• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Hsl Pen. Hak Ulayat Dalam Wilayah Hutan Negaradoc

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Laporan Hsl Pen. Hak Ulayat Dalam Wilayah Hutan Negaradoc"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

Laporan Hasil Penelitian :

ANALISIS YURIDIS NORMATIF HAK ULAYAT Ta na h

ADAT DiKAWASAN Pengel ol a a n t a na h HUTAN

NEGARA DI indONESIA

Oleh :

1 . August P. Sila e n, SH , M H um 2 . M a rt hin Sim a ngunsong, SH , M H um

LEMBAGA PENELITIAN

UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN

(2)

Pengesahan Laporan Hasil Penelitian

1.a. Judul Penelitian : Analisis Yuridis Normatif Hak Ulayat Tanah Adat Dikawasan Pengelolaan Tanah Hutan Negara Di Indonesia

b. Bidang Ilmu : Ilmu Hukum (Perdata).

c. Kategori : Pengembangan Fungsi Kelembagaan Civitas Akademika Pergu-ruan Tinggi.

2. A. Peneliti

a. Nama Lengkap dan Gelar : August P. Silaen, SH, MHum b. Jenis Kelamin : Laki-Laki.

a. Nama Lengkap dan Gelar : Marthin Simangunsong, SH, MHum b. Jenis Kelamin : Laki-Laki

4. Lama Penelitian : 4 (empat) bulan sejak September 2012-Januari 2013 5. Biaya Penelitian : Rp.7.000.000,- (tujuh juta rupiah)

6. Sumber Biaya Dari : - Lembaga Penelitian Rp. 4.000.000,- (empat juta rupiah). - Pribadi sendiri Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah)

Medan, 14 Februari 2013 Mengetahui, Menyetujui,

Fakultas Hukum Lembaga Penelitian

Dekan, Ketua, Peneliti,

(3)

RINGKASAN

ANALISIS YURIDIS NORMATIF HAK ULAYAT Ta na h ADAT

DiKAWASAN pengel ol a a n Ta na h HUTAN NEGARa Di

Indonesia

Penelitian ini direncanakan dan dilakukan dalam rangka menganalisis tentang Hak tanah adat dalam masyarakat adat dan hak menguasai dari Negara terhadap tanah hutan Negara. Dua hak yang berbeda apakah dapat terjalin harmonisasi ditengah masyarakat khususnya masyarakat desa dalam hidup dan kehidupannya. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah ada pengakuan oleh negara dan hukum terhadap masyarakat adat dalam instrument hukum nasional dan hukum positif yang berlaku di Indonesia, bagaimana harmonisasi pengelolaan tanah hutan negara dan tanah ulayat/adat dalam masyarakat adat.

Sesungguhnya hak ulayat tanah adat dalam masarakat adat diakui secara hukum menandakan bahwa eksistensi masyarakat adat di Indonesia adalah legal menurut hukum. Hak-hak tradisional yang dimaksud adalah termasuk hak-hak masyarakat atas sumber daya alam di wilayah ulayatnya. Selain itu sebagaimana disebutkan bahwa eksistensi masyarakat hukum adat untuk hidup dalam corak budaya sendiri adalah merupakan kenyataan yang juga harus dihormati.

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kita panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Kuasa atas rahmatNya sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik.Penelitian ini berjudul Analisis Yu ridis Normatif Hak Ulayat Tanah Adat Dikawasan Pengelolaan Tanah Hutan Negara Di Indonesia. Penelitian ini merupakan salah satu dari pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi.Disamping itu pelaksanaan penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemam-puan meneliti bagi para dosen sebagai tenaga pendidikan dan pengajar bagi mahasiswa terutama menyangkut Hak Ulayat Tanah Adat dalam masyarakat persekutuan Adat dikawasan Pengelolaan tanah hutan negara.

Mulai dari rencana pembuatan proposal penelitian hingga selesai laporan hasil pene-litian ini, kami sangat banyak memperoleh dorongan, bantuan, masukan dan saran kons-truktif dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini kami wajar menyampaikan terima banyak kepada :

1. Bapak DR.Ir. Jongkers Tampubolon, MSc selaku Rektor Universitas HKBP Nom-mensen yang terus mendorong seluruh dosen untuk melakukan penelitian.

2. Bapak Prof. DR. Ir. Hasan Sitorus, MS selaku Ketua Lembaga Penelitian Universi-tas HKBP Nommensen yang turut mendorong dan membantu para dosen sebagai staf pengajar di lingkungan Universitas HKBP Nommensen melakukan penelitian.

(5)

4. Bapak/Ibu dosen di lingkungan Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen yang turut serta memberikan masukan dan saran konstruktif dalam penyelesaian laporan ha-sil penelitian ini.

5. Bagi pihak siapapun yang telah memberikan informasi, data dan dokomen resmi yang terkait yang tidak dapat disebutkan satu persatu sehingga peneltian ini dapat diselesaikan dan diserahkan hasil penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa apa yang disajikan dalam laporan hasil penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan sebagi karya ilmiah,untuk inilah kami menyambut baik segala saran-saran konstruktif dari pihak manapun demi kesempurnaan penelitian dikemudian hari.

Akhir kata semoga laporan hasil penelitian ini dapat berguna dan memberikan manfa-faat bagi seluruh pembaca sebagai salah satu kontribusi tim peneliti dalam mewujudkan salah satu dari pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi dilingkungan civitas akademi-ka Universitas HKBP Nommensen.

Medan, Medio Februari 2013

Hormat kami Peneliti,

(6)

DAFTAR ISI

Halaman RINGKASAN ... KATA PENGANTAR ……... I DAFTAR ISI ... BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... B. Permasalahan ... C. Tujuan Penelitian ... D. Manfaat Penelitian ...

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... A. Hakekat dan Eksistensi Hak Ulayat Dalam Hukum Adat ...

B. Kedudukan Hak Ulayat Adat Dalam Peraturan Perundangan Di

Indonesia ... ... C. Pengelolaan Hutan Negara Dikawasan Masyarakat Adat...

BAB III METODE PENELITIAN ...

(7)

E. Metode Analisis ...

BAB IV PEMBAHASAN ... A. Harmonisasi Kedudukan Tanah Hak Ulayat Adat Dikawasan Hutan Negara Dalam

Perangkat Peraturan di Indonesia

B. Bagaimana Pengaturan Hukum Mengatasi Konflik Kepentingan Kepemilikan Hak Ulayat Dikawasan Pengeloaan Hutan Negara

C.

BAB V PENUTUP ... A. KESIMPULAN ...

(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.

Hak Ulayat merupakan hak sejak zaman nenekmoyang leluhur masyarakat adat se-tempat dan merupakan hak purba, hak tradisional, turun-temurun serta berupa hak secara kolektif dalam suatu wilayah yang dimiliki oleh suatu masyarakat adat dimana hak ini di-akui dan dihormati oleh negara sesuai dengan landasan konstitusional Undang-Undang Dasar 1945 (yang selanjutnya disebut dengan UUD 45) termuat dalam Pasal 18 B dan ju-ga diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 juncto UU No.12 Tahun 2008 Tentang Pemerin-tah Daerah dalam Pasal 2 ayat 2.

Diakui dan dihormati, maksudnya di sini adalah hak tradisional sendiri telah diakui entitas keberadaanya jauh sebelum bangsa Indonesia itu sendiri lahir. Sehingga hak tradi-sional yang dalam hal ini adalah Hak Ulayat masyarakat hukum adat bukanlah hak yang berasal dari pemberian negara. Sama halnya dengan tiga hak yang bersifat fundamental dan melekat dalam tiap diri manusia yakni hak untuk hidup, hak atas kebendaan dan hak kekeluargaan. Jadi dengan eksistensi dari pada pencabutan hak ulayat ini merupakan ins-konstitusional.

(9)

sekitarnya termasuk juga berburu terhadap binatang-binatang yang hidup dan tinggal di-sekitar tanah ulayat tersebut.

Di berbagai daerah/wilayah Indonesia berlaku hukum adat, hak ulayat terhadap tanah adat di lingkungan masyrakarat adat antara lain tentang pembukaan hutan untuk usaha perladangan dan pertanian lainnya, pengembalaan ternak, perburuan satwa liar dan pemu-ngutan hasil hutan serta diberbagai areal hutan dikelola secara lestari oleh masyarakat hu-kum adat sebagai sumber kehidupannya dengan segala kearifannya. Keberadaan berbagai praktek pengelolaan hutan oleh masyarakat adat dikenal dengan berbagai istilah seperti Mamar di Nusa Tenggara Timur, Lembo pada masyarakat Dayak di Kalimantan Timur,

Tembawang pada masyarakat Dayak di Kalimantan Barat, Repong pada masyarakat

Peminggir di Lampung, Tombang/Harangan pada masyarakat Batak di Tapanuli Utara/ Tobasa/Samosir.

Praktek tersebut menunjukkan bahwa masyarakat adat telah dan mampu mengelola sumberdaya alamtermasuk hutannya secara turun-temurun dan tradisional.Pola-pola ini di ketahui memiliki sistem yang sangat terkait dengan pengelolaan hutan alam, hutan tana-man, kebun dan usaha pertanian sehingga bentuknya sangat beranekaragam, dinamis, ter-padu yang menghasilkan berbagai manfaat bagi masyarakat dan lingkungan, baik secara ekonomi, sosial budaya, religi dan ekologi.

(10)

mengan-dung pengertian lingkungan kekuasaan, sedangkan beschikkingsrecht itu menggambar-kan tentang hubungan antara masyarakat hukum dan tanah itu sendiri. Kini lazimnya di pergunakan istilah hak ulayat sebagai terjemahan beschikkingsrecht.

UUD 45 sebagai Hukum Dasar dan Dasar Hukum dalam berbangsa, bernegara dan bermasyarakat tertuang dalamPasal 33 ayat 3 menyatakan bahwa bumi, air, udara dan ke-kayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat. Ketentuan ini merupakan dasar penguasaan oleh negara atas sumber-sumber agraria yang kemudian dikenal dengan konsep Hak Me-nguasai Negara (HMN).

Berbicara mengenai masyarakat adat atau masyarakat hukum adat, kita tidak bisa dile-paskan dengan adanya hak Ulayat. Hak Ulayat sebagai istilah teknis yuridis adalah hak yang melekat sebagai kompetensi khas pada masyarakat hukum adat, berupa wewenang/ kekuasaan mengurus dan mengatur tanah seisinya dengan daya laku kedalam maupun ke-luar.Pengakuan terhadap masyarakat hukum adat dan hak-haknya dinyatakan dalam Pasal 18 B ayat 2 UUD 45 (Amandemen kedua kali)menyebut bahwa ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diatur dalam undang-undang”.Dan juga pada Pasal 28 i ayat 3 (UUD 45 yang diamandemen Kedua) menyebutkan bahwa ”Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan perada-ban”

(11)

ayat 3 UUD 45, namun dalam kenyataannya pengakuan terhadap keberadan masyarakat hukum adat beserta dengan hak-hak tradisional yang biasa disebut dengan HakUlayat, se-ringkali tidak konsisten dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Titik berat Hak Ula-yat adalah penguasaan atas tanah adat beserta seluruh isinya oleh masyarakat hukum adat.Penguasaan disini bukanlah dalam artian memiliki, akan tetapi hanya sebatas menge-lola saja.

Pada saat yang sama,bahkan telah berlangsung jauh lebih lama terdapatpelbagai sis-tem hukum dari masyarakat dan kebudayaan-kebudayaan lain (the other cultures) selain state law (hukum negara). Masyarakat mempertahankan sistem-sistem hukum tersebut

se- cara dinamis sesuai dengan laju kebudayaannya. Sebagian pihak menganggap the other laws bagian dari masa lalu, namun sebagian lagi menyatakan bahwa mereka

tetap eksis hingga kini. Dan sebagian lainnya menyatakan ada, namun semakin terkikis. Keberadaannya acapkali dirasakana pada berbagai peristiwa (hukum). Konsep ”unifikasi hukum” tetap didahulukan, maka keberadaan the other laws (hukum-hukum masyarakat lokal) menjadi terkendala. Kendalanya adalah :

a.Dari sisi masyarakat pemilik hukum lokal,mereka semakin tidak leluasa dalam meng-implementasikan hukumnya.

b.Dari sisi state, hukum-hukum lain ditanggapi sebagai ganjalan yang dapat mengham-bat proses pembangunan (semesta)

(12)

Manusia RI (dahulu dikenal dengan Departemen Kehakiman RI), sudah memberikan perhatian yang cukup dengan mengutip hasil Simposium dan Seminar yang berskala Nasional serta kajian dan penelitian yang cukup intensif tentang masalah yang terabaikan dan memerlukan perhatian dan Perlindungan hukum”

Selanjutnya H.Abdurrahman menjelaskan bahwa ”Ada beberapa pertemuan nasional yang membahas tentang hukum adat dan apa yang menjadi hak masyarakat yang menjadi pendukungnya antara lain :

1.Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional yang dilaksanakan bekerja sa-ma dengan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada tanggal 15-17 Januari 19- 75 di Yogyakarta yang membahas topik-topik seperti Pengertian Hukum Adat, Hukum yang hidup dalam masyarakat (living Law) dan Hukum Nasional, Kedudukan dan Peranan Hukum Adat dalam Pembinaan Hukum Nasional, Hukum Adat dalam Perundang- undangan, Hukum Adat dalam Putusan Hakim, Penelitian dan Pengajaran.

2.Simposium Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan Kedudukan Tanah-Tanah A-dat Dewasa ini yang dilaksanakanbekerjasama Pemerintah Kalimantan Selatan dan Fa-kultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat tanggal 6-8 Oktober 1977 di Banjarma-sin yang antara lain membahas kedudukan tanah adat dewasa ini, UUPA dalam prak-tek serta permasalahannya.Beberapa pemikiran dalam usaha penyempurnaan peraturan pelaksanaan UUPA ditinjau dari segi perkembangan sosial ekonomi Perkembangan Hu-kum Tanah Adat melalui yurisprudensi dan studi kasus di beberapa daerah tentang pengaruh UUPA terhadap tanah-tanah Adat di beberapa daerah.

(13)

4.Seminar Revitaliasasi dan Reinterpretasi Nilai-Nilai Hukum tidak tertulis dalam Pem-bentukan dan Penemuan Hukum yang diselenggarakan bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dan KantorWilayah Depertemen Hukum dan HAM Su-lawesi Selatan-Makassar,tgl 28-29 September 2005 yang membahas Hukum Adat seba-gai hukum yang hidup, Hukum Adat dalam perundang-undangan, Hukum Adat dalam putusan Hakim dan lain-lain”

Lebih lanjut H.Abdurrahman menegaskan bahwa ”Pembahasan dan hasil pertemuan ilmiah tersebut perlu dikaji ulang dalam rangkamembicarakan perlindungan hukum terha-dap masyarakat adat di Indonesia”. 1)

Martua Sirait sebagai Pembicara/Penyaji pada acara Seminar Perencanaan Tata Ru-ang Secara Partisipatif yRu-ang diselenggarakan oleh WATALA Dan BAPPEDA Provinsi Lampung, menegaskan bahwa : ”Pengakuan keberadaan masyarakat adatsangat beragam dari sektor satu dengan sektor lain demikian pula bentuk-bentuk pengakuan keberadaan masyarakat adat oleh pemerintahan daerah yang berbeda. Selain itu juga kebijakan yang mengatur keberadaan masyarakat adat, terdapat pula kesepakatan-kesepakatan internasio-nal yang sebagian telah diratifikasi kedalam kebijakan perundang-undangan RI dan juga wacana-wacana di tingkat nasional mengenai bentuk pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat”2)

Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehuta-nan termaksud menerapkan tujuan tersebut melaluipendekatan timber management atau

---1). H. Abdurrahman, go id/inden.php? action=public &id, terbit 16-03-2012, hal 1-2. 2). Martua Sirait, Chip Fay & A.Kusworo, Bagaimana Hak-Hak Masyarakat

(14)

ecosystem management yang mengakomodasikan juga aspek sosial budaya, politik

mau-pun ekonomi dan kelestarian fungsi lingkungan hidup yang berkelanjutan. Diberbagai wi-layah negara republik Indonesia berlaku hukum adat antara lain tentang pembukaan hutan untuk usaha perladangan dan pertanian lainnya, pengembangan dan pengembalaan ter-nak, pemburuan satwa liar dan pemungutan hasil hutan serta diberbagai areal hutan dike-lola secara lestari lingkungan yang berkelanjutan oleh masyarakat hukum adat sebagai sumber hidup dan kehidupan dengan segala kearifan lokalnya.

Keberadaan berbagai praktek pengelolaan hutan oleh masyarakat adat dikenal ngan berbagai daerah istilah misalnya saja di daerah masyarakat adat Batak dikenal de-ngan istilah”tombang atau harangan”di daerah Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Tobasa dan Samosir di wilayah Propinsi Sumatera Utara. Praktek tersebut menunjukkan bahwa masyarakat sadar telah dan mampu mengelola sumber daya alam termasuk sumber hasil hutannya secara turun-temurun dari leluhur nenek moyangnya. Pola-pola ini diketahui memiliki sistem yang sangat terkait dengan pengelolaan dan pelestarian fungsi lingkungan hutan alam, hutan tanaman, kebun dan usaha pertanian sehingga bentuknya sangat beranekaragam, dinamis, terpadu yang menghasilkan berbagai manfaat bagi ma-syarakat dan lingkungan, baik secara ekonomi, sosial budaya,religi dan ekologis. Se-mentara UUPA tentang Pokok-Pokok Agraria telah mencoba mewujudkan pengakuan hukum adat dan hak ulayat, yang berarti hukum adat didudukan dalam sistem hukum nasional. Tetapi dalam praktek hukum penerapan maupun peraturan turunannya masih jauh dari harapan dan kenyataan.

(15)

bahwa ”Pemerintah Indonesia harus menghapuskan sifat banyak ragam dari kedudukan hukum tanah, dan menghapuskan pula Domein Theorie yang dikeluarkan oleh pemerintah kolo- nial Hindia Belanda (menurut Teori ini bahwa semua tanah yang tidak dibawah hak milik Eropah atau hak milik agraria adalah menjadi domein /hak negara, tanah yang tunduk pada sistem hukum adat ialah domein negara) yang dibikin-bikin itu. Dalam Indonesia yang sedang bangkit, harus berlaku satu sistem undang-undang agraria saja dan hak subjektif atas tanah oleh orang-orang dengan tidak pandang golongan jenis bangsa atau kebangsa- an akan semata-mata diambil dari sistem agraria nasional Indonesia yang seragam”3)

Menurut DodyIndrawirawan, dkk, dalam Studi Penelitiannya berjudul Pelaksanaan Ke bijakan Hutan Kemasyarakatan (HKm) Di Provinsi Lampung menjelaskan bahwa : ”Sejak era reformasi terjadi perubahan paradigma dan cara berfikir dalam melihat dan mempersepsikan bagaimana mengelola hutan secara lebih baik di Indonesia. Pengelolaan hu- tan yang lebih baik menitikberatkan pada fungsi ekonomi komersial dan ekologis yang selama ini diterapkan secara rijd terbukti tidak mampu menjembatani kebutuhan sosial ekonomi subsistem masyarakat terutama mereka yang hidupnya memiliki ikatan historis saling berketergantungan dengaan ekosistem hutan di sekitar mereka".

Selanjutnya Dody Indrawirawan dkk menguraikan penelitiannya bahwa ”Paradigma baru pembangunan kehutanan di Indonesia sejak tahun 2000 dapat dilihat antara lain :

a.Pergeseran penekanan dari aspek ekonomi (orientasi pada laba/keuntungan) kepada

(16)

suatu orientasi dengan penekanan keseimbangan aspek sosial, ekologis dan ekonomi b.Pergeseran dari kebijakan dan pengembangan hutan dengan penekanan pada

penge-lolaan hasil kayu kepada suatu orientasi dengan penekanan pada pengepenge-lolaan hutan multiguna yaitu bahwa selain kayu, hutan dapat memberikan keuntungan lain seperti pengaturan hidrologis, produk hutan non kayu lainnya, rekreasi daerah tujuan wisata dan pengaturan iklim mikro dan

c.Memberikan penekanan pada pembangunan kehutanan berbasis masyarakat

(Commu-nity Based Forestry) untuk memperkuat perekonomian daerah dan memberdayakan

masyarakat setempat/lokal). Pengakuan tentang pentingnya masyarakat sebagai basis pembangunan kehutanan di Indonesia dinyatakan dengan tegas pada perubahan para-digma tersebut”4)

Undang-Undang platform bagi peratura perundang-undangan yang menyangkut sumber daya alam (SDA).Karena menilik namanya, objek pengaturan UUPA meliputi se-mua hal yang terkait dengan SDA (tanah, air, hutan, tambang dan sebagainya) tetapi kenyataannya UUPA baru mengatur hal-hal yang berhubungan dengan pertanahan saja. Dari 67 pasal UUPA, 53 pasal mengatur tentang tanah. UUPA ini sesungguhnya telah mencoba mewujudkan pengakuan hukum adat termasuk hak ulayat terhadap tanah adat berikut dengan tanah hutan disekitarnya, akan tetapi dalam praktek penerapan maupun perangkat peraturan perundang-undangannya yang berlaku, sungguh sangat jauh dari kenyataan. Hal ini terjadi semenjak pihak swasta padat modal dan Badan Usaha Milik

(17)

Negara (BUMN) pada dekade tahun 70an diberi kesempatan ”utama” dalam pemanfaatan

hasil hutan dalam bentuk pemberian Hak Pengelolaan Hutan dengan hak HPH, HPHH dan HTI, maka masyarakat di sekitar dan di dalam hutan, khususnya masyarakat hukum adat dirugikan dalam pemanfaatan hutan karena hutan adat dianggap ”milik” nasional se -hingga terjadilah eksploitasi hutan secara berlebihan, penebangan liar/illegal terhadap ka-yu hasil hutan serta konflik dengan masyarakat hukum adat yang berkepanjangan atau pe”milik”kan dan pe”nasional”an manfaat hutan adat didalam wilayah hak ulayat hukum

adat. Konflik atas tanah dan sumber daya hutan yang berlarut-larut ini menimbulkan efek sosial politik dan ekonomi yang pada akhirnya dapat merugikan bagi masyarakat maupun bagi negara dan hal ini perlu segera dihindari atau dituntaskan pengaturan dan pengakuan hak masyarakat hukum adat terutama tentang wilayah masyarakat hukum adat dalam ka-wasan hutan negara,

B. Permasalahan

Adapun yang menjadi permasalahan dalam Analisis Yuridis secara normatif antara lain :

1. Bagaimana Harmonisasi Kedudukan Tanah Hak Ulayat Adat Dikawasan Hutan Ne-gara Dalam Perangkat Peraturan di Indonesia ?

2. Bagaimana Pengaturan Hukum Mengatasi Konflik Kepentingan Kepemilikan Hak Ulayat Dikawasan Pengelolaan Hutan Negara ?

C.Tujuan Penelitian :

Penelitian ini bertujuan memberikan suatu pemecahan terhadap akar masalah yang di-teliti yaitu :

(18)

2. Bagaimana agar tidak terjadi benturan dan terciptanya tertib hukum dalam Pengatu-ngaturan Hukum mengatasi konflik kepentingan Kepemilikan Hak Ulayat Dikawa-san Pengelolaan Hutan Negara ?

D.Manfaat Penelitian :

Penyuguhan dari hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat demi :

1. Menambah, memperkaya dan sumbangsih secara sederhana terhadap perkembangan Ilmu pengetahuan di bidang hukum, khususnya ilmu pengetahuan Hukum Adat ten-tang Hak Ulayat atau Hak Pertuanan/Hak Persekutuan Hukum Adat dan ilmu pe-ngetahuan tentang kehutanan dalam aspek hukumnya

2. Sumbangsih secara sederdehana diharapkan nantinya berkenan menjadi daftar litera-tur ilmu pengetahuan hukum adat dan kehutanan dalam aspek hukumnya bagi kala-langan mahasiswa,pemerhati (pegiat, aktivis),pelaku ekonomi yang melakukan kegia-tan usaha dibidang perkebunan dan perkegia-tanian yang hendak memiliki Hak Penge-lolaan Hutan dan lain-lain, terlebih-lebih berkenan menjadi bahan referensi/daftar ba-han bacaan bagi peneliti yang khusus meneliti di bidang hukum adat dan kehutanan dalam aspek hukumnya.

E.Metode Penelitian

1. Ruang Lingkup Penelitian.

Ruang Lingkup dan sasaran penelitian ini,maksud dan tujuan adalah memberikan ba-tasan pada penelitian yang akan datang serta memberikan gambaran secara deskriptif analisis juridis normatif disekitar dan tentang Hak Ulayat dalam Hukum Adat, dimana Hak ini termasuk wilayah atau daerah Hutan Negara yang ditetapkan oleh pemerintah

(19)

2. Data.

2.1. Sumber Data.

2.1.1.Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer ialah bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari nilai-ni-lai, norma-norma dan kaidah-kaidan dasar seperti dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 45) aturan-aturan dasar,perangkat peraturan perundang-undangan yang berlaku,bahan hu-kum yang tidak dikodifikasi. Bahan huhu-kum primer yang dipergunakan dalam penelitian ini semua perangkat peraturan perundang-undang yang terkait/berhubungan dengan Hak Ulayat dalam Hukum Adat, dengan hutan dan kehutanan yang berlaku dan diberlakukan di Indonesia (seluruh perangkat peraturan tersebut tertera dalam daftar Kepustaan Peneli-tian ini)

2.1.2.Bahan Hukum Sekunder.

Bahan hukum sekunder ialah memberikan penjelasan mengenai bahan hukum pri-mer tersebut diatas. Bahan hukum sekunder yang dipergunakan dalam kelancaran dan keabsahan penelitian ini dapatbersumber dari segala buku-buku bacaan yang resmi dan valid yang terkait dengan hak ulayat dalam hukum adat dan terkait pula dengan hutan dan kehutanan dalam aspek hukumnya yang menjadi referensi dalam penelitian ini. Disamping buku-buku bacaan yang resmi dan terkait juga bersumber dari bacaan da-lam bentuk karya ilmiah, bahan/materi kuliah, journal, hasil penelitian, Thesis, Diser-Tasi serta pengambilan bahan data diperoleh dari media cetak dan elektronik/inter-net.

2.2. Metode Pengumpulan Data.

(20)

data-nya dikumpulkan melalui penelitian kepustakaan(Library Reasearch) yakni dengan membaca, mempelajari secara seksama dan menganalisis dengan analisis yuridis normatif serta memahami data-data yang berhubungan dengan penelitian ini, mem-pedomani dan mempelajari sumber-sumber buku-buku bacaan yang terkait dengan Hak Ulayat dalam Hukum Adat serta hutan dan kehutanan dalam aspek hukumnya,buku-buku laporan (journal, bulletin, karya ilmiah, hasil Seminar maupun bentuk karya ilmiah lainnya), serta sumber-sumber bacaan lainnya yang terkait dengan penelitian ini baik dalam ben- tuk disertasi, thesis dan karya ilmiah lainnya yang tertata dalam media internet dan kesemua ini pada akhirnya terangkum dalam satu kesatuan Daftar Pustaka.

2.3 . Metode Analisis.

Metode analisis yang dipergunakan dalam penelitian tentang Hak Ulayat Hukum Adat Dalam Kawasan Hutan Negara di Indonesia adalah analisis yuridis normatif.Tek nik analisis datanya yang dipergunakan adalah merupakan pendekatan dimana untuk menjelaskan bagaimana sesungguhnya Harmonisasi Kedudukan Hak Ulayat Kaitannya Dengan Wilayah Hutan Negara Dalam Perangkat Peraturan Perundangan di Indonesia, serta Bagaimana Perlindungan Hukum oleh Negara terhadap Masyarakat Hukum Adat dalam mengatasi konflik diantara kepentingan Antara Hak Ulayat Hukum Adat dan Pengelolaan Hutan Negara ?

(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

(KERANGKA TEORETIS)

A. Hakekat dan Eksistensi Hak Ulayat Tanah Adat Dalam Masyarakat dan

Hukum Adat .

Analisis kerangka teoretis baik dalam tinjauan dan analisis literatur kepustakaan bu-ku-buku bacaan yang terkait dengan Hak Ulayat Hukum Adat dan Hukum Tanah, Hutan dan Kehutanan yang berlaku, tinjauan dan analisis yuridis normatif dari berbagai hirar chie perangkat peraturan perundang-undangan yang berlaku serta tinjauan dan analisis dimensi sosio-empiris situasai dan kondisi masyarakat hukum adat yang sudah barang tentu memiliki hak ulayat terhadap tanah, hutan dan kehutanannya. Dari ketiga perspektif dan analisis tersebut sesungguh masing-masing menyatakan adanya pengakuan dan peng- hormatan dan perlindungan terhadap hukum adat berikut dengan hak ulayat terhadap tanah, hutan dan kehutanannya.

(22)

wilayah Indonesia secara sah danmempunyai kepemilikan hak atas tanah menurut peraturan yang berlaku di Indonesia”.5)

Jikakitaanalisa rumusan dalam Pasal 1 UUPA menyatakan bahwa “seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indone-sia”. Pengertian seluruhwilayah Indonesia meliputi seluruh bumi, air dan ruang angkasa beserta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Indonesia sebagai karuniaT uhan Yang Maha Esa adalah bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalam adalah hubungan yang bersifat abadi. Dalam pengertian ini juga mengandung makna bahwa bumi selain permukaan bumi termasuk pula tubuh bumi di Bawahnya serta berada dibawah air. Dalam pengertian air termasuk perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia.

Menurut SoerjonoSoekanto dalam bukunya Menuju Hukum Adat Indonesia.Suatu Pe-ngantar Untuk Mempelajari Hukum Adat menegaskan bahwa “ Dalam hubungannya de-ngan tanah, menurut alam pikiran hukum adat, tertanam keyakinan bahwa setiap ke-lompok masyarakat hukum adat pada dulunya jauh sebelum masuknya penjajah di Indone sia, kepulauan Indonesia telah dihuni oleh leluhur nenek moyang dan terdapat berbagai persekutuan hukum adat yang mempunyai warga yang teratur,mempunyai pemerintahan sendiri dan mempunyai harta benda materil dan immaterial”6)

Persekutuan hukum adat ini jugadinamakan masyarakat hukum yaitu sekelompok ma-nusia yang teratur dan bersifat tetap, mempunyai pemerintahan/pimpinan serta

mempu-

---5). Wiradi Gunawan, Reformasi Agraria, Instute Press, KPA dan Pustaka Pelajar, Yog-yakarta, 2007, hal 71

(23)

nyai kekayaan tersendiri baik berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak, ben-da yang kelihatan maupun benben-da yang tiben-dak kelihatan. Falsafah hukum aben-dat tersebut me-ngandung konsepsi hukum adat mengenai pertanahan yang kemudian diangkat menjadi konsepsi hukum tanah nasional.

Menurut Pasal 3 UUPA dengan tegas menyatakan bahwa pelaksanaan hak ulayat dan kenyataannya masih ada. Dengan adanya pengakuan terhadap keberadaan hak ulayat ma-syarakat hukum adat, maka hal ini menimbulkan dilematis dalam penyelesaian sengketa tanah, dimana dalam perkembangannya keberadaan hak ulayat dalam hukum adat itu sen-diri masih menimbulkan perbedaan pandangan dan persepsi sudut pandang dikalangan masyarakat adat dengan pihak-pihak di luar lingkungan masyarakat adat itu. Kenyataan ini dari sudut pandang ilmu hukum dapat dikatakan bahwa UUPA mengandung 2 (dua) -sistem atau stelsel hukum yang berbeda yaitu -sistem atau stelsel hukum nasional dan sis-tem atau stelsel hukum adat masyarakat sesis-tempat.

Menurut hukum adat, tanah hak ulayat dalam hukum adat merupakan tanah bersama para warga masyarakat persekutuan hukum adat setempat, sedangkan dalam hukum tanah nasional semua tanah dalam wilayah Indonesia adalah tanah bersama seluruh rakyat dan bangsa Indonesia yang bersatu. Jikalau dibandingkan dengan konsepsi hukum tanah barat dan tanah feodal, konsepsi hukum tanah nasional yang didasarkan pada hukum adat jelas merupakan konsepsi yang sesuaidengan falsafah, pandangan hidup bangsa dan Negara In donesia, sesuai budaya serta tradisional bangsa Indonesia. Konsepsi hukum tanah eropah/ barat yang didasarkan pada semangat individualistis, realistik dan liberalistik tentu tidak sesuai dengan pandangan hidup bangsa Indonesia yang komunal, religio-magisch.

(24)

bahwa “manifestasi Hak Ulayat itu adalah Persekutuan Hukum dan para anggotanya seca ra bebas boleh mengerjakan tanah yang tanah belum dijamah orang lain untuk macam-ma cam keperluan, boleh membuka tanah dijadikan tanah pertanian,boleh mendirikan kam-pung tempat tinggal, boleh mengambil hasil hutan. Selanjutnya Mahadi menguraikan “ orang lain/luar dalam arti orang bukan warga persekutuan hukum yang bersangkutan bo-leh melakukan tindakan hanya dengan seizin persekutuan, mereka akan melakukan tinda kan pidana jika tidakan-tindakan itu dilakukan tanpa izin. Orang lain/uar dan kadang-ka-dang para anggota persekutuan harus membayar sewa bumi supaya diberi izin melakukan tindakan tersebut”7).

Antara persekutuan dengan tanah yang didudukinya itu terdapat hubungan yang erat sekali, hubungan yang mempunyai sumber serta yang bersifat religio-magis. Hubungan yang erat dan bersifat religio-magis ini menyebabkan persekutuan memperoleh hak untuk menguasai tanah dimaksud, memanfaatkan tanah itu,memungut hasil dari tumbuh-tumbu-han yang hidup di atas tanah itu,juga berburu terhadap binatang-binatang yang hidup disi-tu, hak persekutuan atas tanah ini disebut dengan hak pertuanan atau ulayat.

Menurut Soerojo Wignjodipoero dalam bukunya Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat menjelaskan bahwa “antara hak persekutuan ini (hak ulayat) dan hak para warganya masing-masing (hak individu) ada hubungan timbal-balik yang saling mengisi.Artinya le-bih intensif hubungan antara individu, warga persekutuan,dengan tanah yang bersangku-tan terhadap bersangku-tanah dimaksud, tetapi sebaliknya apabila hubungan individu dengan bersangku-tanah terhadap tanah dimaksud, tetapi sebaliknya apabila hubungan individu dengan tanah ter-

(25)

hadap tanah dimaksud, tetapi sebaliknya apabila hubungan individu dengan tanah ter-sebut menjadi makin lama makin kabur,karena misalnya tanah itu kemudian tidak/kurang dipeliharanya,maka tanah dimaksud kembali masuk dalam kekuasaan hak ulayat persekutuan”8)

Menurut Dirman dalam bukunya Perundang-Undangan Agraria Di Seluruh Indonesia sebagaimana mengutip pendapat/pandangan C.S.J.Maassen dan A.P.G.Hens menjelaskan “bahwa yang dimaksud dengan hak ulayat adalah hak desa menurut adat dan kemauannya untuk menguasai tanah dan daerahnya buat kepentingan-kepentingan anggotanya atau untuk kepentingan orang lain (orang asing) dengan membayar kerugian kepada kas desa melalui kepala desa, sedikit banyaknya turut campur terhadap pembukuan tanah itu dan turut bertanggung jawab terhadap perkara-perkara yang terjadi disitu dan belum da- pat diselesaikan”9)

Menurut Maria S.W. Sumardjono yang berjudul “ Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi”, menjelaskan bahwa pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat akan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang seyogianya memuat :

1. kriteria penentuan eksistensi hak ulayat.

2. Pihak-pihak yang terlibat dan berwenang dalam proses penentuan tersebut. 3. Mekanisme/tatacara penentuan eksistensi hak ulayat.

4. Pelembagaan hak ulayat yang terbukti keberadaannya dalam bentuk hak pengelolaan

---8). Soerjojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Cetakan Kesepu-luh, Penerbit CV. Haji Massagung, Jakarta, 2004, hal 198-199

(26)

5. Pelembagaan hak ulayat yang terbukti keberadaannya dalam bentuk hak pengelolaan bedasarkan pasal 2 ayat 4 UUPA berikut kewenangannya.

6. Hak-hak dan kewajiban masyarakat hukum adat sebagai pemegang hak pengelolaan” Selanjutnya Maria S.W. Sumardono menegaskan . “sebenarnya perhatian terhadap

pentingnya menghormati dan melindungi hak-hak adat telah terwujud dengan komitmen masyarakat internasional meliputi berbagai konvensi internasional yang diawali dengan The United Nations Charter pada tahun 1945. Dalam perkembangannya, berbagai

konvensi internasional yang memuat penghormatan dan perlindungan hak-hak adat tercatat antara lain pada :

1. The United Nations Charter (1945).

2. The Universal Declaration of Human Rights (1948).

3. The United Nations Convention on the Prevention and Punishment of the crime of genocide (1951).

4. Rio Declaration on Environment and Development (1992).

5. Agenda 21 UN Conference on Environment and Development (1992).

Dimensi nasional penghormatan dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat dan hak-haknya terutama dalam Pasal 3 UUPA, Pasal 18 UUD 1945 Hasil Amandemen. Dalam pembangunan sekarang ini sangat dibutuhkan partisipasi masyarakat hukum adat yaitu sebagai hal turut berperan serta masyarakat dalam suatu kegiatan pembangunan”10)

(27)

Dalam karya ilmiah lain menurut Maria S.W. Sumardjono dalam Materi Kuliahnya berjudul Harmonisasi Kedudukan Hak Ulayat Dalam Peraturan Perundangan Di Indonesia menegaskan bahwa : “Ada beberapa daerah yang telah mengeluarkan Peraturan

Daerah sebagai pengakuan dan pengukuhan keberadaan masyarakat adat di wilayahnya. Akan tetapi masih banyak juga daerah yang belum menerbitkan Peraturan Daerah meskipun ditengarai ada masyarakat di wilayah tersebut. Di sisi lain dalam era reformasi, pemerintah dituntut untuk dapat melakukan pembaharuan menyeluruh di segala bidang termasuk hukum. Maka seperti sebuah euphoria, bermunculanlah peraturan-peraturan seperti Undang-Undang No.41 Tahun1999 Tentang Kehutanan

Lebih lanjut Maria S.W.Sumardjono menambahkanbahwa : “Untuk menjebatani per-masalahan tersebut, kiranya untuk menetapkan eksistensi hak ulayat harus melihat pada tiga hal yaitu :

1. Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu subjek hak ulayat. 2. Adanya tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai Lebenrauw yang

meru-pakan objek hak ulayat.

3. Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan

tertentu. Ketiga hal tersebut diatas harus dipenuhi secara simultan untuk dapat me-nyatakan ada atau tidaknya masyarakathukum adat di wilayah tertentu”11)

Masyarakat hukum adat menurut B. Ter Haar Bzn “adalah merupakan masyarakat

hukum (rechtsgemeenschappen) dalam pergaulan hukum mereka merasa menjadi

(28)

anggota daripada ikatan bersikap dan bertingkah laku dan bertindak sebagai suatu kesatuan, beberapa orang berbuat apa, semuanya beruntung atau merugi adalah suatu aturan batin yang menyebabkan bahwa beberapa orang atau golongaan orang mempunyai hak mendahulu, hak lebih atau kekuasaan adalah barang, tanah, air, tanaman, kuil dan bangunan yang harus dipelihara secara bersama-sama oleh angota ikatan dan yang harus dipertahan kan oleh meraka secara bersama-sama”12)

Selanjutnya B. Ter Haar Bzn menjelaskan “masyarakat hukum adat adalah kelom-pok masyarakat yang teratur, menetap disuatu daerah tertentu,mempunyai kekuasaan sen-diri dan mempunyai kekayaan sensen-diri baik berupa benda yang terlihat maupun tidak terli-hat, dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami hidup dan kehidupan da-lam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat ada-lam dan tidak seorangpun dian-tara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah timbul dan tumbuh itu atau meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya

Dalam dimensi dan analisis yuridis normatif perangkat peraturan perundang-undang an yang berlaku, Negara Republik Indonesia dengan jelas dan tegas mengakui, menghor-mati dan melindungi eksistensi keberadaan masyarakat hukum adat berikut dengan hak ulayat terhadap tanah, hutan dan kehutanan yang ada disekitarnya di Indonesia. Dalam UUD 45 (Amandemen II), Pasal 18B ayat (2) menyatakan :“Negara mengakui dan meng-hormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepan-jang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Nega

(29)

jang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Nega ra kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang”. Kemudian di dalam Pasal 28 I ayat 3 menyatakan “identitas budaya dan hak masyarakat tradisional di hormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”

Penjabaran dari dimensi yuridis normatif yang diatur dalam UUD 45 ini dituangkan ke beberapa perangkat perundangan di Indonesia antara lain peraturan perundangan Un-dang-Undang No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, dalam Pasal 2 ayat (9) menyatakan bahwa: “ Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkem-bangan masyarakat dan Prinsip Negara Kesatuan RI(NKRI)”

Dimensi yuridis normatif lain menurut Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak-Hak Asasi Manusia (HAM), Pasal 6 ayat 1 menyatakan “dalam rangka penegakan hak-hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus di perhatikan dan dilindungi oleh hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman”. Selanjutnya Pasal 6 ayat2 menyatakan “identitas budaya masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum adat termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman”

(30)

gi”.Kemudian dalam Pasal 5 memposisikan hukum adat sebagai hukum agraria yang ber-laku atas bumi,air dan ruang angkasa.Artinya masyarakat hukum adat dan hukumnya me-miliki kedudukan yang tinggi dalam hukum agraria nasional.

Kemudian dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasio-nal (BPN) No. 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa /Masalah Hak U-layat Masyarakat Adat, dalam Bab I, Pasal 1 ayat (1) Hak UU-layat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat (selanjutnya disebut hak ulayat),adalah kewenangan yang menu-rut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan”.

Pasal 1 ayat (2)“Tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapathak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. Pasal 1 ayat (3)menyatakan bahwa “ma sya-rakat hukum adat adalah sekelompok orang terikat oleh tatanan hukum adatnya seba-gai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun dasar keturunan. Dan tanah ulayat adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ula-yat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu”

(31)

a. Terdapat disekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai wargabersama suatu persekutuan hukum tertentu yang mengakui dan menerapkan sehari-hari.

b. Terdapat tanah ulayat yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari.

c. Terdapat tatanan hukum adat pengurusan,penguasaan dan penggunaan tanah ula-yat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut”. Pasal 3 “Pelaksanaan hak ulayat masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 tidak lagi dilakukan terhadap bidang-bidang tanah yang pada saat di-tetapkannya Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud Pasal 6 :

d. Sudah dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah menurut UUPA.

e. Merupakan bidang-bidang tanah yang sudah diperoleh atau dibebaskan oleh ins-tansi Pemerintah, badan hukum atau perseorangan sesuai ketentuan dan tata cara yang berlaku”.

Pasal 4 ayat (1) Penguasaan bidang-bidang tanah yang termasuk tanah ulayat sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 2 oleh perseorangan dan badan hukum dapat dilakukan :

a. Oleh warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak penguasaan menurut ketentuan hukum adatnya yang berlaku yang apabila dikehendaki oleh pemegang haknya dapat didaftarkan sebagai hak atas tanah yang sesuai menurut ketentuan UUPA

(32)

beradasarkan pemberian hak dari Negara setelah tanah tersebut dilepaskan oleh masyarakat hukum adat itu oleh warganya sesuai dengan ketentuan dan tata cara hukum adat yang berlaku”.

Pasal 4 ayat (2) “Pelepasan hak ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b untuk keperluan pertanian dan keperluan lain yang memerlukan Hak Guna Usaha atau Hak Pakai,dapat dilakukan oleh masyarakat hukum adat dengan penyerahan penggunaan tanah untuk jangka waktu tertentu, sehingga sesudah jangka waktu habis atau sesudah tanah tersebut tidak dipergunakan lagi atau ditelantarkan sehingga Hak Guna Usaha atau Hak Pakai yang bersangkutan hapus, maka penggunaan selanjutnya harus dilakukan berdasarkan persetujuan baru dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat masyarakat hal hukum adat itu ada sesuai dengan ketentuan Pasal 2”.

Pasal 4 ayat (3) “ dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Hak Guna Usaha atau Hak Pakai yang diberikan oleh Negara dan perpanjangan serta pembaharuannya tidak boleh melebihi jangka waktu penggunaan tanah yang diperoleh dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

(33)

nenek moyang leluhur dan sebelum Negara RI merdeka dan berdiri pada tanggl 17 Agus-tus 1945, mungkin disebabkan karena pengakuan terhadap eksistensi dan/atau kebe-radaan masyarakat hukum adat beserta hak ulayatnya sendiri masih tidak konsisten. Ketidakkonsistenan tersebut dikarenakan belum ada kriteria yang baku mengenai keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak ulayatnya di suatu wilayah.

Dalam Pasal 1 ayat 6 Ketentuan Umumnya mengatur dan menyatakan bahwa “ Hu -tan Adat adalah hu-tan Negara yang berada dalam kawasan/wilayah masyarakat hukum adat.Sehingga walaupun hutan adapt diklasifikasikan sebagai kawasan hutan Negara teta-pi sebenarnya, Negara masih mengakui adanya wilayah masyarakat hukum adat. Dalam Pasal 67 ayat 2 diatur bahwa “Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 ditetapkan dengan Peraturan Daerah”.

B. Kedudukan Hak Ulayat Tanah Adat Dalam Masyarakat Adat dan Peraturan

Perundangan di Indonesia.

Seperti telah disebutkan bahwa pengakuan tentang keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak ulayatnya tertuang dalam pasal 18 B ayat 2 dan pasal 28 i ayat 3, namun dalam kenyataannya pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisonal yang biasa disebut Hak Ulayat,seringkali tidak konsisten dalam pelak-sanaan pembangunan nasional. Titik berat hak ulayat adalah penguasaan atas tanah adat beserta seluruh isinya oleh masyarakat hukum adat.Penguasaan disini bukanlah dalam ar-ti memiliki tetapi hanya sebatas mengelola saja.

(34)

untuk kehidupannya manusia sebagai individu maupun kelompok sampai kini belum da-pat melepaskan diri dari tanah untuk berbagai keperluan, karena tanah merupakan :

7. Tempat untuk mencari kebutuhan hidup manusia, seperti tempat beburu, memungut hasil hutan, areal pertanian, peternakan, pertambangan, industri, dsb.

8. Tempat berdirinya persekutuan hukum adat, desa,kecamatan, kabupaten/kota, provin-si dan negara serta merupakan tempat tinggal dan tempat mencari nafkah kehidupan warga penduduk masyarakat adat.

9. Harta kekayaan yang sangat berharga yang bersifat tetap, karena tanah walau apapun yang terjadi padanya tidak akan mengalami perubahan.

10. Salah satu alat pemersatu persekutuan, bangsa dan negara. 11. Harga diri dari persekutuan, bangsa dan negara serta warganya. 12. Tempat dikebumikannya warga yang telah meninggal dunia.

13. Tempat bermukimnya roh-roh pelindung persekutuan masyarakat adat. 14. Dan sebagainya.

(35)

mere-ka buat secara bersama.

Menurut Surojo Wignjodipuro,“hak persekutuan atas tanah ini disebut Hak Pertua-nan. Hak ini oleh Van Vollenhoven disebut “beschikkingsrecht”. Istilah ini dalam baha -sa Indonesia merupakan suatu pengertian yang baru, -satu dan lain karena dalam baha-sa Indonesia (juga dalam bahasa daerah-daerah) istilah yang dipergunakan semuanya pe-ngertiannya adalah lingkungan kekuasaan,sedangkan“beschikkingsrecht”.Itu menggam-barkan tentang hubungan antara persekutuan organisasi dan tanah itu sendiri. Kini azimnya dipergunakan istilah “hak ulayat” sebagai terjemahannya “beschikkingsrecht”.

Istilah-istilah daerah yang berarti lingkungan kekuasaan, wilayah kekuasaan ataupun tanah yang merupakan wilayah yang dikuasai persekutuan adalah a.l : “patuanan”(Am -bon), “panyampeto”(Kalimantan),“wewengkon”(Jawa), prabumian” (Bali), “pawatasan” (Kalimantan),”totabuan”(Bolaang Mangondow,“limpo” (Sulawesi Selatan),“nurut” (Bu-ru), “ulayat” (Minangkabau)”.13)

Tanah ulayat adalah suatu bidang tanah yang padanya melengket hak ulayat dari suatu persekutuan hukum adat. Dengan demikian untuk menentukan apakah suatu bidang tanah tertentu adalah tanah ulayat atau bukan, pertama-tama kita harus memper-hatikan apakah ada persekutuan hukum adat yang berkuasa atas tanah itu. Persekutuan hukum adat sering pula disebut orang sebagai masyarakat hukum adat,namun persekutu-an hukum adat bukpersekutu-anlah sekedar sekelompok orpersekutu-ang ypersekutu-ang berkumpul saja. Persekutupersekutu-an hukum adat sering pula disebut orang sebagai masyarakat hukum adat, namun perseku-tuan hukum adat bukanlah sekedar sekelompok orang yang berkumpul saja. Persekuperseku-tuan

(36)

hukum adat adalah sekelompok orang (lelaki, perempuan, besar, kecil, tua, muda, terma-suk yang akan lahir) yang merasa sebagai suatu kesatuan yang utuh baik karena faktor genealogis, teritorial maupun kepentingan mempunyai struktur organisasi yang jelas, mempunyai pimpinan harta benda kekayaan yang disendirikan, baik berujud maupun yang tidak berujud.

Hak Ulayat adalah suatu sifat komunalistik yang menunjuk adanya hak bersama oleh para anggota masyarakat hukum adat atas suatu tanah tertentu. Dalam pelaksana-annya, kelompok tersebut bisa merupakan masyarakat hukum adat yang teritorial (Desa, Marga,nagari, hutan) bisa juga merupakan masyarakat hukum adat geneologik atau kelu-arga seperti suku. Hak Ulayat disebut juga sebagi hak purba atau hak pertuanan kelukelu-arga seperti suku.Hak Ulayat disebut juga sebagi hak purba atau hak pertuanan yaitu hak yang dimiliki oleh suatu persekutuan hukum adat (sehingga sifatnya merupakan hak bersama) untuk menguasai seluruh tanah beserta segala isinya dalam lingkungan wila-yah persekutuan tersebut dan merupakan hak atas tanah yang tertinggi dalam hukum adat masyarakat setempat.

Hak Ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat didefinisikan sebagai kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam termasuk tanah dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan bathiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut de- ngan wilayah yang bersangkutan.

(37)

terha-dap hak ulayat, memperhatikan hal tersebut diatas nampak bahwa hukum adat merupa-kan dasar dari hukum agraria. Mengenai eksistensi hukum adat dalam hukum agraria, menyangkut ; 1.hukum adat sebagai dasar utama, 2. Hukum adat sebagai hukum peleng-kap.

(38)

oleh hukum, masyarakat dan Pemerintah”.Kepemilikan tanah rakyat adalah merupakan sebuah asasi manusia uang dilindungi oleh hukum internasional maupun hukum nasio-nal. Dalam hukum internasional, hak milik ini diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yaitu :

1. Pasal 17 ayat 1:“Setiap orang berhak untuk memiliki harta benda baik secara priba -di maupun secara bersama-sama dengan orang lain”.

2. Pasal 17 ayat 2 : “Tidak seorangpun dapat dirampas harta bendanya secara sewe-nang-wenang”.

3. Pasal 30 : “Tidak ada satu ketentuanpundalam. Deklarasi ini yang dapat ditafsirkan sebagai memberikan hak pada suatu negara, kelompok atau orang untuk terlibat da-lam aktivitas atu melakukan suatu tindakan yang bertujuan untuk dada-lam menghan-kan hak dan kebebasan-kebebasan apapun yang diatur di dalam deklarasi ini”. Semetara dalam ketentuan hukum UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, pa-sal 67 ayat 1 yang berbunyi : “Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya

masih ada dan diakui keberadaannya berhak :

1. Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dari masyarakat adat yang bersangkutan.

2. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan UU dan

3. Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya”. Di dalam penjelasan Pasal 67 UU No.24 Tahun 2003 Tentang Kehutanan, menyata kan bahwa “sebagai masyarakat hukum adat, diakui keberadaannya jika menurut

(39)

1.masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap) 2.ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya.

3.ada wilayah hukum adat yang jelas.

4. ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati. 5.masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk

pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari”

Dari segi hak asasi manusia yang terelaborasi dengan beberapa peraturan perundang-undangan dan konstitusi maka tampak bahwa eksistensi masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya termasuk hak-hak ulayat telah diakui keberadaannya, bukan hanya secara nasional, namun secara universal melalui Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia,sehing-ga perampasan hak ulayat dan hak-hak lain yang menyerupainya dari masyarakat hukum adat merupakan bentuk pelanggaran konstitusional dan pelanggaran hak asasi manusia.

Secara peraturan hukum nasional maupun internsional, hak ulayat adat dalam masya-syarakat adat ada diatur diantaranya diatur dalam UUD 1945, instrumen Hak Asassi Manusia PBB, Pasal 28 i ayat 3, Pasal 32 ayat 1 dan ayat 2, TAP MPR IX Tahun 2001 Tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan SDA, UU Sektoral (UUPA, UU Sumber Daya Air, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU HAM, UU Pe-ngelolaan dan Pelestarian Lingkungan Hidup, dll serta berbagai kebijakan pada level dae-rah a.l Perda, SK Gubernur, Bupati, Peraturan Gubernur, Bupati dan sebagainya.

(40)
(41)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Ruang Lingkup Penelitian.

Ruang Lingkup dan sasaran penelitian ini,maksud dan tujuan adalah memberikan ba-tasan pada penelitian yang akan datang serta memberikan gambaran secara deskriptif analisis juridis normatif disekitar dan tentang Hak Ula yat dalam Hukum Adat, dimana Hak ini termasuk wilayah atau daerah Hutan Negara yang ditetapkan oleh pemerintah pusat maupun daerah tertentu.

B. Data.

B.1. Sumber Data.

B.1.1.Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer ialah bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari nilai-ni-lai, norma-norma dan kaidah-kaidan dasar seperti dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 45) aturan-aturan dasar,perangkat peraturan perundang-undangan yang berlaku, bahan hukum yang tidak dikodifikasi. Bahan hukum primer yang dipergunakan dalam peneli-tian ini semua perangkat peraturan perundang-undang yang terkait/berhubungan dengan Hak Ulayat dalam Hukum Adat, dengan hutan dan kehutanan yang berlaku dan diber-lakukan di Indonesia (seluruh perangkat peraturan tersebut tertera dalam daftar Kepus-taan Penelitian ini)

(42)

Bahan hukum sekunder ialah memberikan penjelasan mengenai bahan hukum pri-mer tersebut diatas. Bahan hukum sekunder yang dipergunakan dalam kelancaran dan keabsahan penelitian ini dapat bersumber dari segala buku-buku bacaan yang resmi dan valid yang terkait dengan hak ulayat dalam hukum adat dan terkait pula dengan hutan dan kehutanan dalam aspek hukumnya yang menjadi referensi dalam penelitian ini. Disamping buku-buku bacaan yang resmi dan terkait juga bersumber dari bacaan dalam bentuk karya ilmiah, bahan/materi kuliah, bahan/materi acara seminar resmi, journal, hasil penelitian,Thesis, Disertasi serta pengambilan bahan data diperoleh dari media cetak dan elektronik/internet.

C. Metode Pengumpulan Data.

Pembahasan penelitian ini dilakukan peneliti melalui analisis juridis normatif, data-nya dikumpulkan melalui penelitian kepustakaan (Library Reasearch) yakni dengan membaca,mempelajari secaras eksama dan menganalisis dengan analisis yuridis norma-tif serta memahami data-data yangberhubungan dengan penelitian ini, mempedomani dan mempelajari sumber-sumberbuku-buku bacaan yang terkait dengan Hak Ulayat da-lam Hukum Adat serta hutan dan kehutanan dalam aspek hukumnya,buku-buku laporan (journal, bulletin, karya ilmiah,hasil Seminar maupun bentuk karya ilmiah lainnya), serta sumber-sumber bacaan lainnya yang terkait dengan penelitian ini baik dalam bentuk disertasi, thesis dan karya ilmiah lainnya yang tertata dalam media internet dan kesemua ini pada akhirnya terangkum dalam satu kesatuan Daftar Pustaka. D. Metode Analisis Data.

(43)

Tek-nik analisis datanya yang dipergunakan adalah merupakan pendekatan dimana untuk menjelaskan bagaimana sesungguhnya Harmonisasi Kedudukan Hak Ulayat Kaitannya Dengan Wilayah Hutan Negara Dalam Perangkat Peraturan Perundangan di Indonesia, serta Bagaimana Perlindungan Hukum oleh Negara terhadap Masyarakat Hukum Adat dalam mengatasi konflik diantara kepentingan Antara Hak Ulayat Hukum Adat dan Pengelolaan Hutan Negara ?

(44)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.Harmonisasi Kedudukan Tanah Hak Ulayat Adat Dikawasan Hutan Negara

Dalam Perangkat Peraturan di Indonesia.

Menurut A. P. Parlindungan bahwa ”Pengakuan eksistensi hak ulayat oleh UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 (yang selanjutnya disebut UUPA) merupakan hal yang wajar, karena hak ulayat beserta masyarakat hukum adat telah ada sebelum terbentuknya negara RI pada tgl 17 Agustus 1945. Kongres Pemuda pada tahun 1928 telah menetapkan Sum-pah Pemuda yang menyangkut hukum adat, mengeluarkan dasar persatuan Indonesia diperkuat dengan memperhatikan dasar persatuan, kemauan, sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan dan kepanduan. Dengan demikian kita telah mengambil suatu sikap politik tertentu atas hukum adat termasuk segi idealnya bahwa hukum adatlah kelak menjadi dasar hukum Indonesia”14)

Hak masyarakat hukum adat sebagai satu kesatuan kolektif terhadap segala sumber daya di wilayahnya, yang lazim dikenal dengan hak ulayat adalah hak yang berkenaan dengan pengelolaan sekaligus pemanfaatan sumberdaya. Hak pengelolaan terhadap sum-berdaya hutan bagi masyarakat hukum adat didasarkan atas UUPA pada pasal 2 ayat 4. ”Hak menguasai dari negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada

daerah-daerah swatantra danmsyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan– tidak bertentangan dengan kepentingan nasional menurut ketentuan-ketentuan peraturan

(45)

pemerintah.

Secara formal, eksisensi dan pengakuan adanya masyarakat hukum adat dan hak-haknya telah tertuang didalam UUD 1945 pasal 18 ayat 2 yang menyebutkan negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam UU dan pasal 18 ayat 3 yang menyebutkan identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

Mengenai eksistensi dan pengakuan adanya masyarkat hukum adat dan hak-haknya dalam hukum agraria, menurut Urip Santoso menjelaskan bahwa ”hukum adat adalah :

1). Hukum adat sebagai dasar utama, 2). Hukum adat sebagai hukum pelengkap ”15).

Hak masyarakat hukum adat untuk mengelola sumber daya hutan adalah hak yang menurut hukum nasional bersumber dari delegasi wewenang hak menguasai negara kepada masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Namun demikian pasal 2ayat 4 tersebut tidak dapat ditindaklanjuti dengan peraturan yang lebih rendah untuk operasional nya. Ketiadaan peraturan lebih lanjut dari pasal 2 ayat 4 UUPA berakibat bahwa masya-rakat hukum adat hanya diberikan hak untuk memanfaatkan sumberdaya hutan.

Paradigma baru pengelolaan sumberdaya hutan saat ini lebih diarahkan pada sistem pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat (community based forest management), dimana masyarakat merupakan pelaku utama dalam pembangunan sumberdaya hutan ke-depan. Pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat harus menjadi suatu strategi kunci

(46)

dalam melihat permasalahan pembangunan kehutanan secara menyeluruh.

Menurut Boedi Harsono dalam bukunya berjudul Undang-Undang Pokok Agraria, Sejarah Penyusunan, Isi dan Pelaksanaannya” menjelaskan bahwa UUPA sengaja tidak

mengadakan pengaturan dalam bentuk peraturan perundangan mengenai hak ulayat dan membiarkan pengaturannya tetap berlangsung menurut hukum adat setempat. Mengatur hak ulayat menurut para perancang dan pembentuk UUPA akan berakibat menghambat perkembangan alamiah hak ulayat yang pada keyataannya memang cenderung melemah. Kecenderungan tersebut dipercepat dengan dengan membikin bertambah kuatnya hak-hak individu melalui pengaturannya dalam bentuk hukum yang tertulis dan penyeleng-garaan pendaftarannya yang menghasilkan surat-surat tanda pembuktian haknya. Melemahnya atau bahkan menghilangnya hak ulayat, diusahakan penampungannya dalam rangka pelaksanaan hak menguasai dari negara yang memcakup dan menggantikan peranan kepala adat dan para tetua adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan dalam hubungannya dengan tanah-tanah yang sudah dihaki secara individual oleh para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan seperti halnya tanah-tanah di daerah-daerah lain”16)

Lebih lanjut Boedi Harsono menjelaskan bahwa masyarakat yang selama ini menguasai tanah atas dasar hukum adat merasa bahwa tanah yang dikuasai tersebut secara ulayat harus didaftar padahal hak ulayat pun tidak akan didaftar, UUPA tidak memerintahkan pendaftarannya, dalam PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, hak ulayat secara sadar tidak dimasukkan dalam golongan objek pendaftaran

(47)

tanah. Selama ini masyarakat adat tidak memahami hak-hak apa saja yang harus didaftar dan bagaimana prosedur pendaftaran tanah tersebut.

B. Pengaturan Hukum Mengatasi Konflik Kepentingan Kepemilikan Hak Ulayat

Tanah Adat Dikawasan Pengeloaan Tanah Hutan Negara

Menurut Sumarlan bahwa ditinjau dari sudut kacamata pengelolaan sumber daya alam dapat dibagi menjadi 3 materi konflik yang perlu lebih dalam dikaji :

a.konflik kewenangan atas tata ruang. Selama beberapa dekade ini telah terjadi

perampasan kawasan atau perampasan teritorial (territory violence) terhadap masyarakat adat yang dilakukan atas nama undang-undang, peraturan dan kebijakan sehingga menciptakan kelompok yang diuntungkan (the winners) dan kelompok yang dipinggirkan (the loosers). Bentuk penguasaan kembali territorial oleh kelompok masyarakat adalah bentuk pelampiasan dari proses peminggiran yang terjadi. Akan tetapi dalam menata ulang wilayah tersebut haruslah jeli melihat apakah masyarakat ini adalah :

1. masyarakat adat yang memilki ikatan atas wilayah adat sebagai tanah leluhur (ancestral domain of the first nation) dan juga secara fisik menempati dan menggunakannya.

2. masyarakat adat yang meiliki ikatan atas wi layah adat sebagai tanah leluhurnya tetapi tidak menempati dan secara fisik tidak menggunakannya karena suatu kesukarelaan atau paksaan dimana harus diperlakukan secara berbeda pula.

(48)

kawasan hutan. Sehingga akses masyarakat atas sebagian atau seluruh wilayah kampungnya menjadi hilang atau terhambat.

4.marupakan klaim masyarakat pendatang yang mempunyai kekuatan hukum kepemilikan tanah atas wilayah tersebut misalnya transmigrasi program pemerintah yang hak milik atas tanahnya pada kemudian hari diketahui bahwa tanah tersebut merupakan kawasa hutan yang tidak dapat dimiliki atau hak kepemilikannya dicabut. 5.masyarakat pendatang lainnya yang telah datang ketempat tersebut dan berminat untuk

ikut mengelola hutan.

6. masyarakat pendatang yang berencana dan berkeinginan mengelola hutan dan besar kemungkinannya konflik model butir 5 dan 6 ini salah satunya dapat diselasaikan melalui program Hutan Kemasyarakatan (HKM)

b. konflik atas keberadaan masyarakat adat, kelembagaan dan kewenangannya.

(49)

organisasi didalam Desa di seluruh Indonesia yang tidak memberikan tempat yang nyata kepada bentuk kelembagaan adat.

c. konflik atas pola pengelalaan sumber daya alam. Konflik atas pola pengelolaan

yang ada pada masyarakat adat sering terjadi dengan memisahkan suatu pola pengelolaan dari sistemnya. Contoh pola pengelolaan yang ada an yang jelas adalah perladangan gilir balik yang hanya melihat ladang yang sedang dikerjakan saja tanpa melihat lahan beranya dan pola-pola lain didalam sistem pengelolaan sumber daya alam. Perladangan gilir balik harus dapat dilihat sebagai suatu sistem yang menyatu dengan pola sawah yang ada di beberapa bagian kampung, hutan tutupan, kebun wanatani, sungai hutan tempat berburu bahkan tempat-tempat keramat”17)

Kasus-kasus konflik menunjukkan intensitas konflik yang berbeda pula antara konflik yang satu dengan yang lainnya antara lain :

a.Konflik tersembunyi (laten) dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak

nampak sepenuhnya bekembang dan belum terangkat ke puncak kutub-kutub konflik. Seringkali satu atau dua pihak belum menyadari adanya konflik. Konflik tersembunyi dapat terjadi dengan penunjukan status kawasan hutan negara secara sepihak tanpa melibatkan masyarakat dalam proses penetapannya, pemberian hak pengusahaan hutan/kebun pada kawasan yang belum ditetapkan sebagai kawasan hutan negara dsb. Model ini banyak terdapat dimana-mana di Indonesia dimana masyarakat tidak menyadari bahwa status tanahnya secara sepihak ditunjuk atau bahkan telah ditetapkan

(50)

sebagai kawasan hutan negara

b.konflik mencuat (emerging) adalah perselisihan dimana pihak-pihak yang berselisih

dapat teridentifikasi. Mereka mengakui adanya perselisihan, kebanyakan permasala-hannya jelas, tapi proses dan penyelesaiannya belum dikembangkan. Konflik ini biasanya dirasakan dilapangan pada saat perusahaan memulai aktifitasnya dan pada saat itu masyarakat adat dan pihak yang mendapatkan hak/izin menyadari adanya tumpang tindih kewenangan.

c.konflik terbuka (manifest) adalah konflik dimana pihak-pihak yang berselisih secara

aktif terlibat dalam perselisihan yang terjadi dan mungkin sudah mulai bernegosiasi dan mungkin juga menemui jalan buntu dan memungkinkan digunakannya cara-cara kekerasan oleh kedua belah pihak yang berselisih.

Konflik-konflik tersebut terjadi bukan hanya di dalam kawasan hutan dengan fungsi hutan tanpa melihat batasan fungsi kawasan hutan. Konflik terjadi pada hutan dengan lindung, fungsi konservasi, fungsi produksi dan juga pada areal yang telah diberikan haknya kepada pihak lain seperti pada areal HPH, HPHTI, Perkebunan bahkan pada wilayah yang diberikan izin IPK dan dimasa datang dapat terjadi pula pada perpanjangan hak sertapemberian bentuk hak baru seperti HPHKM.

Kewenangan suatu wilayah masyarakat hukum adat diperlukan untuk mencegah adanya pengukuan ganda ataupun pengakuan atas suatu wilayah yang bukan kewenangan nya. Dalam hal ini ada beberapa kemungkinan yang dapat dilakukan : a.pengakuan keberadaan masyarakat adat oleh masyarakat adat itu sendiri dengan

(51)

b. pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat oleh lembaga yudikatif berdasarkan keputusan pengadilan.

c. pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat oleh Dewan Masyarakat dat yang dipilih oleh Masyarakat Adat itu sendiri.

Terlepas dari kebaikan dan kelemahan ke 3 (tiga) pilihan di atas, nampaknya bentuk kombinasi kewenangan pengakuan perlu diatur, antara masyarakat sekitar wilayah masyarakat hukum adat dan pemerintah bersama-sama dengan masyarakat adat yang berkepentingan itu sendiri. Selain mekanisme pengakuan tersebut, diperlukan juga mekanisme naik banding dan penyelesaian sengketa antar masyarakat adat atas suatu kewenangan wilayah tertentu. Demikian pula bentuk penyelesaian sengketa diluar pengadilan untuk sengketa antar kelompok masyarakat hukum adat yang mengklaim suatu wilaya yang sama perlu disiapkan.

(52)
(53)

Daftar Kepustakaan/Literatur :

I. Buku :

1. A. P. Parlindungan, Hukum Agraria serta Landreform, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 1994

2. B. Ter Haar Bzn.Terjemahan K. Ng. Soebakti Poesponoto, Asas-Asas dan Susu-Hukum Adat, Cetakan Kedelapan, Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta, 1985. 3. Boedi Harsono, Undang-Undang Pokok Agraria, Sejarah Penyusunan, Isi dan

Pelaksanaannya, Bagian Pertama, Jilid I, Jakarta, 2003

4. Dirman, Perundang-Undangan Agraria Di Indonesia, J.B. Wolters, Jakarta, 1958 5. Mahadi, Uraian Singkat Tentang Hukum Adat, Sejak RR Tahun 1854, Penerbit

Alumni, Bandung, 1991.

6. R. Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Cetakan Ke 17, Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta, 2007.

7. Sumarlan Yanuar, Towards A Community-Based Resource Management From A State-Conrolled One ; Legal Overview and Possibilities, ICRAF-SEA Programme 1 Report 1998 unpublished

8. Soerjono Soekanto, Menuju Hukum Adat Indonesia. Suatu Pengantar Untuk Mem-pelajari Hukum Adat , Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1981.

9. Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Cetakan Kesepu-luh, Penerbit CV. Haji Masagung, Jakarta, 2004.

10. Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Penerbit Perdana Media, Jakarta, 2006

11. Wiradi Gunawan, Reforma Agraria, Institu Pres KPA dan Pustaka Pelajar, Yogya-karta, 2002

II. Peraturan.

1. Undang-Undang dasar 1945 (Yang Telah Diamandemen)

2. Tap MPR RI No. IX/MPR/2001 Tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

(54)

5. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

6. Undang-Undang No.19 Tahun 2004 Tentang Peraturan Pengganti Undang-Undang ( Perpu) No.1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU No.41 Tahun 1999 Tentang

Kehutanan.

7. UU No. 32 Tahun 2004 juncto UU No.12 Tahun 2008 Tentang Pemerintah Daerah 8. Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 1998 tentang Pengusahaan Hutan Produksi 9. Peraturan Pemerintah (PP) No. 10 Tahun 2010 Tentang Perubahan Peruntukan Dan

Fungsi Kawasan Hutan

10. Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan. 11. Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No : P/37/Menhut-II Tahun 2007 Tentang

Hutan Kemasyarakatan.

12. Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penye-lesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat

13. SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 677/Kpts-II/1998 Tentang Hutan Kema masyarakat.

14. SK No.44/Menhut-II/2005 Tentang Penunjukan Kawasan Hutan Negara di Propinsi Sumatera Utara

15. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara No. 7 Tahun 2003 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2003-2018

16. Surat Gubernur Sumatera Utara No. 522/779 Perihal Penetapan Kawasan Hutan

Pro-vinsi Sumatera Utara.

III. Bulletin, Yornal, hasil Penelitian Resmi, Karya Ilmiah, Materi/Bahan Kuliah 1. Maria S.W. Sumardjono, Harmonisasi Kedudukan Hak Ulayat Dalam Peraturan

Perundangan Di Indonesia, Bahan/Materi Kuliah Hukum Sumber Daya Alam Bagi Pegiat Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Universitas Gadjah Mada, Yogyakar ta, 2002

(55)

IV. Media Cetak dan Elektronika (Internet) :

Referensi

Dokumen terkait

Setelah proyek di unggah, penulis kembali mendapat saran perbaikan responsif layout dari pembimbing, oleh karena itu pada tanggal 27 Juli 2019 penulis melakukan perbaikan

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi berganda yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh variabel pendidikan, upah, insentif,

Berdasarkan uraian diatas, program bimbingan dalam penelitian ini adalah program yang digunakan dalam kegiatan bimbingan secara terpadu dalam proses bimbingan dan

pada mahasiswa FKIP Universitas Lampung angkatan 2014 yang berasal dari. luar Propinsi Lampung dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu:

157 Jaringan pada hewan yang tersusun dari banyak kolagen yang terbentuk dari protein dan.karbohidrat tergabung dalam matrik, chondrocyte tersusun sejajar dengan serabutnya..

(2) Pemindahbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling tinggi sejumlah pagu dana cadangan yang akan digunakan untuk mendanai pelaksanaan kegiatan dalam tahun anggaran

Permasalahan yang dimaksud yaitu mengenai harga baja dunia khususnya pada produk Baja Canai Panas (Hot Rolled Coil) yang fluktuatif sehingga diperlukan suatu

Kemen terian llmu Pengetahuan dan Teknologi Republik Rakyat 1 Tiongkok wajib menyediakan da na tidak lebih dari 6 juta RMB untuk membangun Laboratorium HTGR Bersama,