Analisis Motif Dan Sikap
Pada Kitab Al-
Hikam “Untaian Hikmah Ibnu „Athaillah”
(Pendekatan Psikologi Sastra)
SKRIPSI SARJANA
OLEH :
Nurul Pradini Muqti
070704018
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN SASTRA ARAB
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabbi al-„ālamīn penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas segala karunia dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat dan
salam juga penulis sampaikan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, seorang panutan
dan suri tauladan, yang telah membawa umat manusia dari zaman kebodohan menuju zaman
yang berilmu pengetahuan.
Salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra (S.S) pada Departemen
Sastra Arab Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara adalah membuat suatu karya
ilmiah yang berupa skripsi. Oleh karena itu untuk memenuhi syarat tersebut penulis menyusun
sebuah skripsi yang berjudul : Analisis Motif Dan Sikap Pada Kitab Al-Hikam ”Untaian
Hikmah Ibnu ‟athaillah”.
Penulis menyadari bahwa dalam penelitian ini masih banyak terdapat kesalahan,
kekeliruan, dan kekurangan yang disebabkan kurangnya pengalaman penulis akan memahami
dan menyampaikan sesuatu. Oleh karena itu penulis dengan sepenuh hati memohon saran dan
kritik yang membangun dari semua pihak atas tulisan ini. .
Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca
maupun masyarakat pada umumnya yang ingin mendalami ilmu bahasa Arab.
Medan, 10 Maret 2012 Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya
kepada peneliti, sehingga penelitian skripsi ini dapat diselesaikan dengan sepenuhnya. Shalawat
beriring salam peneliti hadiahkan keharibaan junjungan nabi besar kita Muhammad SAW yang
telah membawa petunjuk bagi umat manusia menuju jalan yang dirhidoi Allah SWT. Dalam
kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada ayah tersayang
Muhammad Mustaqim dan kepada ibu tersayang Evi Suharti, ananda ucapkan terima kasih yang tak terhingga yang ananda hanturkan dari lubuk hati yang paling dalam, yang dengan
begitu gigihnya mendidik, membimbing, dan menuntun peneliti sejak dari kecil hingga saat
sekarang ini dengan penuh kesabaran dan kelembutan kasih sayangnya serta do‟a yang tulus mengalir kepada peneliti dalam menjalankan studi di Departemen Sastra Arab Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Sumatera Utara. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat, ridho
dan maghfirahNya kepada mereka.
Dalam kesempatan ini pula peneliti ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada :
1. Bapak Dr.Syahron Lubis, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera
Utara beserta Bapak Dr.M.Husnan Lubis, M.A selaku Pembantu Dekan I Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Sumatera Utara, Bapak Drs.Samsul Tarigan selaku Pembantu Dekan
II Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, Bapak Drs. Yuddi Adrian Muliadi.
M.A. selaku Pembantu Dekan III Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Dra.Pujiati,M.Sos.Sc,Ph.D selaku Ketua Departemen Sastra Arab Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Sumatera Utara beserta Ibu Dra. Fauziah M.Hum selaku Sekretaris
Departemen Sastra Arab Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
3. Seluruh staf pengajar Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, khususnya staf
pengajar di Program Studi Sastra Arab, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera
Utara yang telah menambah wawasan penulis selama masa perkuliahan serta Kakanda
Andika sebagai staf tata usaha di Program Studi Sastra Arab, yang telah banyak
membantu peneliti dalam bidang administrasi dan penelitian skripsi.
4. Bapak Drs.Aminullah, M.A., Ph.D selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Drs. Suwarto,
kesempatannya untuk membimbing peneliti serta memberikan inspirasi serta masukan
yang sangat bermanfaat bagi peneliti sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan
sepenuhnya.
5. Ibu Dra.Rahima, M.Ag selaku Dosen Penguji yang telah memberikan kritik dan saran
kepada skripsi saya ini.
6. Adik-adik saya yang tersayang Faris dan Ulfa, serta kakak sepupu saya tercinta kak Fika,
kak Tia dan kak Putri terima kasih atas semua kasih sayang yang kalian berikan, karena
do‟a kalianlah penulis dapat menyelesaikan perkuliahan ini.
7. Terima kasih buat kakek dan nenek yang paling saya sayang, yang telah memberikan
semangat serta do‟a yang tulus kepada penulis.
8. Teman- teman angkatan ‟07 Izul, Fateh, Darso, Kawsar, Azfar, Jalal, ban Anwar, Nadya, Kia, Devi, Ayu, Fitri, Fika, Ita, Zia, Imey.
9. Terkhusus untuk Indah, Puput, Unna, Ayi kalian adalah teman- teman terbaik yang
pernah penulis miliki, yang selalu ada disaat duka maupun suka kepada penulis, semoga
kalian sukses selalu dan selalu dalam lindungan Allah SWT.
10.Teristimewa untuk teman saya Desi yang telah sangat banyak membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini. Semoga segala kebaikan dapat engkau raih kawan.
11. Kak Eki selaku kakak pembimbing saya, yang telah sabar mengajari saya dengan tulus
dan lemah lembut. Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan kakak.
12.Saudara-saudari di Ikatan Mahasiswa Bahasa Arab (IMBA) Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara dan para pengurus IMBA FIB USU periode 2011-2012,
kakak-kakak angkatan 2006: kak ika, kak ellita, kak vira, adik-adik angkatan 2009: Oza,
Agi, Nurul, Indah, Halimah, Walimah, Dina, An-Nur, Riyan, dll. Juga untuk Riri, Nisa
dan Yati di angkatan 2008. Serta seluruh Alumni IMBA terima kasih atas motivasinya
selama ini.
13.Teman- teman baik saya Nova, Karin, Rayi, Ningsi, Yunita, Lili, Lia, Nina, Melia, Wina,
Era, Said, Anda, Deri, Bang Nanda, Bang Ari. Terimakasih buat kalian yang telah
14.Dan seluruh pihak yang telah memberikan dukungan dan bantuan kepada penulis yang
tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga kebaikan yang kalian berikan kepada penulis
dibalas oleh Allah SWT. Amiin ya rabbal ‟alamiiin.
Medan, 10 Maret 2012
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
UCAPAN TERIMA KASIH ... ii
DAFTAR ISI ... iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ... vii
DAFTAR SINGKATAN ... xi
ABSTRAKSI ... xiii
BAB I PENDAHULUAN………1
1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 5
1.3. Tujuan Penelitian ... 6
1.4. Manfaat Penelitian ... 6
1.5. Metode Penelitian ... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………..8
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN………..16
3.1. Biografi Ibnu ‟Athaillah ... 16
3.2. Analisis Motif dan Sikap ... 18
BAB IV PENUTUP………..40
4.1. Kesimpulan ... 42
4.2. Saran ... 42
DAFTAR PUSTAKA
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB
–
LATIN
Pedoman transliterasi yang digunakan adalah Sistem Transliterasi Arab-Latin
Berdasarkan SKB Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 158/1987
dan No. 0543 b/U/1987 tertanggal 22 Januari 1988.
A. Konsonan Tunggal
Huruf Arab Nama Huruf Latin Keterangan
ا
Alif - Tidak dilambangkanBa B Be
Ta T Te
Sa ṡ es (dengan titik di atas)
Jim J Je
Ha ḥ Ha (dengan titik di bawah)
خ
Kha Kh Ka dan haDal D De
Zal Zet (dengan titik di atas)
Ra R Er
Zai Z Zet
Sin S Es
Syin Sy Es dan ye
Dad ḍ de (dengan titik dibawah)
Ta ṭ te (dengan titik di bawah)
Za ẓ zet (dengan titik di bawah)
„ain „ Koma terbalik (di atas)
Gain G Ge
Fa F Ef
Qaf Q Ki
Kaf K Ka
Lam L El
Mim M Em
Nun N En
Waw W We
Ha H Ha
ء
Hamzah ` Apostrofي
Ya Y YeB. Konsonan Rangkap
Konsonan rangkap, termasuk tanda syaddah, ditulis rangkap.
C. Tā`marbutah di akhir kata
1. Bila dimatikan ditulis h, kecuali untuk kata-kata Arab yang sudah terserap menjadi bahasa
Indonesia, seperti salat, zakat, dan sebagainya.
Contoh :
ا
ditulis Islamiyyah.2. Bila dihidupkan ditulis t
Contoh :
ا
ditulis Makkatul Mukarrmah.D. Vokal Pendek
fathah ditulis a, contoh : ditulis kataba
kasrah ditulis i, contoh :
ح
ditulis hasibadammah ditulis u, contoh :
ح
ditulis hasunaE. Vokal Panjang
a panjang ditulis ā, contoh :
ء ج
ditulis ja ā i pajang ditulis ī, contoh : ditulis „al īmunu panjang ditulis ū, contoh : ditulis „uy ūbun
F. Vokal Rangkap
Vokal rangkap (Fathah dan ya) ditulis ai
Contoh :
ditulis lailatun
Vokal rangkap (Fathah dan waw) ditulis au
G. Vokal-vokal pendek yang berurutan dalam satu kata
Dipisah dengan apostrof (`)
أأ
ditulis a`antumH. Kata Sandang Alif + Lām
1. Bila diikuti huruf qamariyah ditulis al-
ا
ditulis Al-kit ābu2. Bila diikuti huruf syamsiah, huruf pertama diganti dengan huruf syamsiah yang mengikutinya.
ا
ditulis as-syahādahI. Huruf Besar
Penulisan huruf besar disesuaikan dengan EYD.
J. Kata dalam Rangkaian Frasa atau Kalimat
1. Ditulis kata per kata, atau
2. Ditulis menurut bunyi atau pengucapannya dalam rangkaian tersebut.
DAFTAR SINGKATAN
BA : Bahasa Arab
IMBA : Ikatan Mahasiswa Bahasa Arab
Alm : Almarhum
Almh : Almarhumah
SAW : Sallallahu „alaihi wasallam
SWT : Subhanahu wa ta‟ala
FIB : Fakultas Ilmu Budaya
ABSTRAKSI
Nurul Pradini Muqti, 2012. Analisis Motif dan Sikap Pada Kitab Al-Hikam “Untaian Hikmah
Ibnu „Athaillah”. Departemen Sastra Arab fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, Medan.
Motif diartikan sebagai alasan-alasan yang ada pada manusia yang menyebabkan ia
melakukan sesuatu. Sedangkan sikap ialah keyakinan dan perasaan tentang sesuatu hal dan
kecenderungan untuk bertindak terhadap hal tersebut.
Analisis motif dan sikap pada kitab al-hikam “Untaian Hikmah Ibnu „Athaillah” ini merupakan bagian dari kajian analisis psikologi sastra. Psikologi sastra mengandung dua ilmu
yaitu ilmu sastra dan ilmu psikologi yang menjadi kesatuan.
Permasalahan yang diteliti dalam pembahasan ini adalah motif dan sikap yang terdapat
pada kitab al-hikam karya Ibnu „Athaillah.
Teori yang digunakan dalam pembahasan ini adalah teori psikologi sastra menurut
Endraswara tahun 2008.
Dia mengemukakan bahwa psikologi sastra merupakan kajian sastra yang memandang
karya sebagai aktifitas kejiwaan.
Penelitian ini menggunakan studi kepustakaan (Library research) dengan metode deskriftif.
Adapun hasil penelitian ini diketahui bahwa motif yang terdapat pada kitab al-hikam
”Untaian hikmah Ibnu „Athaillah” terdiri dari dua macam, yaitu motif sosiologis dan motif teologis. Dan adapun sikap yang termasuk didalamnya adalah sikap individual, dan
dikelompokkan kedalam tiga komponen yaitu komponen keyakinan, komponen perasaan/emosi,
ABSTRAKSI
Nurul Pradini Muqti, 2012. Analisis Motif dan Sikap Pada Kitab Al-Hikam “Untaian Hikmah
Ibnu „Athaillah”. Departemen Sastra Arab fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, Medan.
Motif diartikan sebagai alasan-alasan yang ada pada manusia yang menyebabkan ia
melakukan sesuatu. Sedangkan sikap ialah keyakinan dan perasaan tentang sesuatu hal dan
kecenderungan untuk bertindak terhadap hal tersebut.
Analisis motif dan sikap pada kitab al-hikam “Untaian Hikmah Ibnu „Athaillah” ini merupakan bagian dari kajian analisis psikologi sastra. Psikologi sastra mengandung dua ilmu
yaitu ilmu sastra dan ilmu psikologi yang menjadi kesatuan.
Permasalahan yang diteliti dalam pembahasan ini adalah motif dan sikap yang terdapat
pada kitab al-hikam karya Ibnu „Athaillah.
Teori yang digunakan dalam pembahasan ini adalah teori psikologi sastra menurut
Endraswara tahun 2008.
Dia mengemukakan bahwa psikologi sastra merupakan kajian sastra yang memandang
karya sebagai aktifitas kejiwaan.
Penelitian ini menggunakan studi kepustakaan (Library research) dengan metode deskriftif.
Adapun hasil penelitian ini diketahui bahwa motif yang terdapat pada kitab al-hikam
”Untaian hikmah Ibnu „Athaillah” terdiri dari dua macam, yaitu motif sosiologis dan motif teologis. Dan adapun sikap yang termasuk didalamnya adalah sikap individual, dan
dikelompokkan kedalam tiga komponen yaitu komponen keyakinan, komponen perasaan/emosi,
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Sastra merupakan cabang dari seni, yaitu hasil cipta dan ekspresi manusia yang estetis
(indah). Seni sastra sama kedudukannya dengan seni-seni lainnya, seperti seni musik, seni lukis,
seni tari dan seni patung, yang diciptakan untuk menyampaikan keindahan kepada penikmatnya.
Namun demikian, sekalipun tujuannya sama, dari aspek media penyampai estetikanya antara satu
cabang seni dengan cabang seni yang lain itu berbeda (Sofyan, 2004:8).
Werren dan Wellek (1956) mendefenisikan sastra sebagai karya imaginatif yang
bermediakan bahasa dan mempunyai nilai estetika dominan. Defenisi sastra juga banyak yang
mengarah pada pengertian sastra ditinjau secara etimologi, asal muasal kata. Menurut Teeuw
(1988:22-24), kata “sastra” itu sepengertian dengan kata literature (bahasa Inggris) yang berasal dari bahasa latin litteratura. Sementara itu sebagai bahan bandingan, kata sastra dalam bahasa
Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta: akar katanya adalah “sas-“, dalam kata kerja turunan
yang berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk, atau instruksi. Akhiran “-tra”, biasanya
menunjukkan pada alat atau sarana. Oleh karena itu sastra dapat berarti alat untuk mengajar,
buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran. Awalan “su-“ dalam bahasa Sansekerta berarti
baik dan indah sehingga susastra berarti alat untuk mengajarkan yang indah (Kurniawan,
2009:19-20).
Dalam bahasa Arab sastra memiliki makna adab ( اا/al-adabu/). Yang jika diartikan
kedalam bahasa Indonesia kata adab berarti “kesopanan, kehalusan dan budi pekerti; akhlak”
(Ali, 1994:5). Adab memiliki arti yang bermacam-macam, sesuai dengan zamannya. Seperti
yang dikemukakan oleh Wahba (1984: 34-36) bahwa pada zaman Permulaan Islam, adab berarti
at-tahdziibu (pendidikan, pengajaran) dan al-khulqu (budi pekerti). Pada zaman Bani Umayyah,
kata adab mempunyai arti at-ta‟limu (pengajaran). Sementara pada zaman Abbasiyyah, adab
berarti at-tahdziibu wa at-ta‟liimu ma„an (pendidikan sekaligus pengajaran). Pada abad ke-4 H,
adab di artikan sebagai ilmu, yang bukan ilmu agama, tapi dapat meningkatkan akal pikiran
Menurut Mahmud (1999:10) :
Sastra merupakan ungkapan yang penyampaiannyan bertujuan untuk mempengaruhi perasaan dan emosi para pembaca atau pendengarnya, baik itu yang berupa syair ataupun prosa.
Ilmu sastra memiliki tiga macam cabang, yaitu teori sastra, sejarah sastra, dan kritik
sastra. Ketiganya mempunyai objek penyelidikan yang berbeda-beda. Teori sastra menyelidiki
dasar-dasar pengertian tentang hal-hal yang berkaitan dengan sastra, Sejarah sastra adalah
cabang ilmu sastra yang berusaha menyelidiki perkembangan sastra sejak pertumbuhan sampai
perkembangannya saat ini. Dan kritik sastra adalah suatu cabang ilmu sastra yang mengadakan
penyelidikan langsung terhadap suatu cipta sastra tertentu (Nursito, 2000:161).
Namun yang tidak kalah pentingnya ialah apresiasi karya sastra. Dalam bahasa Indonesia
apresiasi berasal dari kata appreciation yang berarti penghargaan. S Effendi mengungkapkan
bahwa apresiasi terhadap karya sastra adalah upaya atau proses menikmati, memahami, dan
menghargai suatu karya sastra secara kritis, sehingga tumbuh pengertian, penghargaan, dan
kepekaan pikiran kritis dan kepekaan pikiran yang baik terhadap sastra (Suroto, 1989:157-158).
Apresiasi sastra sebenarnya bukan merupakan konsep abstrak yang tidak pernah terwujud
dalam tingkah laku, melainkan merupakan pengertian yang didalamnya tersirat akan adanya
suatu kegiatan yang harus terwujud secara kongkret. Perilaku dalam kegiatan itu dapat dibedakan
antara perilaku kegiatan secara langsung dan tidak langsung.
Karya sastra Indonesia dibedakan atas tiga macam bentuk, yakni karya sastra bentuk
prosa, karya sastra bentuk puisi dan karya sastra bentuk drama. Prosa adalah karangan yang
bersifat menjelaskan secara terurai mengenai suatu masalah atau hal atau peristiwa dan lain-lain.
Secara umum H.B Jassin mengatakan bahwa prosa ialah pengucapan dengan pikiran yang
berbeda dengan puisi yang merupakan pengucapan dengan perasaan. Puisi adalah karya sastra
yang singkat yang berisi ungkapan isi hati, pikiran, dan perasaan pengarang yang dituangkan
yang berupa konflik dalam kehidupan manusia yang merupakan suatu cerita yang dipertunjukkan
di atas pentas (Suroto, 1989: 3-4).
Sedangkan karya sastra Arab pada dasarnya terbagi dua yaitu, syi’ir dan natsr (Sofyan,
2004:24). Menurut Muhammad Ibnu Su‟udi (1994:16):
ا ا ا ا ا ا membuat syair) dan al-qaafiyah (kata terakhir dari bait syair). Dan yang termasuk didalamnya adalah khutbah, surat, wasiyat, hikmah, perumpamaan dan kisah. membuat syair) dan al-qaafiyah (kata terakhir dari bait syair).
Prof.DR.Nabila Lubis dalam bukunya Al-Mu‟in fi Al-Adab Al-Arabiyah wa Tarikhihi
pendek yang menggambarkan adat istiadat suatu bangsa, kata-katanya ringkas, maknanya jelas
Menurut Muhammad Ibnu Su‟udi (1994: ):
„amīqatin fīhā fikran sadīdun wa ra‟yun nāfi„un/
Al-hikam ialah kata-kata pendek yang menunjukkan sesuatu makna yang dalam dan kuat serta pendapat yang bermanfaat.
Ada dua unsur pokok yang membentuk sebuah karya sastra, yaitu unsur intrinsik atau
unsur dalam, dan unsur ekstrinsik atau unsur luar. Unsur intrinsik ialah unsur-unsur yang
membangun karya sastra itu sendiri. Di pihak lain, unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang
berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem
organisme karya sastra. Atau secara lebih khusus ia dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang
mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra, namun ia sendiri tidak menjadi bagian
didalamnya. Unsur-unsur yang dimaksud (Wellek & Warren, 1956: 75-135) antara lain adalah
keadaan subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan dan pandangan hidup
yang kesemuanya itu akan mempengaruhi karya yang ditulisnya. Unsur ekstrinsik berikutnya
adalah psikologi, baik yang berupa psikologi pengarang (yang mencakup proses kreatifnya),
psikologi pembaca, maupun penerapan psikologi dalam karya. Keadaan di lingkungan pengarang
seperti ekonomi, politik dan sosial juga akan berpengaruh terhadap karya sastra (Nurgiantoro,
1994: 23-24).
Penulis tertarik untuk meneliti Al-Hikam “Untaian Hikmah Ibnu „Athaillah” karena kitab
al-hikam secara keseluruhan merupakan sekumpulan tulisan yang membahas berbagai hal yang
terdapat dalam kitab-kitab sufi, baik yang terinci maupun yang ringkas, disertai penjelasan dan
peringkasan kata-katanya. Kitab ini memadukan kematangan pengalaman religius dan keindahan
sastrawi sekaligus, dan tampil sebagai panduan efektif bagi para penempuh jalan spiritual.
Kendati demikian, buku ini juga akan membawakan banyak manfaat bagi mereka yang tidak
menekuni dunia tarekat. Selama pembaca serius dalam upaya menjadikan hidup sebagai
perjalanan menuju Sang Tujuan, maka dibuku ini tersimpan banyak petunjuk, kaidah dan
keterangan mengenai situasi dan pengalaman dalam perjalanan semacam itu. Sejatinya, al-hikam
dipandang sebagai kitab kelas berat bukanlah karena struktur kalimatnya yang tidak mudah
dimengerti, melainkan karena kedalaman makrifat yang dituturkan lewat kalimat-kalimatnya
Al-Hikam “Untaian Hikmah Ibnu „Athaillah” merupakan salah satu hasil karya tulis
Syaikh Ibnu „Athaillah As-Sakandari, beliau merupakan seorang pemerhati masalah jiwa manusia yang begitu fenomenal. Selain itu, beliau juga memberi pengajaran tentang tarekat para
ahli tasawuf sehingga banyak orang yang menimba manfaat darinya dan menjalankan tarekatnya.
Ibnu „Athaillah merekomendasikan kepasrahan penuh kepada Allah. Kepasrahan penuh
dalam pandangan Ibnu „Athaillah menjadi resep kunci agar perjalanan manusia mencapai Sang
Khalik menuai kesuksesan. Keberserahan diri sepenuhnya kepada-Nya menjadi jalan utama bagi
dirasakannya karunia-Nya yang sangat berlimpah dan keadilan-Nya yang tidak terbantah.
Sehubungan dengan adanya pendekatan psikologi sastra dalam memahami karya sastra,
baik melalui pendekatan pengarang sastra, proses kreatif, maupun para pembaca karya sastra itu
sendiri, maka penulis tertarik untuk mengetahui motif dan sikap yang terkandung pada Al-Hikam
“Untaian Hikmah Ibnu „Athaillah”. Penulis menjadikan untaian-untaian hikmah Ibnu „Athaillah sebagai pusat kajian karya tulisnya.
Penelitian tentang Motif dan Sikap pada kitab Al-Hikam “Untaian Hikmah Ibnu
„Athaillah” melalui pendekatan psikologi sastra yang saat ini penulis sedang lakukan, merupakan penelitian pertama yang dilakukan oleh mahasiswa untuk meraih gelar kesarjanaan di Program
Studi Sastra Arab Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
Adapun teori yang dijadikan landasan dalam penulisan ini merujuk pada teori yang
dipaparkan oleh Endraswara yang didukung oleh teori Sigmund Freud.
1.2. Perumusan Masalah
Agar penelitian ini tetap pada pokok masalah yang menjadi objeknya maka peneliti sangat
memerlukan adanya batasan masalah yang menjadikan penelitian ini jelas arahnya dan masalah
tersebut meliputi :
1. Bagaimanakah motif yang terkandung pada Kitab Al-Hikam “Untaian Hikmah Ibnu
„Athaillah”?
2. Bagaimanakah sikap yang terkandung pada Kitab Al-Hikam “Untaian Hikmah Ibnu
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak disampaikan peneliti dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk menjelaskan motif yang terkandung pada Kitab Al-Hikam “Untaian Hikmah
Ibnu „Athaillah”.
2. Untuk menjelaskan sikap yang terkandung pada Kitab Al-Hikam “Untaian Hikmah Ibnu
„Athaillah”.
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Menambah wawasan tentang penelitian karya ilmiah khususnya motif dan sikap yang
terdapat pada Kitab Al-Hikam “Untaian Hikmah Ibnu „Athaillah”.
2. Sebagai tambahan informasi bagi penelitian selanjutnya dan menjadi referensi perpustakaan
bagi Fakultas Ilmu Budaya khususnya jurusan Bahasa Arab.
1.5. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library
Research). Menurut Muchtar (2007:7), library research merupakan penelitian yang
mengandalkan data-data yang bersifat teoritis dan dokumentasi yang ada di perpustakaan.
Penelitian ini juga menggunakan metode deskriptif dengan tahapan sebagai berikut :
A.Persiapan
1. Memilih deskripsi bahan-bahan pustaka yang diperlukan dari sumber-sumber yang
tersedia
2. Mencari secara lebih khusus artikel-artikel dan buku-buku yang sangat membantu untuk
mendapatkan bahan-bahan pustaka yang relevan dengan masalah yang diteliti
3. Setelah informasi yang relevan ditemukan, peneliti mereview bahan pustaka tersebut dan
menyusunnya dengan urutan kepentingan dan relevansinya dengan masalah yang sedang
B.Proses Penelitian
1. Secara metodologis peneliti bergerak meneliti karya sastra untuk menemukan unsur
ekstrinsik yaitu Motif dan Sikap yang tergambar pada karya sastra yang akan diteliti
2. Membaca dan memahami karya sastra yang akan diteliti yaitu Al-Hikam “Untaian
Hikmah Ibnu „Athaillah” karya Syaikh Ibn Atha‟illah As-Sakandari agar mampu mencermati aspek-aspek psikologis yaitu Motif dan Sikap yang terdapat di dalamnya.
3. Mengklasifikasi aspek-aspek psikologi yang termasuk ke dalam Motif dan Sikap
sebagaimana teori yang dipaparkan oleh Endraswara yang didukung oleh teori Sigmund
Freud.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1.Biografi Ibnu „Athaillah
Ibnu „Athaillah dikenal dengan nama Syaikh Imam Taj ad-Din. Lengkapnya, Abu al-Fadhl Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Abdurrahman bin Abdillah bin Ahmad bin Isa
bin al-Husain bin „Athaillah. Ia berasal dari bangsa Arab, dilahirkan di kota Iskandariah (Mesir) pada 648H/1250M, tumbuh besar di Alexandria semasa era Mamluk dan meninggal di Kairo
pada 1309M. Julukan Al-Iskandari atau As-Sakandari merujuk kepada kota kelahirannya.
Ibnu „Athaillah memiliki guru-guru terbaik pada semua disiplin ilmu keislaman, dan terkenal sebagai fakih besar dalam mazhab Maliki. Pada saat ia hidup, tumbuh pesat beberapa
tarekat. Ayahnya sendiri adalah seorang murid tarekat Syadziliyyah, walaupun ia tidak pernah
bertemu dengannya. Mulanya Ibnu „Athaillah tidak berkecimpung dalam dunia tasawuf dan lebih
suka menggeluti fikih. Kendati amat tidak tertarik dengan dunia sufi, ia menjadi murid dari Abu
al-Abbas al-Mursi. Ia pun telah menjadi syekh sufi ketika al-Mursi wafat, dan menempati urutan
ke-21 dalam silsilah tarekat Syadziliyyah, yang mulanya tumbuh dari Maroko dan menyebar di
sepanjang Afrika Utara.
Ibnu „Athaillah merupakan bintang pada zamannya dan orang yang terpandang pada
zamannya. Beliau telah menguasai berbagai ilmu, diantaranya ilmu tafsir, hadis, fiqih, nahwu,
ushul, aqidah dan lain-lain. Beliau banyak bercerita dan memberi pengajaran tentang tarekat para
ahli tasawuf. Banyak orang yang menimba manfaat darinya dan menjalankan tarekatnya.
Beliau memiliki beberapa hasil karya tulis yaitu :
1. At-Tanwir fi Isqath at-Tadbir
2. Latha‟if al-Minan 3. Taj Al-Arusy
4. Miftah Al-Falah fi Adz-Dzikr wa Kaifiyyati As-Suluk
5. Al-Qaul Al-Mujarrad fi Al-Ism Al-Mufrad
6. Al-Munajat
7. Al-Wasiyyah
Ibnu „Athaillah dikenal sebagai sosok yang bersih dan dikagumi. Ia menjadi panutan bagi banyak orang yang yang meneliti jalan menuju Tuhan. Menjadi teladan bagi orang-orang yang
ikhlas dan imam bagi para juru nasihat. Ia dikenal sebagai master atau syekh ketiga dalam
lingkungan tarikat Syadzili setelah pendirinya Abu Al-Hasan Asy-Syadzili dan penerusnya, Abu
Al-Abbas Al-Mursi. Dan Ibnu „Athaillah inilah yang pertama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga khazanah tarikat Syadziliyah tetap terpelihara.
Meski ia tokoh kunci disebuah tarikat, bukan berarti aktifitas dan pengaruh
intelektualitasnya hanya terbatas di tarikat saja. Buku-buku Ibnu „Athaillah dibaca luas oleh kaum muslimin dari beberapa kelompok, bersifat lintas mazhab dan tarikat, terutama kitab
Al-Hikam. Kitab Al-Hikam ini merupakan karya utama Ibnu „Athaillah yang sangat popular di dunia Islam selama berabad-abad sampai saat ini. Kitab ini juga menjadi bacaaan utama di
hampir seluruh pesantren di Nusantara.
Ibnu „Athaillah menghadirkan kitab Al-Hikam dengan sandaran utama pada Al-Qur‟an dan As-Sunnah. Guru besar spiritualisme ini menyalakan pelita untuk menjadi penerang bagi setiap
salik, menunjukkan segala arah yang ada di setiap kelokan jalan agar kita semua selamat
menempuhnya. Kitab Al-Hikam merupakan ciri khas pemikiran Ibnu „Athaillah, khususnya dalam paradigma tasawuf. Diantara para tokoh sufi yang lain seperti Al-Hallaj, Ibnul Arabi, Abu Husen
An-Nuri, dan para tokoh sufisme falsafi yang lainnya, kedudukan pemikiran kedudukan Ibnu
„Athaillah bukan sekedar bercorak tasawuf falsafi yang mengedepankan teologi. Tetapi diimbangi dengan unsur-unsur pengamalan ibadah dan suluk, artinya diantara syari‟at tarikat dan hakikat di
tempuh dengan cara metodis. Corak pemikiran Ibnu „Athaillah dalam bidang tasawuf sangat
berbeda dengan para tokoh sufi lainnya. Ia lebih menekankan tasawuf pada makrifat.
Adapun pemikiran-pemikiran tarikat tersebut ialah pertama, tidak dianjurkan kepada para
muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka. Dalam hal pandangannya mengenai
pakaian, makanan, dan kendaraan yang layak dalam kehidupan yang sederhana akan
menimbulkan rasa syukur kepada Allah dan mengenal rahmat illahi. Meninggalkan dunia yang
berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur. Dan berlebih-lebihan dalam memanfaatkan
dunia akan membawa kepada kezaliman. Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah SWT
dengan sebaik-baiknya sesuai petunjuk Allah dan Rasulnya.
Kedua, tidak mengabaikan penerapan syari‟at Islam. Ia adalah salah satu sufi yang
berlandaskan kepada Al-Qur‟an dan Sunnah. Mengarah kepada asketisme, pelurusan dan penyucian jiwa, serta pembinaan moral atau akhlak, hal ini merupakan suatu nilai tasawuf yang
dikenal cukup moderat.
Ketiga, zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah
mengosongkan hati dari pada selain Tuhan. Dunia yang dibenci para sufi adalah dunia yang
melengahkan dan memperbudak manusia. Kesenangan dunia adalah tingkah laku syahwat,
berbagai keinginan yang tak kunjung habis dan hawa nafsu yang tak kenal puas. Semua itu
hanyalah permainan dan senda gurau yang akan melupakan Allah, dunia semacam inilah yang
dibenci kaum sufi.
Keempat, tidak ada halangan bagi kaum salik (orang yang memasuki perjalanan sufi)
untuk menjadi miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang
dimilikinya. Seorang salik boleh mencari harta kekayaan, namun jangan sampai melalaikan-Nya
dan jangan sampai menjadi hamba dunia. Seorang salik tidak bersedih ketika kehilangan harta
benda dan tidak dimabuk kesenangan ketika mendapatkan harta.
Kelima, berusaha merespon apa yang sedang mengancam kehidupan umat, berusaha
menjembatani antara kekeringan spiritual yang dialami orang yang hanya sibuk dengan urusan
dunia, dengan sikap pasif yang banyak dialami para salik. Keenam, tasawuf adalah
latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah. Bagi
Ibnu „Athaillah, tasawuf memiliki empat aspek penting yakni berakhlak dengan akhlak Allah
SWT, senantiasa melakukan perintah-Nya, dapat menguasai hawa nafsunya serta berupaya selalu
bersama dan berkekalan dengan-Nya secara sungguh-sungguh.
Ketujuh, dalam kaitannya dengan ma‟rifat Al-Syadzili, ia berpendapat bahwa ma‟rifat adalah salah satu tujuan dari tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan. Jalan tersebut ialah
mawahib, yaitu Tuhan memberikannya tanpa usaha dan Dia memilihnya sendiri orang-orang
yang akan diberi anugerah tersebut. Dan makasib, yaitu ma‟rifat akan dapat diperoleh melalui
usaha keras seseorang, melalui ar-riyadh, dzikir, wudhu, puasa, shalat sunnah dan amal saleh
lainnya.
3.2. Analisis Motif dan Sikap Pada Kitab Al-Hikam “Untaian Hikmah Ibnu „Athaillah”
Bagian 1 “Berserah Pada Takdir Dan Anugerah”
ا ا .
ا
.
/arih nafsaka min at-tadbīri. Żamā qāma bihi gayruka „anka lā taqum bihi linafsika/
“Istirahatkanlah dirimu dari ikut mengatur (urusanmu). Sebab apa yang telah di urus untukmu oleh selain dirimu, tidak perlu engkau turut mengurusnya”.
Maksud dari untaian kata-kata Al-Hikam diatas ialah jangan pernah meragukan kekuasaan
Allah atas apa yang sesungguhnya telah diurus oleh-Nya. Dari contoh tersebut diatas
menunjukkan kepada motif sosiologis yaitu seorang manusia selalu memerlukan bantuan dari
orang lain untuk memenuhi segala kebutuhan dan urusannya agar dapat tercapai segala hal yang
diinginkan.
Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu seorang hamba yang meyakini dan
menaati kehendak Sang Pencipta, tanpa sedikitpun meragukan kekuasaanNya atas apa yang
sesungguhnya telah diurus oleh-Nya. Dan ia menyerahkan semua haknya kepada Allah dan tetap
melaksanakan kewajiban dengan sebaik-baiknya tanpa mencemaskan segala urusan di masa
datang. Seperti yang dikatakan Rasulullah saw “Sesungguhnya Allah telah menjadikan ketentraman dan ketenangan dalam ridha dan yakin”. Sikap individual tersebut merujuk kepada
komponen perilaku (tindakan), yaitu menyerahkan hak sepenuhnya kepada Allah SWT setelah
melaksanakan kewajiban dengan sebaik-baiknya.
Bagian 2 “Agar Hati Tak Teralingi”
Pada halaman 25 :
اخاا ج حا ا ئ ص ا
/al-a„mālu ṣuwarun qāimatun waarwāḥuhā wujūdu sirri al-ikhlāṣi fīhā/
“Amal adalah kerangka yang tegak, sementara ruhnya adalah rahasia ikhlas di dalamnya”.
Maksud dari untaian hikmah diatas ialah ikhlas itu ibarat sinyal, tandanya bisa dilihat tetapi
wujudnya tidak bisa diraba apalagi dipegang. Amal bisa saja tetap hidup karena adanya niat,
tetapi tidak menjamin terhubungnya seseorang dengan tujuan (Allah). Ikhlaslah yang
menghadirkan kejernihan, keleluasaan, dan kebebasan diri dari rasa sempit dan tertekan. Sebab,
Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif sosiologis yaitu ikhlas akan
menghilangkan riya‟ dari amal. Ikhlas juga akan menghilangkan ujub (berbangga diri) dan akan mendisiplinkan nafsu. Riya‟ akan merusak kesah-an amal dan ujub akan merusak kesempurnaan amal.
Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu berusaha untuk selalu ikhlas dalam
setiap amal perbuatan. Karena ikhlas merupakan keyakinan tentang tidak adanya daya dan upaya
diri sendiri (selain karena pertolongan Allah) dalam beramal, dan tidak akan sempurna suatu
amal tanpa ikhlas. Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen perilaku (tindakan),
yaitu ikhlas adalah mengkhususkan hati untuk beribadah kepada Allah SWT.
Bagian 3 “Berjuang Dari Aib Menuju Yang Gaib”
Pada halaman 35 :
ا حا ﻷ ا ا ا ج
/iḥā latuka al-a„māla „alā wujūdi al-farāgi min ru„ūnāti an-nafsi/
“Menunda beramal guna menantikan kesempatan yang lebih luang, termasuk tanda kebodohan diri”.
Salah satu nikmat yang paling berharga adalah waktu luang. Karena itu, sangatlah tidak
cerdas orang yang selalu menjadikan waktu luang sebagai alasan menunda amal saleh yang
mestinya segera dikerjakan. Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif sosiologis,
yaitu kebanyakan manusia lebih senang dengan dunia atau terbujuk hawa nafsu. Manusia lebih
mementingkan berhubungan dengan orang lain sehingga melupakan amalannya.
Kemudian menunjukkan kepada sikap individual yaitu seorang hamba yang bisa
menundukkan nafsunya dan pandai memanfaatkan kesempatan dalam beramal, karena ia
meyakini sesuatu yang telah luput darinya tidak akan ada gantinya dan yang telah diperoleh tidak
ternilai harganya. Dia tidak menunda dan menyia-nyiakan sedikitpun rezeki kesehatan dan waktu
luang yang diberikan Allah swt, serta mendahulukan semua urusan amal dibandingkan urusan
duniawi. Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen perilaku (tindakan),
Bagian 4 “Berhijrah Kepada Allah”
Pada halaman 57 :
ج ح ا ا .
ا .
ج ح ا ا
ا ا .
/lā tarfa„anna ilā gayrihi ḥājatan huwa mūriduhā „alayka. Fakayfa yarfa„u gayruhu mā
kāna huwa lahu wāḍi„an. Man lā yastaṭī„u an yarfa„a ḥājatan „an nafsihi fakayfa yastaṭī„u an yakūna lahā „an gayrihi rāfi„an/
“Jangan memohon kepada selain Allah karena dialah yang memenuhi hajatmu. Bagaimana sesuatu selain-Nya bisa mengubah sesuatu yang sudah ditetapkannya?. Dan bagaimana orang yang tak mampu membebaskan dirinya dari kebutuhan dapat membebaskan
kebutuhan orang lain?”.
Sesungguhnya manusia telah mengetahui bahwa segala sesuatu selain Tuhan adalah
khayalan dan dudagaan yang tidak nyata. Namun demikian, masih juga ada manusia yang
percaya bahwa dukun (setan) bisa mengabulkan apa yang ingin ia peroleh dan butuhkan.
Bukankah bila dukun (setan) dapat memenuhi kebutuhannya, merekalah yang mestinya lebih
baik dari pada orang tersebut. Sesungguhnya orang itu telah membodohi dirinya sendiri.
Berhentilah meminta kepada selain Allah, tumbuhkan kepercayaan diri lalu sapalah Allah Sang
Pemenuh Kebutuhan dengan doa-doa.
Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu jadikanlah Allah
SWT satu-satunya tempat kita memohon dan menyandarkan harapan. Kemudian menunjukkan
kepada sikap individual, yaitu hanya kepada Allah seorang hamba layak untuk memohon. Allah
adalah dzat yang kekal yang tidak akan hilang, senantiasa ada, pemberian dan anugerahnya
selalu ia berikan kepada semua makhluk. Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen
kognitif (keyakinan), yaituhanya Allah tempat satu-satunya memohon.
Bagian 5 “Terus Melangkah Dalam Berserah”
Pada halaman 62 :
/Lā taṣḥab man lā yunhiḍuka ḥāluhu wa lā yadulluka „alā allāhi maqāluhu/
“Jangan bersahabat dengan orang yang kondisinya tidak membangkitkan semangatmu dan
perkataannya tidak mengantarmu pada Allah”.
Sahabat sering dianngap sebagai cerminan diri seseorang. Bahkan dapat disimpulkan sosok
seseorang dari melihat dengan siapa saja orang itu bersahabat. Oleh karena itu, Syaikh Ibnu
„Athaillah berpesan, berhati-hatilah dalam memilih sahabat. Sebab sosok sahabat mampu mengawal seseorang menuju keridhaan Allah. Namun dia juga sanggup menggiring kita menuju
jurang kehancuran dan kesia-siaan, serta murkanya.
Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif sosiologis, yaitu tidak seharusnya
memaksakan diri untuk bergaul dengan teman yang pembicaraannya tidak dimengerti. Tetapi
pilihlah teman yang perilakunya baik dan pembicaraannya sesuai dengan keadaan diri.
Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu bersahabat dengan teman yang
keadaannya membenarkan ia dengan perkataannya dan perkataan yang sesuai dengan ilmunya
akan mengantarkan seseorang kepada kehidupan yang tinggi iman dan akhlaknya. Sikap
individual tersebut merujuk kepada komponen perilaku (tindakan), yaitu selalu berhati-hati
dalam memilih sahabat.
Bagian 6 “Dari Dosa Hingga Karunia Sang Penguasa”
Pada halaman 68 :
ا ا ا ﺤ ا ا ا
ا ا ج
/Min „alāmāti mawti al-qalbi „adamu al-ḥuzni „alā mā fātaka mina almuwāfiqāti watarku an-nadami „alā mā fa„altahu min wujūdi az-zallāti/
“Diantara tanda matinya hati kalbu adalah tidak bersedih atas ketaatan yang terlewat dan
tidak menyesal atas dosa yang diperbuat”.
Allah Ta‟ala pernah bersumpah „demi masa‟ (al-„Ashr 1-3), dimana sebagian besar manusia berada dalam keadaan merugi. Diantara orang yang merugi itu ialah orang yang hatinya
Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu salah satu penyebab
seseorang memiliki hati yang mati yaitu karena lalainya ia dari zikir kepada Allah dan
membiarkan anggota badan bermaksiat kepada Allah SWT.
Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu jika seseorang memiliki
tanda-tanda hati yang mati maka wajiblah baginya untuk bersegera bertaubat dan memohon ampun
kepada Allah SWT. Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen afektif
(emosi/perasaan), yaitu seseorang harus mulai mencemaskan diri bila ibadah yang ditinggalkan
tidak membuatnya bersedih.
Bagian 7 “Bersyukur Atas Nikmat Yang Terulur”
Pada halaman 84 :
ا ا
, ش .
/man lam basykuri an-ni„ama faqad ta„arraḍa liza wālihā, wa man syakara hā faqad
qayyadahā bi„iqālihā/
“Siapa yang tidak mensyukuri nikmat berarti sengaja membiarkan hilangnya nikmat tersebut, sementara siapa yang mensyukurinya berarti mengikatnya dengan erat”.
Bersyukur atas pemberian Allah pada hakikatnya merupakan wujud apresiasi seorang
hamba atas apa yang telah diterimanya. Dan Allah Ta‟ala memastikan bahwa hal itu akan kembali kepada sang hamba berupa penambahan atas nikmat yang Dia berikan.
Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu dengan banyak
bersyukur atas karunia Allah maka akan tampak pada gambaran perilaku seseorang yaitu
bertambahnya amal dan mengakui semua nikmat yang diberikan padanya berasal dari Allah.
Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu seorang mukmin wajib bersyukur
kepada Allah SWT, karena sesungguhnya syukur mengikat yang ada dan member yang hilang.
Dengan bersyukur maka Allah akan semakin memberikan limpahan kebaikan berupa kesehatan,
ketenangan dan kelapangan rezki.
Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen perilaku (tindakan), yaitu mengolah
nikmat sebagai wujud ketaatan kepada Allah, sebab jika kewajiban tidak dilaksanakan, maka
Bagian 8 “Sadar Diri Dalam Genggaman Kehendak Ilahi”
“Dia menjadikan negeri akhirat sebagai tempat memberi balasan kepada para hamba-Nya yang beriman karena negeri (dunia) ini tidak bisa menampung apa yang hendak Dia berikan kepada mereka. Juga, karena Dia hendak memuliakan mereka dengan tidak mau
memberikan balasan di negeri yang tidak kekal”.
Sesungguhnya Allah Ta‟ala sangat apresiatif kepada hamba-hamba-Nya. Dia telah menyediakan balasan atas usaha para hamba untuk berbakti kepada-Nya dengan sesuatu yang
belum pernah dilihat dengan mata, tidak pernah didengar oleh telinga, dan belum pernah
terbayang dalam benak setiap hamba.
Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu Allah menjadikan
akhirat sebagai negeri kekal, tempat rahmat dan kegembiraan yang abadi serta sebagai tempat
untuk membalas hamba-hambanya yang beriman juga sebagai tempat yang disenangi para nabi.
Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu janganlah berharap pada sesuatu yang
bersifat sementara, karena di dalamnya selalu ada duka lara. Meskipun Allah menyediakan
segala bentuk perolehan dan anugerah bagi umat-Nya di dunia ini, tetapi semua itu terikat oleh
sifat dunia yang sementara. Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen kognitif
(keyakinan), yaitu Allah memiliki kehendak untuk memberikan yang terbaik kepada setiap
hamba-Nya yang tekun berbuat baik.
“Harapan itu disertai amal. Jika tidak, itu hanyalah angan-angan”.
Harapan dan angan-angan adalah dua perkara yang serupa tetapi datang melalui saluran
yang berlainan, lalu meninggalkan kesan yang berbeda. Harapan memberi daya hidup bagi
seorang hamba dengan keinginan positif untuk beramal ibadah. Sedang angan-angan adalah sifat
negatif, dimana pelakunya memiliki keinginan besar tetapi tidak mau melakukan apapun. Maka
itu hanyalah tidak lebih dari mimpi atau lamunan saja.
Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu bila seseorang ingin
meraih nikmat di akhirat, maka tingkatkanlah amal dan ketaatan serta memperbanyak ibadah
wajib maupun sunnat dan kebaikan-kebaikan lainnya.
Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu jadilah hamba yang menggunakan
akalnya untuk mengintrospeksi diri dan bersiap untuk menghadapi hari esok. Dan jangan
memperturutkan hawa nafsu dan menggantungkan diri pada angan-angan yang kosong. Sikap
individual tersebut merujuk kepada komponen kognitif (keyakinan), yaitu harapan harus disertai
dengan pelaksanaan sebab-sebab untuk mencapai keinginan.
Bagian 10 “Tak Terimpit Tatkala Sempit”
Pada halaman 101 :
ا ا ا ا
ج خ
ئ ا
/basaaka kā lā yubqīka ma„a al-qabḍi wa qabaḍaka kā lā yatrukaka ma„a al-basi wa akhrajaka „anhumā kā lā takūna lisyay`in dūnahu/
“Dia memberimu kelapangan agar engkau tidak terus berada dalam kesempitan. Sebaliknya, dia memberimu kesempitan agar tidak terus berada dalam kelapangan. Lalu dia mengeluarkanmu dari keduanya agar tidak bergantung kepada selain-Nya”.
Allah Ta‟ala mengubah-ubah keadaan manusia, dari lapang menjadi sempit, dari sehat menjadi sakit, dari berpeluang menjadi terkekang dan dari berkecukupan menjadi
berkekurangan. Kesemuanya itu dilakukan dengan tujuan agar manusia memahami bahwa ia
tidak akan terbebas dari hukum ketentuan-Nya dan tidak aka nada daya dan kekuatan kecuali
Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu dikala seseorang
sedang dicoba oleh kelapangan dan kesempitan, maka wajib baginya untuk tetap taat dan patuh
pada Allah Sang Dzat yang Maha Esa dan Maha Perkasa. Kemudian menunjukkan kepada sikap
individual, yaitu pada saat kesempatan datang menguji maka sikap tenang, tegar, dan tentramlah
yang harus ditunjukkan. Dan pada saat kelapangan datang menguji maka kewajiban seseorang
itu adalah menjaga anggota badan terutama lisan dari kedurhakaan terutama lisan. Sikap
individual tersebut merujuk kepada komponen kognitif (keyakinan), yaitu Allah
mengubah-ubah setiap keadaan hambanya, hal ini memiliki maksud agar setiap hamba tetap memahami
bahwa hukum-hukumNya akan ada pada setiap orang.
Bagian 11 “Memahami Dunia”
Pada halaman 107 :
ﺇ
ا ا ا
/in aradta an yakūnalaka „izzun la yafnā falā yasta„izzanna bi„izzi yafnā/
“Jika engkau menginginkan kemuliaan abadi maka jangan membanggakan kemuliaan yang fana”.
Kemuliaan yang tidak akan sirna (abadi) hanyalah kemuliaan bersama Allah Ta‟ala, dan
bersandar diri hanya kepada-Nya. Sebab, Dia Maha kekal dan tidak akan pernah sirna. Sedang
apabila seseorang membanggakan diri, harta, suku, jabatan dan semua yang bersifat duniawi,
maka semuanya itu bersifat menipu dan akan hancur (tidak kekal). Oleh karenanya, siapa yang
bergantung kepada segala sesuatu yang tidak kekal atau fana, maka ia akan turut binasa bersama
yang fana itu.
Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu kemuliaan yang
tidak akan musnah ialah kemuliaan bersama Allah dan kekayaan yang abadi ialah karena
ketaatan kepada Allah. Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu berusaha
memulai untuk mengarahkan pandangan pada kemuliaan yang hakiki. Sikap individual tersebut
merujuk kepada komponen kognitif (keyakinan), yaitu kemuliaan yang abadi hanyalah
Bagian 12 “Balasan Ketaatan”
Pada halaman 115 :
ه ا ا
/innamā yu`limuka al-man„u li„adami fahmika „ani allāhi fīhi/
“Yang membuatmu sakit ketika tidak diberi adalah karena engkau tidak memahami hikmah Allah didalamnya”.
Belum sempurna keimanan seseorang kepada Allah, sebelum ia percaya secara utuh
kepada-Nya dan bersyukur atas segala karunia yang telah Dia berikan kepadanya. Dan jika sang
hamba belum mengerti, percayalah bahwa pemberian Allah itu pasti bermanfaat dan
penolakan-Nya itu pasti karena apa yang diminta oleh sang hamba tidak mengandung manfaat bagi hamba
tersebut.
Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu pasrah dan ridha atas
karunia Allah ialah salah satu ciri orang yang beriman dan mencintai Allah SWT. Kemudian
menunjukkan kepada sikap individual, yaitu mengerti dan memahami sifat Allah, sebab tidak
ada yang tidak memiliki maksud dari semua keadaan yang Allah berikan kepada semua
makhluk-Nya. Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen afektif (emosi/perasaan),
yaitu bersyukur ketika mendapat rizki dan bersabar ketika diuji dengan bencana.
Bagian 13 “Karena Butuh, Kita Mesti Bersimpuh”
Pada halaman 121 :
ج ا ج ا خ
/khayru awqātika waqtun tasyhadu fīhi wujūdu fāqatika wa taruddu fīhi ilā wujūdi illatika/
“Sebaik-baiknya waktumu adalah ketika menyadari kepapaanmu dan engkaupun kembali
mengakui kerendahanmu”.
Sebaik-baik waktu dalam kehidupan ini adalah saat dimana seorang hamba mengingat akan
tengah membutuhkan pertolongan, sementara tidak ada satupun makhluk yang mampu untuk
menolong.
Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu waktu yang paling
baik didalam hidup ialah pada saat-saat seorang hamba mengingat Tuhannya. Kemudian
menunjukkan kepada sikap individual, yaitu tidak perlu mengeluh ketika penderitaan
menghampiri, tetapi memohon dan mendekatkan dirilah kepada Sang Pencipta. Sikap individual
tersebut merujuk komponen perilaku (tindakan), yaitu dengan bermunajat kepada Allah, maka
seorang hamba akan menemukan berlimpahnya hajat.
Bagian 14 “Arti Permintaan Dalam Jagat Pemberian”
Pada halaman 131 :
ا
ﺘﺒ ب طم رخ ,
سفن ﻟ ط نكﻟ ﺘﺒ
رخ بد
/lā tuṭālib rabbaka bitaakhkhuri maṭlabika, walakin ṭalib nafsaka bitaakhkhuri adabika/
“Jangan menuntut Tuhan lantaran permintaanmu terlambat dikabulkan. Namun, tuntutlah
dirimu lantaran terlambat melaksanakan kewajiban”.
Allah Ta‟ala mengingat semua jenis kebutuhan hamba-Nya, karena Dia adalah Maha Pemberi. Bahkan Dia telah memenuhi dan melengkapi seluruh kebutuhan hamba-Nya sebelum
hamba-Nya sendiri mengerti apa yang menjadi kebutuhannya itu. Karenanya, jika permintaan
kepada-Nya belum terpenuhi, maka janganlah berburuk sangka kepada-Nya dan bersegeralah
mengintrospeksi diri.
Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu Allah selalu
mengingat dan memenuhi apa yang telah dimohon oleh umat-Nya. Kemudian menunjukkan
kepada sikap individual, yaitu mengintrospeksi diri dan berusaha menjadi seseorang yang layak
untuk mendapatkan apa yang telah diminta. Sikap individual tersebut merujuk komponen
perilaku (tindakan), yaitu berjuang menjadi orang yang lebih baik agar segala permohonan itu
Bagian 15 “Shalat Dan Penyaksian”
Pada halaman 142 :
ا ا
ا ا ا
/al-ṣalātu uhratun lilqulūbi min adnāsi al- unūbi wastiftāḥun libābi al-guyūbi/
“Shalat adalah pembersih hati dari kotoran dosa dan pembuka pintu kegaiban”.
Apabila hati telah tersucikan oleh cahaya shalat, maka akan terbuka tabir yang
menghalangi antara Sang Maha Pencipta dengan hamba-Nya. Dari contoh tersebut diatas
menunjukkan kepada motif teologis, yaitu shalat merupakan penghubung dan tempat dialog
antara Allah dengan hamba-Nya.
Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu wajib melaksanakan shalat 5
waktu tepat pada waktunya, dikarenakan shalat merupakan pembersih hati dari kotoran dan
dosa-dosa. Sikap individual tersebut merujuk komponen kognitif (keyakinan), yaitu didalam shalat
yang khusuk akan terjalin keakraban antara hamba dengan Sang Khalik.
Bagian 16 “Imbalan Dan Penghambaan”
Pada halaman 145 :
ا ج ,
ا ا ا ج ا
/matā ṭalabta „iwaḍan „alā „amalin ṭūlibta biwujūdi aṣ- ṣidqi fīhi, wa yakfī al-murību wujdānu assalāmati/
“Ketika engkau meminta balasan atas sebuah amal, engkau dituntut untuk tulus didalamnya. Bagi orang yang merasa tidak sempurna sudah cukup jika telah selamat”.
Lakukanlah amal kebaikan semampu mungkin, begitulah perintah dasarnya kepada
pembaca. Mengerjakan amal itu butuh kemauan, dan kemauan juga butuh pemaksaan diri agar
kemudian engkau mampu. Perubahan dari kemauan kepada kemampuan saja sudah merupakan
perjuangan tersendiri. Jadi, bebaskanlah hati dari keinginan lebih agar engkau tidak semakin
dibuat letih. Ikhlas adalah keadaan batin yang tidak mudah diraih. Sedangkan balasan-Nya
Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu beramal dengan
sesempurna mungkin jika ingin mendapat karunia dan rahmat dari Allah SWT. Kemudian
menunjukkan kepada sikap individual, yaitu ikhlas didalam beramal, mengerjakannya dengan
sempurna dan menyempurnakan pelaksanaannya merupakan inti dari sebuah amal yang akan
mendapat pembalasan dari-Nya. Sikap individual tersebut merujuk komponen kognitif
(keyakinan), yaitu Allah akan memberi balasan pada setiap amal manusia.
Bagian 17 “Allah-lah Sahabat Sejatimu”
Pada halaman 160 :
ﺤص اا ﺤص
ٰ ٰ
ا ا اا
.
ﺤ خ
ا ئ ا
/mā ṣahibaka illa man ṣahibaka wa huwa bi„aybika „alimun wa laysa ālika illa mawlāka al-karīmu. Khayru man taṣḥabu man yalubuka lā lisyay„in ya„ūdu minka ilayhi/
“Sahabat sejatimu adalah sahabat yang bersahabat denganmu dalam kondisi ia mengetahui aibmu. Dan hal itu tidak lain adalah Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Sebaik-baik
sahabatmu adalah yang mengharapmu bukan karena keuntungan yang dia harap darimu”.
Allah-lah sebaik sahabat, sebab dalam keadaan apapun Dia tetap berjabat. Tidaklah mudah
menjadi sahabat, tidak pula gampang menemukan sahabat. Bersahabat untuk melintasi musim
dan masa yang berganti, pada kenyataannya sulit untuk diperoleh. Selalu ada alasan yang
membuat orang berdiri tegak disisi kita sebagai sahabat, atau berlari menjauh dan berkhianat.
Allah bersahabat tanpa alasan. Kebaikan dan keburukan yang hadir bergilir dalam diri kita, tidak
membuatnya berpaling dari kita. Sang hambalah yang sering berpaling dari-Nya.
Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif sosiologis, yaitu setiap makhluk
yang mengaku menjadi sahabat, pasti memiliki suatu harapan ketika menjalin hubungan.
Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu jika mengetahui bahwa tidak ada
satupun sahabat sejati kecuali Tuhan, maka ketahuilah esensi persahabatan denganNya dan
mematuhi etika secara lahir dan batin. Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen
kognitif (keyakinan), yaitu dengan menjadikan Tuhan sebagai sahabat sejati, niscahaya akan
Bagian 18 “Allah Dan Alam”
Pada halaman 167 :
ا ا
ﺈﺒ
ﺤ
ﺒ
ا ح
/al-akwānu ṡābitatun biiṡbātihi wa mamḥuwwatun bi`aḥadiyyati ātihi/
“Alam ini ada dengan penetapan Allah dan ia lenyap dengan keesaan zat-Nya”.
Penuhilah kesadaran akan wujud-Nya, agar selalu senantiasa menemukan-Nya. Sebab
tanpaNya alam semesta ini tidak akan pernah ada. Dan alam semesta ini bukanlah apa-apa
karena sesungguhnya tidak ada sesuatu di sisi ataupun di samping Allah yang Maha Esa. Ini
berarti keadaan alam yang tampak stabil dan konstan ini adalah cerminan kekekalan Allah.
Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu alam ada karena
Tuhan, berdiri karena-Nya dan kokoh karena pengokohan-Nya. Barang siapa menyatakan alam
tercipta karena Allah, berarti dia mengetahui dan menyaksikan Tuhan di dalam dirinya.
Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu merenungkan tentang pencitaannya agar
manusia semakin mengenal Sang Pencipta. Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen
kognitif (keyakinan), yaitutanpa Tuhan alam semesta tidak akan pernah tercipta.
Bagian 19 “Pujian Adalah Ujian”
Pada halaman 170 :
ا ا ج
/ajhalu an-nāsi man taraka yaqīna mā „indahu liẓanni mā „inda an-nāsi/.
“Sebodoh-bodoh manusia adalah orang yang meninggalkan keyakinannya karena
mengikuti sangkaan orang”.
Jangan tersipu oleh sanjungan yang menipu, engkaulah sesungguhnya yang paling tahu
siapa dirimu. Engkaulah yang tahu persis kebaikan dan keburukan yang melekat dalam dirimu.
Tentang seberapa banyak kebaikan yang telah engkau lakukan. Tentang seberapa rapat dirimu
menyembunyikan berbagai keburukan.orang lain tidak mengenalmu, mereka tidak mengerti
Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif sosiologis, yaitu jika yang memuji
seseorang adalah ahli agama atau ahli kebaikan maka wajar baginya untuk gembira. Tetapi jika
yang memujinya adalah orang yang tidak berilmu, maka tidak ada kebodohan yang lebih besar
dari pada ridha dan gembira dengan pujian mereka.
Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu jangan sampai orang yang tidak
mengetahui apapun yang mengatur diri, sebab mereka tidak mengetahui masih banyaknya
keburukan yang tersimpan di dalam diri. Dan jangan tersipu oleh sanjungan yang menipu. Sikap
individual tersebut merujuk kepada komponen kognitif (keyakinan), yaitu hanya diri sendirilah
yang mengetahui pasti kebaikan dan keburukan yang melekat dalam diri.
Bagian 20 “Cahaya”
Pada halaman 185 :
ا ح ا ا ا ا ا ا ا
ا
/maniala„a „alā asrāri al-„ibādi walam yatakhallaq bi ar-rahmati al-ilāhiyyati
kānailā„uhu fitnatan „alayhi wa sababan lijarri al-wabāli ilayhi/.
“Siapa yang mengetahui rahasia para hamba namun tidak meniru sifat kasih sayang Tuhan,
maka pengetahuannya menjadi ujian baginya dan sebab datangnya bencana”.
Setiap rahasia hamba yang tertangkap tidak harus selalu engkau ungkap. Karena butuh
kesabaran dan kesadaran sekaligus. Kesabaran menyikapi kenyataan bahwa tidak setiap hamba
menyadarinya. Juga kesadaran bahwa Dia-lah yang menjadikanmu melihat rahasia orang lain
dan itu merupakan anugerah-Nya. Selalu ada godaan yang bisa membuat seseorang salah
menyikapi. Hanya dengan tetap bersandar kepada pengetahuan-Nya seseorang terhindar dari
keliru.
Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu bagi seeorang yang
dapat mengungkapkan tabir antara sesama, maka hanya tetap bersandar pada Sang Khalik-lah ia
dapat bebas dari keterjebakan sifat egonya. Kemudian menunjukkan kepada sikap individual,
bisa menyebabkan kehancuran. Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen perilaku
(tindakan), yaitubersandar pada pengetahuan Tuhan agar tidak terjadi kekeliruan.
Bagian 21 “Ketulusan Dalam Menghamba”
Pada halaman 188 :
ص ص ا ا ا ا
/istisyrāfuka an ya„lama al-khalqu bikhuṣūṣiyyatika dalīlun „ala „adami ṣidqika fī
„ubūdiyyatika/
“Keinginanmu agar orang mengetahui keistimewaanmu adalah bukti ketidaktulusanmu
dalam penghambaanmu”.
Kesalehan, tahapan spiritual dan rasa cinta kepada-Nya bukanlah konsumsi publik yang
harus diceritakan. Menghadaplah kepada-Nya dengan sepenuhnya dan seutuhnya, jangan
menghadap kepada-Nya dengan setengah hati. Sementara setengahnya lagi disandarkan pada
harapan akan penghargaan dari makhluk. Dan biarkanlah dia menilai dan memberi penghargaan
dengan kemurahan-Nya.
Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif sosiologis, yaitu janganlah
menunjukkan keistimewaan kepada orang lain hanya demi untuk mendapat penghargaan dan
pujian. Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu berusaha untuk
menyembunyikan dan menutupi dari orang lain segala keistimewaan yang telah Allah berikan
agar terhindar dari sifat riya‟. Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen perilaku (tindakan), yaitu orang yang beriman adalah orang yang jika Allah memberinya keistimewaan,
ia akan menyembunyikan, mengingkari dan menutupinya.
Bagian 22 “Permohonan Dan Pemberian”
Pada halaman 195 :
ا ح ج
ف ضني نا لز
ا ا
/jalla hukmu al-azali an yanḍāfa ila al-„ilali/
Yakinilah bahwa semua peristiwa dan kejadian adalah takdir-Nya yang terhubung dengan
sebab akibat. Apa yang engkau peroleh dan apa yang engkau tidak peroleh juga ketentuan-Nya.
Rahmat, cinta, dan kedermawanan-Nya telah ada sebelum adanya alam semesta ini.
Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu apa yang
dikehendaki Allah itu pasti ada dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak mungkin ada.
Kemudian menunjukkan kepada sikap individual, yaitu meyakini dan menikmati apa yang telah
ditetapkan oleh Allah SWT. Sikap individual tersebut merujuk kepada komponen kognitif
(keyakinan), yaitu tidak ada yang lebih indah di dunia ini selain dari apa yang telah Allah
ciptakan.
Bagian 23 “Sukar Membawa Nikmat”
Pada halaman 203 :
ا ا ا
/al-fāqātu busuu al-mawāhibi/
“Ragam ujian merupakan hamparan anugerah”
Nikmatilah beraneka ragam ujian untuk warna-warni anugerah pujian. Jangan sekali-sekali
engkau merasa Allah tidak sayang kepadamu. Ini kehendak-Nya, cara-Nya membuatmu semakin
dekat dengan-Nya. Dia hendak membuatmu mengenal-Nya agar engkau merasakan betapa agung
sifat-sifat-Nya. Wajar bila engkau seperti dihujani kesukaran bertubi-tubi. Pecayalah, bila
engkau bisa melewatinya, engkau akan temukan hamparan luas permadani kemurahan-Nya.
Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu Allah memberikan
ujian kepada sang hamba karena rasa kasih dan sayang-Nya kepada dia. Kemudian menunjukkan
kepada sikap individual, yaitu bersiap, berusaha dan menghadapi segala ujian dengan hati sabar
dan tegar, karena semuanya akan dibalas Allah dengan keindahan. Sikap individual tersebut
merujuk kepada komponen kognitif (keyakinan), mempercayai jika dapat melewati segala
Bagian 24 “Adab Menerangkan Karunia Spiritual”
Pada halaman 211 :
ا ا ا
/kullu kalāmin yabruzu wa „alayhi kiswatu al-qalbi al-la ī minhu baraza/
“Setiap ungkapan yang terucap dibungkus oleh corak kalbu yang menjadi tempat keluarnya”.
Berhati-hatilah dengan ucapan, sebab setiap perkataan menghadirkan pengaruh yang tak
terelakkan. Semakin banyak seseorang mengucakan kata-kata yang mengandung pujian
kepada-Nya semakin lembutlah hati seseorang tersebut. Ucapan adalah cermin dan kedudukan dan posisi
hati hamba dengan-Nya.
Dari contoh tersebut diatas menunjukkan kepada motif teologis, yaitu perkataan orang
beriman yang sering mengagungkan nama Allah, maka perbuatannya juga akan mudah dikenali
sebagai perbuatan yang penuh sopan santun. Kemudian menunjukkan kepada sikap individual,
yaitu bertutur kata dengan indah dan sopanlah jika ingin memiliki tingkah laku yang baik. Sikap
individual tersebut merujuk kepada komponen kognitif (keyakinan), perkataan mencerminkan
sifat seseorang yang bertutur.
Bagian 25 “Nafsu Menguntit Selalu”
Pada halaman 227 :
ا ج ا ج ا
/Man lam ya„rifi an-ni„ama biwujdānihā „arafahā biwujūdi fuqdānihā/
“Orang yang tidak mengetahui nilai nikmat tatkala memperolehnya, ia akan mengetahuinya tatkala sudah lepas dari dirinya”.
Hanya ada penyesalan yang ada ketika nikmat telah tiada karena selama ini telah
disia-siakan. Engkau menganggapnya tak akan sirna hingga engkau memperlakukannya semena-mena.
Dan kini engkau akhirnya harus mencari nikmat itu kemana-mana. Sehat menjadi begitu
berharga setelah kini sakit menimpa. Dan engkau baru menyadari setelah kesedihan, penderitaan