• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP,

LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN

Pada bab ini dibahas mengenai tinjauan pustaka yang merupakan beberapa penelitian sejenis yang berupa skripsi/tesis ataupun jurnal penelitian yang masih terkait dengan penelitian yang dilakukan. Konsep penelitian perlu dijabarkan untuk menyamakan persepsi antara peneliti dan pembaca. Selain itu dibahas juga mengenai landasan teori yang digunakan sebagai dasar pedoman untuk melakukan penelitian serta mengenai model penelitian.

2.1 Tinjauan Pustaka

Dalam kajian pustaka dijelaskan beberapa hasil penelitian sejenis terdahulu yang telah ada sebelumnya. Kajian pustaka ini digunakan untuk menghindari terjadinya duplikasi dalam penelitian, juga sebagai dasar atau pedoman dalam penelitian. Hasil-hasil penelitian yang digunakan adalah penelitian yang terkait dengan kajian perilaku manusia dalam membentuk suatu teritori.

Pada dasarnya penelitian terkait teritori tersebut telah banyak diteliti sebelumnya dalam berbagai perspektif dan bidang ilmu, terutama bidang ilmu arsitektur. Beberapa penelitian yang berusaha mempelajari teritorialitas komunitas ataupun masyarakat, baik yang berada dalam lingkungan permukiman maupun non permukiman yang dapat dijadikan referensi akan dijabarkan pada penjelasan selanjutnya.

(2)

2.1.1 Penelitian Mengenai Perilaku Teritorialitas

Penelitian yang berjudul “Perilaku Teritorialitas Nelayan di Relokasi Perumahan Nelayan Kota Mataram” ini merupakan tesis dari Tjok Istri Widyani U.D. pada tahun 2015, Program Magister Arsitektur Universitas Udayana. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi proses perluasan area teritori pada kawasan, mengetahui gambaran teritori komunal yang terbentuk ditinjau dari tingkat privasi dan mengidentifikasi faktor penyebab adanya varian perwujudan elemen penanda teritori di lokasi penelitian.

Penelitian ini menggunakan pendekatan naturalistik untuk menggambarkan fakta-fakta yang terjadi terkait dengan fenomena teritorialitas di lokasi penelitian dengan pemilihan lokasi di kawasan relokasi perumahan nelayan Kota Mataram. Beberapa kasus dipilih berdasarkan peralihan fungsi bangunan rumah tinggal, pemanfaatan lahan sisa di area rumah tinggal, pemanfaatan lahan sisa di area lingkungan, pembangunan pembatas antarr umah, perluasan area rumah tinggal, dan perubahan profesi.

Berdasarkan observasi dan analisis data, hasil penelitian menunjukkan bahwa; (a) proses perluasan teritori bermula dari kurangnya fasilitas ruang yang disediakan oleh pemerintah daerah, sehingga masyarakat cenderung melakukan invasi terhadap lahan sisa, (b) gambaran teritori komunal di lokasi penelitian terbentuk dari pola pergerakan penghuni perumahan. Teritori primer yang dalam kasus ini adalah masing-masing rumah tinggal di lingkungan lokasi penelitian. Teritori sekunder yang dalam kasus ini adalah lingkungan perumahan. Teritori tersier yang dalam kasus ini adalah lingkungan di luar lokasi penelitian di sesuaikan

(3)

dengan profesi penghuni, dan (c) faktor penyebab adanya varian perwujudan elemen penanda teritori di lokasi penelitian adalah profesi, tingkat ekonomi, visual atau estetika, dan ketidaksengajaan penghuni.

Secara garis besar masalah penelitian yang dibahas dalam penelitian Tjok Istri Widyani ini memiliki kesamaan dengan penelitian “Teritorialitas pada Permukiman di Bantaran Tukad Badung, Kampung Jawa, Denpasar” yang mana cenderung membahas mengenai fenomena teritorialitas yang terjadi pada pemukiman sebagai akibat dari keterbatasan lahan yang ada.

Penelitian ini dapat dijadikan sebagai pedoman dalam mengidentifikasi perilaku teritorialitas yang ada pada studi kasus beserta faktor-faktor yang mempengaruhi sehingga diharapkan nantinya memudahkan peneliti dalam memecahkan permasalahan penelitian pertama dan ketiga.

Meskipun secara garis besar sama-sama membahas mengenai fenomena teritorialitas, penelitian ini lebih menekankan pada proses perluasan teritori warga relokasi serta gambaran teritori komunalnya, sementara penelitian yang akan dilakukan menekankan pada klasifikasi fenomena teritorialitas yang terjadi pada area pemukiman karakteristik ruang yang terbentuk beserta faktor yang mempengaruhinya.

Selain itu, kompleksitas yang berbeda tentu akan menghasilkan masalah dan temuan yang berbeda pula, sehingga diperlukan pemahaman dan observasi yang lebih mendalam pada setiap fenomena yang ditemukan di lapangan. Mengingat kondisi pemukiman di bantaran sungai Kampung Jawa pernah menjadi salah satu

(4)

pemukiman kumuh Kota Denpasar, tentu sangat berbeda dengan kondisi pemukiman relokasi nelayan yang menjadi lokus penelitian dari Tjok Istri Widyani.

2.1.2 Penelitian Mengenai Klaim Ruang Publik

Salah satu penelitian yang membahas tentang klaim ruang publik adalah penelitian dengan judul “Teritori Pedagang Informal: Studi Kasus Ruang antara Pasar Johar dan Pasar Yaik Semarang”. Secara garis besar, penelitian ini membahas mengenai penggunaan ruang oleh para pedagang informal yang membentuk pola-pola ruang tertentu sebagai bentuk perilaku teritorialitas masing-masing pedagang yang melakukan klaim terhadap ruang publik.

Klaim tersebut dilakukan akibat tidak seimbangnya luas kawasan dengan pertumbuhan pedagang informal. Klaim terhadap ruang publik dapat dikatakan sebagai upaya penguasaan dengan memberikan penandaan dan meningkatkan kontrol terhadap ruang publik tertentu untuk memenuhi kebutuhan pedagang. Hal yang dilakukan pedagang informal tersebut merupakan salah satu bentuk pelanggaran teritori.

Penelitian ini berasal dari artikel ilmiah dari Alin Pradita, dkk., Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Diponogoro pada tahun 2014. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat pola pembentukan teritori pedagang informal secara fisik, dilihat dari permasalahan yang ada terkait klaim terhadap ruang-ruang publik oleh pedagang informal. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan rasionalistik. Penelitian ini berkaitan dengan pemaknaan ruang publik sebagai klaim ruang pribadi dalam konteks teritori secara fisik.

(5)

Dalam penelitian ini ditemukan kecenderungan bahwa dalam pembentukan teritori, pedagang informal memberikan batas fisik berupa los-los semi-permanen dari kayu, peti kemas sebagai display komoditas dagang, keranjang dari anyaman bambu, terpal plastik, dan payung yang bisa dilipat. Dalam teritori sektor informal, batas fisik lebih penting dari identitas sebagai penanda ruang. Dalam memaknai teritori ini, pedagang informal tidak memiliki batasan ruang yang jelas antar teritori dan melakukan klaim atas teritori sekunder dan teritori umum. Klaim yang dilakukan akan terus berkembang hingga bersinggungan dengan teritori primer lainnya.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan adalah pembahasan mengenai penggunaan ruang publik untuk kepentingan pribadi yang merupakan salah satu bentuk dari fenomena teritorialitas. Dengan demikian, penelitian ini dapat dijadikan pedoman dan pembanding dalam mengetahui teritorialitas dari ruang-ruang yang ada di Pemukiman Kampung Jawa, terutama dalam hal mengidentifikasi klaim terhadap ruang publik yang ada dalam masyarakat setempat.

Meskipun begitu, keterbatasan penelitian yang dilakukan oleh Alin Prandita, yang hanya terfokus terhadap klaim ruang publik dengan batas fisik sebagai identitas penanda ruang dirasa tidak dapat memecahkan seluruh masalah penelitian pada kasus teritorialitas di pemukiman Kampung Jawa, sehingga memerlukan pendekatan yang lebih luas dan mendalam pada fenomena teritorialitas lain yang ditemukan di lapangan.

(6)

2.1.3 Penelitian Mengenai Fleksibilitas Ruang dalam Pendekatan Teritori

Penelitian ini merupakan artikel ilmiah dari Rr. Putri, dkk., Program Magister Arsitektur Lingkungan Binaan Universitas Brawijaya, pada tahun 2012 yang berjudul “Pendekatan Teritori Pada Fleksibilitas Ruang dalam Tradisi Sinoman dan Biyada di Dusun Karang Ampel Malang”

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan menganalisis pendekatan teritori pada fleksibilitas ruang dalam tradisi sinoman dan biyada di Dusun Karang Ampel Malang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan menganalisis hasil identifikasi pembentukan teritori berdasar perubahan karakteristik dan fungsi publik-privat ruang.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif kualitatif dengan metode pengambilan sampel purpossive sampling. Sampel dipilih dengan berdasarkan 2 kategori, yaitu: (1) hubungan kekerabatan, apakah objek amatan dikelilingi oleh keluarga dengan hubungan kekerabatan yang dekat ataukah hubungan kekerabatan yang jauh; (2) ketersediaan ruang terbuka (pelataran belakang rumah), apakah objek amatan memiliki pelataran belakang ataukah tidak memiliki. Kriteria ini dipilih untuk melihat apakah ada perbedaan dalam perluasan teritori dalam fleksibilitas ruang yang terjadi dalam tradisi sinoman dan biyada.

Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa hubungan kedekatan kekerabatan tidak berpengaruh terhadap pembentukan perluasan teritori, akan tetapi perbedaan pola pembentukan teritori lebih karena dipengaruhi faktor ketersediaan ruang terbuka (pelataran belakang). Objek amatan yang memiliki ruang terbuka

(7)

teritorinya lebih banyak terbentuk dengan batas-batas semi-fix element dan non fix element, akan tetapi yang tidak ada ruang terbukanya lebih didominasi dengan batas fix element berupa dinding-dinding pembatas ruang.

Beberapa bagian dari penelitian ini nantinya dapat dijadikan pedoman dalam penelitian “Teritorialitas pada Permukiman di Bantaran Tukad Badung, Kampung Jawa, Denpasar” untuk berkontribusi dalam memecahkan masalah pertama penelitian yakni mengenai fenomena teritorialitas yang terbentuk serta menilai bagaimana sebuah teritori dapat memiliki fleksibilitas ruang berkaitan dengan ada tidaknya hubungan kekerabatan antara warga yang satu dan warga yang lain dalam lingkungan pemukiman maupun dari elemen-elemen pembentuk ruang teritori yang ada.

Apabila penelitian ini menilai dan menekankan fleksibilitas ruang hanya saat terjadinya tradisi berlangsung, pada penelitian selanjutnya dapat dilihat apakah sebuah teritori dalam pemukiman Kampung Jawa dapat memiliki fleksibilitas ataupun pergeseran nilai pada hari-hari biasa ataupun hari-hari tertentu sehingga diharapkan nanti dapat didapatkan temuan yang lebih menarik dan beragam.

2.1.4 Penelitian Mengenai Karakteristik Teritorialitas

Penelitian selanjutnya membahas masalah karakteristik teritorialitas dengan judul “Karakteristik Teritorialitas Ruang Pada Permukiman Padat di Perkotaan” ini merupakan artikel ilmiah dari Burhanuddin pada tahun 2010, Fakultas Teknik Arsitektur Universitas Tadulako.

Penelitian ini mengulas mengenai terbentuknya teritorialitas akibat dari adanya aktifitas dari masing-masing penghuni pemukiman. Keterbatasan ruang

(8)

terbuka bersama di kawasan pemukiman memberi kecenderungan bagi warga untuk menciptakan “ruang” sendiri sebagai wadah beraktifitas. Penggunaan ruang-ruang bersama tersebut kerap memicu permasalahan ruang pada perumahan padat perkotaan. Penghuni rumah secara tidak sadar telah membentuk ruang diluar teritori legalnya, sehingga kerap melakukan pelanggaran teritori.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji teritorialitas ruang-ruang bersama pada kawasan permukiman padat perkotaan sesuai lokus penelitian, yang sebagaian besar dimanfaatkan sebagai sarana beraktivitas dan berinteraksi antar warga serta faktor-faktor pembentuknya. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan rasionalistik untuk menemukan jawaban dari permasalahan dan pertanyaan penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik teritorialitas ruang dapat dilihat dari pengaruh komponen fix di dalam ruang, dimana fungsinya memiliki peran tersendiri untuk menjadi magnet timbulnya aktifitas di dalam ruang, sehingga kemudian menimbulkan reaksi dari warga untuk membentuk komponen semi fix sebagai salah satu pembatas teritori.

Selain itu faktor-faktor penentu yang mempengaruhi pembentukan teritorialitas ruang pada objek yang distudi adalah keterkaitan dengan keterlibatan personal, involvement, kedekatan individu/kelompok penguna dalam membentuk seting ruang sehingga terbentuk teritori masyarakat berdasarkan kategori teritori yaitu primary territory, secondary territory dan public territory. Peneliti juga menyampaikan bahwa ada kecenderungan akan adanya perbedaan teritorialitas

(9)

ruang pada permukiman padat di daerah lain sehingga membutuhkan penelitian lanjutan.

Penelitian ini memiliki beberapa point bahasan mengenai karakteristik dan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan teritorialitas, sehingga sangat mungkin untuk dijadikan acuan dalam memecahkan masalah penelitian yang kedua dan ketiga dalam penelitian “Teritorialitas pada Permukiman di Bantaran Tukad Badung, Kampung Jawa, Denpasar”.

Meskipun dapat dijadikan pedoman dalam penelitian, namun fokus penelitian yang hanya membahas karakteristik dan faktor pembentuk teritorialitas ruang bersama dan aktivitas yang diwadahi tidak akan cukup untuk menjawab masalah penelitian dengan pembahasan yang lebih general, sehingga diperlukan pendalaman teori dan pengamatan yang lebih jeli di lapangan nantinya.

Berdasarkan kajian pustaka yang telah dipaparkan tersebut, dapat dibuatkan kesimpulan secara ringkas mengenai keseluruhan penelitian tersebut. Dari kajian pustaka tersebut didapatkan empat tema pembahasan teritori yang sesungguhnya saling berkaitan satu sama lain. Pertama adalah mengenai perilaku teritorialitas, kedua mengenai klaim ruang publik, ketiga mengenai fleksibilitas ruang dan yang keempat adalah mengenai karakteristik teritorialitas.

Keseluruhan penelitian tersebut dapat dijadikan sebagai pedoman dan bahan pertimbangan karena masih saling berkaitan berada dalam ranah teritori. Penelitian mengenai perilaku teritorialitas dapat dijadikan sebagai pedoman untuk menandai dan mengetahui teritorialitas ruang-ruang yang ada pada pemukiman di Bantaran Sungai Kampung Jawa serta menjawab rumusan masalah pertama dan ketiga yang

(10)

ingin mengidentifikasi fenomena teritorialitas yang terjadi beserta faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya ruang teritorial di kawasan penelitian.

Penelitian mengenai klaim ruang publik dapat membantu peneliti dalam memahami dan membedakan bagaimana sebuah klaim terhadap suatu ruang dapat dikatakan sebagai sebuah pelanggaran teritori, sehingga dapat dijadikan bahan pendukung untuk membahas fenomena teritorialitas yang menjadi masalah penelitian.

Penelitian selanjutnya yang membahas mengenai fleksibilitas ruang dalam pendekatan teritori juga dapat membantu peneliti dalam memahami bagiamana hubungan kekerabatan antara warga yang satu dan warga yang lainnya dapat mempengaruhi fleksibilitas sebuah ruang dalam kawasan penelitian. Diharapkan nantinya pemahaman terhadap hal tersebut dapat membantu peneliti dalam memecahkan rumusan masalah penelitian pertama dan kedua yang berkaitan dengan fenomena dan karakteristik teritorialitas.

Penelitian yang keempat berkaitan dengan karakteristik teritorialitas. Meskipun fokus bahasan tidak sama persis namun penelitian tersebut juga dapat dijadikan acuan dalam peneltian untuk memahami dan mengidentifikasi karakteristik yang mempengaruhi pembentukan teritorialitas yang ada di kawasan pemukiman Kampung Jawa dalam sudut pandang yang lebih luas sesuai dengan rumusan masalah kedua.

Secara umum, keseluruhan penelitian yang telah disebutkan tersebut adalah penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif sangat tepat digunakan dalam sebuah penelitian yang berusaha untuk menggambarkan suatu fenomena realitas

(11)

sosial dalam masyarakat yang didukung dengan teknik observasi langsung dan wawancara. Oleh karena itu pada penelitian kali ini juga akan menggunakan metode yang sama yakni metode penelitian kualitatif, agar mampu menggambarkan bagaimana hubungan antara lingkungan fisik dan perilaku manusia yang diwujudkan dalam sebuah teritori pada kawasan permukiman yang dijadikan objek penelitian.

Keseluruhan hasil penelitian tersebut dijabarkan secara deskriptif dengan disertai penggambaran visual berupa foto kondisi di lapangan maupun pemetaan zona-zona teritori, oleh karena itu pada penelitian kali ini juga akan ditampilkan output yang sama dengan menampilkan penggambaran visual kondisi di lapangan dan pemetaan zona teritori yang dijadikan sample penelitian sehingga nantinya penggambaran yang dilakukan peneliti dapat lebih mudah dibayangkan dan dimengerti oleh pembaca.

Keempat penelitian tersebut dapat dijadikan referensi dan pedoman untuk memberikan gambaran tahapan penelitian dalam konteks teritorialitas, sekaligus untuk mengungkap, menandakan dan mengetahui teritorialitas dari ruang-ruang yang ada pada kawasan objek studi beserta faktor-faktor pembentuknya. Secara ringkas penjabaran mengenai kajian pustaka sejenis beserta persamaan dan perbedaannya dengan penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada tabel 2.1.

(12)

No Nama Peneliti

Judul Penelitian Metodologi Penelitian

Hasil Penelitian Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan

Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan 1 Tjok Istri Widyani, 2015 Perilaku Teritorialitas Nelayan di Relokasi Perumahan Nelayan Kota Mataram

Deskriptif kualitatif, pendekatan naturalistik

Proses perluasan teritori bermula dari kurangnya fasilitas ruang dalam yang disediakan oleh pemerintah daerah, sehingga masyarakat cenderung melakukan invasi terhadap lahan sisa. Sedangkan gambaran teritori komunal di lokasi penelitian terbentuk dari pola pergerakan penghuni perumahan.

Studi mengenai perilaku manusia dalam membentuk teritori ruang

Penelitian ini lebih menekankan pada proses perluasan teritori warga relokasi serta gambaran teritori komunalnya, sementara penelitian yang akan dilakukan menekankan pada klasifikasi fenomena teritorialitas yang terjadi pada area pemukiman beserta karakteristiknya. Selain itu, kompleksitas yang berbeda akan menghasilkan masalah dan temuan yang berbeda pula.

2 Alin Pradita, dkk., 2014

Teritori Pedagang Informal: Studi Kasus Ruang antara Pasar Johar dan Pasar Yaik Semarang

Kualitatif dengan pendekatan rasionalistik

Dalam teritori sektor informal, batas fisik lebih penting dari identitas sebagai penanda ruang. Dalam memaknai teritori ini, pedagang informal tidak memiliki batasan ruang yang jelas antar teritori dan melakukan klaim atas teritori sekunder dan teritori umum.

Penelitian ini mengkaji perilaku manusia dalam membentuk teritori dalam sebuah ruang pasar yang ditekankan pada klaim ruang publik bukan pada lingkungan bermukim dengan pembahasan yang lebih beragam. Sehingga akan sangat banyak perbedaan yang nantinya ditemukan dalam penelitian.

3 Rr. Putri, dkk., 2012

Pendekatan Teritori Pada Fleksibilitas Ruang Dalam Tradisi Sinoman dan Biyada di Dusun Karang Ampel Malang

Deskriptif kualitatif, pendekatan naturalistik

Hubungan kedekatan kekerabatan tidak berpengaruh terhadap pembentukan perluasan teritori, akan tetapi perbedaan pola pembentukan teritori lebih karena dipengaruhi faktor ketersediaan ruang terbuka

Penelitian ini mengkaji perilaku masyarakat dalam memperluas teritori hunian saat berlangsungnya tradisi sonoman dan bidaya di dusun setempat, yang mana hal ini hanya berlangsung sementara selama tradisi berlangsung. Sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan teritori ruang yang akan dikaji lebih bersifat permanen.

4 Burhanuddin, 2010

Karakteristik

Teritorialitas Ruang Pada Permukiman Padat di Perkotaan Kualitatif dengan pendekatan rasionalistik

Karakteristik teritorialitas ruang dapat dilihat dari pengaruh komponen

fix di dalam ruang, dimana fungsinya

memiliki peran tersendiri untuk menjadi magnet timbulnya aktifitas di dalam ruang.

Studi mengenai perilaku manusia dalam membentuk teritori ruang pada permukiman padat

Penelitian ini hanya menyimpulkan bahwa karakteristik teritorialitas dipengaruhi komponen pembentuk ruangnya, sedangkan penelitian yang akan dilakukan nanti akan menganalisis karakteristik lebih luas lagi. Tabel 2.1 Kajian Pustaka Penelitian Sejenis

(13)

2.2. Kerangka Berpikir

Kerangka berpikir merupakan alur pikir peneliti yang berupa tahapan awal hingga akhir penelitian. Tahapan tersebut dimulai grand tour atau observasi awal ke lapangan, hingga pada proses menemukan fokus masalah penelitian, merumuskan tujuan dan sasaran penelitian, menentukan teori-teori yang digunakan sebagai dasar penelitian, tahap mengumpulkan data, analisis data, hingga memperoleh suatu hasil penelitian, merumuskan temuan/kesimpulan, rekomendasi studi dan saran.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, fokus penelitian diperoleh dari studi pustaka dan grand tour. Studi pustaka berupa hasil referensi penelitian dari beberapa peneliti mengenai hubungan lingkungan dengan perilaku manusia yang menyebabkan terbentuknya teritorialitas, serta landasan teori dari beberapa sumber mengenai teori perilaku dan teritori itu sendiri. Grand tour dilakukan di permukiman padat penduduk yang dianggap dapat mewakili citra kampung kota di Denpasar. Dari analisis hasil studi pustaka dan grand tour, kemudian ditentukan sasaran penelitian yang selanjutnya dirumuskan ke dalam tiga rumusan masalah untuk dikaji lebih dalam.

(14)

Gambar 2.1 Diagram Kerangka Berpikir Rumusan Masalah Fenomena Teritorialitas yang Terjadi Karakteristik Teritorialitas Faktor-faktor yang mempengaruhi STUDI PUSTAKA LANJUTAN Konsep Penelitian Kajian Pustaka Sejenis Landasan Teori METODOLOGI PENELITIAN ANALISIS PENELITIAN SIMPULAN AKHIR Lokasi : Bantaran Sungai Keterbatasan Lahan Teritorialitas Fokus/Ide Penelitian

Ketersedian lahan tidak sebanding dengan kepadatan penduduk

Kepadatan bangunan dan keterbatasan lahan

mengaburkan batas antar hunian serta

memicu perilaku teritorilitas LATAR BELAKANG Permukiman padat Permukiman kampung Kota Lahan Sewaan Studi Pustaka Grand Tour & Wawancara Awal ISU: Permukiman Padat Bangunan dan Padat Penduduk Kampung Jawa

(15)

2.3. Konsep

Konsep merupakan dasar pemikiran yang dijadikan sebagai acuan dalam melakukan suatu penelitian, sehingga nantinya tidak menyimpang dari lingkup penelitian yang dilakukan. Konsep juga digunakan untuk menyamakan persepsi dari peneliti kepada pembaca mengenai topik penelitian. Beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

2.3.1. Permukiman dan Kampung

Pengertian dasar permukiman dalam UU No.1 tahun 2011 adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan. Sementara menurut Yudosono (1997) kampung merupakan lingkungan suatu masyarakat yang terdiri dari golongan berpenghasilan rendah dan menengah yang pada umumnya tidak memiliki prasarana, utilitas dan fasilitas sosial yang cukup baik jumlah maupun kualitasnya dan dibangun di atas tanah yang telah dimiliki, disewa atau dipinjam pemiliknya.

Berdasarkan penjabaran di atas, kampung dapat dikatakan sebagai bagaian dari permukiman itu sendiri dengan kondisi pada umumnya yang cenderung padat dan tidak terencana dengan baik. Dalam penelitian ini, lokus penelitian merupakan sebuah kawasan permukiman padat penduduk yang bernama Kampung Jawa dan berada di wilayah Kota Denpasar. Fenomena permukiman padat perkotaan memiliki banyak hal yang menarik untuk diteliti baik secara spasial maupun perilaku masyarakatnya.

(16)

2.3.2. Konsep Teritorialitas

Teritorialitas berasal dari kata teritori, apabila teritori berarti wilayah atau daerah maka teritorialitas adalah suatu mekanisme perilaku seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai privasi tertentu terhadap wilayah yang dianggap menjadi hak seseorang atau kelompok bersangkutan. Teritorialitas juga dapat dikatakan sebagai perwujudan dari privasi seseorang atau sekelompok orang, yang tidak ingin mendapatkan gangguan dari pihak luar yang tidak diinginkan (Altman, 1975).

Menurut Edney pada tahun 1974 (Laurens, 2004: 124) teritorialitas dikatakan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan ruang fisik, tanda, kepemilikan, pertahanan, penggunaan yang eksklusif, personalisasi dan identitas. Teritorialitas juga dapat mempengaruhi perilaku seseorang atau sekelompok orang karena dalam teritorialitas tersebut sangat berkaitan erat dengan kontrol, konflik, keamanan, gugatan akan sesuatu dan pertahanan.

Teritorialitas yang dimaksud oleh peneliti adalah upaya klaim dan penguasaan lahan/wilayah yang lebih luas oleh penghuni permukiman, guna mengakomodasi aktivitas sehari-hari baik secara personal maupun berkelompok untuk fungsi-fungsi tertentu dengan berbagai upaya kontrol dan pengawasan. Kontrol tersebut dapat diartikan sebagai sebuah pengaturan batas antara individu yang satu dengan yang lainnya dengan penandaan atau personalisasi untuk menyatakan bahwa wilayah tersebut ada yang memiliki.

Lang (1987) mengungkapkan terdapat empat karakter dari teritorialitas yaitu adanya kepemilikan atau hak dari suatu tempat, personalisasi atau penandaan

(17)

dari suatu area tertentu, hak untuk mempertahankan diri dari gangguan luar, dan pengatur dari berbagai fungsi, mulai dari bertemunya kebutuhan dasar psikologis sampai kepada kepuasan kognitif dan kebutuhan-kebutuhan estetika.

Kepadatan penduduk pada kawasan objek penelitian tidak disertai dengan ketersediaan fasilitas ruang yang memadai, baik ruang luar maupun ruang dalam bangunan. Kondisi rumah yang rapat satu sama lain juga semakin mengaburkan batasan kepemilikan ruang luar yang tersisa antara pemilik rumah yang satu dan yang lainnya sehingga memaksa masyarakat setempat untuk berbagi ruang dalam beraktivitas. Begitu pula dengan ruang-ruang publik yang ada cenderung dimanfaatkan untuk kepentingan personal, misalnya jalan/gang dijadikan area parkir, menyimpan gerobak dagangan dan lain-lain.

Teritorialitas inilah yang nantinya akan digambarkan sesuai dengan jenis, pembatas, pola ruang dan klasifikasinya kemudian divisualisasikan dalam pemetaan zona dan denah ruang. Sesuai dengan yang dicetuskan oleh Altman (1980), klasifikasi teritori tersebut dibagi berdasarkan tingkat privasi, afilasi dan kemungkinan pencapaian/kemudahan aksesibilitas yaitu teritori primer, teritori sekunder dan teritori publik.

Fisher (1984) mengatakan bahwa kepemilikan dalam teritorialitas ditentukan oleh persepsi orang yang bersangkutan, sementara Edney (1974) mengungkapkan bahwa teritorialitas sebagai sesuatu yang berkaitan dengan pertahanan, tanda, kepemilikan. Terbentuknya suatu ruang teritori tidak dapat terlepas dari elemen penanda/pembatas sebagai bentuk pertahanan dan meminimalisir berbagai bentuk pelanggaran teritori. Wujud elemen penanda teritori tersebut beragam sesuai

(18)

dengan kondisi di lapangan. Elemen penanda teritori yang dimaksud disini secara umum dapat dikelompokkan ke dalam batas-batas yang membentuk ruang itu sendiri, yaitu antara lain batas fix element, semi fixed element, maupun batas ruang non-fixed element (Altman, 1980).

Secara spasial elemen-elemen ini dapat diorganisasikan ke dalam ukuran, lokasi, urutan dan susunan. Tetapi dalam suatu kasus fenomena, elemen-elemen ini bisa dilengkapi oleh elemen-elemen yang lain, meliputi: bangunan dan perlengkapan jalan yang melekat. Elemen fix merupakan elemen-elemen tetap, sementara semi fixed, merupakan elemen-elemen agak tetap tapi tetap berkisar dari susunan dan tipe elemen, seperti elemen jalan, tanda iklan, etalase toko dan elemen-elemen urban lainnya. Elemen non fixed, adalah non environmental elemen-element, merupakan elemen diluar elemen-elemen fisik. Elemen non fixed berhubungan langsung dengan tingkah laku atau perilaku yang ditujukan oleh manusia itu sendiri yang selalu tidak tetap.

2.3.3. Konsep Kampung Jawa

Kampung jawa merupakan salah satu permukiman yang berada di Dusun Wanasari, salah satu wilayah di Denpasar Utara yang memiliki kepadatan penduduk yang cukup tinggi dengan mayoritas masyarakatnya beragama muslim.

Secara administratif, Kampung Jawa memiliki batas-batas wilayah yaitu, sebelah utara berbatasan dengan Desa Lumintang, sebelah timur berbatasan dengan Puncak Sari, Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Pemecutan Kaja, sebelah selatan berbatasan dengan Wangaya Kaja. Permukiman ini juga mengapit salah satu sungai terpanjang yang melintasi Kota Denpasar, yaitu Tukad Badung.

(19)

Kampung Jawa awalnya hanya dibagi menjadi 8 RT. Namun pada pertengahan tahun 2016, salah satu RT, yaitu RT 8 dipecah menjadi dua sehingga kini total berjumlah 9 RT. Berdasarkan jumlah penduduk, Kampung Jawa masuk dalam kategori Kota Desa (Rural-Urban). Masyarakat Kampung Jawa sebagian besar berasal dari Madura dan Jawa, sisanya berasal dari beberapa daerah lain, seperti Banyuwangi, Lombok, Karangasem, Tabanan, maupun Buleleng.

Jadi, penelitian dengan judul “Teritorialitas pada Permukiman di Bantaran Tukad Badung, Kampung Jawa, Denpasar” ini akan membahas mengenai bagaimana sebuah fenomena teritorial dapat terjadi akibat perilaku spasial penghuninya, beserta karakteristik dan faktor yang mempengaruhi terbentuknya teritorialitas di kawasan permukiman Kampung Jawa khususnya pada area-area sekitar bantaran sungai.

2.4. Landasan Teori

Landasan teori merupakan teori-teori yang digunakan sebagai dasar ataupun batasan dalam melakukan suatu penelitian. Dalam suatu penelitian, landasan teori memegang peranan yang cukup penting karena dapat dimanfaatkan untuk menjawab atau memecahkan masalah yang ada dalam penelitian. Untuk mengkaji permasalahan dalam penelitian ini, teori yang digunakan adalah teori hubungan antara perilaku dan lingkungan, teori privasi dan yang paling utama adalah teori teritorialitas.

(20)

2.4.1 Hubungan Perilaku dan Lingkungan

Mery dan Tryst (Soesilo, 1989) melihat bahwa hubungan antar manusia dengan lingkungannya merupakan suatu jalinan transactional interdependency atau terjadinya ketergantungan satu sama lain. Hal ini hampir sama dengan pendapat Guilford, yaitu bahwa manusia mempengaruhi lingkungannya. Untuk selanjutnya lingkungan akan mempengaruhi manusia, demikian pula terjadi sebaliknya.

Manusia dan lingkungan ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan, keduanya sama-sama memberikan sumbangsih. Manusia membutuhkan lingkungan untuk hidup dan berperilaku, sedangkan tanpa manusia lingkungan tidak akan pernah ada. Lingkungan adalah pemberi stimulus terbesar dalam kehidupan manusia karena lingkunganlah yang mengajarkan individu untuk merespon dan melakukan sesuatu.

Pengaruh lingkungan terhadap tingkah laku dapat dikelompokkan menjadi tiga (Rapoport, 1986) yaitu: (a) environmemntal determinism, menyatakan bahwa lingkungan menentukan tingkah laku masyarakat di tempat tersebut; (b) enviromental posibilism, menyatakan bahwa lingkungan fisik dapat memberikan kesempatan atau hambatan terhadap tingkah laku masyarakat; (c) enviromental probabilism, menyatakan bahwa lingkungan memberikan pilihan-pilihan yang berbeda bagi tingkah laku masyarakat.

Pendekatan perilaku menekankan pada keterkaitan antara ruang dengan manusia/masyarakat yang memanfaatkan ruang atau menghuni ruang tersebut. Dengan kata lain pendekatan ini melihat aspek norma, kultur, masyarakat yang

(21)

berbeda akan menghasilkan konsep dan wujud ruang yang berbeda, adanya interaksi antara manusia dan ruang, maka pendekatannya cenderung menggunakan setting dari pada ruang (Rapoport, 1969).

Istilah seting lebih memberikan penekanan pada unsur-unsur kegiatan manusia yang mengandung empat hal yaitu: pelaku, macam kegiatan, tempat dan waktu berlangsungnya kegiatan. Menurut Rapoport pula, kegiatan dapat terdiri dari sub-sub kegiatan yang saling berhubungan sehingga terbentuk sistem kegiatan.

Lingkungan memiliki peran penting dalam membentuk karakter manusia. Lingkungan juga dapat menjadi sarana bagi manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Tidur, bekerja, rekreasi, ibadah dan berbagai aktivitas lainnya membutuhkan ruang atau lingkungan. Dalam pemenuhan kebutuhan tersebut, terlihat adanya pola perilaku penggunanya. Perilaku manusia dalam hubungannya terhadap suatu setting fisik berlangsung dan konsisten sesuai waktu dan situasi. Karenanya pola perilaku yang khas untuk setting fisik tersebut dapat diidentifikasikan.

Dalam perjalanan perkembangan ilmu perilaku-lingkungan, banyak dilakukan penelitian dan pengembangan teori. Akan tetapi, tidak ada satu pun teori yang dianggap dapat menjawab semua permasalahan dalam psikologi lingkungan. Berbagai model ditawarkan untuk menggambarkan kompleksitas hubungan manusia dengan lingkungannya. Salah satu model tersebut adalah sebagai berikut:

(22)

Gambar 2.2 Hubungan Perilaku Manusia dengan Lingkungan Sumber : Laurens (2004)

Manusia mempunyai keunikan tersendiri, keunikan yang dimiliki setiap individu akan mempengaruhi lingkungan sekitarnya. Sebaliknya, keunikan lingkungan juga mempengaruhi perilakunya. Karena lingkungan bukan hanya menjadi wadah bagi manusia untuk beraktivitas, tetapi juga menjadi bagian integral dari pola perilaku manusia (Dubois, 1968). Proses dan pola perilaku manusia dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu:

a) Proses Individual

Dalam hal ini proses psikologis manusia tidak terlepas dari proses tersebut. Pada proses individu meliputi beberapa hal; (1) persepsi lingkungan, yaitu proses bagaimana manusia menerima informasi mengenai lingkungan sekitarnya dan bagaimana informasi mengenai ruang fisik tersebut di organisasikan kedalam pikiran manusia; (2) kognisi spasial, yaitu keragaman proses berpikir selanjutnya, mengorganisasikan, menyimpan dan mengingat kembali informasi mengenai lokasi, jarak dan tatanannya; (3) perilaku spasial, menunjukan hasil yang termanifestasikan dalam tindakan respon seseorang, termasuk deskripsi dan preferensi personal, respon emosional, ataupun evaluasi kecenderungan perilaku

(23)

yang muncul dalam interaksi manusia dengan lingkungan fisiknya. Proses Individual mengacu pada skema pendekatan perilaku berikut (Gambar 2.3) yang menggambarkan hubungan antara lingkungan dan proses perilaku individu.

Gambar 2.3 Proses Fundamental Perilaku Manusia Sumber : Arsitektur dan Perilaku Manusia (Laurens, 2004) b) Proses Sosial

Manusia mempunyai kepribadian individual, tetapi manusia juga merupakan makhluk sosial hidup dalam masyarakat dalam suatu kolektivitas. Dalam memenuhi kebutuhan sosialnya manusia berperilaku sosial dalam lingkungannya dapat diamati pada fenomena perilaku-lingkungan, kelompok pemakai, dan tempat berlangsungnya kegiatan.

Menurut Laurens (2004), terdapat aspek sosial yang terkandung dalam ruang yaitu bagaimana manusia dapat berbagi dan membagi ruang dengan sesamanya. Pada proses sosial, perilaku interpersonal manusia yang menjadi alasan utama terbentuknya ruang meliputi hal-hal sebagai berikut:

1) Ruang personal (personal space) berupa domain kecil sejauh jangkauan manusia yang dimiliki setiap orang. Ruang pribadi dipengaruhi oleh posisi seseorang

(24)

dalam masyarakat dengan individu-individu lebih makmur menuntut ruang pribadi yang lebih besar.

2) Teritorialitas (territoriality) yaitu kecenderungan untuk menguasai daerah yang lebih luas bagi penggunaan oleh seseorang atau sekelompok pemakai atau bagi fungsi tertentu.

3) Kesesakan atau kepadatan (crowding dan density) yaitu keadaan apabila ruang fisik yang tersedia sangat terbatas dibandingkan dengan jumlah penggunanya. 4) Privasi (privacy) sebagai usaha untuk mengoptimalkan pemenuhan kebutuhan

sosial. Dalam proses sosial, perilaku interpersonal yang sangat berpengaruh pada perubahan ruang publik adalah teritorialitas

Konsep teritori dalam studi arsitektur lingkungan dan perilaku adalah mengenai adanya tuntutan manusia atas suatu area untuk memenuhi kebutuhan fisik, emosional dan kultural. Keterkaitan dengan kebutuhan emosional ini maka konsep teritori sangat erat hubungannya dengan ruang privat dan ruang publik.

Bicara dalam konteks keruangan berarti bicara juga mengenai batasan antara ruang publik dan ruang privat. Ruang privat adalah ruang pribadi dimana individu berhak bebas melakukan apa yang menjadi hak asasinya secara pribadi terlepas dari intervensi atau pengaruh pihak-pihak lain diluar individu tersebut. Dalam ruang privat inilah persoalan rasa dan etika menjadi dua hal yang cukup krusial.

Sedangkan menurut Budihardjo (1998) ruang publik merupakan bagian dari ruang yang memiliki definisi sebagai wadah yang menampung aktivitas manusia dalam suatu lingkungan yang tidak mempunyai penutup dalam bentuk fisik.

(25)

Dengan kata lain, ruang publik adalah ruang bersama, digunakan secara bersama dan diawasi secara bersama-sama.

Penggunaan ruang secara bersama berarti dalam ruang tersebut terdapat shared value atau acuan nilai bersama yang disepakati oleh masyarakat bersangkutan. Proses pembentukan atau penentuan apa yang menjadi shared value akan melalui sebuah proses yang dinamis, kerap berubah menyesuaikan latar tempat dan waktu dimana masyarakat itu tinggal. Jika batasan yang menjadi dasar shared value telah ditetapkan ketika itulah mucul aturan yang secara jelas mengikat masyarakat tersebut.

Dalam beberapa kasus, ruang privat (personal space) dapat menimbulkan crowding apabila seseorang atau kelompok sudah tidak mampu mempertahankan personal space-nya, sehingga sangat rawan memicu konflik-konflik sosial. Begitu juga dengan ruang publik, apabila penggunaannya tidak sesuai dengan kesepakatan bersama tentu dapat menimbulkan masalah baik secara keruangan maupun sosial.

Berdasarkan pemaparan mengenai hubungan antara perilaku dan lingkungan tersebut dapat diketahui bahwa teori ini nantinya akan membantu peneliti dalam memahami bagaimana respon individual maupun kelompok masyarakat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, begitupun sebaliknya.

Dapat dikatakan juga bahwa mekanisme perilaku manusia dalam membentuk ruang dipengaruhi oleh lingkungan. Lingkungan sangat berperan penting dalam membentuk karakter manusia. Lingkungan fisik yang kurang mendukung biasanya menjadikan manusia lebih kreatif untuk mengakali keterbatasannya.

(26)

Maksudnya dalam hal ini adalah kondisi lingkungan pemukiman Kampung Jawa yang sangat padat dengan lahan yang cukup terbatas. Dalam keterbatasan tersebut nantinya akan ditemukan respon manusia dalam bentuk pola perilaku tertentu. Respon tersebut dapat berupa proses individual yang berpengaruh terhadap perilaku spasial masing-masing masyarakat maupun berupa proses sosial yang merupakan bentuk respon terhadap hubungan interpersonal manusia.

Dalam proses sosial, nantinya dapat dilihat bagaimana perilaku warga setempat dalam menyikapi penggunaan ruang secara bersama-sama dalam situasi lingkungan yang kurang mendukung dan terbatas. Hubungan manusia dengan manusia merupakan alasan utama terbentuknya hal-hal seperti ruang personal, teritorialitas, crowding, bahkan privasi.

Satu satu contoh yang ditemukan di lapangan adalah adanya upaya perebutan lahan antar warga. Perebutan lahan ini merupakan salah satu respon emosional manusia terhadap lingkungan yang membentuk perilaku spasial. Misalnya merasa memiliki ruang luar atau lahan sisa yang ada di sekitar bangunan rumahnya, sehingga berusaha untuk mengklaim ruang tersebut terlebih dulu agar tidak diambil warga yang lain dengan memberi tanda-tanda kepemilikan.

Dengan demikian hubungan perilaku dan lingkungan tidak dapat dipisahkan dengan konsep teritori, karena teritori itu sendiri adalah merupakan salah satu wujud respon manusia terhadap lingkungannya. Oleh karena itu, teori ini dapat memberikan pemahaman dasar bagi peneliti untuk melihat fenomena-fenomena di lapangan yang ada kaitannya dengan teritorialitas. Terutama berkaitan dengan

(27)

pemaknaan dan batasan antara ruang publik dan ruang privat dalam masyarakat Kampung Jawa.

2.4.2 Privasi Sebagai Esensi Teritori

Perilaku teritorialitas tidak bisa lepas dari kaitannya dengan konsep privasi, karena teritorialitas merupakan salah satu bentuk perwujudan dari privasi itu sendiri. Untuk itu, sebelum membahas mengenai teritorialitas, ada baiknya dilakukan pemahaman terhadap privasi terlebih dahulu. Hartono (1986) mengungkapkan bahwa privasi adalah tingkatan interaksi atau keterbukaan yang dikehendaki seseorang pada suatu kondisi atau situasi tertentu. Tingkatan privasi yang diinginkan menyangkut keterbukaan atau ketertutupan, yaitu keinginan berinteraksi atau keinginan untuk menghindar.

Pendapat lain dikemukakan oleh Rapport (Soesilo, 1988) yang berpendapat bahwa privasi adalah kemampuan untuk mengontrol interaksi, kemampuan untuk memperoleh pilihan-pilihan dan kemampuan untuk mencapai interaksi yang diiginkan. Sementara Altman (1975) mendefinisikan privasi sebagai proses pengontrolan yang selektif terhadap akses kepada diri sendiri dan orang lain.

Ada beberapa fungsi privasi menurut Altman yaitu (a) sebagai pengaruh dan pengontrol interaksi interpersonal; (b) merencanakan dan membuat strategi untuk berhubungan dengan orang lain; dan (c) memperjelas konsep diri dan identitas diri. Selain itu, diungkapkan juga bahwa terdapat dua jenis privasi, yaitu privasi rendah (ada saat-saat dimana individu ingin terus berinteraksi dengan orang lain) dan privasi tinggi (ada waktu dimana individu ingin menyendiri dan terpisah dari orang lain).

(28)

Untuk mencapai hal itu individu tersebut akan mengontrol dan mengatur melalui sesuatu mekanisme perilaku yang digambarkan oleh Altman (1975) sebagai berikut :

a) Perilaku verbal

Perilaku yang ditunjukkan dengan cara mengatakan kepada orang lain secara verbal dan sejauh mana orang lain dapat berinteraksi dengan dirinya.

b) Perilaku non verbal

Perilaku ditunjukkan dengan menunjukkan ekspresi wajah atau menggerakan tubuh tertentu yang memiliki arti tidak menyukai orang tersebut dan tidak ingin berinteraksi.

c) Mekanisme kultural

Budaya mempunyai bermacam-macam adapt, aturan dan norma yang menggambarkan keterbukaan dan ketertutupan kepada orang lain dan hal itu sudah diketahui oleh banyak orang pada budaya tertentu.

d) Ruang personal (personal space)

Ruang personal adalah salah satu mekanisme perilaku untuk mencapai tingkatan privasi tertentu. Terdapat beberapa karakteristik ruang personal, yaitu :

1. Daerah batas diri yang diperbolehkan dimasuki oleh orang lain.

2. Ruang personal tidak berupa pagar yang tampak mengelilingi seseorang yang terletak pada suatu tempat tetapi batas ini melekat pada diri dan dibawa kemana-mana.

(29)

4. Pelanggaran ruang personal oleh orang lain akan dirasakan sebagai ancaman sehingga daerah ini dikontrol dengan kuat.

e) Teritorialitas

Merupakan mekanisme perilaku seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai privasi tertentu. Jika mekanisme ruang personal tidak memperlihatkan dengan jelas kawasan yang menjadi pembatas antara dirinya dengan orang lain maka pada teritorialitas batas-batas tersebut lebih jelas dan nyata (Altman, 1975).

Berdasarkan pemaparan di atas, teori privasi ini nantinya akan menjadi teori pendukung dari teori teritori dalam menilai fenomena teritorialitas di lapangan. Hal ini dikarenakan privasi merupakan esensi dari teritori itu sendiri. Seseorang yang ingin mendapatkan tingkatan privasi tertentu akan membentuk teritorinya dengan batas-batas yang jelas. Batas tersebut dapat berupa batas fisik maupun non fisik tergantung dari aktivitas yang diwadahi.

Contoh wujud adanya tingkatan privasi yang ditemukan di lapangan adalah adanya perbedaan tatanan fisik lingkungan rumah. Warga yang merasa memerlukan privasi yang tinggi akan memberikan batas fisik yang jelas dan cenderung tertutup seperti pagar tembok yang tinggi. Sebaliknya bagi yang merasa tidak perlu privasi yang tinggi, seperti warga yang menjadikan sebagian area rumahnya untuk berdagang atau membuka warung tidak akan memberikan batas fisik yang tegas untuk memudahkan akses pembeli.

2.4.3 Teori Teritorialitas

Teritorialitas berasal dari kata teritori. Hall (1966) mengungkapkan bahwa teritori merupakan suatu daerah yang dikuasai, yang ditampilkan dalam perilaku

(30)

khas oleh suatu organisme guna mempertahankan diri dari serangan anggota spesies lainnya. Pada intinya, teritori adalah satu area yang dimiliki dan dipertahankan, baik secara fisik maupun non-fisik. Teritori biasanya dipertahankan oleh sekelompok penduduk yang memiliki kepentingan yang sama dan bersepakat untuk mengontrol areanya (Haryadi, 1996).Teritori dipandang Sommers sebagai tempat yang dimiliki atau dikontrol individu atau kelompok (Fisher, 1984).

Sementara definisi tentang teritorialitas cenderung lebih kompleks, secara umum teritorialitas dinilai sebagai sebuah konteks yang tidak bisa lepas dari hal-hal yang menyangkut kepemilikan, bidang, batas, personalisasi, privasi maupun pertahanan. Beberapa ahli mengungkapkan definisi yang berbeda mengenai teritorialitas itu sendiri, namun pada dasarnya memiliki makna yang sama. Misalnya seperti yang diungkap oleh Edney dalam Laurens (2004:124) bahwa teritorialitas adalah sesuatu yang berkaitan dengan ruang fisik, tanda, kepemilikan, pertahanan, penggunaan yang eksklusif, personalisasi, dan identitas.

Sementara Holahan (Iskandar, 1990) mengungkapkan bahwa teritorialitas adalah suatu tingkah laku yang diasosiasikan berdasarkan kepemilikan atau tempat yang ditempatinya atau area yang sering melibatkan ciri pemilikannya dan pertahanan dari serangan orang lain.

Pendapat lain mengungkapkan bahwa teritorialitas memiliki lima ciri (Halim, 2005) yaitu : 1) ber-ruang, 2) dikuasai, dimiliki atau dikendalikan oleh seorang individu atau kelompok, 3) memuaskan beberapa kebutuhan (misalnya status), 4) ditandai baik secara konkrit atau simbolik, 5) dipertahankan atau setidaknya orang merasa tidak senang bila dimasuki atau dilanggar dengan cara

(31)

apapun oleh orang asing. Manusia berakal mendudukkan teritori sebagai wilayah kekuasaan dan pemilikan yang merupakan organisasi informasi yang berkaitan dengan identitas kelompok.

Menurut teori beban lingkungan, teritorialitas berfungsi menurunkan jumlah dan kompleksitas stimulasi. Teritorialitas menurut pandangan ekologis merupakan upaya mempertegas batas-batas kepemilikan sumber daya, batas antara pemiliki dan bukan pemilik. Teritorialitas menurut teori kendala perilaku merupakan upaya meningkatkan kontrol personal terhadap lingkungan sehingga privasi yang optimal dapat tercapai. Selanjutnya Edney juga menambahkan bahwa diperolehnya kontrol personal merupakan dasar pengembangan identitas personal (Holahan, 1982).

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa teritori artinya wilayah atau daerah yang dimiliki oleh individu atau kelompok tertentu, sementara teritorialitas adalah suatu konsep pengorganisasian ruang oleh individu atau kelompok tertentu melalui suatu mekanisme perilaku untuk mencapai privasi tertentu dengan melakukan pembedaan ruang serta kontrol, baik secara langsung maupun melalui pemberian serta penempatan batas-batas yang jelas atas wilayah yang dianggap sudah menjadi hak seseorang atau kelompok bersangkutan. Teritorialitas merupakan perwujudan “ego” seseorang atau sekelompok orang, karena orang tidak ingin diganggu, atau dapat dikatakan sebagai wujud dari privasi seseorang. Teritorialitas manusia dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari, seperti penggunaan papan nama, pagar pembatas atau papan kepemilikan suatu lahan.

(32)

Dari beberapa penjelasan yang telah dijabarkan sebelumnya, maka dapat disusun beberapa karakteristik utama dari teritori itu sendiri, yaitu 1) teriori merupakan suatu wilayah/area yang berkaitan dengan ruang fisik, 2) teritori merupakan wujud kepemilikian, personalisasi, penguasaan, dan pengendalian atas suatu tempat/wilayah dari gangguan pihak luar yang tidak diinginkan, 3) pengatur dari beberapa fungsi, mulai dari bertemunya kebutuhan dasar psikologis sampai kepada kepuasan kognitif dan kebutuhan kebutuhan estetika. Teritori sebagai kebutuhan dasar psikologis, salah satunya adalah memberikan kepuasan secara individual/kelompok dalam hal status sosial dan eksklusivitas, 4) teritori ditandai secara konkrit ataupun simbolik yang menjadi identitas kepemilikan atas wilayah tersebut.

Selain memiliki karakteristik yang jelas seperti di atas, terdapat tiga aspek utama pembentuk teritorialitas, yaitu:

a) Legalitas : Teritori Legal

Berkaitan dengan bukti-bukti legal bahwa seseorang memang memiliki hak penguasaan yang mutlak atas penggunaan suatu tempat. Dalam batas-batas legalitas kepemilikan tersebut, pemiliknya memiliki hak ekslusif dan mutlak atas ruang bersangkutan. Rapoport (1977) menyebut teritori legal ini sebagai juridiction space.

Batas legal biasanya ditandai melalui beberapa cara, antara lain; secara fisik melalui elemen-elemen pembatas berupa dinding dan pagar; secara simbolik berupa pemasangan simbol atau tanda-tanda batas tertentu;

(33)

dan secara legal/yuridiksi dengan surat hak kepemilikan tanah/bangunan atau membayar hak penggunaan atas suatu tempat untuk jangka waktu tertentu. b) Aktivitas : Teritori Fungsional

Teritorialitas juga ditentukan oleh penggunaan ruang dalam hubungannya dengan aktivitas-aktivitas yang diwadahi di dalamnya. Aktivitas sangat erat kaitannya dengan teritori fungsional, dengan kata lain aktivitas tersebut menjadi salah satu indikator penting dari sebuah teritori fungsional. Dalam teritori fungsional, segala macam aktivitas dapat berlangsung atau dilangsungkan pada ruang-ruang di dalam tanah milik maupun di area luar sekitar lingkungan rumah, karena teritori fungsional belum tentu merupakan ruang milik secara legal (Sommer,1969)

Cakupan serta batas teritori fungsional biasanya lebih bersifat fleksibel, artinya cakupannya dapat meluas dari batas teritori legal hingga mencakup ruang-ruang publik disekitarnya bahkan dapat juga hingga masuk ke dalam teritori orang lain, tergantung dari bentuk aktivitas dan kepentingannya.

c) Persepsi : Teritori Perseptual

Persepsi tersebut didasarkan dari adanya suatu kebutuhan dan hasrat ingin memiliki dari individu atau kelompok tertentu terhadap suatu ruang sesuai dengan kepentingannya (Dubos dan Ardrey, 1966). Keinginan tersebut memunculkan rasa berhak untuk memiliki maupun menguasai ruang-ruang yang dipersepsikan sebagai bagian dari teritorinya. Persepsi tersebut kemudian membentuk sebuah ruang teritorial yang disebut teritori perseptual.

(34)

Teritori perseptual dapat mencakup ruang-ruang dalam area milik legal maupun ruang bukan milik, seperti ruang publik bahkan teritori milik pihak lain. Teritori perseptual ini juga dapat dikatakan sebagai suatu bentuk perluasan spasial dari teritori leyang sifatnya abstrak.

2.4.3.1 Klasifikasi Teritori

Sharkawy (Lang, 1987) mengidentifikasikan empat tipe teritori, yaitu attached, central, supporting dan peripheral. Berikut ini merupakan penjelasan dari empat tipe teritori tersebut:

a) Attached territory adalah gelembung ruang atau batas maya yang mengelilingi diri seseorang.

b) Central territory, seperti rumah seseorang, ruang kelas, ruang kerja, dimana kesemuanya itu kurang memiliki personalisasi.

c) Supporting territory adalah ruang-ruang yang bersifat privat dan semi-publik. Pada semi-privat terbentuknya ruang terjadi pada ruang duduk asrama, ruang duduk atau santai di tepi kolam renang, atau area-area pribadi pada rumah tinggal seperti pada halaman depan rumah yang berfungsi sebagai pengawasan terhadap kehadiran orang lain. Ruang semi publik, antara lain adalah salah satu sudut ruangan dalam toko, kedai minuman. Semi privat cenderung untuk dimiliki, sedangkan semi publik tidak dimiliki oleh pemakai; d) Peripheral territory adalah ruang publik, yaitu area-area yang dipakai oleh

individu-individu atau suatu kelompok, tetapi tidak dapat memiliki dan menuntutnya.

(35)

Selain empat tipe teritori tersebut, Altman (Laurens, 2004: 126) juga membagi teritori menjadi tiga kategori yang didasarkan pada derajat privasi, afiliasi dan kemungkinan pencapaian. Tiga kategori tersebut adalah primary, secondary dan public territory.

a) Primary territory (teritori primer) adalah suatu area yang dimiliki, digunakan secara eksklusif, disadari oleh orang lain, dikendalikan secara permanen, serta menjadi bagian utama dalam kegiatan sehari-hari penghuninya, tempat-tempat tersebut bersifat sangat pribadi, dan hanya bisa dimasuki oleh orang-orang yang sudah akrab atau mendapat izin khusus dari pemiliknya.

b) Secondary territory (teritori sekunder) adalah tempat-tempat yang dimiliki bersama oleh sejumlah orang yang sudah cukup saling mengenal. Kendali pada teritori ini tidak sepenting teritori primer dan terkadang berganti pemakai atau berbagi penggunaan dengan orang asing. Dapat dikatakan juga sebagai suatu area yang tidak terlalu digunakan secara eksklusif oleh seseorang atau sekelompok orang mempunyai cakupan area yang relatif luas, dikendalikan secara berkala.

c) Public territory (teritori publik) adalah suatu area yang digunakan dan dapat dimasuki oleh siapapun (terbuka untuk umum) akan tetapi tetap harus mematuhi norma-norma serta aturan yang berlaku di area tersebut.

Ketiga kategori tersebut sangat spesifik dikaitkan dengan kekhasan aspek kultur masyarakatnya. Jika merujuk pada batasan diatas maka yang disebut dengan tempat privat adalah setara dengan primary teritory sedangkan tempat publik setara dengan public territory.

(36)

Berdasarkan pemakaiannya, teritorial publik atau umum dapat dibagi menjadi tiga (Wulandari, 2011), yaitu:

a) Stalls merupakan suatu tempat yang dapat disewa atau dipergunakan dalam jangka waktu tertentu, biasanya berkisar antara jangka waktu lama dan agak lama. Contohnya adalah kamar-kamar dihotel,kamar-kamar di asrama, ruangan kerja, lapangan tenis, sampai ke bilik telepon umum. Kontrol terhadap stalls terjadi pada saat penggunaan saja dan akan berhenti pada saat penggunaan waktu habis;

b) Turns mirip dengan stalls, hanya berbeda dalam jangka waktu penggunaannya saja. Turns dipakai orang dalam waktu yang singkat, misalnya tempat antrian karcis, antrian bensin dan sebagainya;

c) Use space adalah teritori yang berupa ruang yang dimulai dari titik kedudukan seseorang ke titik kedudukan objek yang sedang diamati seseorang. Contohnya adalah seseorang yang sedang mengamati objek lukisan dalam suatu pameran, maka ruang antara objek lukisan dengan orang yang sedang mengamati tersebut adalah “Use Space” atau ruang terpakai yang dimiliki oleh orang itu, serta tidak dapat diganggu gugat selama orang tersebut masih mengamati lukisan tersebut.

Selain beberapa pengklasifikasian yang telah dijabarkan tersebut, Altman pada tahun 1975 (Laurens, 2004: 127) juga mengemukakan dua tipe teritori lain, yaitu objek dan ide. Meskipun keduanya bukan berwujud tempat, diyakini juga memenuhi kriteria teritori. Karena seperti halnya dengan tempat, orang juga

(37)

menandai, menguasai, mempertahankan dan mengontrol barang mereka, seperti buku-buku, pakaian, motor dan objek lain yang dianggap miliknya.

Selain Altman, Lyman dan Scott pada tahun 1967 (Laurens, 2004: 128) juga membuat klasifikasi tipe teritorialitas yang sebanding dengan klasifikasi Altman. Namun, terdapat dua tipe yang berbeda, yaitu (a) teritori interaksi (interactional territories), teritori interaksi ditujukan pada suatu daerah yang secara temporer dikendalikan oleh sekelompok orang yang berinteraksi; (b) teritori badan (body territory), teritori badan dibatasi oleh badan manusia (kulit manusia) artinya segala sesuatu mengenai kulit manusia tanpa izin dianggap gangguan, orang akan mempertahankan diri terhadap gangguan tersebut.

2.4.4.2 Teritorialitas dan Perilaku

Dalam terminologi perilaku, pembagian teritori dalam tiga kategori sangat berkaitan dengan apa yang disebut sebagai privasi manusia. Seperti yang dinyatakan oleh Edney (1976), tipe dan derajat privasi tergantung pola perilaku dalam konteks budaya, dalam kepribadiannya serta aspirasi individu tersebut. Penggunaan dinding, screen, pembatas simbolik dan pembatas teritori nyata, juga jarak merupakan mekanisme untuk menunjukkan privasi.

Konsep privasi dan teritorial memang terkait erat. Namun definisi privasi lebih ditekankan pada kemampuan individu atau kelompok untuk mengkontrol daya visual, auditory (pendengaran), dan olfactory (penciuman) dalam berinteraksi dengan sesamanya. Dalam arti konsep privasi menempatkan manusia sebagai subjeknya bukan tempat yang menjadi subjeknya.

(38)

Tiap individu mempunyai perbedaan perilaku keruangan. Perbedaan ini merefleksikan perbedaan pengalaman yang dialami dalam pengelolaan perilaku keruangan sehubungan dengan fungsinya sebagai daya proteksi dan daya komunikasi. Penyebab perbedaan tanggapan ini antara lain jenis kelamin, daya juang, budaya, ego state, status sosial, lingkungan, dan derajat kekerabatan (affinity) sebagai sub sistem perilaku. Lebih jauh hal ini akan menentukan kualitas dan keluasan personal space yang dimiliki tiap individu.

Secara umum, perilaku dasar teritorialitas dapat diklasifikasikan ke dalam empat bagian, yaitu:

a) Penguasaan Tempat

Tindakan menguasai suatu ruang atau area merupakan perilaku dasar teritorialitas yang paling utama, yang dilakukan dengan tujuan untuk mengklaim suatu ruang dan objek-objek yang ada di dalamnya sebagai bagian dari teritorinya (Hall, 1959). Tindakan tersebut ditentukan berdasarkan siapa pihak yang terlebih dahulu menempati wilayah bersangkutan, dengan menegaskan batas-batas wilayahnya, hingga memberi larangan pada pihak lain untuk mengakses area tersebut tanpa seijinnya. Tindakan klaim inilah yang kemudian menjadikan individu atau kelempok tertentu tersebut mendapat hak kepemilikan secara eksklusif terhadap area tersebut (Goffman, 1963)

Penguasan tempat atau klaim tersebut dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain; 1) secara fisik, seperti kehadiran orang, penggunaan ruang maupun berdirinya sebuah bangunan, 2) secara simbolik, dengan membuat atau memasang

(39)

penanda dan pembatas, 3) secara legal, dengan bukti hukum kepemilikan tanah atau bangunan.

b) Kontrol Akses

Pengendalian akses terhadap suatu area atau ruang merupakan bentuk perilaku teritorialitas yang lainnya. Tindakan pengendalian akses terhadap suatu tempat menandakan sebuah strategi dalam menjaga dan memantapkan privasi pemilik tempat tersebut.

Terdapat tiga bentuk pengendalian akses menurut Carr (Carmona et.al, 2003), yaitu; 1) pengendalian akses secara fisik, berupa bukaan yang digunakan untuk tempat keluar-masuk dari satu ruang ke ruang yang lain. dapat berupa bukaan atau gerbang, berpintu maupun tidak berpintu, 2) pengendalian akses secara visual, seseorang dapat merasakan dan menilai nyaman atau tidaknya, disambut atau tidaknya ketika memasuki sebuah ruang. hal ini sangat ditentukan dari derajat ketertutupan dari unsur pembatas fisik maupun penempatan atau posisi dari ruang akses, baik pintu maupun bukaan lainnya; 3) pengendalian akses secara simbolik, simbol dapat kasat atau tidak kasat mata. Seseorang dapat merasakan dan menilai suatu tempat sebagai sesuatu yang mengancam atau sebaliknya. Dapat dilihat dari tampilan bangunan maupun citra/suasana dari sebuah lingkungan.

c) Pelanggaran dan Penjagaan Tempat

Pelanggaran teritori adalah tindakan yang bertujuan mengganggu, mengintervensi atau mengambil alih kepemilikan/kekuasaan terhadap suatu teritori. misalnya melalui perluasan spasial maupun perluasan kontrol. Hal ini kemudian menimbulkan adanya reaksi pertahanan dan penjagaan dari pihak-pihak yang

(40)

merasa terancam atas teritorinya, dapat berupa pencegahan maupun perlawanan yang secara detail akan dibahas pada sub bab selanjutnya.

d) Penandaan Batas

Perilaku dasar teritorialitas selanjutnya adalah penandaan batas. Pemberian tanda batas dilakukan untuk mempertegas bahwa suatu teritori dikuasai dan dikontrol akses penggunaannya sebagai bukti kepemilikan atau penguasaan terhadap suatu tempat. Penandaan batas tersebut dapat dibagi ke dalam dua bentuk, yaitu demarkasi dan personalisasi. Demarkasi berhubungan dengan masalah privasi, sementara personalisasi berkaitan dengan masalah identitas.

Demarkasi dilakukan dengan menarik suatu garis pemisah, baik melalui bentuk penandaan, membangun suatu struktur tertentu, pembedaan antara satu pihak pemilik dengan pihak lainnya melalui tanda atau simbol-simbol tertentu. Seperti membuat dekorasi, menempatkan kegiatan, pergerakan dan agresivitas yang nyata (Malmberg, 1980). Sedangkan personalisasi berkaitan dengan perilaku atau tindakan seseorang/sekelompok orang dengan menempatkan identitas diri baik nilai dan kepribadiannya pada teritorinya. Dalam penandaan batas, baik demarkasi dan personalisasi dapat dilakukan secara eksplisit (berupa objek fisik, seperti dinding, pagar, tanaman dll) maupun secara implisit (berupa ucapan, tindakan, peraturan tertulis, adat-istiadat, kesepakatan dll).

Teritorialitas merupakan hal yang sangat mempengaruhi perilaku pada ruang publik, karena pembentukan teritori yang lebih luas dari individu atau kelompok akan menyangkut pula pada hak teritorial individu atau kelompok lainnya. Hal tersebut sering kali membuat terjadinya masalah di ruang publik,

(41)

hingga dalam desain ruang publik harus betul-betul memperhatikan dan menekankan desain pada perilaku teritorialitas.

Perbedaan kepentingan akan membentuk teritorilitas yang berbeda pula, beberapa faktor yang mempengaruhi keanekaragaman teritori antara lain adalah karakteristik personal seseorang, perbedaan situasional dan faktor budaya (Laurens, 2004: 130-133) yang akan dijabarkan sebagai berikut:

a) Faktor Personal

Faktor personal yang mempengaruhi karakteristik seseorang yaitu jenis kelamin, usia dan kepribadian yang diyakini mempunyai pengaruh terhadap sikap teritorialitas. Pada umumnya, pria menganggap dirinya mempunyai status yang lebih tinggi di tempat kerjanya dan mengklaim teritori yang lebih besar dari wanita. Sementara itu, pria akan beranggapan bahwa rumah adalah teritori bersama, tetapi dapur adalah teritori wanita. Dari hal ini disimpulkan bahwa gender dan kepribadian merupakan dua hal yang saling terkait dalam penentuan teritori. b) Faktor Situasional

Perbedaan situasi berpengaruh pada teritorialitas, ada dua aspek situasi yaitu tatanan fisik dan sosial budaya yang mempunyai peran dalam menentukan sikap teritorialitas.

c) Faktor budaya

Faktor budaya mempengaruhi sikap teritorialitas. Secara budaya terdapat perbedaan sikap teritori hal ini dilatarbelakangi oleh budaya seseorang yang sangat beragam. Apabila seseorang mengunjungi ruang publik yang jauh berada diluar kultur budayanya pasti akan sangat berbeda sikap teritorinya. Sebagai contoh

(42)

seorang Eropa datang dan berkunjung ke Asia dan dia melakukan interaksi sosial di ruang publik negara yang dikunjungi, ini akan sangat berbeda sikap teritorinya.

2.4.4.3 Pelanggaran dan Pertahanan Teritori

Lyman dan Scott (Leboyer, 1982) mengidentifikasi pelanggaran teritorial ke dalam beberapa jenis, antara lain:

a) Violasi, yaitu penggunaan secara tidak sah terhadap teritori orang lain, misalnya seseorang berkegiatan di dalam kavling orang lain tanpa ijin pemiliknya.

b) Invasi, yaitu bila seseorang memasuki suatu ruang yang dilarang untuk dia masuki. Baik tindakan violasi maupun invasi, tidak hanya berbicara tentang tindakan intrusi yang berbentuk kegiatan saja, melainkan juga meliputi tindakan-tindakan intrusi yang secara fisik menghasilkan objek terbangun, miasalnya orang membangun rumah di atas tanah negara tanpa ijin.

c) Vandalisme merupakan suatu bentuk ekspansi yang bersifat temporer atas teritori seseorang. Biasanya bukanlah untuk menguasai kepemilikannya, melainkan suatu bentuk gangguan. Contohnya perusakan pagar, penjebolan pintu, dll.

Kemudian Goffman (Leboyer, 1982) menambahkan dua bentuk lain dari tindakan pelanggaran teritorial, yaitu:

a) Obstrusi, dimana seseorang mengambil ruang yang lebih luas daripada yang dimilikinya. Obstrusi biasanya berhubungan dengan klaim terhadap ruang-ruang publik atau privat menjadi ruang-ruang yang berada di bawah penguasaan seseorang yang dipakainya untuk kegiatan tertentu. Misalnya jalan depan

(43)

rumah digunakan untuk berjualan, lahan sisa belakang rumah untuk menjemur. Obstrusi juga berhubungan dengan kebutuhan psikis seseorang, misalnya rasa memiliki atas view di depan rumahnya, dimana pandangan terhadap view tersebut melintasi teritori orang lain.

b) Kontaminasi, dimana seseorang mengotori teritori orang lain, misalnya dengan meludah atau membuang sampah sehingga menimbulkan bau yang menggangu.

Apabila terdapat pelanggaran, tentu akan muncul respon terhadap situasi tersebut. Pertahanan terhadap teritori merupakan suatu bentuk respon terhadap bentuk pelanggaran teritori.

Menurut Dyson-Hudson dan Smith (1978) serta Newman (1979) strategi yang dapat dilakukan untuk mencegah pelanggaran teritori antara lain:

a) Tindakan penolakan, reaksi sebagai respon terhadap terjadinya pelanggaran, seperti menindak si pelanggar. Dapat dilakukan dengan ujaran kata-kata, teguran, perkelahian, pengusiran, atau dapat dikatakan sebagai pembelaan teritori secara langsung.

b) Pengawasan secara alamiah (Natural Surveillance), dilakukan melalui penataan lingkungan fisik terutama berkaitan dengan orientasi bangunan termasuk arah pandang pintu dan jendela untuk mempermudah pengawasan. Dapat juga dilakukan dengan pengaturan area parkir, teras maupun memberikan penerangan yang memadai.

c) Penguatan batas teritorial (Territorial Reinforcement), dapat dilakukan dengan melakukan tindakan penandaan, dengan menempatkan objek tertentu,

(44)

penandaan secara simbolik maupun arsitektural. Kemudian juga dengan tindakan pemeliharaan, ruang atau objek yang terawat menadakan ada pihak yang menjaga.

d) Sistem penjagaan (Target Hardening System, merupakan strategi yang bersifat tradisional, dan umumnya bersifat mencegah akses terhadap ruang-ruang yang paling privat. Dapat berupa sistem penjagaan oleh aparat yang berwenang maupun secara sosial (social defender).

2.4.4.4 Teritorialitas dan Agresi

Salah satu aspek yang paling menarik dari teritorialitas adalah hubungan antara teritori dan agresi. Walaupun tidak selalu disadari, teritori berfungsi sebagai pemicu agresi dan sekaligus sebagai stabilisator untuk mencegah terjadinya agresi. Salah satu faktor yang mempengaruhi hubungan antara teritorialitas dan agresi adalah status dari teritori tertentu (apakah teritori tersebut belum terbentuk secara nyata atau dalam perebutan, atau sudah tertata dengan baik). Ketika teritori belum terbentuk secara nyata atau masih dalam perebutan, agresi akan lebih sering terjadi. Altman (1975), mengatakan bahwa atribusi yang dipergunakan untuk menilai suatu tindakan akan menentukan respon terhadap invasi teritori tersebut hingga hanya akan dirasakan suatu tindakan agresi pada saat seseorang merasakan ada orang lain yang dianggap mengancam. Kemudian secara umum seseorang tersebut akan memakai respon verbal, kemudian memakai cara-cara fisik seperti memasang papan atau tanda peringatan. Teritorialitas berfungsi sebagai proses sentral dalam personalisasi, agresi, dominasi, koordinasi dan kontrol.

(45)

a) Personalisasi dan Penandaan.

Personalisasi dan penandaan seperti memberi nama, tanda atau menempatkan di lokasi strategis, bisa terjadi tanpa kesadaran teritorialitas. Seperti membuat pagar batas, memberi nama kepemilikan. Penandaan juga dipakai untuk mempertahankan haknya di teritori publik, seperti kursi di ruang publik atau naungan.

b) Agresi.

Pertahanan dengan kekerasan yang dilakukan seseorang akan semakin keras bila terjadi pelanggaran di teritori primernya dibandingkan dengan pelanggaran yang terjadi di ruang publik. Agresi bisa terjadi disebabkan karena batas teritori tidak jelas.

c) Dominasi dan Kontrol.

Dominasi dan kontrol umumnya banyak terjadi di teritori primer. Kemampuan suatu tatanan ruang untuk menawarkan privasi melalui kontrol teritori menjadi penting.

Teori teritorialitas ini digunakan sebagai acuan utama dalam seluruh proses penelitian, untuk mengamati fenomena yang terjadi di lapangan. Teori ini akan digunakan untuk memecahkan rumusan masalah penelitian pertama, kedua dan ketiga yang tentu juga akan didukung dan diperkuat oleh teori-teori lain.

Hasil pengamatan grand tour sementara menunjukkan bahwa teritorialitas yang terbentuk di lokasi penelitian terbentuk akibat keterbatasan lahan atau ruang untuk mewadahi segala aktivitas penghuni. Situasi tersebut diperparah dengan

Gambar

Tabel 2.1 Kajian Pustaka Penelitian Sejenis
Gambar 2.1 Diagram Kerangka Berpikir  Rumusan Masalah  Fenomena Teritorialitas yang Terjadi  Karakteristik Teritorialitas  Faktor-faktor yang mempengaruhi  STUDI PUSTAKA LANJUTAN Konsep Penelitian Kajian Pustaka Sejenis Landasan Teori METODOLOGI PENELITIAN
Gambar 2.2 Hubungan Perilaku Manusia dengan Lingkungan  Sumber : Laurens (2004)
Gambar 2.3 Proses Fundamental Perilaku Manusia   Sumber : Arsitektur dan Perilaku Manusia (Laurens, 2004)
+2

Referensi

Dokumen terkait

Dengan teknologi multimedia dapat digunakan sebagai media pembuatan video profil “Vihara Dhama Sundara” yang menjadi media informasi dan promosi agar dikenal oleh masyarakat

Selaras dengan semangat untuk meningkatkan nilai dan kualiti kerja warga universiti secara berterusan, skop pelaporan Anugerah Kualiti Naib Canselor (AKNC) telah ditambah baik.

Apa perbedaan masing-masing kedua gambar diatas jika kedua rangkaian lampunya dinyalakan. a) Jika ketiga lampu menyala, maka nyala lampunya tidak terlalu terang

Segala puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT dan juga berkah, rahmat serta hidayah-Nya yang senantiasa diberikan kepada penulis, sehinga penulis dapat

Pujangga ternama kita Ranggawarsita, dan beberapa futurolog yang kita kenal seperti Alvin Toffler, Daniel Bell, Duane Elgin, dsb pernah mengisyaratkan bahwa dunia

(2006), “Analisis faktor psikologis konsumen yang mempengaruhi keputusan pembelian roti merek Citarasa di Surabaya”, skripsi S1 di jurusan Manajemen Perhotelan, Universitas

Maka distribusi merupakan sebagai salah satu fungsi atau kegiatan perusahaan mempunyai peranan yang cukup penting dalam membantu perusahaan untuk meraih peluang ini sehingga

LSF dapat meningkatkan rasa dan menurunkan bau amis telur dan mampu memodifikasi kadar protein, lemak, kolesterol dan kadar karoten kuning telur dan komposisi asam amino lisin dan