• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEANEKARAGAMAN SERANGGA PADA TANAMAN JAGUNG HIBRIDA (Zea mays L.) DI LAHAN PERTANIAN DESA UJUNG SERDANG, KECAMATAN TANJUNG MORAWA SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KEANEKARAGAMAN SERANGGA PADA TANAMAN JAGUNG HIBRIDA (Zea mays L.) DI LAHAN PERTANIAN DESA UJUNG SERDANG, KECAMATAN TANJUNG MORAWA SKRIPSI"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

KEANEKARAGAMAN SERANGGA PADA TANAMAN JAGUNG HIBRIDA (Zea mays L.) DI LAHAN PERTANIAN DESA UJUNG

SERDANG, KECAMATAN TANJUNG MORAWA

SKRIPSI

YUNI MARSINTA BARASA 160805045

PROGRAM STUDI BIOLOGI S1

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

KEANEKARAGAMAN SERANGGA PADA TANAMAN JAGUNG HIBRIDA (Zea mays L.) DI LAHAN PERTANIAN DESA UJUNG

SERDANG, KECAMATAN TANJUNG MORAWA

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

YUNI MARSINTA BARASA 160805045

PROGRAM STUDI BIOLOGI S1

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

PERNYATAAN ORISINALITAS

KEANEKARAGAMAN SERANGGA PADA TANAMAN JAGUNG HIBRIDA (Zea mays L.) DI LAHAN PERTANIAN DESA UJUNG

SERDANG, KECAMATAN TANJUNG MORAWA

SKRIPSI

Saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Desember 2020

Yuni Marsinta Barasa 160805045

(4)
(5)

KEANEKARAGAMAN SERANGGA PADA TANAMAN JAGUNG HIBRIDA (Zea mays L.) DI LAHAN PERTANIAN DESA UJUNG SERDANG,

KECAMATAN TANJUNG MORAWA

ABSTRAK

Penelitian keanekaragaman serangga pada tanaman jagung hibrida (Zea mays L.) di lahan pertanian Desa Ujung Serdang, Kecamatan Tanjung Morawa telah dilakukan pada bulan Maret sampai dengan Mei 2020. Penelitian bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman serangga pada tanaman jagung dengan pola tanam monokultur dan multikultur. Penentuan lokasi sampling secara purposive sampling dan pengambilan sampel serangga menggunakan metode jaring ayun, pengamatan langsung, dan perangkap cahaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lokasi 1 monokultur fase vegetatif terdiri atas 8 ordo, 19 famili dan 29 spesies, lokasi 2 monokultur fase generatif terdiri atas 9 ordo, 18 famili, dan 27 spesies, lokasi 3 multikultur fase vegetatif terdiri atas 8 ordo, 21 famili dan 35 spesies, lokasi 4 multikultur fase generatif terdiri atas 8 ordo, 21 famili dan 31 spesies. Kehadiran serangga pada fase vegetatif lebih tinggi dibandingkan pada fase generatif. Peranan serangga yang ditemukan yaitu sebagai hama, predator, polinator, dekomposer, dan netral. Indeks keanekaragaman serangga tergolong dalam kategori keanekaragaman tinggi dengan nilai tertinggi pada lokasi 3 (3,295), keanekaragaman sedang pada lokasi 2 (2,921) dan indeks keseragaman serangga termasuk dalam kategori keseragaman tinggi dengan nilai tertinggi pada lokasi 4 (0,664). Indeks similaritas serangga tertinggi terdapat pada lokasi 1 dan 3 dengan nilai 90,625%, indeks similaritas terendah terdapat pada lokasi 1 dan 2 dengan nilai 67,857%.

Kata kunci : Keanekaragaman, Monokultur, Multikultur, Serangga, Ujung Serdang

(6)

INSECT DIVERSITY IN HYBRID CORN PLANT (Zea mays L.) IN UJUNG SERDANG VILLAGE AGRICULTURE, TANJUNG MORAWA DISTRICT

ABSTRACT

Research on insect diversity in hybrid maize (Zea mays L.) in agricultural land in Ujung Serdang Village, Tanjung Morawa Subdistrict has been conducted from March to May 2020. The Study aimed to determine insect diversity in maize with monoculture and multicultural cropping patterns. Determination of sampling location by purposive sampling and insect sampling by the net swing method, direct observation, and light trap. The results showed that location 1 monoculture vegetative phase consisted of 8 orders, 19 families and 29 species, location 2 monoculture generative phase consisted of 9 orders, 18 families, and 27 species, location 3 multicultural vegetative phase consisted of 8 orders, 21 families, and 35 species and location 4 multicultural generative phase consisted of 8 orders, 21 families and 31 species. The presence of insects in the vegetative phase was higher than the generative phase. The role of insects found were as a pest, predator, pollinator, decomposer, and neutral. The insect diversity index belong to the high diversity category with the highest value at location 3 (3,295), moderate diversity at location 2 (2,921) and the insect uniformity index were included in the high uniformity category with the highest value at location 4 (0,664). The highest insect similarity index was found in location 1 and 3 with a value of 90,625%, the lowest similarity index was at location 1 and 2 with a value of 67,857%.

Keywords :Diversity, Monoculture, Multicultural, Insect, Ujung Serdang

(7)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini dengan judul Keanekaragaman Serangga Pada Tanaman Jagung Hibrida (Zea mays L.) Di Lahan Pertanian Desa Ujung Serdang, Kecamatan Tanjung Morawa.

Terimakasih yang teristimewa penulis ucapkan kepada kedua orangtua tercinta mendiang Bapak Robinson Perdinand Barasa dan Ibu Helmi Marpaung yang senantiasa setulus hati telah membesarkan, mendidik, memberi doa, kasih sayang, semangat, perhatian serta selalu memberikan yang terbaik bagi penulis. Terimakasih kepada orang-orang tersayang Kak Lusi, Kak Risma, Kak Riana yang selalu berusaha memberikan contoh yang baik bagi penulis, memberikan doa, motivasi, semangat serta materil. Terimakasih atas kelengkapan kasih sayang keluarga yang diberikan kepada penulis.

Terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Drs. Nursal, M.Si selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, motivasi, waktu, serta perhatian yang besar kepada penulis saat memulai penulisan hingga penyempurnaan skripsi ini. Terimakasih kepada Ibu Dr. Erni Jumilawaty, M.Si dan Bapak Riyanto Sinaga, M.Si selaku Dosen Penguji yang telah memberikan banyak masukan dan arahan yang sangat membantu dalam penyempurnaan penulisan skripsi ini.

Terimakasih kepada Ibu Dr. Saleha Hannum, M.Si dan Bapak Riyanto Sinaga, M.Si selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Biologi FMIPA-USU, Dekan dan Wakil Dekan FMIPA USU, Ibu Dr. Suci Rahayu, M.Si selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah banyak memberikan arahan dalam penyusunan rencana studi bagi penulis, seluruh Dosen Departemen Biologi FMIPA USU yang telah banyak memberikan ilmu kepada penulis selama perkuliahan, serta kepada seluruh Staff Departemen Biologi FMIPA USU yang telah banyak membantu penulis.

Terimakasih penulis sampaikan kepada tim skripsquard Rinda, Sasa, Ratih, Maria, dan Sarah yang selalu bersama dengan penulis mulai dari pengambilan data hingga penulisan skripsi, memberi bantuan serta menjadi tempat cerita suka duka,

(8)

menjadi motivator serta menjadi sahabat bagi penulis. Semoga kita bersama-sama bisa mewujudkan impian-impian kita.

Terimakasih penulis sampaikan kepada seluruh rekan-rekan perjuangan Stambuk 2016 (L.E.D) yang telah mewarnai kehidupan penulis selama masa perkuliahan serta seluruh bantuan dan kerja sama selama menjalani masuk Laboratorium. Terimakasih kepada rekan-rekan di bidang Ekologi Hewan, seluruh Asisten Laboratorium Sistematika Hewan, Abang/Kakak asuh 2014, Abang/Kakak 2015, Adik-adik 2017, Adik asuh 2018 untuk kebersamaannya selama perkuliahan.

Masih banyak teman-teman yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang turut ambil bagian dalam penyelesaian skripsi ini.

Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Medan, November 2020

Yuni Marsinta Barasa

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

PENGESAHAN SKRIPSI i

ABSTRAK ii

ABSTRACT iii

PENGHARGAAN iv

DAFTAR ISI vi

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR LAMPIRAN ix

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Permasalahan 3

1.3 Hipotesis 3

1.4 Tujuan Penelitian 3

1.5 Manfaat Penelitian 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Serangga 4

2.2 Peranan Serangga 5

2.2.1 Serangga Penyerbuk 5

2.2.2 Serangga Hama 5

2.2.3 Serangga Musuh Alami 6

2.3 Faktor yang Mempengaruhi Keanekaragaman Serangga 8 2.4 Hubungan Serangga dengan Tanaman Jagung 9 2.5 Fase Pertumbuhan Tanaman Jagung 10

2.5.1 Fase Pertumbuhan Vegetatif 10

2.5.2 Fase Pertumbuhan Generatif 10

BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 12

3.2 Alat dan Bahan 12

3.3 Deskripsi Area 12

3.4 Metode Penelitian 13

3.5 Pelaksanaan Penelitian 13

3.5.1 Cara Kerja 13

3.5.1.1 Metode Jaring Ayun (Sweep Sampling 14

(10)

3.5.1.2 Metode Pengamatan Langsung (Visual 14

Control) 3.5.1.3 Metode Light Trap 14 3.5.1.4 Identifikasi Serangga 15 3.6 Analisis Data 15 3.6.1 Indeks Diversitas/Keanekaragaman Shannon- 15 Wiener (H’) 3.6.2 Indeks Equitabilitas/Keseragaman (E) 16 3.6.3 Indeks Similaritas/Kesamaan (Q/S) 16 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keanekaragaman Serangga pada Tanaman Jagung 17

Hibrida (Zae mays L.) Pola Tanam Monokultur dan MultikulturDi Lahan Pertanian Desa Ujung Serdang, KecamatanTanjung Morawa 4.2 Peranan Serangga pada Tanaman Jagung Hibrida 20

(Zea mays L.) Pola Tanam Monokultur dan MultikulturDi Lahan Pertanian Desa Ujung Serdang, Kecamatan Tanjung Morawa 4.3 Kehadiran Serangga pada Fase Vegetatif dan 25

Generatif Tanaman Jagung Hibrida (Zea mays L.) Pola Tanam Monokultur dan Multikultur Di Lahan Pertanian Desa Ujung Serdang, Kecamatan Tanjung Morawa 4.4 Indeks Diversitas/Keanekaragaman (H’) dan 28 Indeks Equitabilitas/Keseragaman (E) Serangga pada Tanaman Jagung Hibrida (Zea mays L.) Pola Tanam Monokultur dan MultikulturDi Lahan Pertanian Desa Ujung Serdang, Kecamatan Tanjung Morawa 4.5 Indeks Similaritas/Kesamaan (Q/S) Serangga 31

pada Pada Tanaman Jagung Hibrida (Zea mays L.) Pola Tanam Monokultur dan Multikultur Di Lahan Pertanian Desa Ujung Serdang, Kecamatan Tanjung Morawa BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 33

5.2 Saran 34

DAFTAR PUSTAKA 35

LAMPIRAN 40

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor

Tabel Judul Halaman

4.1 Keanekaragaman Serangga pada Tanaman Jagung Hibrida (Zea mays L.) Pola Tanam Monokultur dan Multikultur Di Lahan Pertanian Desa Ujung Serdang, Kecamatan Tanjung Morawa

17

4.2 Peranan Serangga pada Tanaman Jagung Hibrida (Zea mays L.) Pola Tanam Monokultur dan Multikultur Di Lahan Pertanian Desa Ujung Serdang, Kecamatan Tanjung Morawa

20

4.3 Kehadiran Serangga pada Fase Vegetatif dan Generatif Tanaman Jagung Hibrida (Zea mays L.) Pola Tanam Monokultur dan Multikultur Di Lahan Pertanian Desa Ujung Serdang, Kecamatan Tanjung Morawa

25

4.4 Indeks Diversitas/Keanekaragaman (H’) dan Indeks Equitabilitas/Keseragaman (E) Serangga pada Tanaman Jagung Hibrida (Zea mays L.) Di Lahan Pertanian Desa Ujung Serdang, Kecamatan Tanjung Morawa

28

4.5 Indeks Similaritas/Kesamaan (Q/S) Serangga pada Tanaman Jagung Hibrida (Zea mays L.) Di Lahan Pertanian Desa Ujung Serdang, Kecamatan Tanjung Morawa

31

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

Lampiran

1. Peta Lokasi Penelitian 40

2. Foto Areal Penelitian 41

3. Data Mentah Pengamatan 43

4. Tabel Faktor Abiotik Lingkungan 44

5. Perhitungan Analisis Data 44

6. Deskripsi Varietas Jagung Hibrida BISI 18 45 7. Deskripsi Spesies Serangga yang Ditemukan Pada Lokasi 46

Penelitian

(13)

1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jagung merupakan salah satu tanaman biji-bijian yang bernilai ekonomis serta mempunyai peluang untuk dikembangkan (Purwanto, 2008). Komoditas jagung menjadi salah satu komoditas yang sangat strategis. Di Indonesia jagung memiliki nilai ekonomis yang tinggi karena dapat menggantikan beras sebagai sumber karbohidrat. Selain sebagai bahan pangan jagung juga dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak dan bahan baku industri dengan tingkat kebutuhan yang besar (Maruapey, 2012).

Pertanian jagung di Sumatera Utara merupakan komoditas nomor dua terbesar setelah komoditas beras. Produksi jagung tahun 2017 dengan luas panen 24.584,30 ha menghasilkan produksi sebesar 148.949,00 ton. Tahun 2018 luas panen menurun menjadi 20.202,40 ha dengan hasil produksi 117.517,36 ton (BPS, 2019).

Kendala dalam budidaya jagung yang menyebabkan rendahnya produktivitas antara lain serangan hama dan penyakit. Hama yang sering dijumpai menyerang pertanaman jagung adalah ulat penggerek batang jagung, kutu daun, ulat penggerek tongkol dan thrips (Wakman dan Burhanudin, 2005).

Desa Ujung Serdang merupakan salah satu desa yang ada di Kecamatan Tanjung Morawa, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Kabupaten Deli Serdang memiliki lahan pertanian yang luas, yakni lebih dari 30% dari total wilayahnya merupakan lahan pertanian yang ditanami tanaman padi dan palawija seperti jagung, ubi jalar, ubi kayu, kacang tanah, kedelai, kacang hijau dan sayuran.

Hasil pertanian yang mendominasi adalah tanaman jagung karena penyebarannya merata di setiap kecamatan (Putra et al., 2020).

Petani di lahan pertanian Desa Ujung Serdang melakukan penanaman jagung dengan dua cara yaitu monokultur dan multikultur. Menurut Andow (1991), sistem pertanaman monokultur merupakan pertanaman satu jenis tanaman yang dapat menurunkan jumlah dan aktivitas musuh alami karena terbatasnya mikrohabitat dan

(14)

2

sumber pakan, seperti polen, nektar dan mangsa atau inang alternatif yang diperlukan oleh musuh alami untuk makan dan bereproduksi.

Pertanaman monokultur dalam jangka panjang dapat mendorong ekosistem pertanian rentan terhadap serangan hama sehingga petani menggunakan insektisida kimia untuk membasmi serangga hama. Menurut Kardinan (2011), penggunaan insektisida kimia dapat menimbulkan kerugian seperti resistensi hama, resurjensi hama, berkurangnya musuh alami dan terjadi pencemaran lingkungan yang sangat berbahaya bagi manusia.

Sistem pertanaman multikultur merupakan pertanaman yang menanam beberapa jenis tanaman yang berbeda dalam satu lahan. Sistem pertanaman multikultur ini secara ekonomi dapat menjadi hasil panen sampingan sehingga menambah penghasilan bagi petani dan secara ekologi dapat menciptakan stabilitas biologis untuk menekan serangan hama dan penyakit disamping itu juga mengurangi pemakaian insektisida kimia (Kogan, 1999).

Pertanaman multikultur lebih menguntungkan dibandingkan sistem pertanaman monokultur karena produktivitas lahan menjadi lebih tinggi, jenis komoditas yang dihasilkan beragam dan resiko kegagalan lebih kecil. Menurut Anil et al., (1998), pertanaman multikultur dapat digunakan sebagai konservasi lahan, pengendalian gulma, pengendalian hama dan penyakit tanaman, meningkatkan hasil tanaman bahkan dapat mempertahankan kesuburan tanah bila salah satu jenis tanaman yang ditanam adalah tanaman leguminosae.

Sistem pertanaman monokultur dan multikultur berpengaruh pada tingkat keanekaragaman serangga yang memiliki dampak penting bagi kestabilan ekosistem pertanian. Menurut Ouma dan Jeruto (2010), pertanaman multikultur akan meningkatkan stabilitas ekosistem pertanian karena menyediakan lingkungan yang lebih baik bagi serangga predator dan parasit sehingga dapat mengendalikan populasi hama secara alamiah seperti pada penelitian yang telah dilakukan Saosa (2007), menunjukkan bahwa pertanaman multikultur lebih efektif mengurangi serangan hama yang sangat nyata pada pola tanam multikultur jagung dengan kapas dibandingkan pola tanam monokultur jagung maupun kapas. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui keanekaragaman serangga pada tanaman

(15)

3

jagung (Zea mays L.) pola tanam monokultur dan multikultur di lahan pertanian Desa Ujung Serdang, Kecamatan Tanjung Morawa.

1.2 Permasalahan

Petani di lahan pertanian Desa Ujung Serdang melakukan penanaman jagung dengan sistem pertanaman monokultur dan multikultur. Sistem pertanaman monokultur dan multikultur berpengaruh pada tingkat keanekaragaman serangga yang memiliki dampak penting bagi kestabilan ekosistem. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk menganalisis bagaimana keanekaragaman serangga pada tanaman jagung (Zea mays L.) pola tanam monokultur dan multikultur di lahan pertanian Desa Ujung Serdang, Kecamatan Tanjung Morawa.

1.3 Hipotesis

Terdapat perbedaan keanekaragaman serangga pada sistem pertanaman monokultur dan multikultur.

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman serangga pada tanaman jagung (Zea mays L.) pola tanam monokultur dan multikultur di lahan pertanian Desa Ujung Serdang, Kecamatan Tanjung Morawa.

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai keanekaragaman serangga pada tanaman jagung (Zea mays L.) pola tanam monokultur dan multikultur di lahan pertanian Desa Ujung Serdang, Kecamatan Tanjung Morawa. Selain itu diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi sumber informasi bagi petani dan instansi terkait tentang peranan serangga sebagai hama, predator, polinator, parasitoid, dekomposer dan netral sehingga dapat menjadi pertimbangan penggunaan insektisida kimia.

(16)

4

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Serangga

Serangga merupakan kelompok hewan yang dominan dengan jumlah spesies hampir 80% dari jumlah total hewan dibumi. Dari 750.000 spesies serangga, sekitar 250.000 spesies terdapat di Indonesia (Bappenas, 1993). Spesies yang berhasil diidentifikasi sebanyak 1.413.000 dan lebih dari 7.000 spesies baru ditemukan hampir setiap tahun. Tingginya jumlah serangga dikarenakan serangga berhasil mempertahankan keberlangsungan hidupnya pada habitat yang bervariasi, memiliki kapasitas reproduksi yang tinggi dan kemampuan menyelamatkan diri dari musuhnya (Borror et al., 1992).

Serangga atau insekta termasuk dalam phylum arthropoda yang terbagi menjadi 3 subphylum yaitu subphylum trilobita, chelicerata dan mandibulata.

Trilobita merupakan arthropoda yang hidup dilaut, yang ada sekitar 245 juta tahun yang lalu dan pada umumnya ditemukan dalam bentuk fosil. Subphylum chelicerata merupakan hewan predator yang mempunyai selicerae dengan kelenjar racun, yang termasuk kelompok ini adalah laba-laba. Subphylum mandibulata terdiri dari kelas Crustacea, Myriapoda, dan Insecta (Meyer, 2003).

Pada ekosistem pertanian dapat dijumpai komunitas serangga yang memperlihatkan sifat populasinya sendiri. Namun tidak semua jenis serangga mendatangkan kerugian bagi tanaman, sebagian besar serangga yang dijumpai merupakan serangga sebagai musuh alami (Untung, 2006). Serangga memegang peranan yang sangat penting dalam suatu ekosistem, diantaranya sebagai dekomposisi, penyerbukan, predator, herbivora dan sebagai bioindikator.

Penggunaan bioindikator dapat menggambarkan adanya keterkaitan dengan kondisi faktor biotik dan abiotik lingkungan. Bioindikator ekologis adalah kelompok organisme yang sensitif terhadap gejala perubahan dan tekanan lingkungan akibat aktifitas manusia atau kerusakan sistem biotik (McGeoch, 1998). Keberadaan serangga dapat digunakan sebagai indikator keseimbangan ekosistem. Menurut

(17)

5

Suheriyanto (2008), keanekaragaman serangga yang tinggi menyebabkan proses jaring-jaring makanan berjalan secara normal sehingga dapat dikatakan lingkungan ekosistem tersebut seimbang atau stabil.

Secara morfologi, tubuh serangga dewasa dapat dibagi menjadi tiga bagian utama. Ketiga bagian tubuh serangga dewasa adalah kepala (caput), dada (thorax), dan perut (abdomen). Pada bagian caput terdapat mulut, antena, mata majemuk (faset) dan mata tunggal (ocelli). Pada bagian thorax, ditemukan tungkai 3 pasang dan spirakel. Sedangkan dibagian abdomen dapat dilihat membran timpani dan alat kelamin (Arnett et al., 1981).

2.2 Peranan Serangga 2.2.1 Serangga Penyerbuk

Serangga penyerbuk merupakan serangga yang penting dalam penyerbukan tanaman berbunga, dan berperan sebesar 35% sebagai penyediaan sumber pangan dunia. Pada bidang pertanian serangga merupakan salah satu kunci keberhasilan produksi pertanian. Serangga penyerbuk terdiri atas beberapa ordo seperti Coleoptera Diptera, Lepidoptera dan Hymenoptera khususnya lebah karena dianggap lebih efisien dalam membantu penyerbukan tanaman pertanian (Ashman, 2000).

Ketertarikan serangga penyerbuk terhadap bunga tanaman dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti ukuran bunga, warna bunga dan jumlah bunga (Asikainen dan Mutikainen, 2005). Ketertarikan serangga terhadap bunga juga dipengaruhi oleh ketersediaan nektar dan tepung sari serta kondisi bunga untuk serangga penyerbuk (Winfree et al., 2008). Ketersediaan tepung sari dan nektar merupakan daya tarik yang sangat penting karena serangga mengunjungi bunga untuk mendapatkan sumber makanan (Faheem et al., 2004).

2.2.2 Serangga Hama

Serangga hama adalah organisme yang menimbulkan kerusakan pada tanaman dan menurunkan kualitas maupun kuantitasnya sehingga menimbulkan kerugian ekonomi bagi manusia (Sianipar, 2015). Serangga dianggap sebagai hama ketika keberadaannya merugikan kesejahteraan manusia, estetika suatu produk, atau

(18)

6

kehilangan hasil panen. Apabila pengertian hama itu hewan yang merugikan, maka serangga hama didefinisikan sebagai serangga yang mengganggu atau merusak tanaman baik secara ekonomis maupun estetis (Meilin et al., 2016).

Kelimpahan populasi hama dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal seperti kemampuan berkembangbiak yang baik, siklus hidup yang cepat dan umur serangga. Sementara faktor eksternal dipengaruhi oleh faktor fisik lingkungan, makanan yang berlimpah dan tersedia secara terus menerus (Tyas et al., 2016). Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Surya (2016), serangga hama yang didapatkan dari tanaman jagung diantaranya Belalang (Oxya chinensis), Lalat bibit (Arthaarygona exiqua), Ulat tanah (Agrotis ipsilo), Kumbang bubuk (Sitophilus zeamais motsch), Ulat gayak (Spodoptera litura), dan Penggerek tongkol (H. armigera).

2.2.3 Serangga Musuh Alami

Serangga musuh alami merupakan serangga yang memakan serangga lain.

Serangga ini dapat mengendalikan populasi serangga hama (Maesyaroh, 2018).

Musuh alami yang ditemukan sebagai predator pengendali hama pada tanaman jagung adalah Kumbang kubah (Harmonia octomaculata, Micraspis sp., Monochilus), Semut Hitam (Delishoderus thoracius), Lalat Tachinid, Kumbang koksi (Harmonia octomaculata, micraspis sp.), Belalang hijau (Oxya chinensis), Belalang kayu (Valanga hirricornis), Laba-laba (Lycosa sp.) (Surya, 2016).

Peran musuh alami sangat berpengaruh untuk mencegah peledakan populasi hama sampai pada tingkat populasi yang tidak merugikan. Berkurangnya musuh alami akibat penggunaan insektisida atau pestisida sintetik dapat memicu terjadinya peledakan hama (Thalib et al., 2002). Salah satu komponen penting dalam pengendalian hama yaitu memanfaatkan musuh alami. Menurut Untung (2006), musuh alami merupakan pengatur populasi yang efektif karena bersifat tergantung kepadatan. Jika terjadi peningkatan populasi serangga hama maka akan diikuti oleh peningkatan populasi musuh alami dan respon fungsional yaitu peningkatan daya makan atau daya parasitasinya. Dilihat dari fungsinya musuh alami dikelompokkan menjadi parasitoid, predator dan patogen.

(19)

7

A. Parasitoid

Parasitoid merupakan serangga yang hidup dan menghisap makanan dari serangga lain. Parasitoid hidup menumpang diluar atau didalam tubuh inangnya dengan cara menghisap tubuh inangnya guna memenuhi kebutuhan hidupnya.

Umumnya parasitoid menyebabkan kematian pada inangnya secara perlahan-lahan dan dapat menyerang setiap fase hidup serangga. Kebanyakan parasitoid bersifat monofag (memiliki inang spesifik), tetapi ada juga yang oligofag (inang tertentu).

Selain itu parasitoid memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil dari inangnya (Hadi dan Aminah, 2012).

Kerusakan tanaman jagung oleh penggerek batang jagung (Ostrinia furnacalis) dapat menyebabkan patahnya batang atau rusaknya tongkol sehingga tidak dapat dipanen, berkurangnya jumlah dan bobot biji karena terjadi gangguan fisiologi tanaman akibat larva yang memakan biji (Godfray, 1994). Gerekan akan mengurangi transfortasi air dan unsur hara dari tanah ke bagian atas batang dan daun karena rusaknya jaringan tanaman. Kehilangan hasil akibat serangan penggerek batang berkisar 20-80% (Bato et al., 1983). Trichogramma evanescens merupakan salah satu parasitoid telur yang dapat memarasit telur penggerek batang jagung (Pabbage dan Baco, 2000).

B. Predator

Predator adalah binatang atau serangga yang memangsa serangga lain. Istilah predator yaitu suatu bentuk simbiosis atau hubungan dari individu dimana salah satu individu menyerang atau memakan individu lain untuk kepentingan hidupnya dan dilakukan berulang-ulang. Menurut Jumar (2000), hampir semua ordo serangga memiliki jenis yang menjadi predator, beberapa ordo yang merupakan predator yang digunakan dalam pengendalian hayati adalah ordo Coleoptera, Orthoptera, Diptera, Odonata, Homoptera, dan Neuroptera.

Predator merupakan agen hayati penting dalam pengendalian hama tanaman khususnya pada pertanaman jagung. Predator sebagai musuh alami hidup diantara hama dan menekan populasi hama tanpa memusnahkan keseluruhan, sehingga keseimbangan alam tetap terjaga. Predator tidak hanya memangsa satu stadia

(20)

8

perkembangan hama pada tanaman jagung namun hampir semua tahapan perkembangan hama seperti telur, larva, pupa dan imago, mampu memangsa secara bertahap atau berkelanjutan selama hidupnya. Berdasarkan studi penggunaan predator 75% telah menunjukkan bahwa predator umumnya dapat menurunkan populasi hama secara nyata (Surya, 2016).

2.3 Faktor yang Mempengaruhi Keanekaragaman Serangga

Menurut Krebs (1978), faktor yang mempengaruhi naik turunnya nilai keanekaragaman jenis yaitu:

a. Waktu, keragaman komunitas bertambah sejalan waktu, berarti komunitas tua yang sudah lama berkembang, lebih banyak terdapat organisme dari pada komunitas muda yang berkembang. Waktu dapat berjalan dengan ekologi lebih pendek atau hanya puluhan generasi.

b. Heterogenitas ruang, semakin heterogen suatu lingkungan fisik semakin kompleks komunitas flora dan fauna disuatu tempat tersebar dan semakin tinggi keragaman jenisnya.

c. Kompetisi terjadi apabila sejumlah organisme menggunakan sumber yang sama yang ketersediannya kurang atau walaupun ketersediannya cukup namun bersaing tetap juga bila organisme-organisme itu memanfaatkan sumber tersebut, yang satu menyerang yang lain atau sebaliknya.

d. Memanfaatkan sumber tersebut yang satu menyerang yang lain atau sebaliknya.

e. Pemangsaan, yang mempertahankan komunitas populasi dari jenis bersaing yang berbeda dibawah daya dukung masing-masing selain memperbesar kemungkinan hidupnya berdampingan sehingga mempertinggi keragaman, apabila intensitas dari pemangsaan terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat menurunkan keragaman jenis.

f. Kestabilan iklim, makin stabil keadaan suhu, kelembaban, salinitas, pH dalam suatu lingkungan, maka semakin banyak jenis dalam lingkungan tersebut.

Lingkungan yang stabil lebih memungkinkan keberlangsungan evolusi.

(21)

9

g. Produktivitas juga dapat menjadi syarat mutlak untuk keanekaragaman yang tinggi.

Ketujuh faktor ini saling berinteraksi untuk menetapkan keanekaragaman jenis dalam komunitas yang berbeda. Keanekaragaman jenis sangatlah penting dalam menentukan batas kerusakan akan akibat dari turut campur tangan manusia (Michael, 1995).

2.4 Hubungan Serangga dengan Tanaman Jagung

Jagung merupakan tanaman berumah satu (monocious) dimana letak bunga jantan terpisah dengan bunga betina pada satu tanaman (Situmeang, 2020). Bunga jantan tumbuh sebagai perbungaan ujung (tassel) pada batang utama, sedangkan bunga betina tumbuh terpisah sebagai perbungaan samping (tongkol) yang berkembang pada ketiak daun (Syukur et al., 2012).

Hubungan serangga dengan tanaman merupakan hubungan timbal balik serangga ataupun tanaman yang masing-masing memperoleh keuntungan. Tetapi serangga yang memperoleh makanan dari tanaman akan merugikan tanaman tersebut. Hampir 50% dari serangga adalah pemakan tanaman atau fitofagus sedangkan yang lain pemakan serangga atau sisa-sisa tanaman atau hewan lain.

Serangga yang bertindak sebagai pemakan tanaman perlu ruang sebagai tempat hidup atau tempat berlindung, berkembangbiak atau mengambil makanan. Bagian- bagian yang disediakan tanaman adalah daun, tangkai, batang, bunga, buah, madu dan cairan tanaman. Beberapa bagian tanaman digunakan untuk tempat berlindung atau berkembangbiak. Serangga mempunyai alat indera yang tajam untuk menentukan tanaman inang yang disukai (Hadi et al., 2009).

Keberadaan serangga tergantung dari makanan yang didapatkan. Serangga herbivora menyukai habitat yang banyak ditumbuhi oleh tanaman yang mendukung kehidupan serangga. Makanan serangga bermacam-macam tergantung jenisnya (Alrazik et al., 2017). Menurut Hadi et al., (2009), keadaan pakan menjadi faktor pembatas bagi keberadaan populasi hewan disuatu tempat karena adanya kompetisi antar individu. Sejumlah organisme bergantung pada sumber yang sama sehingga persaingan terjadi. Persaingan dapat terjadi antara anggota-anggota spesies yang

(22)

10

berbeda (persaingan interspesifik) maupun anggota spesies yang sama (persaingan intraspesifik). Persaingan dapat terjadi untuk mendapatkan makanan atau ruang.

2.5 Fase Pertumbuhan Tanaman Jagung 2.5.1 Fase Pertumbuhan Vegetatif

Pada fase vegetatif, tanaman jagung mengalami fase berikut ini:

a. Fase V3-V5 (jumlah daun yang terbuka sempurna 3-5), fase ini berlangsung pa- da saat tanaman berumur antara 10-18 hari setelah berkecambah. Pada fase ini akar seminal sudah mulai berhenti tumbuh, akar nodul sudah mulai aktif (McWilliams et al., 1999).

b. Fase V6-V10 (jumlah daun terbuka sempurna 6-10), fase ini berlangsung pada saat tanaman berumur antara 18 -35 hari setelah berkecambah. Titik tumbuh sudah di atas permukaan tanah, perkembangan akar dan penyebarannya di tanah sangat cepat, dan pemanjangan batang meningkat dengan cepat. Pada fase ini bakal bunga jantan (tassel) dan perkembangan tongkol dimulai (Lee, 2007).

c. Fase V11- Vn (jumlah daun terbuka sempurna 11 sampai daun terakhir), fase ini berlangsung pada saat tanaman berumur antara 33-50 hari setelah berkecambah.

Tanaman sangat sensitif terhadap cekaman kekeringan dan kekurangan hara.

Pada fase ini, kekeringan dan kekurangan hara sangat berpengaruh terhadap per- tumbuhan dan perkembangan tongkol, bahkan akan menurunkan jumlah biji da- lam satu tongkol karena mengecilnya tongkol dan akan memperlambat munculnya silking (McWilliams et al., 1999 dan Lee, 2007).

d. Fase Tasseling (berbunga jantan), fase tasseling biasanya berkisar antara 45-52 hari, ditandai oleh adanya cabang terakhir dari bunga jantan sebelum kemuncu- lan bunga betina (silk/rambut tongkol). Tahap VT dimulai 2-3 hari sebelum rambut tongkol muncul, di mana pada periode ini tinggi tanaman hampir men- capai maksimum dan mulai menyebarkan serbuk sari (pollen) (Subekti et al., 2008).

2.5.2 Fase Pertumbuhan Generatif

Pada fase generatif, tanaman jagung mengalami berbagai fase berikut:

(23)

11

a. Fase R1 (silking), tahap silking diawali oleh munculnya rambut dari dalam tongkol yang terbungkus kelobot, biasanya mulai 2-3 hari setelah tasseling.

Penyerbukan (polinasi) terjadi ketika serbuk sari yang dilepas oleh bunga jantan jatuh menyentuh permukaan rambut tongkol yang masih segar. Serbuk sari ter- sebut membutuhkan waktu sekitar 24 jam untuk mencapai sel telur (ovule), di mana pembuahan (fertilization) akan berlangsung membentuk bakal biji. Ram- but tongkol muncul dan siap diserbuki selama 2-3 hari (Lee, 2007).

b. Fase R2 (blister), fase R2 muncul sekitar 10-14 hari seletelah silking, rambut tongkol sudah kering dan berwarna gelap. Ukuran tongkol dan kelobot hampir sempurna, biji sudah mulai nampak dan berwarna putih melepuh, pati mulai di- akumulasi ke endosperm, kadar air biji sekitar 85%, dan akan menurun terus sampai panen (Subekti et al., 2008).

c. Fase R3 (masak susu), fase ini terbentuk 18 -22 hari setelah silking. Pengisian biji semula dalam bentuk cairan bening, berubah seperti susu. Akumulasi pati pada setiap biji sangat cepat, warna biji sudah mulai terlihat (bergantung pada warna biji setiap varietas), dan bagian sel pada endosperm sudah terbentuk lengkap (Subekti et al., 2008).

d. Fase R4 (dough), fase R4 mulai terjadi 24-28 hari setelah silking. Bagian dalam biji seperti pasta (belum mengeras). Separuh dari akumulasi bahan kering biji sudah terbentuk, dan kadar air biji menurun menjadi sekitar 70% (Subekti et al., 2008).

e. Fase R5 (pengerasan biji), fase R5 akan terbentuk 35-42 hari setelah silking. Se- luruh biji sudah terbentuk sempurna, embrio sudah masak, dan akumulasi bahan kering biji akan segera terhenti. Kadar air biji 55% (Subekti et al., 2008).

f. Fase R6 (masak fisiologis), tanaman jagung memasuki tahap masak fisiologis 55-65 hari setelah silking. Pada tahap ini, biji-biji pada tongkol telah mencapai bobot kering maksimum. Pada varietas hibrida, tanaman mempunyai sifat tetap hijau (stay-green) yang tinggi, kelobot dan daun bagian atas masih berwarna hi- jau meskipun telah memasuki tahap masak fisiologis. Pada tahap ini kadar air biji berkisar 30-35% (Subekti et al., 2008).

(24)

12

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Mei 2020 di lahan pertanian Desa Ujung Serdang, Kecamatan Tanjung Morawa, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam mengukur faktor abiotik adalah Thermometer, Hygrometer, Lux-meter, dan Global Positioning System Handheld. Alat yang digunakan dalam penelitian adalah sweeping net, sampel cup 100 ml, camera digital, buku kunci determinasi serangga yaitu Penggenalan Pelajaran Serangga, oleh Donald J. Borror (1996), dan Kunci Determinasi Serangga oleh Subyanto dan Achmad Sulthoni (1991), kertas milimeter, pinset, label tempel, kertas papilot, jarum suntik 1 ml, alat tulis dan alat Light Trap. Sedangkan bahan yang digunakan untuk pengawetan sampel adalah alkohol 70%.

3.3 Deskripsi Area

Lokasi penelitian merupakan lahan pertanian jagung milik rakyat seluas dua hektar yang terletak di Desa Ujung Serdang, Kecamatan Tanjung Morawa, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara dengan tititk koordinat 3°31’42’’ LU dan 98°45’12’’ BT yang terdiri atas dua tipe pertanaman yaitu tipe monokultur (jagung) dan multikultur (jagung dan pisang). Areal yang digunakan sebagai lokasi pengambilan sampel adalah areal monokultur pada fase vegetatif dan generatif dengan luas masing-masing 40x40 meter dan area multikultur pada fase vegetatif dan generatif dengan luas masing-masing 40x40 meter.

(25)

13

3.4 Metode Penelitian

Penentuan lokasi penelitian dilakukan dengan metode purposive sampling, dengan memilih empat lokasi. Lokasi satu merupakan area monokultur (jagung) pada fase vegetatif, lokasi dua merupakan area monokultur (jagung) pada fase generatif, lokasi tiga merupakan area multikultur (jagung dan pisang) pada fase vegetatif dan lokasi empat merupakan area multikultur (jagung dan pisang) pada fase generatif.

Lokasi yang dipilih adalah lokasi yang dapat mewakili area pengambilan sampel.

Sedangkan pengambilan sampel dilakukan dengan metode jaring ayun (sweep sampling method), pengamatan langsung (visual control) dan perangkap cahaya (light trap) (Sutherland, 2006).

3.5 Pelaksanaan Penelitian 3.5.1 Cara Kerja

Pengukuran faktor abiotik seperti suhu, kelembapan udara dan intensitas cahaya dilakukan dengan menggunakan alat thermometer, hygrometer, dan lux-meter sedangkan untuk melihat letak lokasi pengambilan sampel secara geografis dengan menggunakan alat Global Positioning System (GPS).

Sampel diambil pada tanaman jagung varietas Hibrida BISI 18. Pengambilan sampel dilakukan pada saat tanaman jagung berada pada fase vegetatif (V3-V5) yang ditandai dengan jumlah daun terbuka sempurna 3-5 helai saat tanaman berumur antara 10-18 hari setelah berkecambah dan saat munculnya tasseling (bunga jantan) berumur antara 45-52 hari yang ditandai adanya cabang terakhir dari bunga jantan sebelum munculnya bunga betina. Pengambilan sampel dilakukan kembali pada fase generatif R1 (silking) yang diawali munculnya rambut dari dalam tongkol yang terbungkus kelobot berumur 2-3 hari setelah tasseling dan fase R3 (masak susu) berumur 18-22 hari setelah silking (Baco dan Tandiabang, 1998). Pengamatan dilakukan masing-masing tiga kali berdasarkan fase tanaman jagung yang telah ditentukan.

Sampel yang diperoleh kemudian dibawa ke Laboratorium Sistematika Hewan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara untuk diidentifikasi.

(26)

14

3.5.1.1 Metode Jaring Ayun (sweep sampling method)

Metode ini telah dimodifikasi oleh Hendrival et al., (2011), metode ini menggunakan alat berupa jaring ayun berbentuk kerucut, mulut jaring terbuat dari kawat melingkar (diameter 30 cm) dan jaring terbuat dari kain kasa yang digunakan untuk menangkap serangga yang aktif terbang dan yang berada pada tajuk tanaman.

Panjang tangkai jaring sekitar 75-100 cm. Metode jaring ayun dilakukan pada pukul 07.00-10.00 dan 16.00-18.00 WIB. Pengambilan serangga dilakukan dengan cara mengayunkan jaring ke kiri dan ke kanan secara bolak-balik sebanyak 20 kali sambil berjalan zig-zag pada lokasi yang telah ditentukan. Serangga yang tertangkap dimasukkan kedalam sampel cup yang telah berisi alkohol 70%.

3.5.1.2 Metode Pengamatan Langsung (visual control)

Metode ini telah dimodifikasi oleh Maisyaroh (2014), metode visual control adalah metode pengamatan secara langsung pada serangga yang mengunjungi tanaman jagung dalam waktu tertentu. Metode ini digunakan untuk mengamati serangga yang tidak aktif terbang. Alat yang digunakan yaitu pinset. Metode pengamatan langsung dilakukan pada pukul 07.00-10.00 dan 16.00-18.00 WIB.

Pengambilan serangga dilakukan dengan mengamati keberadaan serangga yang ada pada tanaman jagung baik dalam bentuk larva, pupa, maupun imago (dewasa).

Serangga yang didapat diambil kemudian dimasukkan kedalam sampel cup yang telah diisi dengan larutan alkohol 70%.

3.5.1.3 Metode Light trap

Metode ini telah dimodifikasi oleh Siregar (2014), perangkap cahaya (Light Trap) digunakan untuk menangkap serangga yang memiliki respon atau sensitive terhadap cahaya pada malam hari. Metode Light Trap dilakukan pada malam hari.

Pemasangan perangkap cahaya dilakukan di areal tanaman jagung yang telah ditentukan. Pemasangan alat ini dilakukan pada pukul 19.00 WIB dan berakhir pada 06.00 WIB keesokan harinya. Perangkap cahaya diletakkan diantara tanaman jagung untuk menghindari gangguan dari sumber cahaya lain. Lampu yang digunakan adalah lampu 40 watt. Dibawah lampu diletakkan diatas baskom yang telah di isi

(27)

15

deterjen secukupnya sehingga serangga tertarik jatuh kedalam baskom. Sampel yang telah didapatkan kemudian dimasukkan kedalam sampel cup. Sampel yang didapat dikelompokkan sesuai dengan ordo serangga dan diidentifikasi.

3.5.1.4 Identifikasi Serangga

Identifikasi serangga menggunakan buku kunci determinasi serangga yaitu Penggenalan Pelajaran Serangga, oleh Donald J. Borror (1996), dan Kunci Determinasi Serangga oleh Subyanto dan Achmad Sulthoni (1991). Serangga yang telah di identifikasi dihitung jenis dan jumlahnya kemudian dikelompokkan berdasarkan karakteristik untuk menentukan peranannya seperti kelompok serangga hama, serangga penyerbuk, serangga predator dan serangga parasitoid.

3.6 Analisis Data

Jumlah spesies dan jumlah individu masing-masing serangga yang ditemukan dihitung nilai indeks Diversitas/Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’), Indeks Equitabilitas/Keseragaman jenis (E) serta Indeks Similaritas/Kesamaan jenis (Q/S) (Similarity index) (Suin, 2002). Hasil dari analisis data disajikan dalam bentuk tabel.

3.6.1 Indeks Diversitas/Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’)

Untuk mengetahui nilai keanekaragaman serangga dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

H’= ) Keterangan:

H’ =Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener Pi = ni/N

Ln = Logaritma natural

ni = Jumlah individu spesies ke-1 S = Total jumlah spesies

N = Total jumlah individu

Pradhana et al., (2014), menerangkan bahwa nilai H’ sebagai berikut:

Nilai H’ = <1 : Keanekaragaman rendah

(28)

16

Nilai H’ = 1<H’ >3 : Keanekaraman sedang Nilai H’ = > 3 : Keanekaraman tinggi

3.6.2 Indeks Equitabilitas/Keseragaman (E)

Untuk mengetahui nilai keseragaman serangga dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

E=

Keterangan:

E = Indeks Equitabilitas/Keseragaman H’ = Indeks Diversitas/Keanekaragaman

Hmax = Indeks keanekaragaman spesies maksimum

= ln S (S = banyaknya spesies)

Nilai keseragaman (E) berkisar 0-1 (Krebs, 1985) dan Odum (1996), menerangkan bahwa nilai E sebagai berikut:

Jika E mendekati 0 : Keseragaman semakin rendah Jika E mendekati 1 : Keseragaman semakin tinggi

3.6.3 Indeks Similaritas/Kesamaan(Q/S)

Untuk mengetahui nilai kesamaan setiap serangga antar lokasi dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Q/S=

Keterangan:

Q/S = Indeks Similaritas antar lokasi A = Jumlah spesies pada lokasi A B = Jumlah spesies pada lokasi B

C = Jumlah spesies yang sama pada lokasi A dan B Nilai Q/S = <25% : Kesamaan jenisnya sangat tidak mirip Nilai Q/S = 25%-50% : Kesamaan jenisnya tidak mirip

Nilai Q/S = 50%-75% : Kesamaan jenisnya mirip

Nilai Q/S = >75% : Kesamaan jenisnya sangat mirip

(29)

17

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mengenai Keanekaragaman Serangga pada Tanaman Jagung Hibrida (Zea mays L.) Pola Tanam Monokultur dan Multikultur Di Lahan Pertanian Desa Ujung Serdang, Kecamatan Tanjung Morawa di dapatkan hasil sebagai berikut:

4.1 Keanekaragaman Serangga pada Tanaman Jagung Hibrida (Zea mays L.) Pola Tanam Monokultur dan Multikultur Di Lahan Pertanian Desa Ujung Serdang, Kecamatan Tanjung Morawa

Hasil penelitian tentang keanekaragaman serangga pada tanaman jagung hibrida (Zea mays L.) terdiri atas 9 ordo, 24 famili dan 40 spesies seperti terlihat pada Tabel 4.1 dibawah ini:

Tabel 4.1 Keanekaragaman Serangga pada Tanaman Jagung Hibrida (Zea mays L.) Pola Tanam Monokultur dan Multikultur Di Lahan Pertanian Desa Ujung Serdang, Kecamatan Tanjung Morawa

Ordo Famili Spesies

Lokasi

Monokultur Multikultur

1 2 3 4

1. Blattodea 1. Blattidae 1. Blatta sp. - -

2. Coleoptera 2. Coccinelidae 2. Cheilomenes Sexmaculata

3. Epilacna sp.

3. Scarabaeidae 4. Cyclocephala hirta - 4. Staphylinidae 5. Paederus fuscipes

3. Diptera 5. Asilidae 6. Asilus sp. -

6. Calliphoridae 7. Lucilia sericata

8. Lucilia sp. -

7. Micropezidae 9. Rainieria sp. - -

8. Muscidae 10. Atherigona sp. -

11. Musca domestica

4. Hemiptera 9. Alydidae 12. Leptocorisa acuta -

13. Leptocorisa sp. -

10. Pentatomidae 14. Nezara viridula -

5. Hymenoptera 11. Apidae 15. Apis cerana

16. Xylocopa confusa - -

(30)

18

4.1 Lanjutan

Ordo Famili Spesies

Lokasi

Monokultur Multikultur

1 2 3 4

12. Formicidae 17. Camponotus sp. - -

18. Odontoponera Denticulata

19. Oecophylla sp.

6. Isoptera 13. Rhinotermitidae 20. Coptotermes sp. - 7. Lepidoptera 14. Crambidae 21. Ostrinia

furnacalis

15. Erebidae 22. Amata huebneri -

23. Trigonodes hyppasia

- -

16. Hesperridae 24. Pelopidas mathias - - 17. Noctuidae 25. Helicoverpa

Armigera

26. Spodoptera litura - -

18. Nymphalidae 27. Acraea violae - -

28. Hypolimnas bolina

29. Junonia coenia -

30. Junonia orithya -

19. Pieridae 31. Eurema andersonii

- - -

32. Leptosia nina -

8. Odonata 20. Libellulidae 33. Neurothemis Fluctuans

34. Neurothemis Terminata

- -

35. Orthetrum sabina

36. Pantala flavescens

9. Orthoptera 21. Acrididae 37. Oxya chinensis

22. Gryllidae 38. Gryllus

pennsylvanicus

- -

23. Pyrgomorphidae 39. Atractomorpha Crenulata

-

24. Tetrigidae 40. Pygmy grasshopper

- -

Total Spesies yang Hadir 29 27 35 31

Keterangan: Lokasi satu = Fase Vegetatif Monokultur, Lokasi dua = Fase Generatif Monokultur, Lokasi tiga = Fase Vegetatif Multikultur, Lokasi empat = Fase Generatif Multikultur () = Ditemukan, (-) = Tidak Ditemukan

Tabel 4.1 memperlihatkan bahwa pada pola pertanaman multikultur jumlah serangga yang didapatkan lebih banyak dibandingkan dengan pola pertanaman monokultur. Pertanaman multikultur memiliki daya dukung yang lebih baik untuk kehidupan serangga, hal ini dipengaruhi oleh keberadaan tanaman pisang yang

(31)

19

menjadi mikrohabitat bagi serangga lain. Berdasarkan hasil penelitian Putra (2019), tanaman pisang dapat menyediakan habitat khusus bagi serangga lain seperti serangga pada ordo Lepidoptera, Coleoptera, Diptera, Hemiptera dan Orthoptera.

Beberapa spesies dari kelima ordo tersebut berperan sebagai predator dan polinator.

Hal ini sesuai dengan Sugiyarto (2005) yang menyatakan bahwa kehadiran spesies serangga pada suatu lokasi dapat dipengaruhi oleh jenis tumbuhan yang ditanam pada lokasi tersebut.

Keanekaragaman serangga yang ditemukan pada pola pertanaman monokultur lebih rendah, hal ini dikarenakan kurangnya habitat dan ketersediaan sumber makanan bagi serangga berguna lainnya. Selain itu lokasi ini merupakan lokasi yang berbatasan langsung dengan rumah penduduk dan jalan. Menurut Kurniawati (2015), semakin sedikit tanaman yang terdapat pada suatu ekosistem akan mempengaruhi keberadaan serangga pada ekosistem tersebut.

Tabel 4.1 memperlihatkan bahwa spesies yang hanya ditemukan pada lokasi satu dan tiga yaitu Camponotus sp., Spodoptera litura, Gryllus pennsylvanicus, dan Pygmy grasshopper. Spesies-spesies tersebut merupakan serangga yang menyukai bagian tanaman muda seperti daun dan pucuk tanaman. Menurut Bruyen et al., (2002), serangga pemakan daun lebih menyukai daun yang masih muda, karena kandungan metabolit sekundernya masih rendah dan kandungan nitrogen yang tinggi. Nitrogen diperlukan dalam jumlah tinggi karena nitrogen merupakan unsur utama penyusun asam amino yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan serangga. Pada tanaman yang masih muda lebih banyak mengandung air dan nitrogen yang dibutuhkan serangga herbivora.

Spesies yang hanya ditemukan pada lokasi dua dan empat yaitu Blatta sp., Rainieria sp., Xylocopa confusa, dan Pelopidas mathias. Hal ini diduga karena pada lokasi dua dan empat menyediakan habitat dan sumber makanan yang sesuai bagi serangga tersebut. Menurut Hanafiah et al., (2005) mengemukakan bahwa, faktor- faktor yang berpengaruh terhadap jumlah spesies pada masing-masing lokasi adalah aktivitas spesies serangga yang berbeda antara satu dengan yang lain dan keadaan lingkungan yang berbeda pada masing-masing lokasi.

(32)

20

Data pada tabel 4.1 juga dapat dilihat bahwa spesies serangga yang ditemukan pada semua lokasi penelitian yaitu Epilacna sp., Ostrinia furnacalis, Oxya chinensis, Helicoverpa armigera, Cheilomenes sexmaculata, Odontoponera denticulata, Oecophylla sp., Paederus fuscipes, Neurothemis fluctuans, Orthetrum sabina, Pantala flavescens, Lucilia sericata, Musca domestica, Apis cerana, dan Hypolimnas bolina. Hal ini dikarenakan spesies-spesies tersebut pada umumnya merupakan spesies serangga hama, predator dan polinator yang terdapat pada tanaman jagung. Menurut Ginting et al., (2019), serangga yang terdapat pada setiap fase pertumbuhan bersifat polifagus yaitu memiliki kemampuan beradaptasi yang tinggi pada beberapa tanaman inang. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan Putra et al., (2013), Helicoverpa armigera merupakan serangga hama yang memiliki sifat polifagus atau penyebarannya sangat luas yang menyerang berbagai tanaman palawija sehingga menyebabkan penurunan produktivitas bahkan kegagalan panen.

4.2 Peranan Serangga pada Tanaman Jagung Hibrida (Zea mays L.) Pola Tanam Monokultur dan Multikultur Di Lahan Pertanian Desa Ujung Serdang, Kecamatan Tanjung Morawa

Hasil penelitian ditemukan peranan serangga pada tanaman jagung hibrida (Zea mays L.) yaitu sebagai hama, predator, polinator, dekomposer dan netral seperti yang terlihat pada Tabel 4.2 dibawah ini:

Tabel 4.2 Peranan Serangga pada Tanaman Jagung Hibrida (Zea mays L.) Pola Tanam Monokultur dan Multikultur Di Lahan Pertanian Desa Ujung Serdang, Kecamatan Tanjung Morawa

Spesies Peranan

Lokasi

Monokulturl Multikultur

1 2 3 4

1. Amata huebneri Hama -

2. Atherigona sp. Hama -

3. Atractomorpha crenulata Hama -

4. Coptotermes sp. Hama -

5. Cyclocephala hirta Hama -

6. Epilacna sp. Hama

7. Gryllus pennsylvanicus 8. Helicoverpa armigera

Hama Hama

-

-

(33)

21

4.2. Lanjutan

Lokasi

Spesies Peranan Monokultur Multikultur

1 2 3 4

9. Leptocorisa acuta 10. Leptocorisa sp.

11. Nezara viridula

Hama Hama Hama

- -

-

12. Ostrinia furnacalis Hama

13. Oxya chinensis Hama

14. Pelopidas mathias Hama - -

15. Pygmy grasshopper Hama - -

16. Spodoptera litura Hama - -

17. Trigonodes hyppasia Hama - -

18. Asilus sp. Predator -

19. Camponotus sp. Predator - -

20. Cheilomenes sexmaculata Predator

21. Neurothemis fluctuans Predator

22. Neurothemis terminata Predator - -

23. Odontoponera denticulata Predator

24. Oecophylla sp. Predator

25. Orthetrum sabina Predator

26. Paederus fuscipes Predator

27. Pantala flavescens Predator

28. Acraea violae Polinator - -

29. Apis cerana Polinator

30. Eurema andersonii Polinator - - -

31. Hypolimnas bolina Polinator

32. Junonia coenia Polinator -

33. Junonia orithya Polinator -

34. Lucilia sericata Polinator

35. Lucilia sp. Polinator -

36. Leptosia nina Polinator -

37. Xylocopa confusa Polinator - -

38. Blatta sp. Dekomposer - -

39. Musca domestica Netral

40. Rainieria sp. Netral - -

Keterangan: Lokasi satu = Fase Vegetatif Monokultur, Lokasi dua = Fase Generatif Monokultur, Lokasi tiga = Fase Vegetatif Multikultur, Lokasi empat = Fase Generatif Multikultur () = Ditemukan, (-) = Tidak Ditemukan

Tabel 4.2 memperlihatkan bahwa kehadiran hama tertinggi terdapat pada tanaman jagung multikultur fase vegetatif lokasi tiga sebanyak 16 spesies. Beberapa spesies hama tersebut bukan merupakan hama utama pada tanaman jagung. Hal ini disebabkan karena adanya tanaman lain di sekitar tanaman jagung sebagai mikrohabitat bagi serangga hama lainnya yang mengunjungi tanaman jagung.

Namun banyaknya spesies hama juga diimbangi dengan jumlah predator yang tinggi yaitu 10 spesies. Populasi suatu jenis serangga atau hewan pemakan tumbuhan tidak pernah eksplosif (meledak) karena banyak faktor pengendaliannya baik yang bersifat

(34)

22

abiotik maupun biotik. Menurut Rosalyn (2007), dalam keadaan ekosistem yang stabil populasi suatu jenis organisme selalu dalam keadaan seimbang dengan populasi organisme lainnya. Keseimbangan ini terjadi karena adanya mekanisme pengendalian yang bekerja secara umpan balik yang berjalan pada tingkat antar spesies (persaingan predasi), dan tingkat inter spesies (persaingan teritorial).

Keanekaragaman serangga yang ditemukan pada fase vegetatif dan generatif tanaman jagung pola pertanaman monokultur didapatkan hama seperti Atherigona sp., Coptotermes sp., Epilacna sp., Helicoverpa armigera, Leptocorisa acuta, Ostrinia furnacalis, dan Oxya chinensis. Predator yang ditemukan seperti Cheilomenes sexmaculata, Neurothemis fluctuans, Odontoponera denticulata, Oecophylla sp., Orthetrum sabina, Paederus fuscipes, dan Pantala flavescens.

Sedangkan polinator yang ditemukan yaitu Apis cerana, Hypolimnas bolina, Lucilia sericata, dan Lucilia sp. Pada pertanaman monokultur banyak ditemukan hama utama tanaman jagung dan masih sedikitnya jumlah predator. Menurut Baco dan Tandiabang (1998), hama utama pada tanaman jagung yaitu Agrotis sp., Atherigona sp., Lundi, Dactylispa balyi, Ostrinia furnacalis, Spodoptera litura, dan Helicoverpa armigera. Hadi et al., (2009) menambahkan bahwa, hama utama adalah hama yang menyerang tanaman dengan intensitas serangan yang berat, sehingga memerlukan usaha pengendalian dalam area yang luas seperti memberikan insektisida kimia.

Pemberian insektisida kimia akan mengurangi jumlah serangga berguna dan dapat merusak ekosistem.

Pertanaman monokultur menyediakan sumber makanan dalam jumlah yang banyak bagi serangga hama, sehingga serangga dapat bereproduksi dan bertahan dengan baik. Menurut Andow (1991), sistem pertanaman monokultur dapat menurunkan jumlah ketersediaan habitat, sumber makanan, dan kemampuan bereproduksi bagi musuh alami seperti predator dan parasitoid. Hal ini menyebabkan jumlah musuh alami lebih sedikit dari jumlah hama yang terdapat pada lahan pertanian jagung, sehingga kemampuan musuh alami dalam pengendalian hama berkurang.

Pada fase vegetatif dan generatif tanaman jagung pola pertanaman multikultur didapatkan serangga hama seperti Amata huebneri, Atractomorpha

(35)

23

crenulata, Cyclocephala hirta, Epilacna sp., Helicoverpa armigera, Leptocorisa sp., Nezara viridula, Ostrinia furnacalis, dan Oxya chinensis. Predator yang ditemukan seperti Asilus sp., Cheilomenes sexmaculata, Neurothemis fluctuans, Neurothemis terminata, Odontoponera denticulata, Oecophylla sp., Orthetrum sabina, Paederus fuscipes dan Pantala flavescens. Sedangkan polinator yang ditemukan yaitu Acraea violae, Apis cerana, Hypolimnas bolina, Junonia coenia, Junonia orithya, Lucilia sericata, dan Leptosia nina. Serangga hama yang ditemukan pada lokasi multikultur bukanlah serannga utama. Beberapa serangga merupakan hama sekunder dan hama migran seperti Amata huebneri, Atractomorpha crenulata, Cyclocephala hirta, Leptocorisa sp., dan Nezara viridula. Menurut Hadi et al., (2009), hama sekunder adalah hama yang tidak menyerang bagian vital tanaman. Serangan hama ini masih mampu ditoleransi oleh tanaman. Hama migran adalah spesies hama yang mempunyai sifat suka berpindah. Hama ini bukan berasal dari tanaman setempat melainkan serangga yang pindah. Hama ini menimbulkan kerugian yang tidak berarti dengan jangka waktu yang pendek karena hama ini akan pindah kembali.

Tabel 4.2 juga memperlihatkan pertanaman multikultur lebih banyak terdapat predator dan polinator yang dapat mengendalikan serangga hama dan membantu penyerbukan. Serangga predator yang ditemukan seperti Asilus sp., Componotus sp., Cheilomenes sexmaculata, Neurothemis fluctuans, Neurothemis terminata, Odontoponera denticulata, Oecophylla sp., Orthetrum sabina, Paederus fuscipes dan Pantala flavescens. Menurut Sari dan Yaniwiadi (2014), adanya kompetisi antara hama dengan predator dapat menekan jumlah kehadiran hama sehingga keberadaan hama dapat dikendalikan.

Populasi hama dapat berubah apabila dikendalikan dengan tepat. Salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan itu adalah musuh alami yang meliputi parasitoid, predator dan patogen. Berdasarkan hasil penelitian Nonci et al., (2000), predator yang ditemukan pada pertanaman monokultur yaitu Harmonia octomaculata, Proreus sp., Euborellia sp., dan semut. Sedangkan hasil penelitian Berutu (2019), pada pertanaman multikultur jagung dan padi ditemukan predator seperti Cheilomenes sexmaculata, Coccinella arcuata, Orthetrum sabina, Paederus fuscipes, dan Pantala flavescens. Hal ini menunjukkan bahwa pada pertanaman

Referensi

Dokumen terkait