• Tidak ada hasil yang ditemukan

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Mei 2020 di lahan pertanian Desa Ujung Serdang, Kecamatan Tanjung Morawa, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam mengukur faktor abiotik adalah Thermometer, Hygrometer, Lux-meter, dan Global Positioning System Handheld. Alat yang digunakan dalam penelitian adalah sweeping net, sampel cup 100 ml, camera digital, buku kunci determinasi serangga yaitu Penggenalan Pelajaran Serangga, oleh Donald J. Borror (1996), dan Kunci Determinasi Serangga oleh Subyanto dan Achmad Sulthoni (1991), kertas milimeter, pinset, label tempel, kertas papilot, jarum suntik 1 ml, alat tulis dan alat Light Trap. Sedangkan bahan yang digunakan untuk pengawetan sampel adalah alkohol 70%.

3.3 Deskripsi Area

Lokasi penelitian merupakan lahan pertanian jagung milik rakyat seluas dua hektar yang terletak di Desa Ujung Serdang, Kecamatan Tanjung Morawa, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara dengan tititk koordinat 3°31’42’’ LU dan 98°45’12’’ BT yang terdiri atas dua tipe pertanaman yaitu tipe monokultur (jagung) dan multikultur (jagung dan pisang). Areal yang digunakan sebagai lokasi pengambilan sampel adalah areal monokultur pada fase vegetatif dan generatif dengan luas masing-masing 40x40 meter dan area multikultur pada fase vegetatif dan generatif dengan luas masing-masing 40x40 meter.

13

3.4 Metode Penelitian

Penentuan lokasi penelitian dilakukan dengan metode purposive sampling, dengan memilih empat lokasi. Lokasi satu merupakan area monokultur (jagung) pada fase vegetatif, lokasi dua merupakan area monokultur (jagung) pada fase generatif, lokasi tiga merupakan area multikultur (jagung dan pisang) pada fase vegetatif dan lokasi empat merupakan area multikultur (jagung dan pisang) pada fase generatif.

Lokasi yang dipilih adalah lokasi yang dapat mewakili area pengambilan sampel.

Sedangkan pengambilan sampel dilakukan dengan metode jaring ayun (sweep sampling method), pengamatan langsung (visual control) dan perangkap cahaya (light trap) (Sutherland, 2006).

3.5 Pelaksanaan Penelitian 3.5.1 Cara Kerja

Pengukuran faktor abiotik seperti suhu, kelembapan udara dan intensitas cahaya dilakukan dengan menggunakan alat thermometer, hygrometer, dan lux-meter sedangkan untuk melihat letak lokasi pengambilan sampel secara geografis dengan menggunakan alat Global Positioning System (GPS).

Sampel diambil pada tanaman jagung varietas Hibrida BISI 18. Pengambilan sampel dilakukan pada saat tanaman jagung berada pada fase vegetatif (V3-V5) yang ditandai dengan jumlah daun terbuka sempurna 3-5 helai saat tanaman berumur antara 10-18 hari setelah berkecambah dan saat munculnya tasseling (bunga jantan) berumur antara 45-52 hari yang ditandai adanya cabang terakhir dari bunga jantan sebelum munculnya bunga betina. Pengambilan sampel dilakukan kembali pada fase generatif R1 (silking) yang diawali munculnya rambut dari dalam tongkol yang terbungkus kelobot berumur 2-3 hari setelah tasseling dan fase R3 (masak susu) berumur 18-22 hari setelah silking (Baco dan Tandiabang, 1998). Pengamatan dilakukan masing-masing tiga kali berdasarkan fase tanaman jagung yang telah ditentukan.

Sampel yang diperoleh kemudian dibawa ke Laboratorium Sistematika Hewan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara untuk diidentifikasi.

14

3.5.1.1 Metode Jaring Ayun (sweep sampling method)

Metode ini telah dimodifikasi oleh Hendrival et al., (2011), metode ini menggunakan alat berupa jaring ayun berbentuk kerucut, mulut jaring terbuat dari kawat melingkar (diameter 30 cm) dan jaring terbuat dari kain kasa yang digunakan untuk menangkap serangga yang aktif terbang dan yang berada pada tajuk tanaman.

Panjang tangkai jaring sekitar 75-100 cm. Metode jaring ayun dilakukan pada pukul 07.00-10.00 dan 16.00-18.00 WIB. Pengambilan serangga dilakukan dengan cara mengayunkan jaring ke kiri dan ke kanan secara bolak-balik sebanyak 20 kali sambil berjalan zig-zag pada lokasi yang telah ditentukan. Serangga yang tertangkap dimasukkan kedalam sampel cup yang telah berisi alkohol 70%.

3.5.1.2 Metode Pengamatan Langsung (visual control)

Metode ini telah dimodifikasi oleh Maisyaroh (2014), metode visual control adalah metode pengamatan secara langsung pada serangga yang mengunjungi tanaman jagung dalam waktu tertentu. Metode ini digunakan untuk mengamati serangga yang tidak aktif terbang. Alat yang digunakan yaitu pinset. Metode pengamatan langsung dilakukan pada pukul 07.00-10.00 dan 16.00-18.00 WIB.

Pengambilan serangga dilakukan dengan mengamati keberadaan serangga yang ada pada tanaman jagung baik dalam bentuk larva, pupa, maupun imago (dewasa).

Serangga yang didapat diambil kemudian dimasukkan kedalam sampel cup yang telah diisi dengan larutan alkohol 70%.

3.5.1.3 Metode Light trap

Metode ini telah dimodifikasi oleh Siregar (2014), perangkap cahaya (Light Trap) digunakan untuk menangkap serangga yang memiliki respon atau sensitive terhadap cahaya pada malam hari. Metode Light Trap dilakukan pada malam hari.

Pemasangan perangkap cahaya dilakukan di areal tanaman jagung yang telah ditentukan. Pemasangan alat ini dilakukan pada pukul 19.00 WIB dan berakhir pada 06.00 WIB keesokan harinya. Perangkap cahaya diletakkan diantara tanaman jagung untuk menghindari gangguan dari sumber cahaya lain. Lampu yang digunakan adalah lampu 40 watt. Dibawah lampu diletakkan diatas baskom yang telah di isi

15

deterjen secukupnya sehingga serangga tertarik jatuh kedalam baskom. Sampel yang telah didapatkan kemudian dimasukkan kedalam sampel cup. Sampel yang didapat dikelompokkan sesuai dengan ordo serangga dan diidentifikasi.

3.5.1.4 Identifikasi Serangga

Identifikasi serangga menggunakan buku kunci determinasi serangga yaitu Penggenalan Pelajaran Serangga, oleh Donald J. Borror (1996), dan Kunci Determinasi Serangga oleh Subyanto dan Achmad Sulthoni (1991). Serangga yang telah di identifikasi dihitung jenis dan jumlahnya kemudian dikelompokkan berdasarkan karakteristik untuk menentukan peranannya seperti kelompok serangga hama, serangga penyerbuk, serangga predator dan serangga parasitoid.

3.6 Analisis Data

Jumlah spesies dan jumlah individu masing-masing serangga yang ditemukan dihitung nilai indeks Diversitas/Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’), Indeks Equitabilitas/Keseragaman jenis (E) serta Indeks Similaritas/Kesamaan jenis (Q/S) (Similarity index) (Suin, 2002). Hasil dari analisis data disajikan dalam bentuk tabel.

3.6.1 Indeks Diversitas/Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’)

Untuk mengetahui nilai keanekaragaman serangga dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

H’= ) Keterangan:

H’ =Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener Pi = ni/N

Ln = Logaritma natural

ni = Jumlah individu spesies ke-1 S = Total jumlah spesies

N = Total jumlah individu

Pradhana et al., (2014), menerangkan bahwa nilai H’ sebagai berikut:

Nilai H’ = <1 : Keanekaragaman rendah

16

Nilai H’ = 1<H’ >3 : Keanekaraman sedang Nilai H’ = > 3 : Keanekaraman tinggi

3.6.2 Indeks Equitabilitas/Keseragaman (E)

Untuk mengetahui nilai keseragaman serangga dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

E=

Keterangan:

E = Indeks Equitabilitas/Keseragaman H’ = Indeks Diversitas/Keanekaragaman

Hmax = Indeks keanekaragaman spesies maksimum

= ln S (S = banyaknya spesies)

Nilai keseragaman (E) berkisar 0-1 (Krebs, 1985) dan Odum (1996), menerangkan bahwa nilai E sebagai berikut:

Jika E mendekati 0 : Keseragaman semakin rendah Jika E mendekati 1 : Keseragaman semakin tinggi

3.6.3 Indeks Similaritas/Kesamaan(Q/S)

Untuk mengetahui nilai kesamaan setiap serangga antar lokasi dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Q/S=

Keterangan:

Q/S = Indeks Similaritas antar lokasi A = Jumlah spesies pada lokasi A B = Jumlah spesies pada lokasi B

C = Jumlah spesies yang sama pada lokasi A dan B Nilai Q/S = <25% : Kesamaan jenisnya sangat tidak mirip Nilai Q/S = 25%-50% : Kesamaan jenisnya tidak mirip

Nilai Q/S = 50%-75% : Kesamaan jenisnya mirip

Nilai Q/S = >75% : Kesamaan jenisnya sangat mirip

17

BAB 4