• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA (KERANGKA TEORETIS)

A. Hakekat dan Eksistensi Hak Ulayat Tanah Adat Dalam Masyarakat dan Hukum Adat .

Analisis kerangka teoretis baik dalam tinjauan dan analisis literatur kepustakaan bu-ku-buku bacaan yang terkait dengan Hak Ulayat Hukum Adat dan Hukum Tanah, Hutan dan Kehutanan yang berlaku, tinjauan dan analisis yuridis normatif dari berbagai hirar chie perangkat peraturan perundang-undangan yang berlaku serta tinjauan dan analisis dimensi sosio-empiris situasai dan kondisi masyarakat hukum adat yang sudah barang tentu memiliki hak ulayat terhadap tanah, hutan dan kehutanannya. Dari ketiga perspektif dan analisis tersebut sesungguh masing-masing menyatakan adanya pengakuan dan peng- hormatan dan perlindungan terhadap hukum adat berikut dengan hak ulayat terhadap tanah, hutan dan kehutanannya.

Menurut Wiradi Gunawan dalam bukunya Reforma Agraria menegaskan bahwa "Hukum Tanah Indonesia berdasarkan UUP No.5 Tahun 1960 mengisyaratkan bagi pembuat undang-undang dalam membentuk hukum tanah nasional jangan sampai mengabaikan, melainkan harus mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama dan hukum adat masyarakat setempat. Dalam kaitan ini penguasaan tanah yang terletak di wilayah hukum Indonesia adalah menjadi hak dari seluruh bangsa Indonesia, bukan hanya hak pemiliknya saja.Siapapun yang mengaku dirinya sebagai warganegara Indonesia berhak memperoleh dan memiliki atas tanah diseluruh

wilayah Indonesia secara sah danmempunyai kepemilikan hak atas tanah menurut peraturan yang berlaku di Indonesia”.5)

Jikakitaanalisa rumusan dalam Pasal 1 UUPA menyatakan bahwa “seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indone-sia”. Pengertian seluruhwilayah Indonesia meliputi seluruh bumi, air dan ruang angkasa beserta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Indonesia sebagai karuniaT uhan Yang Maha Esa adalah bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalam adalah hubungan yang bersifat abadi. Dalam pengertian ini juga mengandung makna bahwa bumi selain permukaan bumi termasuk pula tubuh bumi di Bawahnya serta berada dibawah air. Dalam pengertian air termasuk perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia.

Menurut SoerjonoSoekanto dalam bukunya Menuju Hukum Adat Indonesia.Suatu Pe-ngantar Untuk Mempelajari Hukum Adat menegaskan bahwa “ Dalam hubungannya de-ngan tanah, menurut alam pikiran hukum adat, tertanam keyakinan bahwa setiap ke-lompok masyarakat hukum adat pada dulunya jauh sebelum masuknya penjajah di Indone sia, kepulauan Indonesia telah dihuni oleh leluhur nenek moyang dan terdapat berbagai persekutuan hukum adat yang mempunyai warga yang teratur,mempunyai pemerintahan sendiri dan mempunyai harta benda materil dan immaterial”6)

Persekutuan hukum adat ini jugadinamakan masyarakat hukum yaitu sekelompok ma-nusia yang teratur dan bersifat tetap, mempunyai pemerintahan/pimpinan serta

mempu-

---5). Wiradi Gunawan, Reformasi Agraria, Instute Press, KPA dan Pustaka Pelajar, Yog-yakarta, 2007, hal 71

6). Soerjono Soekanto, Menuju Hukum Adat Indonesia. Suatu Pengantar Untuk Mempe-lajari Hukum Adat, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1981, hal 67

nyai kekayaan tersendiri baik berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak, ben-da yang kelihatan maupun benben-da yang tiben-dak kelihatan. Falsafah hukum aben-dat tersebut me-ngandung konsepsi hukum adat mengenai pertanahan yang kemudian diangkat menjadi konsepsi hukum tanah nasional.

Menurut Pasal 3 UUPA dengan tegas menyatakan bahwa pelaksanaan hak ulayat dan kenyataannya masih ada. Dengan adanya pengakuan terhadap keberadaan hak ulayat ma-syarakat hukum adat, maka hal ini menimbulkan dilematis dalam penyelesaian sengketa tanah, dimana dalam perkembangannya keberadaan hak ulayat dalam hukum adat itu sen-diri masih menimbulkan perbedaan pandangan dan persepsi sudut pandang dikalangan masyarakat adat dengan pihak-pihak di luar lingkungan masyarakat adat itu. Kenyataan ini dari sudut pandang ilmu hukum dapat dikatakan bahwa UUPA mengandung 2 (dua) -sistem atau stelsel hukum yang berbeda yaitu -sistem atau stelsel hukum nasional dan sis-tem atau stelsel hukum adat masyarakat sesis-tempat.

Menurut hukum adat, tanah hak ulayat dalam hukum adat merupakan tanah bersama para warga masyarakat persekutuan hukum adat setempat, sedangkan dalam hukum tanah nasional semua tanah dalam wilayah Indonesia adalah tanah bersama seluruh rakyat dan bangsa Indonesia yang bersatu. Jikalau dibandingkan dengan konsepsi hukum tanah barat dan tanah feodal, konsepsi hukum tanah nasional yang didasarkan pada hukum adat jelas merupakan konsepsi yang sesuaidengan falsafah, pandangan hidup bangsa dan Negara In donesia, sesuai budaya serta tradisional bangsa Indonesia. Konsepsi hukum tanah eropah/ barat yang didasarkan pada semangat individualistis, realistik dan liberalistik tentu tidak sesuai dengan pandangan hidup bangsa Indonesia yang komunal, religio-magisch.

bahwa “manifestasi Hak Ulayat itu adalah Persekutuan Hukum dan para anggotanya seca ra bebas boleh mengerjakan tanah yang tanah belum dijamah orang lain untuk macam-ma cam keperluan, boleh membuka tanah dijadikan tanah pertanian,boleh mendirikan kam-pung tempat tinggal, boleh mengambil hasil hutan. Selanjutnya Mahadi menguraikan “ orang lain/luar dalam arti orang bukan warga persekutuan hukum yang bersangkutan bo-leh melakukan tindakan hanya dengan seizin persekutuan, mereka akan melakukan tinda kan pidana jika tidakan-tindakan itu dilakukan tanpa izin. Orang lain/uar dan kadang-ka-dang para anggota persekutuan harus membayar sewa bumi supaya diberi izin melakukan tindakan tersebut”7).

Antara persekutuan dengan tanah yang didudukinya itu terdapat hubungan yang erat sekali, hubungan yang mempunyai sumber serta yang bersifat religio-magis. Hubungan yang erat dan bersifat religio-magis ini menyebabkan persekutuan memperoleh hak untuk menguasai tanah dimaksud, memanfaatkan tanah itu,memungut hasil dari tumbuh-tumbu-han yang hidup di atas tanah itu,juga berburu terhadap binatang-binatang yang hidup disi-tu, hak persekutuan atas tanah ini disebut dengan hak pertuanan atau ulayat.

Menurut Soerojo Wignjodipoero dalam bukunya Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat menjelaskan bahwa “antara hak persekutuan ini (hak ulayat) dan hak para warganya masing-masing (hak individu) ada hubungan timbal-balik yang saling mengisi.Artinya le-bih intensif hubungan antara individu, warga persekutuan,dengan tanah yang bersangku-tan terhadap bersangku-tanah dimaksud, tetapi sebaliknya apabila hubungan individu dengan bersangku-tanah terhadap tanah dimaksud, tetapi sebaliknya apabila hubungan individu dengan tanah ter-

---7). Mahadi, Uraian Singkat Tentang Hukum Adat Sejak RR Tahun 1854, Penerbit Alumni Bandung, 1991, hal 7

hadap tanah dimaksud, tetapi sebaliknya apabila hubungan individu dengan tanah ter-sebut menjadi makin lama makin kabur,karena misalnya tanah itu kemudian tidak/kurang dipeliharanya,maka tanah dimaksud kembali masuk dalam kekuasaan hak ulayat persekutuan”8)

Menurut Dirman dalam bukunya Perundang-Undangan Agraria Di Seluruh Indonesia sebagaimana mengutip pendapat/pandangan C.S.J.Maassen dan A.P.G.Hens menjelaskan “bahwa yang dimaksud dengan hak ulayat adalah hak desa menurut adat dan kemauannya untuk menguasai tanah dan daerahnya buat kepentingan-kepentingan anggotanya atau untuk kepentingan orang lain (orang asing) dengan membayar kerugian kepada kas desa melalui kepala desa, sedikit banyaknya turut campur terhadap pembukuan tanah itu dan turut bertanggung jawab terhadap perkara-perkara yang terjadi disitu dan belum da- pat diselesaikan”9)

Menurut Maria S.W. Sumardjono yang berjudul “ Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi”, menjelaskan bahwa pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat akan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang seyogianya memuat :

1. kriteria penentuan eksistensi hak ulayat.

2. Pihak-pihak yang terlibat dan berwenang dalam proses penentuan tersebut. 3. Mekanisme/tatacara penentuan eksistensi hak ulayat.

4. Pelembagaan hak ulayat yang terbukti keberadaannya dalam bentuk hak pengelolaan

---8). Soerjojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Cetakan Kesepu-luh, Penerbit CV. Haji Massagung, Jakarta, 2004, hal 198-199

9). Dirman, Perundang-undangan Agraria Di Indonesia, J.B.Wolters, Jakarta, 1958, hal 36

5. Pelembagaan hak ulayat yang terbukti keberadaannya dalam bentuk hak pengelolaan bedasarkan pasal 2 ayat 4 UUPA berikut kewenangannya.

6. Hak-hak dan kewajiban masyarakat hukum adat sebagai pemegang hak pengelolaan” Selanjutnya Maria S.W. Sumardono menegaskan . “sebenarnya perhatian terhadap

pentingnya menghormati dan melindungi hak-hak adat telah terwujud dengan komitmen masyarakat internasional meliputi berbagai konvensi internasional yang diawali dengan The United Nations Charter pada tahun 1945. Dalam perkembangannya, berbagai konvensi internasional yang memuat penghormatan dan perlindungan hak-hak adat tercatat antara lain pada :

1. The United Nations Charter (1945).

2. The Universal Declaration of Human Rights (1948).

3. The United Nations Convention on the Prevention and Punishment of the crime of genocide (1951).

4. Rio Declaration on Environment and Development (1992).

5. Agenda 21 UN Conference on Environment and Development (1992).

Dimensi nasional penghormatan dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat dan hak-haknya terutama dalam Pasal 3 UUPA, Pasal 18 UUD 1945 Hasil Amandemen. Dalam pembangunan sekarang ini sangat dibutuhkan partisipasi masyarakat hukum adat yaitu sebagai hal turut berperan serta masyarakat dalam suatu kegiatan pembangunan”10)

---10). Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan dan Penyelesaian Secara Hukum, Makalah disampaikan pada Seminar Penyelesaian Konflik Pertanahan, Jakarta, 1996, hal 56

Dalam karya ilmiah lain menurut Maria S.W. Sumardjono dalam Materi Kuliahnya berjudul Harmonisasi Kedudukan Hak Ulayat Dalam Peraturan Perundangan Di Indonesia menegaskan bahwa : “Ada beberapa daerah yang telah mengeluarkan Peraturan

Daerah sebagai pengakuan dan pengukuhan keberadaan masyarakat adat di wilayahnya. Akan tetapi masih banyak juga daerah yang belum menerbitkan Peraturan Daerah meskipun ditengarai ada masyarakat di wilayah tersebut. Di sisi lain dalam era reformasi, pemerintah dituntut untuk dapat melakukan pembaharuan menyeluruh di segala bidang termasuk hukum. Maka seperti sebuah euphoria, bermunculanlah peraturan-peraturan seperti Undang-Undang No.41 Tahun1999 Tentang Kehutanan

Lebih lanjut Maria S.W.Sumardjono menambahkanbahwa : “Untuk menjebatani per-masalahan tersebut, kiranya untuk menetapkan eksistensi hak ulayat harus melihat pada tiga hal yaitu :

1. Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu subjek hak ulayat. 2. Adanya tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai Lebenrauw yang

meru-pakan objek hak ulayat.

3. Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu. Ketiga hal tersebut diatas harus dipenuhi secara simultan untuk dapat me-nyatakan ada atau tidaknya masyarakathukum adat di wilayah tertentu”11)

Masyarakat hukum adat menurut B. Ter Haar Bzn “adalah merupakan masyarakat

hukum (rechtsgemeenschappen) dalam pergaulan hukum mereka merasa menjadi

---11). Maria S.W.Sumardono, Harmonisasi Kedudukan Hak Ulayat Dalam Peraturan Per-rundang-undangan di Indonesia. Bahan/Materi Kuliah Hukum Sumber Daya Alam Bagi Pegiat Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Universitas Gadjah Mada, Yogya-karta, 2002, hal 2.

anggota daripada ikatan bersikap dan bertingkah laku dan bertindak sebagai suatu kesatuan, beberapa orang berbuat apa, semuanya beruntung atau merugi adalah suatu aturan batin yang menyebabkan bahwa beberapa orang atau golongaan orang mempunyai hak mendahulu, hak lebih atau kekuasaan adalah barang, tanah, air, tanaman, kuil dan bangunan yang harus dipelihara secara bersama-sama oleh angota ikatan dan yang harus dipertahan kan oleh meraka secara bersama-sama”12)

Selanjutnya B. Ter Haar Bzn menjelaskan “masyarakat hukum adat adalah kelom-pok masyarakat yang teratur, menetap disuatu daerah tertentu,mempunyai kekuasaan sen-diri dan mempunyai kekayaan sensen-diri baik berupa benda yang terlihat maupun tidak terli-hat, dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami hidup dan kehidupan da-lam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat ada-lam dan tidak seorangpun dian-tara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah timbul dan tumbuh itu atau meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya

Dalam dimensi dan analisis yuridis normatif perangkat peraturan perundang-undang an yang berlaku, Negara Republik Indonesia dengan jelas dan tegas mengakui, menghor-mati dan melindungi eksistensi keberadaan masyarakat hukum adat berikut dengan hak ulayat terhadap tanah, hutan dan kehutanan yang ada disekitarnya di Indonesia. Dalam UUD 45 (Amandemen II), Pasal 18B ayat (2) menyatakan :“Negara mengakui dan meng-hormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepan-jang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Nega

---12). B.Ter Haar Bzn Terjemahan K.Ng.Soebakti Poesponoto,Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat,Cetakan Kedelapan,Penerbit Pradnya Paramita,Jakarta, 1985, hal 27-28

jang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Nega ra kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang”. Kemudian di dalam Pasal 28 I ayat 3 menyatakan “identitas budaya dan hak masyarakat tradisional di hormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”

Penjabaran dari dimensi yuridis normatif yang diatur dalam UUD 45 ini dituangkan ke beberapa perangkat perundangan di Indonesia antara lain peraturan perundangan Un-dang-Undang No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, dalam Pasal 2 ayat (9) menyatakan bahwa: “ Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkem-bangan masyarakat dan Prinsip Negara Kesatuan RI(NKRI)”

Dimensi yuridis normatif lain menurut Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak-Hak Asasi Manusia (HAM), Pasal 6 ayat 1 menyatakan “dalam rangka penegakan hak-hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus di perhatikan dan dilindungi oleh hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman”. Selanjutnya Pasal 6 ayat2 menyatakan “identitas budaya masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum adat termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman”

Kerangka teoretisbedasarkan analisis yiridis normatif lain dapat dikaji dari UUPA pa-da Pasal 3 yang menyatakan “dengan mengingat ketentuan-ketentuan pada Pasal 1 dan Pasal 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa dengan itu dari masyarakat hu-kum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lain yang lebih ting

gi”.Kemudian dalam Pasal 5 memposisikan hukum adat sebagai hukum agraria yang ber-laku atas bumi,air dan ruang angkasa.Artinya masyarakat hukum adat dan hukumnya me-miliki kedudukan yang tinggi dalam hukum agraria nasional.

Kemudian dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasio-nal (BPN) No. 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa /Masalah Hak U-layat Masyarakat Adat, dalam Bab I, Pasal 1 ayat (1) Hak UU-layat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat (selanjutnya disebut hak ulayat),adalah kewenangan yang menu-rut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan”.

Pasal 1 ayat (2)“Tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapathak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. Pasal 1 ayat (3)menyatakan bahwa “ma sya-rakat hukum adat adalah sekelompok orang terikat oleh tatanan hukum adatnya seba-gai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun dasar keturunan. Dan tanah ulayat adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ula-yat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu”

Prinsip-prinsip pokok tentang Kedudukan Hak Ulayat dan Masyarakat Hukum Adat nya diatur dalam Pasal 2, 3 dan4 Pasal 2 ayat (1)“Pelaksanaan Hak Ulayat sepanjang pa-da kenyataannya masih apa-da dilakukan oleh masyarakat hukum apa-dat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat. Pada Pasal 2 ayat (2) menyatakan“ Hak Ula -yat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila :

a. Terdapat disekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai wargabersama suatu persekutuan hukum tertentu yang mengakui dan menerapkan sehari-hari.

b. Terdapat tanah ulayat yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari.

c. Terdapat tatanan hukum adat pengurusan,penguasaan dan penggunaan tanah ula-yat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut”. Pasal 3 “Pelaksanaan hak ulayat masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 tidak lagi dilakukan terhadap bidang-bidang tanah yang pada saat di-tetapkannya Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud Pasal 6 :

d. Sudah dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah menurut UUPA.

e. Merupakan bidang-bidang tanah yang sudah diperoleh atau dibebaskan oleh ins-tansi Pemerintah, badan hukum atau perseorangan sesuai ketentuan dan tata cara yang berlaku”.

Pasal 4 ayat (1) Penguasaan bidang-bidang tanah yang termasuk tanah ulayat sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 2 oleh perseorangan dan badan hukum dapat dilakukan :

a. Oleh warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak penguasaan menurut ketentuan hukum adatnya yang berlaku yang apabila dikehendaki oleh pemegang haknya dapat didaftarkan sebagai hak atas tanah yang sesuai menurut ketentuan UUPA

b. Oleh instansipemerintah,badan hukum atau perseorangan bukan warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak atas tanah menurut ketentuan UUPA

beradasarkan pemberian hak dari Negara setelah tanah tersebut dilepaskan oleh masyarakat hukum adat itu oleh warganya sesuai dengan ketentuan dan tata cara hukum adat yang berlaku”.

Pasal 4 ayat (2) “Pelepasan hak ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b untuk keperluan pertanian dan keperluan lain yang memerlukan Hak Guna Usaha atau Hak Pakai,dapat dilakukan oleh masyarakat hukum adat dengan penyerahan penggunaan tanah untuk jangka waktu tertentu, sehingga sesudah jangka waktu habis atau sesudah tanah tersebut tidak dipergunakan lagi atau ditelantarkan sehingga Hak Guna Usaha atau Hak Pakai yang bersangkutan hapus, maka penggunaan selanjutnya harus dilakukan berdasarkan persetujuan baru dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat masyarakat hal hukum adat itu ada sesuai dengan ketentuan Pasal 2”.

Pasal 4 ayat (3) “ dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Hak Guna Usaha atau Hak Pakai yang diberikan oleh Negara dan perpanjangan serta pembaharuannya tidak boleh melebihi jangka waktu penggunaan tanah yang diperoleh dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

Selanjutnya dimensi juridis normatif lain mengatur tentang hukum adat berikut de-ngan hak ulayat terhadap tanah,hutan dan kehutanan disekitarnyadapat dilihat dan di ana-lisis pada Undang-Undang No 5 Tahun 1967 Tentang Pokok-Pokok Kehutanan dan saat ini UndangUndang tersebut telah diganti dengan terbitnya UndangUndang No. 41 Ta -hun 1999 Tentang Kehutanan (yang selanjutnya disebut dengan UUK). UUK ini secara eksplisit disebutkan bahwa status hutan ini hanya ada 2 (dua) macam yaitu hutan Negara dan hutan hak. Hutan adat disebutkan sebagai hutan Negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Padahal dalam kenyataannya hutan adat telah ada sejak zaman

nenek moyang leluhur dan sebelum Negara RI merdeka dan berdiri pada tanggl 17 Agus-tus 1945, mungkin disebabkan karena pengakuan terhadap eksistensi dan/atau kebe-radaan masyarakat hukum adat beserta hak ulayatnya sendiri masih tidak konsisten. Ketidakkonsistenan tersebut dikarenakan belum ada kriteria yang baku mengenai keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak ulayatnya di suatu wilayah.

Dalam Pasal 1 ayat 6 Ketentuan Umumnya mengatur dan menyatakan bahwa “ Hu -tan Adat adalah hu-tan Negara yang berada dalam kawasan/wilayah masyarakat hukum adat.Sehingga walaupun hutan adapt diklasifikasikan sebagai kawasan hutan Negara teta-pi sebenarnya, Negara masih mengakui adanya wilayah masyarakat hukum adat. Dalam Pasal 67 ayat 2 diatur bahwa “Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 ditetapkan dengan Peraturan Daerah”.

B. Kedudukan Hak Ulayat Tanah Adat Dalam Masyarakat Adat dan Peraturan Perundangan di Indonesia.

Seperti telah disebutkan bahwa pengakuan tentang keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak ulayatnya tertuang dalam pasal 18 B ayat 2 dan pasal 28 i ayat 3, namun dalam kenyataannya pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisonal yang biasa disebut Hak Ulayat,seringkali tidak konsisten dalam pelak-sanaan pembangunan nasional. Titik berat hak ulayat adalah penguasaan atas tanah adat beserta seluruh isinya oleh masyarakat hukum adat.Penguasaan disini bukanlah dalam ar-ti memiliki tetapi hanya sebatas mengelola saja.

untuk kehidupannya manusia sebagai individu maupun kelompok sampai kini belum da-pat melepaskan diri dari tanah untuk berbagai keperluan, karena tanah merupakan :

7. Tempat untuk mencari kebutuhan hidup manusia, seperti tempat beburu, memungut hasil hutan, areal pertanian, peternakan, pertambangan, industri, dsb.

8. Tempat berdirinya persekutuan hukum adat, desa,kecamatan, kabupaten/kota, provin-si dan negara serta merupakan tempat tinggal dan tempat mencari nafkah kehidupan warga penduduk masyarakat adat.

9. Harta kekayaan yang sangat berharga yang bersifat tetap, karena tanah walau apapun

Dokumen terkait