusi, dan makna perlokusi. Relevansi penelitian Murdana terhadap penelitian ini terletak pada penggunaan bahasa Inggris di bidang pariwisata yang mementingkan kesantunan dalam setiap tindak tutur. Perbedaannya, penelitian Murdana bergerak di bidang guiding sedangkan penelitian ini berfokus di bidang tata hidangan. Perbedaan yang lebih mendasar ialah bahwa Murdana dalam penelitiannya mengaplikasikan kelima fungsi tindak tutur, sedangkan penelitian ini merekonstruksi teori-teori fungsi bahasa (Jacobson: 1960, Buhler: 1965, Halliday: 1973, Leech: 1974) dan mengkombinasikannya dengan fungsi-fungsi bahasa di bidang tata hidangan yang ditemukan dalam pembelajaran keterampilan berbicara. Penerapan teori linguistik di bidang guiding merupakan hal baru dan menjadi keunggulan penelitian Murdana (2014) sehingga menarik untuk dikaji. Akan tetapi, analisis hanya terbatas pada pengklasifikasian variasi, jenis, dan makna tindak tutur, tanpa membahas unsur linguistik secara lebih mendalam.

Pustaka kedua berasal dari artikel Albakrawi (2013) dengan judul Needs Analysis of the English Language Secondary Hotel Students in Jordan, yang bertujuan menyusun desain pembelajaran ESP di bidang perhotelan. Ia menemukan bahwa kebutuhan peserta didik dalam aspek menyimak antara lain menyimak pembicaraan seseorang serta menyimak pesan dan instruksi. Hal ini dikarenakan para peserta didik harus mampu menyimak pembicaraan gurunya dalam kelas dan seorang pelayan restoran umumnya mencatat pesanan makanan dari tamu. Sementara itu, aspek berbicara harus meliputi percakapan dua orang yang merupakan refleksi dari peristiwa tutur yang biasa terjadi di hotel. Aspek

(3)

membaca meliputi keterampilan membaca iklan, instruksi, brosur, daftar, dan tabel. Fungsi bahasa yang digunakan harus disesuaikan dengan kebutuhan di hotel, yakni memberi salam (greeting), memuji (complementing), memberi saran (advising), menjelaskan fasilitas hotel (explaining hotel facilities), serta mencatat pesanan makanan (receiving orders).

Artikel Albakrawi (2013), yang berdasarkan hasil disertasi doktornya di tahun 2005, menegaskan pentingnya melakukan needs analysis sebelum menyusun desain pembelajaran. Dalam artikelnya, Albakrawi telah sangat jelas merinci keterampilan berbahasa yang dibutuhkan oleh peserta didik di bidang perhotelan. Hal tersebut sangat relevan bagi penelitian ini karena sama-sama mengkaji pembelajaran bahasa Inggris di bidang perhotelan. Perbedaannya, penelitian ini lebih mengkhusus pada bidang tata hidangan. Di sisi lain, Albakrawi belum menyebutkan bentuk-bentuk atau ekspresi-ekspresi bahasa yang dibutuhkan pada masing-masing fungsi bahasa yang digunakan di hotel. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan melengkapi penelitian Albakrawi dengan cara menjabarkan realisasi ekspresi bahasa yang digunakan dalam setiap fungsi bahasa. Relevansi artikel Albakrawi (2013) dengan penelitian ini terletak pada kegiatan needs analysis yang dilakukan sebelum mendesain suatu pembelajaran. Needs analysis dalam penelitian ini dilakukan pada tahap determinasi masalah untuk mengidentifikasi fungsi-fungsi bahasa di bidang tata hidangan yang dibutuhkan dalam pembelajaran keterampilan berbicara.

Pustaka ketiga yang dikaji dalam penelitian ini adalah tesis Putra (2013) yang berjudul “Peningkatan Keterampilan Berbicara Melalui Metode Langsung

(4)

dalam Pengajaran Bahasa Inggris Secara Kuantitatif”. Putra melaksanakan penelitian tindakan kelas (Classroom Action Research) yang terdiri atas empat siklus yakni perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi terhadap peserta didik level pemula di sebuah lembaga kursus. Ia menemukan bahwa pada tes awal nilai rata-rata peserta didik adalah 30,6% yang dikategorikan masih kurang. Setelah diberikan treatment dalam dua siklus, nilai rata-rata peserta didik menjadi 71,3% dengan kategori baik. Di samping itu, ditemukan peningkatan terhadap kemampuan berbicara peserta didik dalam konteks percakapan sederhana. Peserta didik mampu menggunakan ungkapan dan kosakata tertentu secara komunikatif. Aspek yang dijadikan tolak ukur penilaian keterampilan berbicara peserta didik antara lain kosa kata, pelafalan, kefasihan, struktur, dan pemahaman. Putra (2013) juga menggunakan tindak tutur dalam kegiatan bermain peran. Berdasarkan jenis dan fungsinya, tindak tutur langsung dan fungsi direktif lebih banyak digunakan guru karena lebih mudah dipahami dan dapat merangsang peserta didik untuk berbicara.

Relevansi penelitian Putra (2013) dengan penelitian ini terletak pada penggunaan teori linguistik dan penerapan teknik role play dalam pembelajaran keterampilan berbicara dalam bahasa Inggris. Penelitian Putra (2013) membuktikan bahwa keterampilan berbicara peserta didik dapat ditingkatkan setelah diberikan treatment berulang kali melalui kegiatan bermain peran (role play). Akan tetapi metode penelitian yang digunakan berbeda, Putra (2013) menggunakan penelitian tindakan kelas (Classroom Action Research) sedangkan penelitian ini menggunakan model penelitian dan pengembangan (Research and

(5)

Development) berdasarkan exploratory mixed method. Metode pembelajaran yang digunakan oleh Putra (2013) adalah metode Langsung (Direct Method) sedangkan penelitian ini menggunakan Communicative Language Teaching (CLT). Perbedaan mendasar dari kedua metode itu terletak pada penggunaan bahasa target secara eksklusif dalam metode Langsung, sedangkan dalam metode CLT masih diperbolehkan menggunakan bahasa pertama peserta didik untuk mempermudah pemahaman. Di samping metode, teori utama yang digunakan juga berbeda. Teori linguistik yang mendasari penelitian Putra (2013) adalah teori tindak tutur, yakni lokusi, ilokusi, dan perlokusi, sedangkan penelitian ini berpijak pada teori-teori fungsi bahasa. Penelitian Putra (2013) hanya mengkaji hasil penerapan sebuah metode pembelajaran tanpa mengajukan alternatif atau cara baru dalam mengajarkan keterampilan berbicara. Berbeda dengan penelitian ini yang memunculkan inovasi dalam pembelajaran bahasa Inggris khususnya keterampilan berbicara.

Pustaka keempat adalah disertasi Andi-Pallawa (2012) dengan judul “Strategi Percakapan yang Digunakan oleh Peserta didik Jurusan Bahasa Inggris Universitas Tadulako” yang mengidentifikasi strategi percakapan dalam bahasa Inggris oleh peserta didik semester empat jurusan Bahasa Inggris Universitas Tadulako. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian kualitatif, data dikumpulkan melalui observasi, rekaman video, dan catatan lapangan yang dilaksanakan secara bersamaan sebanyak sebelas kali. Untuk melakukan percakapan dengan lancar, peserta didik menggunakan dua belas tipe strategi percakapan, yakni: (1) jeda, (2) meminta penjelasan, (3) pengalihkodean, (4)

(6)

menyimpulkan, (5) mengganti topik, (6) menguraikan/menggambarkan, (7) mengecek pemahaman, (8) mengoreksi diri sendiri, (9) memberi klarifikasi, (10) mengoreksi orang lain, (11) merujuk diri sendiri, dan (12) merasa heran. Selain itu, peserta didik juga menggunakan strategi non-verbal antara lain: (1) berjabat tangan, (2) angkat jempol, (3) buka telapak tangan, (4) senyum, (5) tatap mata, (6) angguk kepala, dan (7) geleng kepala. Hasil temuan Andi-Pallawa menunjukkan bahwa: (1) strategi percakapan membantu pembelajar bahasa Inggris dengan cara mengelisitasi fitur bahasa yang belum diketahui dari lawan bicaranya, dan (2) strategi percakapan adalah bagian dari penggunaan bahasa. Penggunaan strategi percakapan bukan menandakan kegagalan komunikasi melainkan cara mengatasi masalah yang muncul dalam percakapan untuk mencapai tujuan komunikasi.

Relevansi penelitian Andi-Pallawa (2012) dengan penelitian ini terletak pada pemaparan sejumlah strategi percakapan, baik verbal maupun nonverbal, yang dapat membantu peserta didik mengatasi hambatan komunikasi. Andi-Pallawa hanya menggunakan teori strategi-strategi percakapan sedangkan penelitian ini berpijak pada teori fungsi-fungsi bahasa. Data verbal yang dikaji dalam penelitian Andi-Pallawa hanya terbatas pada pengklasifikasian stategi percakapan. Berdasarkan kajian terhadap penelitian tersebut maka penelitian ini dipandang penting untuk dilakukan karena akan lebih mengelaborasi aspek-aspek linguistik dalam pembelajaran keterampilan berbicara ditinjau dari penggunaan fungsi-fungsi bahasa.

Pustaka kelima merupakan artikel dari Rahimy dan Safarpour (dalam Asian Journal of Social Sciences and Humanities, 2012: 50-59) dengan judul The Effect

(7)

of Using Role Play on Iranian EFL Learner’s Speaking Ability, yang melakukan penelitian terhadap sejumlah pembelajar bahasa Inggris di Iran menggunakan metode eksperimental. Hasil temuan mereka menunjukkan bahwa melalui penggunaan teknik role play dalam pembelajaran keterampilan berbicara, mean score dari experimental group mencapai 23,63 atau lebih tinggi dari mean score dari control group yakni 21,03. Selain itu, standar deviasi eksperimental group lebih rendah (1,34) dari control group (1,62) yang menandakan bahwa nilai post-test pada eksperimental group lebih homogen dibandingkan dengan nilai post-post-test pada control group. Penelitian Rahimy dan Safarpour (2012) menunjukkan bahwa penggunaan teknik role play berhasil meningkatkan keterampilan berbicara bahasa Inggris para pembelajar di Iran.

Relevansi penelitian Rahimy dan Safarpour (2012) terhadap penelitian ini terletak pada penggunaan teknik role play dalam meningkatkan keterampilan berbicara. Akan tetapi, Rahimy dan Safarpour belum merinci materi atau tema apa yang diberikan dalam kegiatan bermain peran. Mereka hanya menyebutkan penggunaan teknik role play tanpa membahas tentang aspek linguistik atau non linguistik. Penelitian tersebut bersifat kuantitatif karena hanya memaparkan hasil-hasil tes berdasarkan metode statistik, sedangkan penelitian ini menggunakan mixed method yang berpijak pada data verbal (data linguistik) serta didukung oleh data kuantitatif. Penelitian ini tidak hanya mengedepankan penggunaan teknik role play, tetapi juga berfokus pada pembelajaran fungsi-fungsi bahasa di bidang tata hidangan.

(8)

Pustaka keenam merupakan artikel Luardini (2009) yang menggunakan fungsi-fungsi bahasa untuk meneliti legenda rakyat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah. Berdasarkan pendapat Halliday dan Hasan (1985), Luardini menyatakan bahwa membahas fungsi bahasa sama artinya dengan membahas penggunaan (use) bahasa karena bahasa tersebut tidak akan bermakna jika tidak digunakan atau difungsikan. Hasil temuannya menunjukkan bahwa fungsi bahasa pada teks berupa legenda rakyat Dayak Ngaju menempati kerangka fungsi bahasa yang dikemukakan oleh Halliday dan Hasan. Fungsi-fungsi bahasa yang ditemukan dalam enam teks tersebut antara lain: fungsi informatif, meliputi informasi tentang adat-istiadat, kesenian, kekayaan alam dan sejarah. Fungsi interaktif direalisasikan dalam fungsi kontrol sesama manusia dengan binatang, tumbuhan, alam sekitar dan dengan sesama manusia; fungsi saling mendukung dalam kehidupan sehari-hari dan kepercayaan masyarakat; dan ekspresi diri masyarakat Dayak Ngaju. Fungsi imaginatif yang dibagi dalam fungsi ritual dan puitik terdapat juga dalam teks legenda Dayak Ngaju. Fungsi ritual ditemukan dengan diadakannya upacara adat. Fungsi puitik dalam teks ditemukan dalam bentuk pengulangan klausa dan ungkapan dengan pararelisme semantis.

Kajian Luardini sangat informatif dalam memaparkan keunikan budaya masyarakat Dayak Ngaju yang tercermin dalam teks legendanya. Hal ini membuktikan bahwa fungsi-fungsi bahasa yang dikemukakan oleh Halliday dan Hasan (1985) mampu dijadikan pisau analisis untuk membedah fungsi-fungsi bahasa dalam berbagai jenis teks baik lisan maupun tulisan. Kajian Luardini (2009) memiliki relevansi dengan penelitian ini yakni dalam penggunaan teori

(9)

fungsi bahasa. Akan tetapi, objek yang diteliti berbeda: Luardini mengkaji fungsi bahasa pada teks tertulis berupa legenda menggunakan teori Halliday (yaitu instrumental, regulatoris, representasional, interaksional, personal, heuristik, dan imajinatif) sedangkan penelitian ini mengkaji fungsi bahasa pada tuturan lisan dalam kegiatan pembelajaran bahasa dengan menggunakan teori fungsi bahasa (Jacobson: 1960, Buhler: 1965, Halliday: 1973, Leech: 1974).

Pustaka ketujuh bersumber dari Ratmanida dan Al-Hafizh (2008) yang melakukan penelitian mengenai analisis kebutuhan bahasa Inggris terhadap para staf perhotelan di kota Padang. Mereka menyatakan bahwa keterampilan berbahasa yang paling dibutuhkan adalah keterampilan menyimak, yaitu sebanyak 73%, dengan alasan bahwa para staf perhotelan tersebut sering mendapat permasalahan dengan keterampilan menyimak. Keterampilan kedua yang juga sangat dibutuhkan adalah keterampilan berbicara karena tuntutan pekerjaan yang mengharuskan mereka mampu berkomunikasi dengan baik dengan para tamu sedangkan keterampilan berbicara para staf perhotelan tersebut belum memadai. Secara umum, responden menyatakan sejumlah topik yang sangat penting untuk dikuasai dalam keterampilan berbicara bahasa Inggris, antara lain: memberi salam, menerima pesan (secara langsung dan via telepon), menjawab salam, meminta maaf, memberi petunjuk tentang arah, memberi informasi tentang makanan, menjelaskan menu makanan, menawarkan makanan, dan menjelaskan lokasi (tempat). Berdasarkan analisis silabus dan analisis cakupan materi ajar di jurusan tata boga – PKK UNP dapat disimpulkan bahwa keterampilan berbahasa yang difokuskan adalah keterampilan berbicara. Topik-topik yang diajarkan dalam

(10)

keterampilan berbicara antara lain: Restaurant and their services, On the restaurant table, Reservation, Special wishes and some complications, Greetings, Receiving customers, Taking orders, Explaining dishes, During the meal, Later stages of the meal, Drinks, Talking about money, Complaints and other problems, dan Giving direction. Dari hasil analisis keselarasan materi ajar dengan kebutuhan bahasa Inggris di dunia perhotelan, Ratmanida dan Al-Hafizh (2008) menemukan bahwa sebagian besar materi ajar sudah selaras dan tersedia di jurusan Tata Boga – PKK Universitas Negeri Padang. Hanya materi untuk menerima pesan, baik secara langsung maupun via telepon, belum tersedia sehingga masih diperlukan pengembangan dan penyempurnaan materi ajar di bidang tersebut.

Relevansi penelitian Ratmanida dan Al-Hafizh (2008) terhadap penelitian ini terletak pada analisis kebutuhan bahasa Inggris di bidang perhotelan. Ratmanida dan Al-Hafizh (2008) telah berkontribusi dengan cara memaparkan learning needs para staf perhotelan, khususnya di bidang Tata Boga. Mereka menjelaskan secara terperinci keterampilan berbahasa Inggris yang dibutuhkan oleh para staf perhotelan berdasarkan kuesioner yang disebarkan. Akan tetapi, Ratmanida dan Al-Hafizh belum memberikan paparan mengenai materi yang diajarkan demi memenuhi learning needs tersebut. Penelitian ini menindaklanjuti hasil penelitian Ratmanida dan Al-Hafizh (2008) dengan merumuskan desain pembelajaran beserta materi ajarnya berdasarkan fungsi-fungsi bahasa yang dibutuhkan khususnya di bidang tata hidangan untuk meningkatkan keterampilan berbicara.

(11)

Ketujuh pustaka yang telah dikaji di atas memiliki relevansi dalam penelitian ini. Akan tetapi, belum banyak ditemukan studi yang menggabungkan praktik pembelajaran bahasa dengan teori linguistik. Oleh karena itu, penelitian ini sangatlah penting untuk dilakukan untuk melengkapi kekurangan dan kelemahan studi-studi terdahulu yakni dengan menggabungkan ilmu linguistik (teori tentang fungsi bahasa) dan pembelajaran bahasa (metode pembelajaran berdasarkan teori fungsi bahasa) yang disesuaikan dengan learning needs peserta didik di jurusan Tata Hidangan.

2.2 Konsep

Konsep adalah penjelasan tentang terminologi yang mengacu pada judul penelitian, dan memberi batasan istilah yang sering digunakan dalam penelitian. Dalam penelitian ini, dibicarakan beberapa konsep yang relevan, antara lain: (1) fungsi-fungsi bahasa, (2) metode pembelajaran, (3) keterampilan berbicara, dan (4) Tata Hidangan. Berikut diuraikan konsep-konsep tersebut secara rinci.

2.2.1 Fungsi-Fungsi Bahasa

Halliday dan Hasan (1985: 17) mendefinisikan fungsi bahasa sebagai penggunaan bahasa dengan cara bertutur dan menulis serta membaca dan mendengar untuk mencapai sasaran dan tujuan. Kata ‘fungsi’ (function) dapat dipandang sebagai padanan kata ‘penggunaan’ (use) sehingga fungsi bahasa tidak dapat dipisahkan dari konteks situasi dan konteks budaya yang melatarbelakangi bahasa itu. Suatu bahasa harus digunakan atau ‘difungsikan’ agar menjadi bermakna (Halliday dan Hasan, 1985: 17). Sementara itu, Cook (1994)

(12)

mendefinisikan ‘fungsi’ dari sudut pandang pragmatik yang cenderung lebih berfokus pada tujuan pembicara daripada efek yang ditimbulkan pada pendengar. Menurut Cook (1994: 37) “fungsi’ melibatkan dua hal yakni: tujuan dari bahasa secara umum (disebut sebagai fungsi makro), dan tindakan yang dilakukan oleh ujaran secara khusus (disebut sebagai fungsi mikro). Misalnya ‘memesan’ termasuk dalam fungsi mikro, sedangkan ‘direktif’ dikategorikan sebagai fungsi makro (Cook, 1994: 37). Brown (2007) menambahkan bahwa fungsi bahasa pada dasarnya adalah tujuan yang dicapai dengan bahasa, misalnya menyatakan, meminta, menanggapi, memberi salam, mengucapkan kata perpisahan, dan sebagainya (Brown, 2007: 245).

Berdasarkan berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa adalah alat komunikasi yang digunakan untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Oleh karena itu, fungsi bahasa didefinisikan sebagai tujuan komunikatif yang ingin dicapai dalam penggunaan bahasa. Fungsi bahasa pada penelitian ini dikategorikan sebagai fungsi makro dan fungsi mikro. Fungsi makro mengacu pada penggunaan tuturan untuk mencapai tujuan komunikasi yang diklasifikasikan secara umum misalnya, fungsi interaktif, fungsi informatif, dan fungsi direktif. Fungsi mikro merupakan tindakan yang dilakukan secara khusus oleh suatu ujaran misalnya, untuk berbasa-basi, menyatakan, menyuruh, dan sebagainya.

Realisasi fungsi-fungsi bahasa di bidang tata hidangan tampak pada penggunaan ujaran atau ekspresi bahasa oleh staf restoran dan tamu untuk

(13)

mencapai tujuan komunikasi, khususnya mengenai layanan makanan dan minuman di restoran.

2.2.2 Metode Pembelajaran

Pendekatan, metode, dan teknik merupakan tiga terminologi yang kerap digunakan dalam bidang pengajaran bahasa. Pendekatan adalah seperangkat asumsi tentang hakikat bahasa dan pembelajaran bahasa sebagai sumber dari prinsip-prinsip pengajaran bahasa (Richards, 1986: 15). Metode merupakan keseluruhan rencana penyajian materi tentang keterampilan tertentu dan materi yang diajarkan dengan urutan yang sistematis berdasarkan pendekatan tertentu (Richards, 1986: 15). Dengan kata lain, metode merupakan cara melakukan suatu pekerjaan sedangkan teknik adalah penjabaran praktis dari metode (Richards, 1986: 15). Harmer (2001:10) mendefinisikan dengan jelas istilah pendekatan, metode dan teknik yakni: pendekatan mengacu pada hakikat bahasa dan pembelajaran bahasa yang menjadi sumber praktis dan prinsip-prinsip dalam pengajaran bahasa; sedangkan metode adalah realisasi praktis dari sebuah pendekatan yang meliputi berbagai prosedur serta teknik; dan prosedur adalah urutan yang teratur dari teknik yang digunakan.

Metode pembelajaran dalam penelitian ini didefinisikan, sesuai dengan pendapat Richards (1986), sebagai keseluruhan rencana penyajian materi untuk mengajarkan keterampilan berbicara dalam bahasa Inggris berdasarkan pendekatan Communicative Language Teaching (CLT). Metode pembelajaran yang dirancang meliputi tujuan, silabus, jenis kegiatan pembelajaran, peran

(14)

peserta didik dan guru, materi ajar, dan prosedur pelaksanaan pembelajaran keterampilan berbicara menggunakan realisasi fungsi-fungsi bahasa.

2.2.3 Keterampilan Berbicara

Lee (2003:51) menyatakan keterampilan berbicara adalah kemampuan mengekspresikan ide, berupa opini, harapan, permintaan, dan sebagainya secara lisan. Saville-Troike (2009: 169) berpendapat bahwa keterampilan berbicara meliputi segala hal yang perlu diketahui pembicara untuk dapat berkomunikasi dengan baik dalam suatu komunitas tertentu. Tarigan (1981) mendefinisikan keterampilan berbicara sebagai kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi dalam bentuk kata-kata untuk mengekspresikan, menyampaikan pikiran atau gagasan, dan perasaan. Lebih lanjut, disampaikan oleh Tarigan (1981: 15) bahwa berbicara adalah keterampilan menyampaikan pesan melalui bahasa lisan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa keterampilan berbicara adalah kemampuan menyampaikan pesan berupa gagasan, permintaan, perasaan dan sebagainya yang menitikberatkan pada kemampuan berkomunikasi secara lisan yang melibatkan faktor verbal dan nonverbal.

2.2.4 Tata Hidangan

Istilah tata hidangan berarti cara menyusun serta memperindah makanan dan minuman yang disajikan kepada tamu atau konsumen di restoran. Restoran adalah suatu tempat yang ruangannya didesain khusus dan dikelola secara komersial untuk menyediakan jasa pelayanan dan penyajian makanan dan minuman yang ditujukan untuk masyarakat umum (Siegel, 2000: 6). Pramusaji

(15)

adalah karyawan restoran yang bertugas dan bertanggung jawab melayani kebutuhan makanan dan minuman bagi para tamu secara profesional. Dapat dikatakan pramusaji merupakan ujung tombak usaha karena sangat berperan dalam memberikan kepuasan tamu, yang secara tidak langsung akan memberikan keuntungan bagi restoran.

Tujuan utama dari tata hidangan adalah menjual makanan dan minuman sebanyak-banyaknya dengan harga yang telah ditentukan sesuai standar, memberikan pelayanan sebaik mungkin kepada tamu, hingga mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan kesinambungan usaha. Penelitian ini berfokus pada penggunaan bahasa Inggris di bidang tata hidangan dengan pertimbangan bahwa para pramusaji (waiter) bertugas melayani tamu untuk makan dan minum sehingga memiliki lebih banyak kesempatan untuk berkomunikasi langsung dengan para tamu menggunakan bahasa Inggris.

Terdapat dua istilah yang paling sering digunakan dalam bidang tata hidangan, yaitu: service dan hospitality. Service atau pelayanan adalah tindakan untuk memenuhi keinginan, kebutuhan, dan harapan para tamu atau konsumen. Restoran menyediakan pelayanan untuk memenuhi ekspektasi setiap tamu yang datang, misalnya, meja dan peralatan makan yang bersih, serta makanan yang sehat (Dahmer dan Kahl: 2009: 2). Hospitality atau keramahtamahan berarti menciptakan suasana yang menyenangkan selama tamu berada di restoran, misalnya, menyapa tamu dengan ramah, tersenyum, mengingat nama tamu, mengetahui makanan yang dipesan, dan mengantisipasi kebutuhan tamu (Dahmer dan Kahl: 2009: 2). Kedua hal tersebut, pelayanan dan keramahtamahan,

(16)

merupakan unsur terpenting dalam bisnis restoran yang mampu membuat tamu ingin datang kembali, serta mampu meningkatkan penjualan di restoran.

Dalam penyajian makanan dan minuman terdapat tiga tahapan yang harus diperhatikan (Siegel, 2000: 10). Tiga tahapan tersebut diuraikan sebagai berikut. 1) Persiapan (Mise en place): Persiapan yang baik (misalnya peralatan makan,

posisi meja dan kursi, dan sebagainya) tentunya akan berdampak pada penyajian yang baik pula.

2) Pelayanan terhadap tamu: Pramusaji harus senantiasa berkonsentrasi dalam melayani setiap tamu karena kepuasan tamu terletak pada pelayanan yang maksimal.

3) Penjualan: Pelayanan yang memuaskan terhadap tamu juga merupakan sarana penjualan produk restoran, yakni makanan dan minuman yang ditawarkan, sehingga dapat meningkatkan pendapatan atas penjualan. Oleh karena itu, pengetahuan yang baik mengenai penjualan juga merupakan hal yang penting bagi seorang pramusaji.

Ketika seorang pramusaji melayani tamu di restoran, ia harus mengikuti beberapa prosedur kerja yang disebut sebagai sequence of service. Secara umum, prosedur pelayanan tamu di restoran dapat diuraikan sebagai berikut (Siegel, 2010: 15).

(1) Welcoming guests (menyambut tamu)

(2) Seating the guests (mengarahkan tamu ke mejanya)

(3) Checking comfort and seating arrangement (memastikan kenyamanan

(17)

(4) Serving water (menyajikan air minum)

(5) Presenting menu (memberikan menu)

(6) Taking order (mencatat pesanan makanan dan minuman)

(7) Recommending (merekomendasikan produk)

(8) Repeating orders (mengulangi pesanan)

(9) Presenting food and drinks (menghidangkan makanan dan minuman)

(10) Checking guests’ satisfaction (memastikan kepuasan tamu)

(11) Offering dessert (menawarkan hidangan penutup)

(12) Clearing and crumbing (membersihkan meja dari piring kotor) (13) Presenting the bill (memberikan tagihan)

(14) Thanking the guests and farewell (mengucapkan terima kasih dan salam penutup)

Prosedur kerja tersebut menjadi kerangka materi pembelajaran yang membingkai penggunaan fungsi-fungsi bahasa di bidang restoran. Penelitian ini mengembangkan sebuah metode pembelajaran yang berdasarkan pada ekspresi bahasa yang digunakan dalam setiap tahapan sequence of service. Oleh karena itu, pemahaman mengenai sequence of service sangat penting bagi peserta didik agar dapat memahami materi tentang fungsi-fungsi bahasa di bidang tata hidangan.

2.3 Landasan Teori

Teori utama yang digunakan sebagai landasan berpikir dalam penelitian ini bersumber dari sudut pandang linguistik dan pembelajaran bahasa. Mengingat fungsi bahasa merupakan penggunaan bahasa baik lisan maupun tulisan untuk

(18)

mencapai tujuan pembicaraan, maka teori-teori mengenai fungsi bahasa dari para ahli (Jacobson: 1960, Buhler: 1965, Halliday: 1973, dan Leech: 1974) dirangkum dalam penelitian ini dan digunakan sebagai teori utama untuk mengkaji realisasi fungsi-fungsi bahasa di bidang tata hidangan. Teori fungsi bahasa, ditunjang oleh Etnography of SPEAKING (Hymes, 1974) sebagai teori pendukung dalam menganalisis data lisan, diaplikasikan untuk menjawab permasalahan pertama mengenai fungsi-fungsi bahasa yang digunakan di bidang tata hidangan.

Di sisi lain, pembelajaran bahasa merupakan usaha memperoleh keterampilan berkomunikasi dengan penekanan pada pemerolehan keterampilan berbicara. Metode pembelajaran, oleh Richards dan Rodgers (1986:20), dijabarkan secara holistik yang meliputi tujuan, silabus, jenis kegiatan belajar mengajar, peran peserta didik, peran guru, dan peran materi pembelajaran. Teori tersebut digunakan sebagai landasan teoretis untuk menganalisis proses dan hasil pembelajaran serta sebagai acuan untuk menyusun sebuah metode pembelajaran yang komunikatif. Teori tersebut juga digunakan sebagai acuan dalam mendesain dan mengembangkan metode pembelajaran yang efektif untuk meningkatkan keterampilan berbicara dalam bahasa Inggris khususnya di bidang tata hidangan, sesuai dengan rumusan permasalahan kedua dalam penelitian ini.

Dalam setiap penelitian pengembangan (R&D), produk yang dihasilkan harus diujicoba terlebih dahulu. Oleh karena itu, metode pembelajaran yang dirancang dalam penelitian ini juga diuji coba untuk mengetahui efektivitasnya. Hal ini sesuai dengan rumusan masalah ketiga, yaitu untuk mengetahui efektivitas metode pembelajaran yang dirancang untuk meningkatkan keterampilan berbicara bahasa

(19)

Inggris, khususnya di bidang tata hidangan. Sugiyono (2015: 415-425) menyebutkan tiga cara untuk menguji efektivitas sebuah metode pembelajaran. Pertama, pengujian dapat dilakukan dengan eksperimen yaitu dengan cara membandingkan keadaan sebelum dan sesudah memakai metode pembelajaran baru, atau dengan membandingkan kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol yang tetap menggunakan metode mengajar lama. Kedua, pengujian dilakukan dengan t-test berkorelasi menggunakan program SPSS, dan ketiga adalah dengan uji hipotesis.

Ketiga teori di atas memiliki peranan penting dalam mengkaji tiga permasalahan dalam penelitian ini. Teori-teori tersebut dibahas satu per satu secara rinci sebagai berikut.

2.3.1 Fungsi-Fungsi Bahasa

Leech (1974: 47-50) membagi fungsi komunikatif bahasa menjadi lima, yaitu fungsi informasional, ekspresif, direktif, estetik, dan fatik. Kelima fungsi bahasa tersebut dapat dikorelasikan dengan lima butir hal yang terdapat di setiap situasi komunikasi, yaitu 1) pokok persoalan, 2) sumber (yaitu penutur), 3) penerima (yaitu pendengar), 4) sarana komunikasi di antara penutur dan penerima, dan 5) pesan dengan bahasa itu sendiri. Berikut ini adalah penjelasan kelima unsur tersebut secara rinci.

1) Fungsi informasional adalah fungsi bahasa untuk menyampaikan informasi. Makna konseptual merupakan hal utama dalam penggunaan bahasa yang informasional. Fungsi informasional berorientasi pada pokok persoalan.

(20)

2) Fungsi ekspresif, yaitu digunakan untuk mengungkapkan perasaan dan sikap penuturnya. Dalam fungsi ini kata-kata sumpah serapah dan kata-kata seru merupakan contoh yang paling jelas. Makna afektif, yaitu apa yang dikomunikasikan oleh penutur mengenai sikapnya, merupakan yang paling penting. Dapat dikatakan bahwa fungsi ekspresif berorientasi pada penutur. 3) Fungsi direktif digunakan untuk mempengaruhi perilaku dan sikap orang lain.

Contohnya adalah perintah dan permohonan. Fungsi direktif memberi penekanan atau berorientasi lebih terhadap pendengar, bukan pada penutur. 4) Fungsi estetik, yaitu penggunaan bahasa demi hasil karya itu sendiri tanpa

maksud yang tersembunyi, contohnya pada puisi. Fungsi estetik berorientasi pada pesan yang terkandung dalam bahasa. Dengan demikian, dikatakan bahwa fungsi ini berhubungan baik dengan makna konseptual maupun makna afektif. 5) Fungsi fatik, adalah fungsi bahasa yang berorientasi pada sarana komunikasi

dengan tujuan menjaga agar garis komunikasi tetap terbuka dan untuk menjaga hubungan baik dalam kelompok sosial.

Kelima kategori yang dikemukakan oleh Leech (1974) memandang fungsi bahasa dari segi komunikatif yang searah dengan penelitian ini. Akan tetapi, teori tersebut tidak mampu menjangkau semua fungsi bahasa yang terdapat dalam korpus data penelitian ini karena tidak tersedianya penjelasan rinci mengenai pengklasifikasian fungsi mikro – tidak seperti Searle (1969) yang mencetuskan teori tindak tutur lengkap dengan rincian subkategorinya. Selain itu, fungsi estetika yang bersifat puitis dianggap kurang sesuai dengan bidang kajian penelitian ini yang mengkhusus di bidang tata hidangan. Namun, teori fungsi

(21)

bahasa Leech (1974) ini tetap layak dijadikan acuan untuk mengembangkan teori fungsi bahasa dalam penelitian ini. Empat dari lima fungsi bahasa yang dikemukakan oleh Leech (1974) sangat pantas untuk dijadikan pisau analisis untuk membedah realisasi fungsi-fungsi bahasa di bidang tata hidangan, yakni fungsi informasional, direktif, ekspresif, dan fatik, sedangkan fungsi estetik (yang cenderung bersifat puitis) tidak sesuai untuk diterapkan dalam ragam tutur di restoran yang bersifat informatif.

Halliday (1973: 22-26) mendefinisikan fungsi bahasa sebagai penggunaan bahasa dengan cara bertutur dan menulis serta membaca dan mendengar untuk mencapai sasaran dan tujuan. Halliday kemudian membagi fungsi bahasa menjadi tujuh kategori yang diuraikan sebagai berikut (1973: 22-26).

1) Instrumental, yaitu fungsi bahasa untuk memanipulasi lingkungan, yakni menciptakan situasi atau peristiwa tertentu. Misalnya kalimat “Pengadilan ini menyatakan Anda bersalah” memiliki daya perlokusioner spesifik yakni menimbulkan sebuah kondisi tertentu.

2) Regulatoris, yaitu fungsi bahasa dalam mengontrol keadaan atau peristiwa. Misalnya kalimat “Dengan kelakuan baik, Anda dapat memperoleh pembebasan bersyarat dalam sepuluh bulan.” lebih memiliki fungsi regulatoris. Aturan-aturan dalam persetujuan, kontrol perilaku, penetapan hukum dan kaidah, merupakan ciri-ciri fungsi regulatoris bahasa.

3) Representasional, yaitu fungsi bahasa untuk membuat pernyataan, menyampaikan fakta dan pengetahuan, menjelaskan atau menghadirkan kembali realitas sebagaimana orang melihatnya. Kalimat-kalimat seperti

(22)

“Matahari panas” dan “Presiden berpidato tadi malam” menjalankan fungsi representasional.

4) Interaksional, yaitu fungsi bahasa yang mengacu pada fungsinya sebagai alat berinteraksi. Fungsi interaksional dapat dilaksanakan seseorang dengan baik jika dia mengetahui dan memahami nilai-nilai atau karakteristik budaya yang berlaku dalam bahasa tersebut. Komunikasi interaksional menghendaki pemahaman tentang slang, jargon, gurauan, folklor, norma budaya, sopan santun, dan aspek-aspek lain bagi pergaulan sosial.

5) Personal, yaitu fungsi bahasa yang menyiratkan makna bahwa bahasa merupakan alat untuk mengidentifikasikan diri. Seorang penutur dapat mengungkapkan perasaan, emosi, dan reaksi-reaksi naluriah melalui penggunaan fungsi personal bahasa. Dalam hal ini, aspek bahasa, kognisi, afeksi, dan budaya semuanya berinteraksi.

6) Heuristik, yaitu fungsi bahasa yang dimanfaatkan untuk memperoleh pengetahuan. Fungsi heuristik sering disampaikan dalam bentuk pertanyaan yang mengundang jawaban. Anak-anak biasanya menggunakan fungsi heuristik dalam pertanyaan “mengapa” tentang dunia di sekitar mereka.

7) Imajinatif, yaitu fungsi bahasa yang dapat digunakan untuk berimajinasi atau menciptakan ide-ide. Mendongeng, bergurau, atau menulis novel membutuhkan penggunaan fungsi imajinatif. Puisi, permainan kata, dan contoh-contoh lain permainan bahasa juga termasuk ke dalam fungsi imajinatif.

(23)

Teori Halliday ini lebih tepat jika digunakan untuk mengkaji ragam bahasa tulisan karena bersifat terlalu formal, misalnya dalam koran, puisi, dongeng, atau cerita rakyat (seperti dalam disertasi Luardini: 2009). Terkecuali untuk fungsi keempat yaitu fungsi interaksional yang bertujuan untuk berinteraksi. Fungsi ini mengharuskan seorang penutur suatu bahasa untuk memahami nilai-nilai budaya meliputi kesantunan yang berlaku dalam bahasa tersebut. Fungsi keempat dari Halliday ini dapat dijadikan acuan dalam merumuskan teori fungsi bahasa yang sesuai dengan arah penelitian ini.

Menurut Bühler (1965) bahasa dapat memenuhi tiga fungsi yaitu: fungsi representasional, fungsi konatif, dan fungsi ekspresif. Ketiga fungsi bahasa tersebut dipaparkan sebagai berikut.

1) Fungsi representasional dilakukan oleh tanda-tanda bahasa (teks, ujaran, kalimat, dan lain-lain) ketika tanda-tanda tersebut mengacu pada objek dan fakta di dunia nyata. Tanda-tanda tersebut merepresentasikan benda dan fakta di dunia nyata.

2) Fungsi konatif akan terpenuhi ketika teks meminta pembaca atau pendengar untuk melakukan sesuatu, baik secara mental, emosi, atau fisik, dan mempengaruhi perilaku mereka.

3) Fungsi ekspresif akan tercapai ketika teks mampu mengungkapkan keadaan batin penulis atau pembicara.

Ketiga rumusan fungsi bahasa dari Bühler ini hanya mampu menjangkau sedikit dari kajian fungsi bahasa di bidang tata hidangan. Fungsi representasional menurut Bühler identik dengan teori Halliday yaitu merepresentasikan keadaan di

(24)

dunia nyata, sedangkan fungsi konatif dapat disejajarkan dengan fungsi direktif (Leech, 1974) dan fungsi ekspresif juga serupa dengan teori Leech (1974). Ketiga fungsi tersebut dapat dijadikan acuan dalam pengkajian fungsi-fungsi bahasa dalam penelitian ini, hanya masih harus dikembangkan sehingga dapat mencakup seluruh fungsi bahasa di bidang tata hidangan.

Jacobson (1960) membagi fungsi bahasa menjadi enam. Keenam fungsi tersebut dapat dicermati di bawah ini.

1) Fungsi emotif, digunakan dalam perasaan manusia sebagai alat untuk mengekspresikan diri.

2) Fungsi konatif, digunakan untuk memotivasi orang lain agar bersikap atau melakukan sesuatu.

3) Fungsi referensial, digunakan untuk membicarakan suatu permasalahan dengan topik tertentu.

4) Fungsi puitik, digunakan untuk menyampaikan pesan atau amanat tertentu. 5) Fungsi fatik, digunakan untuk saling menyapa sekadar untuk mengadakan

kontak dengan orang lain.

6) Fungsi metalingual, digunakan untuk membahas masalah bahasa dengan bahasa tertentu.

Teori Jacobson ini memiliki banyak persamaan dengan teori-teori fungsi bahasa lainnya: fungsi emotif dapat disejajarkan dengan fungsi ekspresif, fungsi konatif sama dengan fungsi direktif, fungsi referensial setara dengan fungsi representasional, dan fungsi fatik sama dengan fungsi interaktif. Keempat fungsi tersebut dapat disesuaikan dengan realisasi fungsi bahasa di bidang tata hidangan,

(25)

tetapi masih perlu dikembangkan lagi. Misalnya, fungsi puitik dan fungsi metalingual lebih bersifat kebahasaan daripada bersifat praktis, dan kurang sesuai dengan arah penelitian ini.

Empat teori fungsi bahasa tersebut di atas dapat dirangkum sebagai berikut. Tabel 2.1

Taksonomi Fungsi Bahasa

Cook (1994: 37) mengklasifikasikan fungsi bahasa menjadi fungsi makro dan fungsi mikro bahasa. Dengan demikian fungsi interaktif, informatif, direktif, dan sebagainya disebut sebagai fungsi makro, sedangkan sub fungsi seperti ‘memperkenalkan’, ‘menyapa’, ‘memuji’, ‘menyuruh’, dan sebagainya diklasifikasikan ke dalam fungsi mikro. Realisasi dari fungsi-fungsi mikro inilah yang menjadi landasan dari desain metode yang dikembangkan dalam pembelajaran keterampilan berbicara dalam bahasa Inggris.

Berdasarkan data verbal yang diperoleh dari percakapan antara waiter dan tamu di restoran, tampaknya teori-teori fungsi bahasa tersebut tidak sepenuhnya dapat diterapkan secara langsung dalam analisis fungsi bahasa pada bidang tata hidangan. Oleh karena itu teori-teori fungsi bahasa tersebut perlu dirumuskan dan

Leech (1974) Halliday (1973) Bühler (1965) Jacobson (1960) Informasional Direktif Fatik Ekspresif Estetika Representasional Instrumental Interaksional Personal Regulatoris Imajinatif Heuristik Representasional Konatif Ekspresif Referensial Konatif Fatik Emotif Poetik Metalingual

(26)

dielaborasi ulang sehingga dapat diaplikasikan sebagai landasan teoretis dalam kajian mengenai penggunaan fungsi-fungsi bahasa di bidang tata hidangan.

2.3.2 Konteks Situasi

Untuk menganalisis fungsi dan makna sebuah teks, Halliday dan Hasan (1985) menggunakan tiga unsur konteks situasi, yakni medan wacana, pelibat wacana, dan sarana wacana. Medan wacana adalah perihal sesuatu, pelibat wacana adalah hubungan antarindividu yang terlibat, sedangkan sarana wacana adalah bagian atau fungsi tertentu yang diperankan bahasa dalam proses interaktif (1985: 33). Sebuah kalimat dalam teks bisa bersifat multi fungsi. Misalnya suatu bagian menunjuk pada satu fungsi sedangkan bagian lainnya menunjukkan fungsi yang lain. Oleh karena itu, analisis teks harus dilakukan berulang-ulang dari sudut pandang yang berbeda. Namun, makna yang terjalin dalam sebuah teks tidak dapat dilihat secara terpisah karena setiap bagian yang berbeda tersebut memiliki kontribusi terhadap keutuhan makna secara keseluruhan (Halliday dan Hasan, 1985).

Secara kontekstual, metafungsi bahasa menurut Halliday meliputi fungsi ideasional yang mengungkapkan realitas fisik dan biologis serta berkenaan dengan interpretasi dan representasi pengalaman, fungsi interpersonal mengungkapkan realitas sosial dan berkenaan dengan interaksi antara penutur dengan petutur, fungsi tekstual mengungkapkan realitas semiotik dan berkenaan dengan cara penciptaan teks dalam konteks (Halliday, 1973). ketiga fungsi bahasa tersebut merupakan realisasi bentuk fungsi bahasa dalam penggunaannya.

(27)

1) Fungsi ideasional

Fungsi ideasional adalah fungsi bahasa sebagai representasi pengalaman yang digunakan untuk membawa gambaran realitas yang ada di sekitar manusia. Unsur pokok dalam fungsi ideasional adalah proses kejadian (segala sesuatu yang terjadi), partisipan (orang, tempat atau benda yang terlibat di dalam proses), dan suasana kejadian (tempat, waktu, cara, penyebab dan sebagainya) yang terkait dengan proses tersebut.

2) Fungsi interpersonal

Fungsi interpersonal merupakan tindakan yang dilakukan terhadap pengalaman dalam interaksi sosial. Fungsi ini digunakan oleh partisipan dalam bertukar pengalaman sehingga terjalin hubungan sosial di antara mereka.

3) Fungsi tekstual

Fungsi tekstual adalah interpretasi bahasa sebagai pembentuk teks dalam bahasa.

Ketiga unsur dalam konteks situasi yang dikemukakan oleh Halliday dan Hasan (1985) dapat dipadukan dengan teori Hymes (1974), yang juga mengembangkan sebuah teori tentang etnography of SPEAKING berdasarkan konteks situasional dan kultural. Menurut Hymes (1974: 55-60), terdapat sejumlah speech components yang harus diperhatikan dalam kegiatan berkomunikasi seperti berikut ini.

(28)

1. Setting, yakni waktu dan tempat di mana peristiwa tutur terjadi dan Scene yaitu latar psikologis atau kultural yang meliputi tingkat formalitas dan keseriusan (Hymes, 1974: 55-56).

2. Participant, yakni siapa yang berbicara (penutur) dan siapa yang menjadi pendengar (mitra tutur) (Hymes, 1974: 56).

3. Ends, terdiri atas maksud, tujuan, dan hasil yang diharapkan dalam suatu pembicaraan (Hymes, 1974: 56).

4. Act Sequence, yakni bentuk (form) dan urutan (order) peristiwa tutur. Alur pembicaraan akan berkembang sesuai dengan urutan yang disusun oleh penutur (Hymes, 1974: 57).

5. Key, adalah yang membangun tone, manner, atau spirit dalam pembicaraan (Hymes, 1974: 57).

6. Instrumentalities, yaitu bentuk (form) dan gaya (style) bahasa, misalnya kasual atau formal (Hymes, 1974: 58-60).

7. Norms, meliputi aturan sosial yang berlaku dalam peristiwa tutur yang mengatur aksi dan reaksi partisipan (Hymes, 1974: 60).

8. Genre, adalah jenis tindak tutur misalnya narasi, komentar, eksklamasi, dan sebagainya.

Komponen-komponen dari kedua teori tersebut memiliki sejumlah persamaan. Medan wacana dapat disejajarkan dengan setting yang sama-sama mengacu pada latar belakang tempat dan waktu peristiwa tutur berlangsung. Pelibat wacana sama dengan participant yaitu pihak pembicara dan pendengar dalam sebuah percakapan, sedangkan sarana wacana sudah mencakup seluruh

(29)

komponen yang dirinci oleh Hymes sebagai ends, acts sequence, key, instrumentalities, norms, dan genre.

Dalam penelitian ini, komponen-komponen untuk mengkaji konteks situasi diformulasi ulang menjadi situasi, partisipan, dan fungsi, sebagaimana yang diuraikan berikut ini.

1. Situasi adalah deskripsi mengenai apa yang terjadi, apa yang dibicarakan, di mana, kapan, dan bagaimana suatu tuturan dilakukan.

2. Partisipan mengacu pada individu yang terlibat dalam sebuah tuturan, serta hubungan interpersona antara pembicara dan pendengarnya yang tercermin dalam pola-pola tata bahasa yang digunakan.

3. Fungsi bahasa yang bertujuan untuk menjangkau maksud dan tujuan yang diupayakan dalam sebuah tuturan.

Komponen-komponen dalam teori konteks situasi tersebut, baik dari Halliday dan Hasan (1985) maupun dari Hymes (1974), menjadi teori yang mendukung pembentukan desain metode pembelajaran yang berpijak pada fungsi-fungsi bahasa. Aplikasi teori-teori tersebut dalam desain metode pembelajaran yang diajukan dalam penelitian ini dipaparkan lebih lanjut pada bab V.

2.3.3 Metode Pembelajaran Bahasa

Anthony (1963: 63-67) memberikan definisi mengenai pendekatan, metode, dan teknik. Sebuah pendekatan mendeskripsikan hakikat kegiatan pembelajaran yang dilakukan. Metode adalah keseluruhan rencana dan penyajian materi secara berurutan, tidak ada yang bertentangan, dan semuanya berdasarkan atas

(30)

pendekatan yang dipilih. Menurut Anthony (1963), pendekatan bersifat aksiomatis sedangkan metode bersifat prosedural. Sebuah pendekatan dapat terdiri atas beberapa metode. Teknik bersifat implementasional mengenai hal yang sesungguhnya terjadi di kelas. Teknik didefinisikan sebagai sebuah strategi khusus yang digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Teknik harus konsisten dengan metode dan sejalan dengan pendekatan.

Sebuah metode pembelajaran adalah realisasi praktis dari suatu pendekatan, dan sebuah metode setidaknya meliputi prosedur dan teknik sebagai standar minimum (Harmer, 2001: 78). Setiap metode pembelajaran hendaknya menampilkan latar belakang dan tujuan metode tersebut dilengkapi dengan sintak (prosedur) pelaksanaan, peran guru, dan pengaruh metode terhadap keberhasilan pembelajaran (Huda, 2013). Di sisi lain, Richards dan Rodgers (1986: 16) menempatkan pendekatan dan metode pada tahap desain, yaitu tujuan pembelajaran, silabus, dan topik ditentukan terlebih dahulu serta peran guru dan peserta didik, dan materi ajar dispesifikasi. Tahap implementasi, yang oleh Anthony (1963) disebut sebagai teknik, kemudian diberi istilah prosedur. Oleh karena itu, metode, secara teoretis, berhubungan dengan pendekatan, secara susunan ditentukan oleh desain, dan secara praktis terwujudkan dalam prosedur. Dari keempat pendapat tentang metode pembelajaran di atas, penelitian ini cenderung mengarah pada pendekatan metode yang lebih holistik seperti yang dikemukakan oleh Richards dan Rodgers (1986).

(31)

Teori Pembelajaran Bahasa

Sebelum metode pembelajaran dibahas lebih lanjut, terlebih dahulu akan dibahas berbagai pendekatan yang mengilhami lahirnya berbagai metode dalam pembelajaran bahasa. Dalam setiap pendekatan terdapat teori tentang pembelajaran bahasa (theory of language learning) dan teori tentang bahasa (theory of language). Berbagai kajian teoretis yang menjadi landasan dalam pembelajaran bahasa antara lain dari sudut pandang behaviorisme, naturalisme, kognitivisme, dan fungsionalisme. Berikut ini adalah penjelasan dari teori-teori tersebut.

1) Behaviorisme

Belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus-respons (Skinner, 1976: 23). Teori ini mementingkan input yang berupa stimulus (berbagai cara atau metode yang diberikan guru untuk membantu peserta didik belajar) dan output yang berupa respons (reaksi atau tanggapan peserta didik terhadap stimulus dari guru tersebut). Faktor lain yang juga dianggap penting oleh aliran behavior adalah faktor penguatan (reinforcement). Penguatan (baik yang positif maupun negatif) adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respons. Hubungan antara stimulus dan respon dipengaruhi oleh lingkungan yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku yang dikenal dengan konsep proses penguatan yaitu memberi penghargaan pada perilaku yang diinginkan (positive reinforcement) dan tidak memberi imbalan apapun pada perilaku yang tidak tepat (negative reinforcement) (Skinner, 1976: 23) Sementara itu, Thorndike menyatakan

(32)

bahwa perilaku belajar manusia dipengaruhi oleh lingkungan. Rangsangan dari lingkungan tertentu memperkuat kemampuan berbicara peserta didik.

Teori belajar behaviorisme ini berkembang menjadi aliran struktural yang kemudian melahirkan Direct Method, serta metode Audiolingual dengan penekanan pada drilling dan mimikri (Richards dan Rodgers,1986: 17). Aliran ini berpendapat bahwa faktor eksternal lebih mendominasi dalam pembelajaran bahasa. Kelemahan dari metode-metode tersebut adalah terlalu menekankan pentingnya struktur gramatika sehingga mengesampingkan kompetensi komunikatif peserta didik. Latihan dalam pembelajaran bahasa dengan cara menghapalkan sebagian ungkapan dan kosakata, menghapalkan percakapan, serta melafalkan kata-kata dengan benar tidak mampu membantu peserta didik meningkatkan keterampilan mereka dalam menggunakan bahasa target dalam kehidupan sehari-hari.

2) Naturalisme

Pendekatan naturalisme berdasarkan pada proses dan kondisi pembelajaran. Pandangan naturalisme dimplementasikan dalam Metode Councelling-Learning, the Silent Way, dan Total Physical Response. Metode Councelling-Learning berpusat pada kondisi ruang kelas tempat peserta didik belajar, dan berusaha mengurangi intimidasi dan rasa tidak nyaman yang dialami peserta didik. Dalam metode tersebut, kondisi kelas sangat mempengaruhi keberhasilan peserta didik. Metode Total Physical Response diciptakan dengan prinsip bahwa bahasa anak dibangun berdasarkan aktivitas motorik dengan cara menghubungkan bahasa dengan tindakan. Sementara itu, metode Silent

(33)

way menekankan kebutuhan peserta didik akan rasa aman saat belajar dan kesadaran penuh akan pembelajaran. Berbagai teknik yang ditawarkan dirancang untuk melatih peserta didik menggunakan kecerdasannya untuk memaksimalkan potensi belajar (Richards dan Rodgers,1986: 18-19).

Ketiga metode tersebut lebih sesuai jika diterapkan pada pembelajar bahasa asing yang masih berusia kanak-kanak. Metode TPR memerlukan banyak gerakan motorik seperti dalam permainan yang sangat menarik bagi anak-anak, tetapi orang dewasa akan merasa canggung dan kurang termotivasi, sedangkan metode Silent Way tidak akan banyak membantu peserta didik dalam meningkatkan kompetensi komunikatifnya terutama jika waktu belajar sangat terbatas.

3) Kognitivisme

Kognitivisme memandang bahasa sebagai salah satu kemampuan dari pematangan kognitif dan mengakui pentingnya faktor kemampuan individu dalam belajar tanpa meremehkan faktor eksternal atau lingkungan. Peserta didik berinteraksi dengan lingkungannya dengan jalan mengeksplor dan melakukan percobaan. Proses belajar akan mendatangkan hasil atau bermakna jika guru dalam menyajikan materi pelajaran yang baru dapat menghubungkannya dengan konsep yang relevan yang sudah ada dalam struktur kognisi peserta didik. Perkembangan individu dapat dilihat dari struktur dan fungsi kognitifnya. Fungsi kognitif adalah proses biologis alamiah yang melekat pada seseorang sejak lahir dan tidak berubah seumur hidupnya, sedangkan struktur kognitif mengalami perubahan semenjak masa

(34)

kanak-kanak. Perkembangan kognitif dipengaruhi oleh maturasi (kematangan), aktivitas, dan interaksi sosial peserta didik dengan lingkungan bahasa (Richards dan Rodgers,1986: 19-21).

Aliran ini menjadi landasan psikologi pendidikan yang kemudian berkembang menjadi pembelajaran kontekstual. Contextual Teaching and Learning (CTL) menekankan pada proses keterlibatan peserta didik untuk menghubungkan materi yang dipelajari dengan kehidupan nyata. Metode CTL kurang sesuai diterapkan dalam penelitian ini karena subjek penelitian, yakni peserta didik, belum memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang tata hidangan, sehingga akan sulit bagi mereka untuk terlibat secara aktif dalam mengaitkan materi pembelajaran dengan kehidupan nyata di restoran.

4) Fungsionalisme

Teori fungsionalisme menjadi landasan pikiran dari metode komunikatif. Teori ini memperlakukan bahasa sebagai alat untuk menyampaikan dan memahami maksud tuturan secara lisan dan kontekstual, yang melibatkan lokasi (where), waktu (when) dan kepada siapa tuturan ditujukan (to whom) (Brown, 2007: 46). Teori fungsional berkaitan dengan faktor-faktor sosial, bahasa tergantung pada masyarakat penuturnya, bukan pada sistem yang terkandung di dalamnya. Aliran ini kemudian menghasilkan metode Communicative Language Teaching (CLT).

Dalam penelitian ini, bahasa dilihat sebagai media komunikasi dalam interaksi antarindividu. Oleh karena itu, pendekatan yang sesuai dengan arah penelitian ini adalah Communicative Language Teaching (CLT) yang lebih berfokus pada

(35)

interaksi antar peserta didik serta aspek kelancaran berbahasa dan pelafalan dibandingkan dengan struktur bahasa secara gramatika (Richards dan Rodgers, 2001). Akan tetapi CLT juga memiliki kelemahan yaitu terletak pada sulitnya memeriksa penggunaan bahasa dari setiap peserta didik, terutama dalam kelas-kelas besar. Peserta didik diperbolehkan membuat kesalahan secara gramatika tetapi mereka perlu dikoreksi oleh guru, tidak secara langsung di tengah percakapan, supaya kompetensi peserta didik dapat berkembang dan mereka tidak mengulangi kesalahan yang sama berkali-kali. Guru memegang peranan penting yang menentukan apakah suasana kelas akan menjadi menarik atau membosankan. Oleh karena itu, guru harus mempersiapkan materi sebelumnya dan berusaha membuatnya menjadi semenarik dan sekreatif mungkin, sehingga peserta didik merasa termotivasi untuk menggunakan bahasa yang dipelajari di kelas. Untuk menutupi kekurangan dari CLT tersebut, penelitian ini menyediakan rubrik penilaian lengkap dengan performance criteria dan performance task yang dapat membantu guru dalam menilai dan memeriksa penggunaan bahasa peserta didik.

Teori Bahasa

Sejumlah pendekatan dan metode pembelajaran bahasa yang telah dibahas sebelumnya tidak akan lengkap jika tidak disertai dengan teori bahasa. Terdapat tiga teori utama mengenai bahasa. Teori pertama adalah teori struktural yang memandang bahasa sebagai sistem struktural yang berhubungan dengan elemen-elemen kode dan makna. Menurut teori ini, target dari pembelajaran bahasa adalah

(36)

penguasaan elemen-elemen dalam sistem bahasa tersebut yang dikategorikan ke dalam unit fonologi, gramatika, dan leksikal (Richards dan Rodgers,1986: 16).

Teori kedua adalah teori fungsional yang memandang bahasa sebagai media untuk menyampaikan makna fungsional. Teori ini mengedepankan dimensi semantik dan komunikatif, tidak hanya gramatika dan struktur. Teori ini lebih banyak digunakan dalam pembelajaran English for Specific Purposes (ESP) (Richards dan Rodgers,1986: 17).

Teori ketiga adalah teori interaksional, yaitu teori bahasa yang melihat bahasa sebagai alat untuk merealisasikan hubungan interpersonal dan transaksi sosial antarindividu. Teori ini meliputi analisis interaksi, analisis wacana, dan etnometodologi (Richards dan Rodgers,1986: 17). Dari ketiga teori tersebut, teori fungsional yang melihat bahasa sebagai alat komunikasi dipandang sebagai teori yang paling sesuai dengan arah penelitian ini.

Sejumlah metode pembelajaran bahasa dan teori bahasa yang disebutkan di atas memiliki keunggulan dan kelemahannya tersendiri. Akan tetapi, teori linguistik mengenai fungsi-fungsi bahasa belum banyak diterapkan dalam metode pembelajaran bahasa. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba mengangkat teori fungsi bahasa sebagai landasan fundamental pengembangan sebuah metode pembelajaran bahasa Inggris yang berfokus pada peningkatan keterampilan berbicara peserta didik di bidang vokasional. Berbagai hal yang menjadi pertimbangan dalam pengembangan metode tersebut dibahas sebagai berikut.

(37)

2.3.3.1 Desain sistem instruksional

Desain adalah rancangan atau perencanaan tentang cara sebuah pendekatan dikembangkan untuk diimplementasikan di dalam kelas (Padmadewi, 2012:8). Dalam upaya menghasilkan sebuah metode dari suatu pendekatan, sangatlah penting untuk mengembangkan sebuah desain sistem instruksional yang terdiri atas: (a) tujuan, (b) silabus, (c) jenis kegiatan belajar mengajar, (d) peran peserta didik, (e) peran guru, dan (f) peran materi pembelajaran (Richards and Rodgers, 1986:20). Berikut ini adalah uraian singkat mengenai keenam komponen tersebut. (a) Tujuan

Pemilihan teori bahasa dan teori pembelajaran yang digunakan sangat berpengaruh terhadap tujuan yang ingin dicapai oleh sebuah metode pembelajaran. Spesifikasi tujuan pembelajaran harus sudah ditentukan pada tahap perancangan metode. Misalnya, metode tertentu ingin menekankan penguasaan keterampilan lisan, sedangkan metode lainnya ingin membuat peserta didik lebih memahami struktur gramatika dari bahasa target. Metode yang bersifat product-oriented lebih menekankan keakuratan gramatikal, sedangkan metode yang bersifat process-oriented cenderung mementingkan kefasihan dalam berkomunikasi (Richards and Rodgers, 1986:20). Penentuan tujuan sebuah metode harus memperhatikan tiga komponen yakni: 1) performansi yang mendeskripsikan apa yang harus mampu dilakukan peserta didik; 2) kondisi tempat peserta didik akan tampil; dan 3) standar yang mengindikasikan tingkat kemampuan peserta didik (Nunan, 1988: 64).

(38)

(b) Silabus

Setiap metode pembelajaran bahasa selalu meliputi aspek konten yaitu sesuatu yang dibicarakan dan aspek kebahasaan yakni bagaimana cara membicarakannya (Richards dan Rodgers, 1986:20). Silabus merupakan garis besar kegiatan yang akan dilakukan, alat pengajaran yang memfasilitasi pembelajaran (Widdowson, 1984: 26). Silabus juga mengandung spesifikasi unit yang akan diajarkan (Allen, 1984: 61). Silabus terdiri atas pilihan materi ajar yang telah disesuaikan dengan tingkat kemahiran dan durasi pembelajaran (Allen, 1984: 65). Silabus dapat berorientasi pada produk (product-oriented syllabus) dan pada proses (process-oriented syllabus). Silabus yang berorientasi pada produk berfokus pada pengetahuan dan keterampilan berbahasa yang harus dikuasai oleh peserta didik pada akhir pembelajaran, sedangkan silabus yang berorientasi pada proses berfokus pada pengalaman belajar (Richards and Rodgers, 1986: 27). Jenis silabus yang berorientasi pada produk antara lain: silabus gramatikal, dan silabus fungsional-nosional (Nunan, 1988: 27). Silabus gramatikal terlalu menekankan aspek kebahasaan. Akan tetapi pembelajaran bahasa tidak hanya mengenai struktur bahasa saja tetapi juga tujuan komunikatif bahasa yang digunakan (Nunan, 1988: 31). Silabus fungsional-nosional meliputi tujuan komunikatif yang ingin dicapai, dengan mempertimbangkan faktor-faktor situasional, kontekstual, dan ekstra linguistik sehingga perancangan silabus menjadi lebih rumit (Nunan, 1988: 37). Jenis silabus yang berorientasi pada proses yakni: silabus prosedural

(39)

yang disusun berdasarkan urutan kegiatan belajar, silabus berbasis tugas (task-based syllabus) yang meliputi jenis-jenis aktivitas pembelajaran, dan silabus konten yang berdasarkan materi pembelajaran (Nunan, 1988: 42-49). (c) Jenis kegiatan belajar mengajar

Tujuan sebuah metode akan menentukan pemilihan kegiatan pembelajaran, apakah berfokus pada aspek gramatika atau pada kemampuan komunikatif. Misalnya, metode Audiolingual menggunakan dialog dan latihan pola secara ekstensif; the Silent Way menggunakan kegiatan problem-solving,

Communicative Language Teaching menggunakan kegiatan information

gap dan information transfer.

Pola pengelompokan peserta didik juga disesuaikan dengan tujuan pembelajaran, apakah peserta didik bekerja sendiri, berpasangan, atau berkelompok. Secara umum, jenis kegiatan yang digunakan dalam pembelajaran bahasa antara lain: dialog, merespon instruksi, group problem-solving, bertukar informasi, improvisasi, tanya jawab, atau drilling (Richards dan Rodgers, 1986:22).

(d) Peran peserta didik

Dalam kegiatan pembelajaran, hendaknya peserta didik merencanakan sendiri program belajarnya dan bertanggung jawab atas segala hal yang dilakukannya di kelas. Peserta didik juga memantau dan mengevaluasi perkembangan belajarnya. Peserta didik merupakan anggota kelompok dan belajar berinteraksi dengan sesamanya, serta peserta didik membantu mengajari peserta didik lain. Peserta didik tidak hanya belajar dari guru,

(40)

tetapi juga dari peserta didik lain, dan dari sumber belajar lainnya (Richards dan Rodgers, 1986:76-77).

(e) Peran guru

Dalam Communicative Language Teaching, guru memainkan dua peranan yakni: 1) memfasilitasi proses komunikasi seluruh peserta didik di kelas dengan berbagai jenis kegiatan dan teks, dan 2) bertindak sebagai partisipan independen dalam kelompok belajar mengajar. Guru juga berperan sebagai pengatur sumber belajar, pemandu kegiatan belajar, peneliti sekaligus pembelajar yang mengamati proses pembelajaran (Richards dan Rodgers, 1986:77).

(f) Peran materi pembelajaran

Penentuan materi pembelajaran mencerminkan tujuan utama dari metode (untuk memfasilitasi komunikasi, untuk mempraktikkan konten, dan sebagainya), bentuk materi (buku teks, flash cards, audio visual, software, dan lain-lain), hubungan materi dengan sumber input lainnya (apakah materi berfungsi sebagai sumber input utama atau hanya sebagian kecil), serta kemampuan guru (kompetensi bahasa atau pengalaman guru) (Richards dan Rodgers, 1986:26).

2.3.3.2 Prosedur

Pada tataran ini terlihat realisasi pendekatan dan desain yang digunakan dalam sebuah metode pembelajaran. Terdapat tiga dimensi yang menjadi pertimbangan dalam merencanakan prosedur pembelajaran, antara lain: a) penggunaan kegiatan pembelajaran (drilling, dialog, information-gap) untuk

(41)

mempresentasikan bahasa baru dan memperkenalkan aspek kebahasaan dari bahasa target, b) cara kegiatan tertentu digunakan untuk mempraktikkan bahasa, dan c) cara memberikan feedback kepada peserta didik tentang penggunaan bahasa mereka (Richards and Rodgers, 1986:26-27).

2.3.3.3 Penilaian

Setiap proses pembelajaran tentunya meliputi penilaian terhadap hasil belajar peserta didik. Salah satu bentuk penilaian pembelajaran adalah tes, yaitu metode untuk mengukur kemampuan, pengetahuan, atau penampilan peserta didik dalam bidang tertentu (Brown, 2004:3). Terdapat lima jenis tes, yaitu 1) Tes kemampuan bahasa (Language Aptitude Test); 2) Tes kemahiran (Proficiency test); 3) Tes penempatan (Placement Test); 4) Tes diagnostik (Diagnostic Test), dan 5) Tes pencapaian (Achievement Test) (Brown, 2004: 43-47). Berikut ini dijelaskan secara singkat jenis-jenis tes tersebut.

1) Language Aptitude Test

Tes kemampuan bahasa dirancang untuk mengukur kapasitas atau kemampuan umum dalam mempelajari bahasa asing. Contoh tes standar kemampuan bahasa yang digunakan di Amerika Serikat adalah the Modern Language Aptitude Test (MLAT) dan Pimsleur Language Aptitude Battery (PLAB) yang menugasi peserta didik mengerjakan sejumlah latihan berhubungan dengan kebahasaan (Brown, 2004: 43).

2) Proficiency Test

Tes kemahiran untuk mengukur keseluruhan kompetensi berbahasa, meliputi tata bahasa, kosakata, pemahaman membaca dan menyimak.

(42)

Contoh jenis tes ini adalah Test of English as a Foreign Language (TOEFL) (Brown, 2004: 44-45).

3) Diagnostic Test

Tes diagnostik dirancang untuk mendiagnosis aspek tertentu dari bahasa, yang dipandang perlu mendapat perhatian khusus. Misalnya, tes pelafalan untuk mendiagnosis fitur-fitur fonologi bahasa Inggris yang sulit dilafalkan oleh peserta didik, sehingga harus dimasukkan ke dalam kurikulum. Tes diagnostik dilakukan sebelum proses pembelajaran dimulai (Brown, 2004: 47).

4) Placement Test

Tes penempatan bertujuan untuk mengelompokkan peserta didik sesuai dengan kemampuan. Tes jenis ini bervariasi menurut kebutuhan pembelajaran yang akan diikuti, di antaranya meliputi pemahaman lisan dan tulisan, open-ended response, dan gap-filling (Brown, 2004: 46).

5) Achievement Test

Tes pencapaian berhubungan langsung dengan pelajaran di kelas, materi, dan seluruh kurikulum. Tes jenis ini harus dilakukan untuk menguji materi ajar tertentu yang difokuskan pada tujuan pembelajaran. Tes ini menganalisis seberapa jauh pemahaman peserta didik terhadap materi yang sudah diajarkan sebelumnya (Brown, 2004: 47).

Metode pembelajaran yang dirancang dalam penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan berbicara. Oleh karena itu, digunakan jenis tes pencapaian (Achievement Test) untuk mengukur hasil belajar peserta didik.

(43)

Sebelum melakukan penilaian terhadap keterampilan berbicara peserta didik, perlu diketahui terlebih dahulu tipe-tipe penilaian keterampilan berbicara seperti yang dijelaskan berikut ini (Brown, 2004: 141-142).

1) Imitatif: pada akhir pembelajaran, peserta didik hanya dituntut untuk mampu menirukan kata atau frasa / kalimat. Hal yang diperhatikan pada tipe ini hanyalah kemampuan melafalkan, tidak sampai pada pemahaman atau percakapan interaktif antar peserta didik.

2) Intensif: penilaian tipe kedua ini meliputi kemampuan menghasilkan ujaran lisan yang sangat singkat. Misalnya, membaca keras, melengkapi dialog, dan menerjemahkan kalimat sederhana.

3) Responsif: meliputi interaksi dan pemahaman, tetapi hanya terbatas pada percakapan yang sangat singkat. Misalnya, percakapan mengenai sapaan, basa-basi, permintaan sederhana, serta memberikan pendapat.

4) Interaktif: perbedaan antara responsif dan interaktif terletak pada durasi dan kompleksitas interaksi yang terkadang melibatkan beberapa partisipan. Interaksi dapat berupa transaksional (bertujuan untuk bertukar informasi) atau interpersonal (bertujuan untuk menjalin hubungan sosial).

5) Ekstensif: berupa monolog meliputi pidato, presentasi lisan, dan bercerita. Gaya bahasa cenderung lebih formal dan interaksi dengan pendengar sangat terbatas.

Berdasarkan uraian tipe-tipe penilaian keterampilan berbicara tersebut, dapat disimpulkan bahwa desain metode pembelajaran yang dirancang dalam penelitian ini mengaplikasikan penilaian yang bersifat interaktif. Interactive

(44)

Speaking yang dimaksud adalah percakapan (baik transaksional maupun interpersonal) antar peserta didik yang berperan sebagai tamu dan pramusaji di restoran.

Dalam mendesain penilaian yang interaktif, Brown (2004: 167-179) memberikan empat alternatif kegiatan yang dapat dilakukan untuk menilai keberhasilan pembelajaran peserta didik, yakni wawancara (interview), bermain peran (role play), diskusi, dan permainan (games). Berikut ini adalah penjelasan kegiatan-kegiatan tersebut.

1) Interview

Ketika membahas tentang penilaian keterampilan lisan, hal pertama yang terlintas adalah wawancara lisan yaitu penguji dan yang diuji duduk saling berhadapan dan bertukar informasi. Setiap wawancara setidaknya terdiri atas empat bagian, yakni: a) warm-up yang terdiri atas basa-basi, perkenalan, penguji membantu peserta didik merasa nyaman dan mengurangi kecemasan peserta didik; b) Level check yaitu penguji menstimulasi peserta didik untuk merespons setiap pertanyaan sesuai level yang diuji; c) Probe yaitu penguji mengajukan pertanyaan yang sedikit melebihi materi yang sudah diajarkan. Hal ini bertujuan agar peserta didik mengerahkan seluruh pengetahuan kognitif dan linguistiknya; dan d) Wind-down adalah tahap terakhir ketika penguji memberikan pertanyaan mudah sehingga peserta didik merasa lebih santai (Brown, 2004: 168).

Gambar

Gambar  di  atas  dapat  dijelaskan  sebagai  berikut.  O 1   adalah  nilai  awal  kelompok eksperimen, dan O3 adalah nilai awal kelompok kontrol

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan kerangka berfikiir diatas maka hipotesis penelitian in adalah pengembangan LKS dengan model pembelajaran problem based learning berbasis Certainly of Response

memformulasikan kebijakan internal untuk melawan praktek pelecehan seksual terhadap anak-anak, memberikan pelatihan dan pengenalan mengenai hak-hak anak kepada

dalam Penguburan Penganut Marapu di Sumba membahas tentang masyarakat dengan kepercayaan marapu yaitu kepercayaan yang bertumpu pada pemujaan arwah.. nenek

Menurut Poerwadarminto (2002:45) Pengembangan adalah suatu proses atau cara menjadikan sesuatu menjadi maju, baik, sempurna, dan berguna.. Jadi pengembangan dalam

Bagan 2.3 di atas memberikan gambaran bahwa data dalam penelitian ini diambil dari kisah-kisah hidup yang bersumber dari teks tertulis ADATP yang merupakan

Model penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah model penelitian eksperimen yang berbasis metode kuantitatif. Penelitian ini menggunakan dua kelas VIII

Penelitian Parma (2012), dengan judul “Formulasi Strategi Pengembangan Masakan Lokal sebagai Produk Wisata Kuliner di Kabupaten Buleleng”. Apabila dicermati lebih jauh, Kabupaten

Aspek pranata sosial ini digunakan untuk mengetahui bagaimana sistem pranata sosial yang terdapat dalam prasasti Bengkala pada masa lampau yang berkaitan dengan pranata