• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN

A. Ruang Lingkup Penelitian.

Ruang Lingkup dan sasaran penelitian ini,maksud dan tujuan adalah memberikan ba-tasan pada penelitian yang akan datang serta memberikan gambaran secara deskriptif analisis juridis normatif disekitar dan tentang Hak Ula yat dalam Hukum Adat, dimana Hak ini termasuk wilayah atau daerah Hutan Negara yang ditetapkan oleh pemerintah pusat maupun daerah tertentu.

B. Data.

B.1. Sumber Data.

B.1.1.Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer ialah bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari nilai-ni-lai, norma-norma dan kaidah-kaidan dasar seperti dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 45) aturan-aturan dasar,perangkat peraturan perundang-undangan yang berlaku, bahan hukum yang tidak dikodifikasi. Bahan hukum primer yang dipergunakan dalam peneli-tian ini semua perangkat peraturan perundang-undang yang terkait/berhubungan dengan Hak Ulayat dalam Hukum Adat, dengan hutan dan kehutanan yang berlaku dan diber-lakukan di Indonesia (seluruh perangkat peraturan tersebut tertera dalam daftar Kepus-taan Penelitian ini)

Bahan hukum sekunder ialah memberikan penjelasan mengenai bahan hukum pri-mer tersebut diatas. Bahan hukum sekunder yang dipergunakan dalam kelancaran dan keabsahan penelitian ini dapat bersumber dari segala buku-buku bacaan yang resmi dan valid yang terkait dengan hak ulayat dalam hukum adat dan terkait pula dengan hutan dan kehutanan dalam aspek hukumnya yang menjadi referensi dalam penelitian ini. Disamping buku-buku bacaan yang resmi dan terkait juga bersumber dari bacaan dalam bentuk karya ilmiah, bahan/materi kuliah, bahan/materi acara seminar resmi, journal, hasil penelitian,Thesis, Disertasi serta pengambilan bahan data diperoleh dari media cetak dan elektronik/internet.

C. Metode Pengumpulan Data.

Pembahasan penelitian ini dilakukan peneliti melalui analisis juridis normatif, data-nya dikumpulkan melalui penelitian kepustakaan (Library Reasearch) yakni dengan membaca,mempelajari secaras eksama dan menganalisis dengan analisis yuridis norma-tif serta memahami data-data yangberhubungan dengan penelitian ini, mempedomani dan mempelajari sumber-sumberbuku-buku bacaan yang terkait dengan Hak Ulayat da-lam Hukum Adat serta hutan dan kehutanan dalam aspek hukumnya,buku-buku laporan (journal, bulletin, karya ilmiah,hasil Seminar maupun bentuk karya ilmiah lainnya), serta sumber-sumber bacaan lainnya yang terkait dengan penelitian ini baik dalam bentuk disertasi, thesis dan karya ilmiah lainnya yang tertata dalam media internet dan kesemua ini pada akhirnya terangkum dalam satu kesatuan Daftar Pustaka. D. Metode Analisis Data.

Metode analisis yang dipergunakan dalam penelitian tentang Hak Ulayat Hukum Adat Dalam Kawasan Hutan Negara di Indonesia adalah analisis yuridis normatif.

Tek-nik analisis datanya yang dipergunakan adalah merupakan pendekatan dimana untuk menjelaskan bagaimana sesungguhnya Harmonisasi Kedudukan Hak Ulayat Kaitannya Dengan Wilayah Hutan Negara Dalam Perangkat Peraturan Perundangan di Indonesia, serta Bagaimana Perlindungan Hukum oleh Negara terhadap Masyarakat Hukum Adat dalam mengatasi konflik diantara kepentingan Antara Hak Ulayat Hukum Adat dan Pengelolaan Hutan Negara ?

Metode analisis data ini dimaksudkan membuat suatu pendekatan untuk menjelas kan apa dan bagaimana serta sejauh mana suatu peraturan hukum adat khususnya hak ulayat serta perangkat peraturan perundang-undangan tentang hutan dan kehutan benar-benar ditegakkan oleh pemerintah dan ditaati serta mempunyai daya dukung dari setiap anggota masyarakat adat disekitarnya.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.Harmonisasi Kedudukan Tanah Hak Ulayat Adat Dikawasan Hutan Negara Dalam Perangkat Peraturan di Indonesia.

Menurut A. P. Parlindungan bahwa ”Pengakuan eksistensi hak ulayat oleh UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 (yang selanjutnya disebut UUPA) merupakan hal yang wajar, karena hak ulayat beserta masyarakat hukum adat telah ada sebelum terbentuknya negara RI pada tgl 17 Agustus 1945. Kongres Pemuda pada tahun 1928 telah menetapkan Sum-pah Pemuda yang menyangkut hukum adat, mengeluarkan dasar persatuan Indonesia diperkuat dengan memperhatikan dasar persatuan, kemauan, sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan dan kepanduan. Dengan demikian kita telah mengambil suatu sikap politik tertentu atas hukum adat termasuk segi idealnya bahwa hukum adatlah kelak menjadi dasar hukum Indonesia”14)

Hak masyarakat hukum adat sebagai satu kesatuan kolektif terhadap segala sumber daya di wilayahnya, yang lazim dikenal dengan hak ulayat adalah hak yang berkenaan dengan pengelolaan sekaligus pemanfaatan sumberdaya. Hak pengelolaan terhadap sum-berdaya hutan bagi masyarakat hukum adat didasarkan atas UUPA pada pasal 2 ayat 4. ”Hak menguasai dari negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada

daerah-daerah swatantra danmsyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan– tidak bertentangan dengan kepentingan nasional menurut ketentuan-ketentuan peraturan

---14). A. P.Parlindungan, Hukum Agraria serta Landreform, Penerbit Mandar Maju, Ban-dung, 1994, hal 17

pemerintah.

Secara formal, eksisensi dan pengakuan adanya masyarakat hukum adat dan hak-haknya telah tertuang didalam UUD 1945 pasal 18 ayat 2 yang menyebutkan negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam UU dan pasal 18 ayat 3 yang menyebutkan identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

Mengenai eksistensi dan pengakuan adanya masyarkat hukum adat dan hak-haknya dalam hukum agraria, menurut Urip Santoso menjelaskan bahwa ”hukum adat adalah :

1). Hukum adat sebagai dasar utama, 2). Hukum adat sebagai hukum pelengkap ”15). Hak masyarakat hukum adat untuk mengelola sumber daya hutan adalah hak yang menurut hukum nasional bersumber dari delegasi wewenang hak menguasai negara kepada masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Namun demikian pasal 2ayat 4 tersebut tidak dapat ditindaklanjuti dengan peraturan yang lebih rendah untuk operasional nya. Ketiadaan peraturan lebih lanjut dari pasal 2 ayat 4 UUPA berakibat bahwa masya-rakat hukum adat hanya diberikan hak untuk memanfaatkan sumberdaya hutan.

Paradigma baru pengelolaan sumberdaya hutan saat ini lebih diarahkan pada sistem pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat (community based forest management), dimana masyarakat merupakan pelaku utama dalam pembangunan sumberdaya hutan ke-depan. Pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat harus menjadi suatu strategi kunci

---15). Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Penerbit Perdana Media, Jakarta, 2006, 65

dalam melihat permasalahan pembangunan kehutanan secara menyeluruh.

Menurut Boedi Harsono dalam bukunya berjudul Undang-Undang Pokok Agraria, Sejarah Penyusunan, Isi dan Pelaksanaannya” menjelaskan bahwa UUPA sengaja tidak

mengadakan pengaturan dalam bentuk peraturan perundangan mengenai hak ulayat dan membiarkan pengaturannya tetap berlangsung menurut hukum adat setempat. Mengatur hak ulayat menurut para perancang dan pembentuk UUPA akan berakibat menghambat perkembangan alamiah hak ulayat yang pada keyataannya memang cenderung melemah. Kecenderungan tersebut dipercepat dengan dengan membikin bertambah kuatnya hak-hak individu melalui pengaturannya dalam bentuk hukum yang tertulis dan penyeleng-garaan pendaftarannya yang menghasilkan surat-surat tanda pembuktian haknya. Melemahnya atau bahkan menghilangnya hak ulayat, diusahakan penampungannya dalam rangka pelaksanaan hak menguasai dari negara yang memcakup dan menggantikan peranan kepala adat dan para tetua adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan dalam hubungannya dengan tanah-tanah yang sudah dihaki secara individual oleh para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan seperti halnya tanah-tanah di daerah-daerah lain”16)

Lebih lanjut Boedi Harsono menjelaskan bahwa masyarakat yang selama ini menguasai tanah atas dasar hukum adat merasa bahwa tanah yang dikuasai tersebut secara ulayat harus didaftar padahal hak ulayat pun tidak akan didaftar, UUPA tidak memerintahkan pendaftarannya, dalam PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, hak ulayat secara sadar tidak dimasukkan dalam golongan objek pendaftaran

---16). Boedi Harsono, Undang-Undang Pokok Agraria, Sejarah Penyusunan, Isi dan Pelaksanaannya, Bagian Pertama, Jilid I, Jakarta, 2003, hal 193

tanah. Selama ini masyarakat adat tidak memahami hak-hak apa saja yang harus didaftar dan bagaimana prosedur pendaftaran tanah tersebut.

B. Pengaturan Hukum Mengatasi Konflik Kepentingan Kepemilikan Hak Ulayat Tanah Adat Dikawasan Pengeloaan Tanah Hutan Negara

Menurut Sumarlan bahwa ditinjau dari sudut kacamata pengelolaan sumber daya alam dapat dibagi menjadi 3 materi konflik yang perlu lebih dalam dikaji :

a.konflik kewenangan atas tata ruang. Selama beberapa dekade ini telah terjadi perampasan kawasan atau perampasan teritorial (territory violence) terhadap masyarakat adat yang dilakukan atas nama undang-undang, peraturan dan kebijakan sehingga menciptakan kelompok yang diuntungkan (the winners) dan kelompok yang dipinggirkan (the loosers). Bentuk penguasaan kembali territorial oleh kelompok masyarakat adalah bentuk pelampiasan dari proses peminggiran yang terjadi. Akan tetapi dalam menata ulang wilayah tersebut haruslah jeli melihat apakah masyarakat ini adalah :

1. masyarakat adat yang memilki ikatan atas wilayah adat sebagai tanah leluhur (ancestral domain of the first nation) dan juga secara fisik menempati dan menggunakannya.

2. masyarakat adat yang meiliki ikatan atas wi layah adat sebagai tanah leluhurnya tetapi tidak menempati dan secara fisik tidak menggunakannya karena suatu kesukarelaan atau paksaan dimana harus diperlakukan secara berbeda pula.

3.masyarakat heterogen (campuran antara masyarakat adat dan pendatang) dimana wilayah kampungnya/desanya dinyatakan oleh pemerintah secara sepihak sebagai

kawasan hutan. Sehingga akses masyarakat atas sebagian atau seluruh wilayah kampungnya menjadi hilang atau terhambat.

4.marupakan klaim masyarakat pendatang yang mempunyai kekuatan hukum kepemilikan tanah atas wilayah tersebut misalnya transmigrasi program pemerintah yang hak milik atas tanahnya pada kemudian hari diketahui bahwa tanah tersebut merupakan kawasa hutan yang tidak dapat dimiliki atau hak kepemilikannya dicabut. 5.masyarakat pendatang lainnya yang telah datang ketempat tersebut dan berminat untuk

ikut mengelola hutan.

6. masyarakat pendatang yang berencana dan berkeinginan mengelola hutan dan besar kemungkinannya konflik model butir 5 dan 6 ini salah satunya dapat diselasaikan melalui program Hutan Kemasyarakatan (HKM)

b. konflik atas keberadaan masyarakat adat, kelembagaan dan kewenangannya. Masyarakat adat sebagai suatu kesatuan masyarakat yang otohton, memiliki sistem Pengaturan yang tumbuh dan berkembang dari masyarakat itu sendiri dengan kesepakatan masyarakat sekitarnya. Masyarakat adat tersebut memiliki tata hukum serta nilai sendiri yang berlaku didalam batas wilayah adatnya sehingga dikatakan otonom. Intervensi yang berlebihan dari pihak luar (pemerintah) dapat merusak bentuk pengaturan tentang kewenangan dari masyarakat adat yang telah berjalan dan berakibat runtuhnya sistem dan pola pengelolaan yang dimiliki. Ini sering terjadi dengan penetapan-penetapan yang melakukan intervensi terlalu jauh terhadap suatu sistem yang sudah cukup mandiri. Sehingga penilaian keberadaan masyarakat adat oleh pihak luar yang tidak mengerti tentang bentuk pengaturan yang ada dikhawatirkan mengganggu tatanan yang telah terbentuk sekian lama. Contohnya adalah bentuk pemaksaan LKMD sebagai satu-satuya

organisasi didalam Desa di seluruh Indonesia yang tidak memberikan tempat yang nyata kepada bentuk kelembagaan adat.

c. konflik atas pola pengelalaan sumber daya alam. Konflik atas pola pengelolaan yang ada pada masyarakat adat sering terjadi dengan memisahkan suatu pola pengelolaan dari sistemnya. Contoh pola pengelolaan yang ada an yang jelas adalah perladangan gilir balik yang hanya melihat ladang yang sedang dikerjakan saja tanpa melihat lahan beranya dan pola-pola lain didalam sistem pengelolaan sumber daya alam. Perladangan gilir balik harus dapat dilihat sebagai suatu sistem yang menyatu dengan pola sawah yang ada di beberapa bagian kampung, hutan tutupan, kebun wanatani, sungai hutan tempat berburu bahkan tempat-tempat keramat”17)

Kasus-kasus konflik menunjukkan intensitas konflik yang berbeda pula antara konflik yang satu dengan yang lainnya antara lain :

a.Konflik tersembunyi (laten) dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak nampak sepenuhnya bekembang dan belum terangkat ke puncak kutub-kutub konflik. Seringkali satu atau dua pihak belum menyadari adanya konflik. Konflik tersembunyi dapat terjadi dengan penunjukan status kawasan hutan negara secara sepihak tanpa melibatkan masyarakat dalam proses penetapannya, pemberian hak pengusahaan hutan/kebun pada kawasan yang belum ditetapkan sebagai kawasan hutan negara dsb. Model ini banyak terdapat dimana-mana di Indonesia dimana masyarakat tidak menyadari bahwa status tanahnya secara sepihak ditunjuk atau bahkan telah ditetapkan

---17). Sumarlan Yanuar, Towards A Community-Based Resource Management From A State-Conrolled One ; Legal Overview and Possibilities, ICRAF-SEA Programme 1 Report 1998 unpublished

sebagai kawasan hutan negara

b.konflik mencuat (emerging) adalah perselisihan dimana pihak-pihak yang berselisih dapat teridentifikasi. Mereka mengakui adanya perselisihan, kebanyakan permasala-hannya jelas, tapi proses dan penyelesaiannya belum dikembangkan. Konflik ini biasanya dirasakan dilapangan pada saat perusahaan memulai aktifitasnya dan pada saat itu masyarakat adat dan pihak yang mendapatkan hak/izin menyadari adanya tumpang tindih kewenangan.

c.konflik terbuka (manifest) adalah konflik dimana pihak-pihak yang berselisih secara aktif terlibat dalam perselisihan yang terjadi dan mungkin sudah mulai bernegosiasi dan mungkin juga menemui jalan buntu dan memungkinkan digunakannya cara-cara kekerasan oleh kedua belah pihak yang berselisih.

Konflik-konflik tersebut terjadi bukan hanya di dalam kawasan hutan dengan fungsi hutan tanpa melihat batasan fungsi kawasan hutan. Konflik terjadi pada hutan dengan lindung, fungsi konservasi, fungsi produksi dan juga pada areal yang telah diberikan haknya kepada pihak lain seperti pada areal HPH, HPHTI, Perkebunan bahkan pada wilayah yang diberikan izin IPK dan dimasa datang dapat terjadi pula pada perpanjangan hak sertapemberian bentuk hak baru seperti HPHKM.

Kewenangan suatu wilayah masyarakat hukum adat diperlukan untuk mencegah adanya pengukuan ganda ataupun pengakuan atas suatu wilayah yang bukan kewenangan nya. Dalam hal ini ada beberapa kemungkinan yang dapat dilakukan : a.pengakuan keberadaan masyarakat adat oleh masyarakat adat itu sendiri dengan

b. pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat oleh lembaga yudikatif berdasarkan keputusan pengadilan.

c. pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat oleh Dewan Masyarakat dat yang dipilih oleh Masyarakat Adat itu sendiri.

Terlepas dari kebaikan dan kelemahan ke 3 (tiga) pilihan di atas, nampaknya bentuk kombinasi kewenangan pengakuan perlu diatur, antara masyarakat sekitar wilayah masyarakat hukum adat dan pemerintah bersama-sama dengan masyarakat adat yang berkepentingan itu sendiri. Selain mekanisme pengakuan tersebut, diperlukan juga mekanisme naik banding dan penyelesaian sengketa antar masyarakat adat atas suatu kewenangan wilayah tertentu. Demikian pula bentuk penyelesaian sengketa diluar pengadilan untuk sengketa antar kelompok masyarakat hukum adat yang mengklaim suatu wilaya yang sama perlu disiapkan.

Secara tegas UU Kehutanan No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan memberikan kewenangan pengelolaan kepada masyarakat hukum adat dan tidak melihat ini sebagai hanya merupakan kewenangan pemerintah belaka. Ini sejalan dengan UUPA No.5 Tahun 1960 hak pengelolaan dapat diberikan kepada masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat memerlukan kepastian hak yang bersifat khusus (eksklusif; tidak tumpang tindih dengan hak lain), dimana masyarakat hukum adat dapat melestarikan, memanfaatkan (termasuk membudidayakan), memasarkan hasil hutan, serta tidak dapat dipindahtangankan kepada pihak lain diluar masyarakat hukum adat tersebut. Keadaan ini harus dipertegas kedalam peraturan perudangan, juga kewenangan masyarakat adat harus luas termasuk memiliki, menguasai, mengelola, memanfaatkan, mengusahakan dll. Diharapkan penjabaran UUK No.41 Tahun 1999

Tentang Kehutanan dalam Peraturan Pemerintah turunannya dapat mengakomodir bentuk hak eksklusif bagi masyarakat hukum adat dalam mengelola sumber daya alamnya.

Daftar Kepustakaan/Literatur : I. Buku :

1. A. P. Parlindungan, Hukum Agraria serta Landreform, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 1994

2. B. Ter Haar Bzn.Terjemahan K. Ng. Soebakti Poesponoto, Asas-Asas dan Susu-Hukum Adat, Cetakan Kedelapan, Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta, 1985. 3. Boedi Harsono, Undang-Undang Pokok Agraria, Sejarah Penyusunan, Isi dan

Pelaksanaannya, Bagian Pertama, Jilid I, Jakarta, 2003

4. Dirman, Perundang-Undangan Agraria Di Indonesia, J.B. Wolters, Jakarta, 1958 5. Mahadi, Uraian Singkat Tentang Hukum Adat, Sejak RR Tahun 1854, Penerbit

Alumni, Bandung, 1991.

6. R. Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Cetakan Ke 17, Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta, 2007.

7. Sumarlan Yanuar, Towards A Community-Based Resource Management From A State-Conrolled One ; Legal Overview and Possibilities, ICRAF-SEA Programme 1 Report 1998 unpublished

8. Soerjono Soekanto, Menuju Hukum Adat Indonesia. Suatu Pengantar Untuk Mem-pelajari Hukum Adat , Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1981.

9. Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Cetakan Kesepu-luh, Penerbit CV. Haji Masagung, Jakarta, 2004.

10. Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Penerbit Perdana Media, Jakarta, 2006

11. Wiradi Gunawan, Reforma Agraria, Institu Pres KPA dan Pustaka Pelajar, Yogya-karta, 2002

II. Peraturan.

1. Undang-Undang dasar 1945 (Yang Telah Diamandemen)

2. Tap MPR RI No. IX/MPR/2001 Tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

3. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria 4. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah

5. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

6. Undang-Undang No.19 Tahun 2004 Tentang Peraturan Pengganti Undang-Undang ( Perpu) No.1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU No.41 Tahun 1999 Tentang

Kehutanan.

7. UU No. 32 Tahun 2004 juncto UU No.12 Tahun 2008 Tentang Pemerintah Daerah 8. Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 1998 tentang Pengusahaan Hutan Produksi 9. Peraturan Pemerintah (PP) No. 10 Tahun 2010 Tentang Perubahan Peruntukan Dan

Fungsi Kawasan Hutan

10. Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan. 11. Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No : P/37/Menhut-II Tahun 2007 Tentang

Hutan Kemasyarakatan.

12. Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penye-lesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat

13. SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 677/Kpts-II/1998 Tentang Hutan Kema masyarakat.

14. SK No.44/Menhut-II/2005 Tentang Penunjukan Kawasan Hutan Negara di Propinsi Sumatera Utara

15. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara No. 7 Tahun 2003 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2003-2018

16. Surat Gubernur Sumatera Utara No. 522/779 Perihal Penetapan Kawasan Hutan Pro-vinsi Sumatera Utara.

III. Bulletin, Yornal, hasil Penelitian Resmi, Karya Ilmiah, Materi/Bahan Kuliah 1. Maria S.W. Sumardjono, Harmonisasi Kedudukan Hak Ulayat Dalam Peraturan

Perundangan Di Indonesia, Bahan/Materi Kuliah Hukum Sumber Daya Alam Bagi Pegiat Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Universitas Gadjah Mada, Yogyakar ta, 2002

2. Doddy Indrawirawan, dkk, Pelaksanaan Kebijkan Hutan Kemasyarakatan (HKm) Di Propinsi Lampung (Studi Pendahuluan), WATALA, World Agrofores ty Center SE Asia Regional Office Ford Foundation DFID 1, Jakarta, 2001

IV. Media Cetak dan Elektronika (Internet) :

1. H.Abdurrahman, http://bphn.kemenkumham.go,id/index.php?action=public&id, terbit 16 Mar 2012

Dokumen terkait