• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.5. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library Research). Menurut Muchtar (2007:7), library research merupakan penelitian yang mengandalkan data-data yang bersifat teoritis dan dokumentasi yang ada di perpustakaan. Penelitian ini juga menggunakan metode deskriptif dengan tahapan sebagai berikut :

A.Persiapan

1. Memilih deskripsi bahan-bahan pustaka yang diperlukan dari sumber-sumber yang tersedia

2. Mencari secara lebih khusus artikel-artikel dan buku-buku yang sangat membantu untuk mendapatkan bahan-bahan pustaka yang relevan dengan masalah yang diteliti

3. Setelah informasi yang relevan ditemukan, peneliti mereview bahan pustaka tersebut dan menyusunnya dengan urutan kepentingan dan relevansinya dengan masalah yang sedang diteliti

B.Proses Penelitian

1. Secara metodologis peneliti bergerak meneliti karya sastra untuk menemukan unsur ekstrinsik yaitu Motif dan Sikap yang tergambar pada karya sastra yang akan diteliti 2. Membaca dan memahami karya sastra yang akan diteliti yaitu Al-Hikam “Untaian

Hikmah Ibnu „Athaillah” karya Syaikh Ibn Atha‟illah As-Sakandari agar mampu mencermati aspek-aspek psikologis yaitu Motif dan Sikap yang terdapat di dalamnya. 3. Mengklasifikasi aspek-aspek psikologi yang termasuk ke dalam Motif dan Sikap

sebagaimana teori yang dipaparkan oleh Endraswara yang didukung oleh teori Sigmund Freud.

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1.Biografi Ibnu „Athaillah

Ibnu „Athaillah dikenal dengan nama Syaikh Imam Taj ad-Din. Lengkapnya, Abu al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Abdurrahman bin Abdillah bin Ahmad bin Isa bin al-Husain bin „Athaillah. Ia berasal dari bangsa Arab, dilahirkan di kota Iskandariah (Mesir) pada 648H/1250M, tumbuh besar di Alexandria semasa era Mamluk dan meninggal di Kairo pada 1309M. Julukan Al-Iskandari atau As-Sakandari merujuk kepada kota kelahirannya.

Ibnu „Athaillah memiliki guru-guru terbaik pada semua disiplin ilmu keislaman, dan terkenal sebagai fakih besar dalam mazhab Maliki. Pada saat ia hidup, tumbuh pesat beberapa tarekat. Ayahnya sendiri adalah seorang murid tarekat Syadziliyyah, walaupun ia tidak pernah

bertemu dengannya. Mulanya Ibnu „Athaillah tidak berkecimpung dalam dunia tasawuf dan lebih

suka menggeluti fikih. Kendati amat tidak tertarik dengan dunia sufi, ia menjadi murid dari Abu al-Abbas al-Mursi. Ia pun telah menjadi syekh sufi ketika al-Mursi wafat, dan menempati urutan ke-21 dalam silsilah tarekat Syadziliyyah, yang mulanya tumbuh dari Maroko dan menyebar di sepanjang Afrika Utara.

Ibnu „Athaillah merupakan bintang pada zamannya dan orang yang terpandang pada

zamannya. Beliau telah menguasai berbagai ilmu, diantaranya ilmu tafsir, hadis, fiqih, nahwu, ushul, aqidah dan lain-lain. Beliau banyak bercerita dan memberi pengajaran tentang tarekat para ahli tasawuf. Banyak orang yang menimba manfaat darinya dan menjalankan tarekatnya.

Beliau memiliki beberapa hasil karya tulis yaitu : 1. At-Tanwir fi Isqath at-Tadbir

2. Latha‟if al-Minan 3. Taj Al-Arusy

4. Miftah Al-Falah fi Adz-Dzikr wa Kaifiyyati As-Suluk 5. Al-Qaul Al-Mujarrad fi Al-Ism Al-Mufrad

6. Al-Munajat

7. Al-Wasiyyah

Ibnu „Athaillah dikenal sebagai sosok yang bersih dan dikagumi. Ia menjadi panutan bagi banyak orang yang yang meneliti jalan menuju Tuhan. Menjadi teladan bagi orang-orang yang ikhlas dan imam bagi para juru nasihat. Ia dikenal sebagai master atau syekh ketiga dalam lingkungan tarikat Syadzili setelah pendirinya Abu Al-Hasan Asy-Syadzili dan penerusnya, Abu Al-Abbas Al-Mursi. Dan Ibnu „Athaillah inilah yang pertama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga khazanah tarikat Syadziliyah tetap terpelihara.

Meski ia tokoh kunci disebuah tarikat, bukan berarti aktifitas dan pengaruh intelektualitasnya hanya terbatas di tarikat saja. Buku-buku Ibnu „Athaillah dibaca luas oleh

kaum muslimin dari beberapa kelompok, bersifat lintas mazhab dan tarikat, terutama kitab Al-Hikam. Kitab Al-Hikam ini merupakan karya utama Ibnu „Athaillah yang sangat popular di

dunia Islam selama berabad-abad sampai saat ini. Kitab ini juga menjadi bacaaan utama di hampir seluruh pesantren di Nusantara.

Ibnu „Athaillah menghadirkan kitab Al-Hikam dengan sandaran utama pada Al-Qur‟an dan

As-Sunnah. Guru besar spiritualisme ini menyalakan pelita untuk menjadi penerang bagi setiap salik, menunjukkan segala arah yang ada di setiap kelokan jalan agar kita semua selamat menempuhnya. Kitab Al-Hikam merupakan ciri khas pemikiran Ibnu „Athaillah, khususnya dalam

paradigma tasawuf. Diantara para tokoh sufi yang lain seperti Al-Hallaj, Ibnul Arabi, Abu Husen An-Nuri, dan para tokoh sufisme falsafi yang lainnya, kedudukan pemikiran kedudukan Ibnu

„Athaillah bukan sekedar bercorak tasawuf falsafi yang mengedepankan teologi. Tetapi diimbangi dengan unsur-unsur pengamalan ibadah dan suluk, artinya diantara syari‟at tarikat dan hakikat di tempuh dengan cara metodis. Corak pemikiran Ibnu „Athaillah dalam bidang tasawuf sangat

berbeda dengan para tokoh sufi lainnya. Ia lebih menekankan tasawuf pada makrifat.

Adapun pemikiran-pemikiran tarikat tersebut ialah pertama, tidak dianjurkan kepada para muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka. Dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan, dan kendaraan yang layak dalam kehidupan yang sederhana akan menimbulkan rasa syukur kepada Allah dan mengenal rahmat illahi. Meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur. Dan berlebih-lebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada kezaliman. Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah SWT dengan sebaik-baiknya sesuai petunjuk Allah dan Rasulnya.

Kedua, tidak mengabaikan penerapan syari‟at Islam. Ia adalah salah satu sufi yang

berlandaskan kepada Al-Qur‟an dan Sunnah. Mengarah kepada asketisme, pelurusan dan

penyucian jiwa, serta pembinaan moral atau akhlak, hal ini merupakan suatu nilai tasawuf yang dikenal cukup moderat.

Ketiga, zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati dari pada selain Tuhan. Dunia yang dibenci para sufi adalah dunia yang melengahkan dan memperbudak manusia. Kesenangan dunia adalah tingkah laku syahwat, berbagai keinginan yang tak kunjung habis dan hawa nafsu yang tak kenal puas. Semua itu hanyalah permainan dan senda gurau yang akan melupakan Allah, dunia semacam inilah yang dibenci kaum sufi.

Keempat, tidak ada halangan bagi kaum salik (orang yang memasuki perjalanan sufi) untuk menjadi miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimilikinya. Seorang salik boleh mencari harta kekayaan, namun jangan sampai melalaikan-Nya dan jangan sampai menjadi hamba dunia. Seorang salik tidak bersedih ketika kehilangan harta benda dan tidak dimabuk kesenangan ketika mendapatkan harta.

Kelima, berusaha merespon apa yang sedang mengancam kehidupan umat, berusaha menjembatani antara kekeringan spiritual yang dialami orang yang hanya sibuk dengan urusan dunia, dengan sikap pasif yang banyak dialami para salik. Keenam, tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah. Bagi

Ibnu „Athaillah, tasawuf memiliki empat aspek penting yakni berakhlak dengan akhlak Allah

SWT, senantiasa melakukan perintah-Nya, dapat menguasai hawa nafsunya serta berupaya selalu bersama dan berkekalan dengan-Nya secara sungguh-sungguh.

Ketujuh, dalam kaitannya dengan ma‟rifat Al-Syadzili, ia berpendapat bahwa ma‟rifat

adalah salah satu tujuan dari tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan. Jalan tersebut ialah

mawahib, yaitu Tuhan memberikannya tanpa usaha dan Dia memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberi anugerah tersebut. Dan makasib, yaitu ma‟rifat akan dapat diperoleh melalui

usaha keras seseorang, melalui ar-riyadh, dzikir, wudhu, puasa, shalat sunnah dan amal saleh lainnya.

3.2. Analisis Motif dan Sikap Pada Kitab Al-Hikam “Untaian Hikmah Ibnu „Athaillah” Bagian 1 “Berserah Pada Takdir Dan Anugerah”

ا ا .

ا

.

/arih nafsaka min at-tadbīri. Żamā qāma bihi gayruka „anka lā taqum bihi linafsika/

“Istirahatkanlah dirimu dari ikut mengatur (urusanmu). Sebab apa yang telah di urus untukmu oleh selain dirimu, tidak perlu engkau turut mengurusnya”.

Maksud dari untaian kata-kata Al-Hikam diatas ialah jangan pernah meragukan kekuasaan Allah atas apa yang sesungguhnya telah diurus oleh-Nya. Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif sosiologis yaitu seorang manusia selalu memerlukan bantuan dari orang lain untuk memenuhi segala kebutuhan dan urusannya agar dapat tercapai segala hal yang diinginkan.

Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu seorang hamba yang meyakini dan menaati kehendak Sang Pencipta, tanpa sedikitpun meragukan kekuasaanNya atas apa yang sesungguhnya telah diurus oleh-Nya. Dan ia menyerahkan semua haknya kepada Allah dan tetap melaksanakan kewajiban dengan sebaik-baiknya tanpa mencemaskan segala urusan di masa

datang. Seperti yang dikatakan Rasulullah saw “Sesungguhnya Allah telah menjadikan ketentraman dan ketenangan dalam ridha dan yakin”. Sikap individual tersebut merujuk kepada

komponen perilaku (tindakan), yaitu menyerahkan hak sepenuhnya kepada Allah SWT setelah melaksanakan kewajiban dengan sebaik-baiknya.

Bagian 2 “Agar Hati Tak Teralingi”

Pada halaman 25 :

اخاا ج حا ا ئ ص ا

/al-a„mālu uwarun qāimatun waarwāuhā wujūdu sirri al-ikhlāi fīhā/

“Amal adalah kerangka yang tegak, sementara ruhnya adalah rahasia ikhlas di dalamnya”.

Maksud dari untaian hikmah diatas ialah ikhlas itu ibarat sinyal, tandanya bisa dilihat tetapi wujudnya tidak bisa diraba apalagi dipegang. Amal bisa saja tetap hidup karena adanya niat, tetapi tidak menjamin terhubungnya seseorang dengan tujuan (Allah). Ikhlaslah yang menghadirkan kejernihan, keleluasaan, dan kebebasan diri dari rasa sempit dan tertekan. Sebab, manusia hanya bergantung pada penilaian-Nya, bukan pada penilaian makhluk-Nya.

Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif sosiologis yaitu ikhlas akan

menghilangkan riya‟ dari amal. Ikhlas juga akan menghilangkan ujub (berbangga diri) dan akan mendisiplinkan nafsu. Riya‟ akan merusak kesah-an amal dan ujub akan merusak kesempurnaan amal.

Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu berusaha untuk selalu ikhlas dalam setiap amal perbuatan. Karena ikhlas merupakan keyakinan tentang tidak adanya daya dan upaya diri sendiri (selain karena pertolongan Allah) dalam beramal, dan tidak akan sempurna suatu amal tanpa ikhlas. Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen perilaku (tindakan),

yaitu ikhlas adalah mengkhususkan hati untuk beribadah kepada Allah SWT.

Bagian 3 “Berjuang Dari Aib Menuju Yang Gaib”

Pada halaman 35 :

ا حا ﻷ ا ا ا ج

/iā latuka al-a„māla „alā wujūdi al-farāgi min ru„ūnāti an-nafsi/

“Menunda beramal guna menantikan kesempatan yang lebih luang, termasuk tanda kebodohan diri”.

Salah satu nikmat yang paling berharga adalah waktu luang. Karena itu, sangatlah tidak cerdas orang yang selalu menjadikan waktu luang sebagai alasan menunda amal saleh yang mestinya segera dikerjakan. Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif sosiologis, yaitu kebanyakan manusia lebih senang dengan dunia atau terbujuk hawa nafsu. Manusia lebih mementingkan berhubungan dengan orang lain sehingga melupakan amalannya.

Kemudian menunjukkan kepada sikap individual yaitu seorang hamba yang bisa menundukkan nafsunya dan pandai memanfaatkan kesempatan dalam beramal, karena ia meyakini sesuatu yang telah luput darinya tidak akan ada gantinya dan yang telah diperoleh tidak ternilai harganya. Dia tidak menunda dan menyia-nyiakan sedikitpun rezeki kesehatan dan waktu luang yang diberikan Allah swt, serta mendahulukan semua urusan amal dibandingkan urusan duniawi. Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen perilaku (tindakan),

Bagian 4 “Berhijrah Kepada Allah” Pada halaman 57 : ج ح ا ا . ا . ج ح ا ا ا ا .

/lā tarfa„anna ilā gayrihi ājatan huwa mūriduhā „alayka. Fakayfa yarfa„u gayruhu mā kāna huwa lahu wāi„an. Man lā yastaṭī„u an yarfa„a ājatan „an nafsihi fakayfa yastaṭī„u an yakūna lahā „an gayrihi rāfi„an/

“Jangan memohon kepada selain Allah karena dialah yang memenuhi hajatmu. Bagaimana sesuatu selain-Nya bisa mengubah sesuatu yang sudah ditetapkannya?. Dan bagaimana orang yang tak mampu membebaskan dirinya dari kebutuhan dapat membebaskan

kebutuhan orang lain?”.

Sesungguhnya manusia telah mengetahui bahwa segala sesuatu selain Tuhan adalah khayalan dan dudagaan yang tidak nyata. Namun demikian, masih juga ada manusia yang percaya bahwa dukun (setan) bisa mengabulkan apa yang ingin ia peroleh dan butuhkan. Bukankah bila dukun (setan) dapat memenuhi kebutuhannya, merekalah yang mestinya lebih baik dari pada orang tersebut. Sesungguhnya orang itu telah membodohi dirinya sendiri. Berhentilah meminta kepada selain Allah, tumbuhkan kepercayaan diri lalu sapalah Allah Sang Pemenuh Kebutuhan dengan doa-doa.

Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu jadikanlah Allah SWT satu-satunya tempat kita memohon dan menyandarkan harapan. Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu hanya kepada Allah seorang hamba layak untuk memohon. Allah adalah dzat yang kekal yang tidak akan hilang, senantiasa ada, pemberian dan anugerahnya selalu ia berikan kepada semua makhluk. Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen kognitif (keyakinan), yaituhanya Allah tempat satu-satunya memohon.

Bagian 5 “Terus Melangkah Dalam Berserah”

Pada halaman 62 :

/Lā taṣḥab man lā yunhiuka āluhu wa lā yadulluka „alā allāhi maqāluhu/

“Jangan bersahabat dengan orang yang kondisinya tidak membangkitkan semangatmu dan

perkataannya tidak mengantarmu pada Allah”.

Sahabat sering dianngap sebagai cerminan diri seseorang. Bahkan dapat disimpulkan sosok seseorang dari melihat dengan siapa saja orang itu bersahabat. Oleh karena itu, Syaikh Ibnu

„Athaillah berpesan, berhati-hatilah dalam memilih sahabat. Sebab sosok sahabat mampu mengawal seseorang menuju keridhaan Allah. Namun dia juga sanggup menggiring kita menuju jurang kehancuran dan kesia-siaan, serta murkanya.

Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif sosiologis, yaitu tidak seharusnya memaksakan diri untuk bergaul dengan teman yang pembicaraannya tidak dimengerti. Tetapi pilihlah teman yang perilakunya baik dan pembicaraannya sesuai dengan keadaan diri. Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu bersahabat dengan teman yang keadaannya membenarkan ia dengan perkataannya dan perkataan yang sesuai dengan ilmunya akan mengantarkan seseorang kepada kehidupan yang tinggi iman dan akhlaknya. Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen perilaku (tindakan), yaitu selalu berhati-hati dalam memilih sahabat.

Bagian 6 “Dari Dosa Hingga Karunia Sang Penguasa”

Pada halaman 68 :

ا ا ا ﺤ ا ا ا

ا ا ج

/Min „alāmāti mawti al-qalbi „adamu al-uzni „alā mā fātaka mina almuwāfiqāti watarku

an-nadami „alā mā fa„altahu min wujūdi az-zallāti/

“Diantara tanda matinya hati kalbu adalah tidak bersedih atas ketaatan yang terlewat dan

tidak menyesal atas dosa yang diperbuat”.

Allah Ta‟ala pernah bersumpah „demi masa‟ (al-„Ashr 1-3), dimana sebagian besar manusia berada dalam keadaan merugi. Diantara orang yang merugi itu ialah orang yang hatinya telah mati dan tidak memiliki perasaan sedih atau menyesala atas kelalaiannya di masa lalu yang

Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu salah satu penyebab seseorang memiliki hati yang mati yaitu karena lalainya ia dari zikir kepada Allah dan membiarkan anggota badan bermaksiat kepada Allah SWT.

Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu jika seseorang memiliki tanda-tanda hati yang mati maka wajiblah baginya untuk bersegera bertaubat dan memohon ampun kepada Allah SWT. Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen afektif (emosi/perasaan), yaitu seseorang harus mulai mencemaskan diri bila ibadah yang ditinggalkan tidak membuatnya bersedih.

Bagian 7 “Bersyukur Atas Nikmat Yang Terulur”

Pada halaman 84 :

ا ا

, ش .

/man lam basykuri an-ni„ama faqad ta„arraa liza wālihā, wa man syakara hā faqad qayyadahā bi„iqālihā/

“Siapa yang tidak mensyukuri nikmat berarti sengaja membiarkan hilangnya nikmat tersebut, sementara siapa yang mensyukurinya berarti mengikatnya dengan erat”.

Bersyukur atas pemberian Allah pada hakikatnya merupakan wujud apresiasi seorang hamba atas apa yang telah diterimanya. Dan Allah Ta‟ala memastikan bahwa hal itu akan

kembali kepada sang hamba berupa penambahan atas nikmat yang Dia berikan.

Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu dengan banyak bersyukur atas karunia Allah maka akan tampak pada gambaran perilaku seseorang yaitu bertambahnya amal dan mengakui semua nikmat yang diberikan padanya berasal dari Allah. Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu seorang mukmin wajib bersyukur kepada Allah SWT, karena sesungguhnya syukur mengikat yang ada dan member yang hilang. Dengan bersyukur maka Allah akan semakin memberikan limpahan kebaikan berupa kesehatan, ketenangan dan kelapangan rezki.

Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen perilaku (tindakan), yaitu mengolah nikmat sebagai wujud ketaatan kepada Allah, sebab jika kewajiban tidak dilaksanakan, maka kemungkinan nikmat itu akan diambil kembali.

Bagian 8 “Sadar Diri Dalam Genggaman Kehendak Ilahi” Pada halaman 92: ا ءا اﺤ خاا ا ا ج ا ا ا ا ا , ء ا ا ا ا ا جا

/innamā ja„ala ad-dāra al-ākhirata maallān lijazāin „ibādihi al-mu`minīna lianna hā ihi ad-dāra lā tasa„u mā yurīdu an yu„tiyahum, wa liannahu ajalla aqdārahum „an an

yujāzīhim fī dārin lā baqā alahā/

“Dia menjadikan negeri akhirat sebagai tempat memberi balasan kepada para hamba-Nya yang beriman karena negeri (dunia) ini tidak bisa menampung apa yang hendak Dia berikan kepada mereka. Juga, karena Dia hendak memuliakan mereka dengan tidak mau

memberikan balasan di negeri yang tidak kekal”.

Sesungguhnya Allah Ta‟ala sangat apresiatif kepada hamba-hamba-Nya. Dia telah menyediakan balasan atas usaha para hamba untuk berbakti kepada-Nya dengan sesuatu yang belum pernah dilihat dengan mata, tidak pernah didengar oleh telinga, dan belum pernah terbayang dalam benak setiap hamba.

Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu Allah menjadikan akhirat sebagai negeri kekal, tempat rahmat dan kegembiraan yang abadi serta sebagai tempat untuk membalas hamba-hambanya yang beriman juga sebagai tempat yang disenangi para nabi. Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu janganlah berharap pada sesuatu yang bersifat sementara, karena di dalamnya selalu ada duka lara. Meskipun Allah menyediakan segala bentuk perolehan dan anugerah bagi umat-Nya di dunia ini, tetapi semua itu terikat oleh sifat dunia yang sementara. Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen kognitif (keyakinan), yaitu Allah memiliki kehendak untuk memberikan yang terbaik kepada setiap hamba-Nya yang tekun berbuat baik.

Bagian 9 “Berusaha Untuk Menghamba”

Pada halaman 99 :

ء ج ا

ا

“Harapan itu disertai amal. Jika tidak, itu hanyalah angan-angan”.

Harapan dan angan-angan adalah dua perkara yang serupa tetapi datang melalui saluran yang berlainan, lalu meninggalkan kesan yang berbeda. Harapan memberi daya hidup bagi seorang hamba dengan keinginan positif untuk beramal ibadah. Sedang angan-angan adalah sifat negatif, dimana pelakunya memiliki keinginan besar tetapi tidak mau melakukan apapun. Maka itu hanyalah tidak lebih dari mimpi atau lamunan saja.

Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu bila seseorang ingin meraih nikmat di akhirat, maka tingkatkanlah amal dan ketaatan serta memperbanyak ibadah wajib maupun sunnat dan kebaikan-kebaikan lainnya.

Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu jadilah hamba yang menggunakan akalnya untuk mengintrospeksi diri dan bersiap untuk menghadapi hari esok. Dan jangan memperturutkan hawa nafsu dan menggantungkan diri pada angan-angan yang kosong. Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen kognitif (keyakinan), yaitu harapan harus disertai dengan pelaksanaan sebab-sebab untuk mencapai keinginan.

Bagian 10 “Tak Terimpit Tatkala Sempit”

Pada halaman 101 :

ا ا ا ا

ج خ

ئ ا

/basaaka kā lā yubqīka ma„a al-qabi wa qabaaka kā lā yatrukaka ma„a al-basi wa akhrajaka „anhumā kā lā takūna lisyay`in dūnahu/

“Dia memberimu kelapangan agar engkau tidak terus berada dalam kesempitan. Sebaliknya, dia memberimu kesempitan agar tidak terus berada dalam kelapangan. Lalu dia mengeluarkanmu dari keduanya agar tidak bergantung kepada selain-Nya”.

Allah Ta‟ala mengubah-ubah keadaan manusia, dari lapang menjadi sempit, dari sehat menjadi sakit, dari berpeluang menjadi terkekang dan dari berkecukupan menjadi berkekurangan. Kesemuanya itu dilakukan dengan tujuan agar manusia memahami bahwa ia tidak akan terbebas dari hukum ketentuan-Nya dan tidak aka nada daya dan kekuatan kecuali

Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu dikala seseorang sedang dicoba oleh kelapangan dan kesempitan, maka wajib baginya untuk tetap taat dan patuh pada Allah Sang Dzat yang Maha Esa dan Maha Perkasa. Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu pada saat kesempatan datang menguji maka sikap tenang, tegar, dan tentramlah yang harus ditunjukkan. Dan pada saat kelapangan datang menguji maka kewajiban seseorang itu adalah menjaga anggota badan terutama lisan dari kedurhakaan terutama lisan. Sikap

Dokumen terkait