• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi virus SARS-CoV-2 secara molekuler pada pasien terinfeksi saat ini masih menjadi pemeriksaan standar dalam menentukan pasien positif yang terinfeksi atau negatif yang tidak terinfeksi COVID-19. Pemeriksaan yang dilakukan untuk identifikasi virus membutuhkan strategi efektif agar dapat meningkatkan

8

kapasitas pemeriksaan SARS-CoV-2. Berikut metode yang digunakan dalam pemeriksaan SARS-CoV-2, yaitu sebagai berikut:

2.4.1 Gabungan Sampel (Pooled test)

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan pengujian diagnostik untuk membedakan SARS-CoV-2 dari infeksi pernapasan lainnya. Sejak pandemi, pemeriksaan SARS-CoV-2 semakin terus meningkat dan membutuhkan banyak sumber daya. Sehingga WHO memutuskan untuk meningkatkan pemeriksaan sekitar 10-30 tes kasus positif. Sehingga diperlukan strategi pengujian yang memadai dengan rekomendasi tingkat positif lebih rendah dari 10%. Dalam situasi ini, metode gabungan sampel (Pooled test) menjadi strategi penting untuk pemeriksaan dalam skala besar, dimana setiap sampel dari suatu populasi digabungkan menjadi dalam satu tabung (Mahmoud et al., 2021).

Gabungan sampel (Pooled test) merupakan strategi yang digunakan untuk skrining komprehensif awal dari virus Influenza dan Human Immunodeficiency Virus (HIV), namun saat ini direkomendasikan sebagai salah satu strategi dalam pemeriksaan SARS-CoV-2. Adanya kekurangan bahan habis pakai terutama pada peralatan ekstraksi RNA karena peningkatan global untuk pengujian virus, maka menyebabkan terjadinya penundaan dan efisiensi pemeriksaan SARS-CoV-2, sehingga metode ini dapat diaplikasikan untuk menghemat biaya peningkatan kapasitas deteksi virus serta mempermudah skrinning skala komunitas tanpa harus mengurangi keakuratan pengujian (Lim, 2020).

Hasil dari penggabungan sampel (Pooled test) menunjukkan jika hasil gabungannya negatif, maka semua spesimen yang di dalam gabungan dianggap negatif. Kemudian jika hasil dari gabungan positif, maka perlu dilakukan tes individual (penguraian gabungan) untuk mengidentifkasi spesimen yang positif.

Protokol penggabungan sampel hanya dilakukan dalam suatu populasi homogen, dimana hanya terdiri dari satu wilayah dalam skala yang besar. Kemudian dilakukan pemeriksaan laboratorium dengan perbandingan-perbandingan yang telah disesuaikan. Strategi tes yang tidak sesuai dapat menimbulkan terlewatnya kasus atau kekeliruan laboratorium yang dapat berdampak negatif bagi tatalaksana pasien dalam pengendalian kesehatan masyarakat (WHO, 2020).

9

2.4.2 Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)

Teknik RT-PCR (Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction) merupakan metode umum yang digunakan dalam mendeteksi infomasi genetik, terutama materi genetik SARS-CoV-2. Teknik ini dilakukan dengan menggunakan mRNA (messenger RNA) sebagai cetakan (template). Pada tahap pertama, teknik ini menggunakan enzim reverse transcription untuk mengubah template mRNA sehingga menghasilkan DNA untai tunggal komplementer yang disebut dengan cDNA (complementary DNA). Tahapan ini dikenal dengan transkripsi balik.

Kemudian tahap selanjutnya mengubah cDNA untai tunggal menjadi DNA untai ganda dengan menggunakan enzim DNA polimerase. Molekul yang dihasilkan akan digunakan sebagai template untuk reaksi Real Time PCR (Herawati, 2020).

Proses PCR konvensional hanya memperbanyak DNA target dan tidak dapat mengamplifkasi RNA sehingga deteksi materi genetik berupa RNA diperlukan tahapan tambahan sebelum proses PCR. Pada proses RT-PCR, material genetik RNA diubah menjadi cDNA melalui proses reverse transcription (RT). Formasi hibridisasi RNA akan membentuk untai pertama cDNA untuk kemudian akan diamplifkasi pada proses PCR. Teknik RT-PCR umumnya digunakan untuk mendeteksi RNA spesifk, antara lain, adalah diagnosis penyakit, baik maupun deteksi mRNA dalam studi ekspresi gen (Fraga, 2014).

Real Time PCR mendeteksi adanya RNA virus yang terdeteksi pada sampel pasien. Teknik ini berjalan untuk memperjelas materi genetik pada SARS-CoV-2 seperti protein Spike (S), protein Nucleic (N) dan Envelope (E) dari virus. Hingga teknik ini membutuhkan marker fluorescent yang membantu mendeteksi virus. Jika nilai fluoresen ini mencapai level tertentu, maka dapat mengkonfirmasi presensi dari virus. Hasil positif maka menginterpretasikan pasien terinfeksi virus, sedangkan hasil negatif menginterpretasikan pasien tidak sedang terinfeksi oleh virus. Nilai fluorensen ini dikenal dengan nilai Ct (Cycle threshold) (Yanti, 2020).

2.5 Nilai Ct (Cycle threshold)

Nilai Ct (Cycle Threshold) adalah jumlah siklus yang diperlukan agar sinyal fluoresen pada tahap RT-PCR dapat melewati ambang (yaitu melebihi level latar belakang). Nilai Ct berbanding terbalik dengan jumlah target asam nukleat dalam

10

sampel, dimana semakin rendah tingkat Ct maka semakin besar jumlah asam nukleat target dalam sampel (Herawati, 2020). Tinggi atau rendahnya nilai Ct sangat bergantung pada teknis pengerjaan, jumlah RNA di dalam sampel, metode pengambilan sampel, metode ekstraksi RNA yang digunakan, reagen dan primer yang digunakan dalam reaksi PCR (PAMKI, 2020).

Kurva amplifkasi PCR yang berbentuk sigmoid terdiri atas 3 fase, yaitu eksponensial, linear, dan plateu. Hasil akhir RT-PCR berupa nilai Ct yang merupakan perpotongan antara garis threshold dan kurva amplifkasi. Garis threshold merupakan garis yang berada di atas baseline sinyal fluorescenc sehingga sinyal fluorescence yang terdeteksi di atas threshold adalah sinyal yang digunakan dalam menentukan nilai Ct (Cao et al., 2020). Teknik RT-PCR memiliki nilai Ct maksimum 40. Nilai Ct tersebut ditetapkan untuk memastikan hasil yang spesifik. Hasil nilai Ct ini memiliki nilai yang sama dengan pasien bergejala maupun tanpa gejala. Pada orang tanpa gejala, seringkali tidak diketahui kapan orang tersebut terinfeksi virus dan menyebabkan resiko infektivitasnya tinggi dibandingkan dengan orang yang bergejala (Public Health England, 2020).

Interpretasi hasil pada pemeriksaan deteksi virus ditentukan berdasarkan nilai gen target. Gen target dari nilai Ct berupa ORF1ab, E-gene dan N-gene. Gen ORF1ab merupakan 1/3 bagian dari genom virus yang menyandikan 16 protein non-strutural (NSPs), kemudian sepertiga sisanya dari genom mengkodekan 4 protein struktural dan 6 protein pelengkap. Protein struktural berupa spike glikoprotein (S), protein matriks (M), protein amplop (E) dan protein nukleokapsid (N). Protein pelengkap berupa ORF3a, ORF6, ORF7a, ORF7b dan ORF10 (Mashuri dkk, 2020).

Gen ORF1ab berperan penting dalam proses transkripsi dan replikasi virus.

Sehingga daerah ORF1ab ini sering digunakan sebagai target untuk deteksi/konfirmasi virus SARS-CoV-2. Gen S bertugas dalam mengkode pembentukan protein spike pada permukaan sel host. Gen N mengkode pembentukan protein nukleokapsid dan merupakan gen target yang paling sensitif dibandingkan gen lainnya, hal ini dikarenakan gen N memiliki peluang yang sangat kecil untuk bermutasi. Gen E bertugas dalam mengkode pembentukan protein E (Envelope) yang merupakan protein selubung bagi virus yang berperan penting dalam siklus kehidupan virus serta patogenesis (PAMKI, 2020).

11

BAB 3

Dokumen terkait