• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, maksudnya suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis suatu peraturan hukum baik dalam bentuk teori maupun praktek pelaksanaan dari hasil penelitian di lapangan,49 dalam hal ini kepatuhan PPAT dalam pembuatan akta hibah berdasarkan Undang-Undang BPHTB.

Dalam penulisan ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis empiris yaitu dimaksudkan sebagai pendekatan terhadap masalah dengan melihat dari segi peraturan-peraturan yang berlaku dan dihubungkan dengan kenyataan yang terjadi mengenai fenomena-fenomena yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas PPAT dalam pembuatan akta hibah atas tanah dan bangunan di Kota Medan.

47 Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU BPHTB. 48 Pasal 7 ayat (1) UU BPHTB.

49

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di kota Medan, karena merupakan suatu wilayah yang banyak terjadi transaksi peralihan hak atas tanah dan bangunan disebabkan banyaknya terdapat kantor Pejabat Pembuat Akta Tanah.

3. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Kantor PPAT yang wilayah hukumnya di Kota Medan yaitu sebanyak 253 (dua ratus lima puluh tiga) Kantor PPAT, sedangkan yang dijadikan populasi sasaran adalah Kantor PPAT yang berada di Kota Medan. Penarikan sampel dilakukan secara purposive sampling50 sebanyak 6 (enam) Kantor PPAT di Kota Medan.51 Penelitian ini didukung dengan data penunjang melalui informan yaitu: Pegawai/Petugas KPP Pratama Medan Kota dan Pegawai/Petugas KPP Pratama Medan Petisah masing-masing sebanyak 1 orang.

50 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia,

Jakarta, hal. 196-197. Populasi tersebut kemudian dipilih menjadi unit sampel penelitian dengan menggunakan teknik purposive sampling. Pemilihan penggunaan teknik tersebut didasarkan kepada pertimbangan bahwa sampel yang akan diteliti memiliki karakteristik yang relatif sama untuk dipilih menjadi sampel responden. Bentuk sampling tersebut biasa diterapkan dalam penelitian hukum empiris yang bertujuan untuk mengetahui efektivitas hukum dalam masyarakat. Di samping alasan tersebut, purposive sampling dipilih agar benar-benar dapat menjamin, bahwa responden adalah unsur-unsur yang hendak diteliti dan yakin masuk dalam sampel yang dipilih.

51 Klaus Krippendorff, 1993, Analisis Isi Pengantar Teori dan Metodologi, PT. Raja

Granfindo Persada, Jakarta, 1993, hal. 96, menyatakan tidak ada jawaban yang pasti untuk menjawab persoalan berapa jumlah sampel yang dapat mewakili populasi. Lihat juga, Amiruddin dan H. Zainal Abidin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004. menyatakan bila sifat populasi homogen, jumlah sampelnya kecil saja. Jika sifat populasinya heterogen, jumlah sampelnya harus memperhatikan keheteorogenannya karena sampel yang diambil harus dapat menerminkan/mewakili populasi.

4. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian adalah data primer dan data sekunder, sebagai berikut:

a. Data primer

Data primer adalah data penelitian lapangan yang terkait dengan kepatuhan PPAT dalam pembuatan akta hibah berdasarkan UU BPHTB dengan melakukan wawancara kepada responden dan informan yang telah ditentukan, yaitu PPAT yang ada di Kota Medan dan Pegawai KPP Pratama Medan Kota dan Medan Petisah.

b. Data sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini adalah bahan kepustakaan yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.52

1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni: a) Norma atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan UUD 1945.

b) Peraturan perundang-undangan yang berkait yaitu:

1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Tundang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah.

2) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

3) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertahanan Nasional Nomor 4 Tahun 1999 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan

52 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

2) Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti: hasil-hasil penelitian dan karya ilmiah dari kalangan hukum, yang berkaitan dengan pelaksanaan pemungutan BPHTB dan laporan bulanan akta oleh PPAT kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP Pratama)

3) Bahan tertier adalah bahan pendukung di luar bidang hukum seperti kamus ensiklopedia atau majalah yang terkait pajak dalam hal ini pelaksanaan pemungutan BPHTB dan jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

5. Alat Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan dua alat pengumpulan data yaitu:

1. Studi Dokumen untuk mengumpulkan data sekunder yang terkait dengan permasalahan yang diajukan, dengan cara mempelajari buku-buku, hasil penelitian dan dokumen-dokumen perundang-undangan yang ada kaitannya dengan pelaksanaan PPAT dalam pembuatan akta hibah berdasarkan Undang- Undang BPHTB.

2. Pedoman Wawancara

Dalam memenuhi data primer, dilakukan dengan wawancara kepada para PPAT di Kota Medan dan KPP Pratama Medan Kota dan Medan Petisah. Untuk wawancara dengan para responden dan informan terlebih dahulu dipersiapkan

pedoman wawancara, maka dari pedoman inilah diharapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan permasalahan akan diperoleh jawaban untuk menganalisis lebih lanjut permasalahan yang ada.

6. Analisis Data

Analisis data penelitian ini adalah menggunakan teknik analisis kualitatif, sehingga hasil analisis ditentukan berdasarkan uraian-uraian fakta di lapangan untuk memperkuat argumentasi yang dapat dijadikan sebagai dasar penarikan kesimpulan. Sebagaimana layaknya pelaksanaan jenis deskriptif, penelitian ini pada dasarnya tidak hanya terbatas pada pengumpulan dan penyusunan data, tetapi meliputi analisis dan interpretasi data yang dikumpulkan.

BAB II

KEPATUHAN PPAT DALAM PEMBUATAN AKTA HIBAH ATAS TANAH DAN BANGUNAN BERDASARKAN UU BPHTB

A. Dasar Hukum Pengenaan dan Cara Perhitungan BPHTB 1. Dasar Hukum BPHTB

Aturan yang menjadi dasar hukum pemungutan BPHTB di Indonesia adalah sebagai berikut:

1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

Undang-Undang ini diundangkan pada tanggal 29 Mei 1997 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1998. Akan tetapi, karena gejolak moneter yang terjadi Indonesia masa berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 ditangguhkan selama enam bulan dari tanggal 1 Januari 1998 sampai dengan tanggal 30 Juni 1998. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerntah Pengganti Undng-Undang Nomor 1 Tahun 1997, yang kemudian ditetapkan menjadi undang-undang melaui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998.

2) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 1997 tentang Penanggulangan Masa Berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

PERPU ini ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 1997 dan dinyatakan berlaku pada tanggal diundangkan.

3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1997 tentang Penangguhan Mulai

Berlaknya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Menjadi Undang-Undang.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 disahkan pada tangal 16 Februari 1998 dan dinyatakan berlaku pada tanggal diundangkan.

4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Diundangkan tanggal 02 Agustus 2000 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2001.

5) Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1997 tentang Pelaporan atau Pemberitahuan Perolehan Hak AtasTAnah dan atau Bangunan.

6) Peraturan Pemerintah Nomor 111 Tahun 2000 tentang Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan karena Waris dan Hibah Wasiat.

7) Peraturan Pemerintah Nomor 112 Tahun 2000 tentang Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan karena Pemberian Hak Pengelolaan.

8) Peraturan Pemerintah Nomor 113 Tahun 2000 tentang Penetnuan Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

9) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 516/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

10)Keputusan Menteri Keuangan Nomor 517/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

11)Keputusan Menteri Keuangan Nomor 519/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Pembagian Hasil Penerimaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

12)Keputusan Menteri Keuangan Nomor 87/KMK.03/2002 tentang Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

13)Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-21/PJ/1997 tentang Petunjuk Pelaksanan Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dan Bentuk serta Fungsi Surat Setoran BPHTB (SSB).

14)Keputusan Direktur Jeneral Pajak Nomor Kep-22/PJ/1997 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

15)Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-24/PJ/2000 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar (SKP-LB) dan Perhitungan Kelebihan Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

16)Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-221/PJ/2002 tentang Tata Cara Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

2. Dasar Pengenan dan Cara Perhitungan Pajak a. Dasar Pengenaan Pajak

Sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) UU BPHTB, yang menjadi dasar pengenaan pajak pada BPHTB adalah Nilai Perolehan Pbjek Pajak (NPOP). Karena pada dasarnya ada lima belas jenis perolehan hak atas tanah dan bangunan yang menjadi objek pajak, setiap jenis peralihan hak tersebut harus ditentukan Nilai Perolehan

Pbjek Pajaknya. Pasal 6 ayat (2) menentukan yang menjadi NPOP sebagai dasar pengenaan pajak pada masing-masing jenis perolehan hak, adalah:53

a. Pada perolehan hak karena jual beli, yang menjadi NPOP adalah harga transaksi.

b. Pada perolehan hak karena tukar-menukar, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar.

c. Pada perolehan hak karena hibah, yang menjadi NPOP adala nilai pasar. d. Pada perolehan hak karena hibah wasiat, yang menjadi NPOP adalah nilai

pasar.

e. Pada perolehan hak karena waris, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar. f. Pada perolehan hak karena pemasukan dalam perseroan atau badan hukum

lainnya, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar.

g. Pada perolehan hak karena pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar

h. Pada perolehan hak karena peralihan hak sebagai pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar

i. Pada perolehan hak karena pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar j. Pada perolehan hak karena pemberian hak baru atas tanah di luar

pelepasan hak, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar.

k. Pada perolehan hak karena penggabungan usaha, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar.

l. Pada perolehan hak karena peleburan usaha, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar.

m. Pada perolehan hak karena pemekaran usaha, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar.

n. Pada perolehan hak karena hadiah, yang menjadi NPP adalah nilai pasar. o. Pada perolehan hak karena penunjuk pembeli dalam lelang, yang menjadi

NPOP adalah harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang.

Walaupun ada lima belas jenis perolehan hak yang mempunyai NPOP tersendiri, tetapi pada dasarnya hanya ada tiga jenis harga atau nilai yang menjadi NPOP, yaitu harga transaksi, nilai pasar, dan harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang, sebagaimana dijelaskan berikut ini:54

53 Ibid., hal. 164-165. 54

1. Harga transaksi adalah harga yang terjadi dan telah disepakati oleh pihak- pihak yang bersangkutan (penjual dan pembeli).55 Harga transaksi menunjukkan besarnya uang yang diserahkan oleh pembeli untuk memperoleh tanah dan bangunan yang dibelinya keapda penjual sebagai pemilik tanah dan bangunan. Pengertian yang sangat penting pada hara trsanksi adalah bahwa harga transaksi merupakan harga riil objek jual beli yang disepakati oleh kedua belah pihak penjual dan pembeli, tanpa harus berpatokan pada nilai pasar objek yang diperjualbelikan. Penjual dan pembeli bebas untuk melakukan kesepakatan harga yang sesuai bagi kedua belah pihak, bisa sama, lebih rendah, atau lebih tinggi dari harga pasar objek tersebut.

2. Nilai pasar adalah harga rata-rata dari transaksi jual beli secara wajar yang terjadi di sekitar letak tanah dan atau bangunan.56 Nilai pasar mencerminkan jumlah uang yang seharusnya diterima oleh penjual sebagai pemilik tanah dan bangunan dan yang seharusnya diserahkan oleh pembeli sebagai pihak yang menerima hak atas tanah dan bangunan yang diperjualbelikan. Nilai pasar biasanya ditentukan oleh penilai independen yang terlepas dari berbagai kepentingan atas objek atau properti yang dinilai. Dengan demikian nilai yang dihasilkan oleh penilai independen akan dapat mencerminkan nilai pasar properti yang sebenarnya.

3. Harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang adalah harga riil yang ditentukan oleh pejabat lelang atas tawaran harga tertinggi yang diajukan oleh peserta lelang.57 Harga lelang umumnya berada di bawah nilai pasar dari objek yang dilelang mengingat pada lelang peserta lelang umumnya akan memberikan harga penawaran yang menurut perkiraannya berada di bawah harga pasar objek yang dilelang.

Terkait dengan ketiga nilai NPOP di atas yang merupakan tugas Notaris/PPAT hanya merujuk pada nilai transaksi dan nilai pasar, kecuali Notaris/PPAT tersebut dalam kaitan pelaksanaan lelang.

Sebagai pajak yang dikenakan pada perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, BPHTB menghendaki bahwa BPHTB dihitung dari dasar pengenaan pajak

55

Penjelasan Pasal 6 ayat (6) huruf a UU BPHTB.

56 Penjelasan Pasal 6 ayat (2) huruf b.

57 Pasal 1 angka 21 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.06/2007 tentang

Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.07/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.

yang riil (yang sebenarnya) sebagai cerminan nilai dari properti yang dialihkan. Hal ini menghendaki bahwa harga transaksi jual beli yang dilaporkan adalah mendekati nilai pasar wajar properti tersebut. Hal ini kadang sulit diterapkan mengingat besarnya harga transaksi akan mempengaruhi biaya-biaya yang berkaitan dengan transaksi tersebut, seperti biaya PPAT, Pajak Penghasilan, biaya pengurusan sertifikat, dan biaya lain yang berkaitan. Oleh karena itu pihak penjual dan pembeli memiliki kecenderungan untuk tidak mencantumkan harga transaksi yang sesungguhnya pada akta jual beli yang dibuat dengan maksud untuk mengurangi biaya yang harus ditanggung oleh penjual dan pembeli. Nilai pasar secara umum ditetapkan menjadi dasar pengenaan pajak pada perolehan hak selain karena jual beli dan lelang. Hal ini menghendaki untuk setiap tanah dan bangunan diketahui berapa nilai pasarnya.

Selanjutnya menentukan dasar pengertian pajak dibutuhkan suatu unsur sebagai penyangga manakala atas suatu transaksi jual beli harga transaksi yang disepakati penjual dan pembeli serta dituangkan dalam akta jual beli bukan merupakan harga transaksi yang sebenarnya, dan apabila nilai pasar objek perolehan hak tidak diketahui berapa besarnya. Untuk itu UU BPHTB menetapkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sebagai penyangga dari dua keadaan yang telah dikemukakan di atas. Hal ini dilakukan dengan cara membandingkan harga transaksi dan nilai pasar dengan NJOP tanah dan bangunan yang menjadi objek perolehan hak, dengan ketentuan mana yang nilainya paling tinggi itulah yang ditetapkan sebagai dasar pengenaan pajak. Pada lelang dipandang tidak diperlukan penyangga harga riil yang

terjadi dari perolehan hak atas properti yang dilelang, sehingga tidak perlu dilakukan perbandingan harga trsanksi dalam lelang dengan NJOP.

b. NPOP DPP

Pengenaan pajak peralihan hak atas tanah yang menjadi NPOP penyangga adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang digunakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), di mana dasar hukum Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994.

Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.

Perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara membandingkannya dengan objek pajak lain yang sejenis, yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya.

Nilai perolehan baru adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi fisik objek tertentu.

Nilai jual pengganti adalah antara pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak yang berdasarkan pada hasil produksi objek pajak tersebut.

Objek PBB adalah bumi dan atau bangunan. Yang dimaksud dengan klasifikasi bumi dan bangunan adalah pengelompokkan bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman, serta untuk memudahkan penghitungan pajak yang terutang.

Menentukan klasifikan bumi/tanah diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut: a. Letak tanah

b. Peruntukan c. Pemanfaatan

d. Kondisi lingkungan dan lain-lain

Sedangkan menentukan klasifikasi bangunan diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut:

a. Bahan yang digunakan b. Rekayasa

c. Letak

d. Kondisi lingkungan dan lain-lain.

Besarnya NJOP Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) ditetapkan untuk masing- masing Kabupaten/Kota dengan besar setingi-tingginya Rp. 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak. Apabila seorang Wajib Pajak mempunyai beberapa Objek Pajak, yang diberikan NJOPTKP hanya salah satu Objek Pajak yang nilainya terbesar, sedangkan Objek Pajak lainnya tetap dikenakan secara penuh tanpa dikurangi NJOPTKP.58 Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada contoh berikut ini:

58 Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan

menetapkan besarnya NJOPTKP dengan mempertimbangan pendapat Gubernur/Bupati/Walikota (Pemerintah Daerah) setempat.

a. Seorang Wajib Pajak mempunyai Objek Pajak berupa bumi dan bangunan Rp. 4.000.000,- dan besarnya NJOPTKP untuk objek pajak wilayah tersebut adalah Rp. 6.000.000,-. Karena NJOP berada di bawah batas NJOPTKP (Rp. 6.000.000,00), maka objek pajak tersebut tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan.

b. Seorang Wajib Pajak mempunyai Objek Pajak berupa bumi dan bangunan di Desa A dan Desa B dengan nilai sebagai berikut:

Desa A: NJOP Bumi Rp. 13.000.000,00 NJOP Bangunan Rp. 9.000.000,00 Desa B: NJOP Bumi Rp. 8.000.000,00 NJOP Bangunan Rp. 10.000.000,00

NJOPTKP untuk objek pajak wilayah tersebut adalah Rp. 10.000.000,00. Dengan data tersebut di atas, maka NJOP untuk perhitungan PBB: Langkah pertama adalah mencari NJOP dari dua desa tersebut yang mempunyai nilai paling besar, yaitu Desa A, maka NJOP untuk perhitungan PBB adalah:

NJOP Bumi Rp. 13.000.000,00

NJOP Bangunan 9.000.000,00

NJOP sebagai dasar pengenaan PBB Rp. 22.000.000,00

NJOPTKP 10.000.000,00

NJOP untuk penghitungan PBB Rp. 12.000.000,00 Kemudian untuk desa B:

NJOP untuk penghitungan PBB:

NJOP Bumi Rp. 8.000.000,00

NJOP Bangunan 10.000.000,00

NJOP sebagai pengenaan PBB Rp. 18.000.000,00

NJOPTKP 0,00

NJOP untuk penghitungan PBB Rp. 18.000.000,00

Wajib Pajak pada contoh poin b di atas mempunyai beberapa objek pajak, yaitu di Desa A dan B maka yang diberikan NJOP Tidak Kena Pajak hanya salah satu objek pajak yang nilainya terbesar yaitu di Desa A, sedangkan objek pajak yang berada di Desa B tetap dikenakan secara penuh tanpa dikurangi NJOP Tidak Kena Pajak.

NJOP Bumi atau NJOP Bangunan sebagaimana disebutkan di atas dihitung sesuai luas bumi (tanah) dan bangunan dengan harga per meter kubik sesuai kelas

masing-masing yang telah ditentukan dalam Lampiran IA dan IIA Keputusan Menteri Keuangan Nomor 523/KMK.04/1998 tentang pengaturan Klasifikasi, Penggolongan, dan Ketentuan Nilai Jual Permukaan Bumi (Tanah) dan Bangunan.

Sebagai contoh dapat dilihat dari Penghitungan pajak PBB DJP Sumatera Utara Medan I No.SPPT (NOP) : 12.75.110.002.0150071.0 tanggal 02 Januari 2008,yaitu suatu tanah dan bangunan di Kota Medan, dengan luas tanah 110 M2 kelas A21 dan bangunan luas 72 M2 kelas A13, dengan ketentuan NJOPTKP untuk Kota Medan Rp. 8.000.000,00,- perhitungan NJOP PBB sebagai berikut:

Objek Pajak Luas (M2) Kelas Harga Per M2

Bumi 110 A21 464,000.00

Bangunan 72 A13 162,000.00

Maka NJOP sebagai dasar pengenaan pajak PBB:

NJOP Bumi = 110 x Rp. 464.000,00 = Rp. 51.040.000,00 NJOP Bangunan = 72 x Rp. 162.000,00 = Rp. 11.664.000,00 NJOP sebagai dasar pengenaan pajak PBB = Rp. 62.704.000,00 NJOPTKP (untuk Kota Medan) = Rp. 8.000.000,00 NJOP untuk penghitungan PBB = Rp. 54.704.000,00 Atas dasar NJOP untuk penghitungan PBB maka dapat dilakukan penghitungan PBB terutang sesuai Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 1994 tarif pajak yang dikenakan atas objek pajak adalah sebesar 0,5% (lima persepuluh persen), dari persentase Nilai Jual Kena Pajak (NJKP).

Sedangkan persentase nilai jual objek pajak ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2002 sebagai berikut:

a. Objek pajak perkebunan, kehutanan dan pertambangan sebesar 40% (empat puluh persen) dari Nilai Jual Objek Pajak.

b. Objek pajak lainnya:

i. sebesar 40% (empat puluh persen) dari nilai Jual Objek Pajak apabila Nilai Jual Objek Pajaknya Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) atau lebih.

ii. sebesar 20% (dua puluh persen) dari Nilai Jual Objek Pajak apabila Nilai Jual Objek Pajaknya kurang dari Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Berdasarkan ketentuan persentase di atas maka besarnya pajak terutang PBB dihitung dengan cara: tarif pajak (0,5%) dikalikan dengan nilai jual kena pajak (NJKP), sebagai berikut:

Pajak Bumi dan Bangunan = Tarif Pajak x NJKP

= 0,5% x (Presentase NJKP x (NJOP-NJOPTKP)). Maka dari penghitungan PBB No.SPPT (NOP): 12.75.110.002.0150071.0 tanggal 02 Januari 2008, dengan NJOP untuk penghitungan PBB Rp. 54.704.000,00 sebagaimana telah dikemukakan di atas, PBB terutang adalah:

PPB terutang = 0,5% x (20% x 54.704.000,00) = 54.704,00.

Selanjutnya, ketentuan Pajak Bumi dan Bangunan (NJOP untuk penghitungan PBB) ini sangat terkait dengan perhitungan BPHTB, karena sesuai dengan Pasal 6 ayat (3) UU BPHTB apabila Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, yang menjadi dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan. Dengan membandingkan harga transaksi dan nilai pasar dengan NJOP maka NJOP ditetapkan sebagai

Dokumen terkait