• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 METODE PENELITIAN

4.3 Metode Penelitian

Secara ringkas tahapan penelitian disajikan dalam diagram alir seperti tertera pada Gambar 3.

27

Gambar 3 Bagan alir tahapan penelitian

4.3.1 Identifikasi Variabel

Identifikasi variabel-variabel yang diduga berpengaruh terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan mengacu pada prinsip segitiga api yang terdiri atas oksigen, bahan bakar dan sumber penyalaan. Oksigen bersifat bebas dan sulit dikendalikan, sehingga identifikasi hanya dilakukan terhadap variabel-variabel terkait bahan bakar dan sumber penyalaan. Pemilihan jenis variabel didasarkan pada hasil studi literatur terhadap penelitian-penelitian terdahulu yang relevan, text book, dan observasi lapang. Variabel-variabel ini akan diuji untuk mengetahui tingkat pengaruhnya terhadap kejadian kebakaran di wilayah studi.

Sistem ini mencakup identifikasi faktor-faktor penyebab dan pemodelan spasial potensi kebakaran hutan di beberapa wilayah studi. Penelitian telah dilakukan oleh Soewarso (2003) untuk memodelkan kebakaran hutan di areal konsesi Hak Pengusahaan Hutan Provinsi Sumsel. Penelitian sejenis juga dilakukan oleh Samsuri (2008) di Provinsi Kalimantan Tengah; Andria (2009) di Provinsi Jambi; dan Kayoman (2010) di Provinsi Kalimantan Barat. Andria (2009) menemukan bahwa faktor biofisik yang berpengaruh nyata terhadap terjadinya kebakaran hutan di areal HTI PT Wirakarya Sakti adalah faktor curah hujan dan faktor jenis tanah. Faktor aktivitas masyarakat yang menguasai lahan

hutan dengan indikator faktor jarak dari lahan yang dikuasai oleh masyarakat dan jarak dari jalan berpengaruh nyata terhadap terjadinya kebakaran hutan.

Faktor utama penyebab kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat adalah aktivitas manusia yang dipengaruhi jarak dari kota, penggunaan lahan, dan faktor biofisik yang dipengaruhi oleh tutupan lahan (Kayoman 2010), sedangkan Samsuri (2008) mengidentifikasi ada empat faktor utama yang berpengaruh terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Kalimantan Tengah, yaitu tipe sistem lahan, tipe tutupan lahan, tipe tanah dan fungsi kawasan yang dapat digunakan untuk menduga kepadatan hotspot per km².

Faktor biofisik yang mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan di Sub DAS Kapuas Tengah Kalimantan Barat adalah vegetasi halus seperti rumput, alang-alang, semak yang biasanya memiliki kerapatan vegetasi sedang (Arianti 2006). Prasad et al. (2008) mengidentifikasi variabel yang berpengaruh kuat pada kejadian kebakaran adalah luas kawasan berhutan, kepadatan biomassa, kepadatan penduduk pedesaan, curah hujan rata-rata kuartal terpanas, elevasi dan suhu tahunan rata-rata. Di antara variabel-variabel ini, kepadatan biomassa dan curah hujan rata-rata kuartal terpanas memiliki signifikansi tertinggi, diikuti oleh variabel lainnya.

Sesuai prinsip segitiga api, kebakaran hutan dan lahan terjadi dipengaruhi bahan bakar dimana komponen ini berupa faktor biofisik yang dipresentasikan oleh Iklim (rata-rata suhu tahunan, rata-rata suhu musim kemarau, rata-rata curah hujan tahunan, rata-rata curah hujan musim kemarau), Vegetasi (kerapatan vegetasi, tipe penutupan lahan), dan Topografi (elevasi, slope). Kebakaran tidak akan terjadi apabila tidak ada sisi kedua dalam segitiga api yaitu sumber penyalaan. Sumber penyalaan di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai disebabkan oleh aktivitas manusia, baik yang berasal dari desa sekitar Taman Nasional atau masyarakat pengguna jalan di dalam atau sekitar kawasan Taman Nasional. Aktivitas manusia (sumber penyalaan) dapat direpresentasikan oleh faktor Aksesibilitas (jarak terhadap jalan, tipe jalan) dan Kependudukan (kepadatan penduduk, pendidikan, pengambilan sumber daya alam).

4.3.2 Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan sesuai hasil analisis kebutuhan data, baik data primer maupun sekunder. Data yang dikumpulkan selanjutnya diperiksa keaslian, tingkat ketelitian, dan sistem proyeksi petanya. Untuk persiapan analisis, data-data berupa peta disamakan sistem proyeksinya dan dimodifikasi agar dapat terbaca/ terolah oleh perangkat software analisis Sistem Informasi Geografi (SIG). Data-data yang dikumpulkan mencakup data dasar yang dapat diekstrak menjadi beberapa jenis peta seperti data SRTM (peta topografi), GCM (peta suhu, peta curah hujan), citra landsat dan Bing (peta penutupan lahan, peta sungai, peta jalan, peta area kebakaran), hotspot (titik panas) hasil ekstraksi citra MODIS dan data-data sosial ekonomi yang digunakan sebagai peubah pembangun model.

Beberapa sumber data spasial umumnya masih menggunakan sistem koordinat geografis, seperti SRTM, GCM, citra Bing dan hotspot. Sistem proyeksi

29

peta yang masih menggunakan koordinat geografis ini diproyeksikan ke sistem UTM area 51 S untuk memudahkan analisis luas dan jarak.

4.3.3 Pra Pengolahan Data 4.3.3.1Peta Lereng dan Elevasi

Peta topografi (peta lereng dan elevasi) diekstraksi dari data SRTM menggunakan analysis tool pada Arc GIS 9.3 menghasilkan keluaran berupa data raster. Data ini selanjutnya dikelaskan menggunakan reclassify pada Arc GIS, lalu dikonversi ke format vector untuk mendukung analisis hubungan antara variabel terhadap kepadatan hotspot.

4.3.3.2Peta Hujan Tahunan dan Suhu Rata-rata

Pembuatan peta tematik ini memanfaatkan data raster Global Climate Model (GCM). Jenis data yang digunakan adalah GCM current condition yang diinterpolasikan dari data iklim tahun 1950-2000, diunduh dari http:/www.worldclim.org. File diunduh dalam format tile dengan resolusi 1 km x 1 km (30 arc-seconds). Resolusi ini lebih tinggi daripada format global yang tersedia dengan resolusi 2.5 arc-minutes, 5 arc-minutes dan 10 arc-minutes.

Peta curah hujan diekstrak dari tile prec_310, sedangkan peta suhu bulanan rata-rata dari tmean_310. Data ini dibuka dengan softwareopen source DIVA-GIS 7.5, dimana software ini memungkinkan dilakukan analisis matematik untuk menghasilkan data raster curah hujan tahunan dan suhu bulanan rata-rata. Data out put selanjutnya diekspor dalam format berekstensi *.bil yang dapat terbaca oleh Arc GIS, untuk selanjutnya dilakukan konversi data ke bentuk vector.

4.3.3.3Peta Penutupan Lahan dan Peta Area Terbakar

Data citra satelit diunduh dari internet (USGS dan Bing), untuk selanjutnya dilakukan koreksi geometrik dan radiometrik. Citra landsat terkoreksi diolah dengan supervised classification ERDAS Imagine 9.2 dan hasilnya diperbaiki dengan metoda visual memanfaatkan citra Bing dan citra landsat akuisisi rentang waktu 1 tahun (tahun 2008-2010). Perbaikan hasil klasifikasi digital tersebut juga bermanfaat untuk menghilangkan tutupan awan. Citra resolusi tinggi Bing juga digunakan untuk memetakan area terbakar dan verifikasi tingkat kesesuaian hotspot dalam mengindikasikan kejadian kebakaran hutan dan lahan di lapangan.

4.3.3.4Peta Kepadatan Penduduk, Tingkat PDRB Perkapita dan Pendidikan Ketiga peta tematik ini menggunakan batas spasial wilayah administratif. Peta PDRB per kapita (administrasi kabupaten), tingkat pendidikan (administrasi kecamatan) dan kepadatan penduduk (administrasi desa) disusun menggunakan batas wilayah sesuai dengan tingkat ketersediaan data. Data sosek pada ketiga peta dijadikan sebagai atribut peta.

4.3.3.5Peta Jarak dari Sungai, Mangrove, Kota Kecamatan dan Jalan

Peta jarak dari sungai, jalan, kota kecamatan dan mangrove dibuat dengan memanfaatkan tool buffer pada Arc GIS 9.3. Untuk pembuatan peta ini digunakan input data spasial berupa peta sungai, peta jalandan peta lokasi ibu kota kecamatan hasil digitasi citra landsat serta peta batas mangrove dari peta penutupan lahan.

4.3.3.6Peta Status Lahan

Peta status lahan disusun dengan memanfaatkan batas wilayah kawasan hutan pada peta paduserasi kawasan hutan Sulawesi Tenggara. Peta ini memberikan informasi tentang batas wilayah kawasan hutan dengan kawasan budidaya (Area Peruntukkan Lain).

4.3.4 Metode Pemodelan

Analisis data yang dilakukan terhadap hotspot, data-data spasial dan kuisioner/wawancara. Data hotspot yang bersumber dari situs NASA memiliki sistem koordinat geografis. Data ini diambil dari keseluruhan hotspot yang tercatat selama rentang waktu 5 tahun. Data ini seanjutnya diubah menjadi shapefile dengan memanfaatkan fasilitas “Add XY Data” pada software Arc GIS 9.3. Selanjutnya proyeksi koordinat peta dikonversi dari koordinat geografis ke koordinat UTM dengan datum WGS84 dan zona 51S.

Peta sebaran hotspot diverifikasi untuk mengetahui nilai keakuratan hotspot, selanjutnya dilakukan pengacakan untuk memilih hotspot yang akan digunakan untuk pembangun model dan sisanya untuk melakukan validasi model. Hotspot yang akan digunakan untuk membangun model ditetapkan sebanyak 505 hotspot dan untuk keperluan validasi 200 hotspot.

Hotspot pembangun model selanjutnya diolah dengan fasilitas Density Tool (kernel density) pada Arc GIS untuk membuat peta kepadatan hotspot. Out put data berupa data raster dengan ukuran tiap piksel 1 km x 1 km yang mengkalkulasi kepadatan hotspot pada radius 1 km. Peta kepadatan hotspot ini dimanfaatkan untuk menduga variabel-variabel penyusun model kebakaran hutan dan lahan.

Langkah berikutnya adalah melakukan analisis spasial terhadap data-data yang telah dilakukan pra pengolahan. Tahapan-tahapan yang dilakukan sebagai berikut :

4.3.4.1Pengkelasan Peubah

Identifikasi terhadap variabel-variabel pada aspek sosial ekonomi dan biofisik dilakukan sebelum pengkelasan. Jenis-jenis variabel yang akan diuji diperoleh dari hasil penelusuran literatur yang diduga berpengaruh terhadap terjadinya kebakaran. Masing‐masing variabel yang digunakan dalam penyusunan model ini mempertimbangkan pengaruh aspek terkait biofisik dan antropogenic (sosial ekonomi) terhadap kebakaran hutan dan lahan.

31

Penentuan variabel dilakukan dengan membuat data-data atribut sebagai parameter data. Apabila data awalnya masih spasial, maka dikonversi ke data atribut. Untuk keperluan ini digunakan hotspot tahun 2007-2012 untuk pengukuran parameter dari masing-masing variabel. Variabel selanjutnya dibagi ke dalam beberapa kelas . Jenis variabel seperti tercantum pada Tabel 13.

Untuk mengetahui beda nyata antar kelas di dalam suatu variabel dilakukan analisis regresi logistik biner dengan bantuan software SPSS 16. Unit terkecil analisis regresi ini adalah area piksel (ukuran 1 km x 1 km), dimana untuk wilayah studi terdiri atas 3 869 piksel. Setiap area piksel yang dijumpai ada hotspot diberi kode 1 dan piksel-piksel tanpa hotspot diberi kode 0. Model regresi logistik biner kerawanan kebakaran dinyatakan fit (bagus) apabila model yang terbentuk memiliki nilai signifikansi < 0.05 dan hasil uji Hosmer and Lemeshow Test mempunyai nilai > 0.05. Beda nyata antar kelas dapat diketahui dengan melihat nilai signifikansi setiap kelas terhadap kelas pembanding, dimana 2 kelas dinyatakan berbeda nyata apabila kelas-kelas tersebut memiliki nilai signifikansi < 0.05.

Tabel 13 Pengkelasan variabel yang akan digunakan dalam menyusun model

No Variabel Kelas Satuan

1. Jarak darijalan 0-1; 1-4; 4-18 km 2. Kepadatan penduduk 0-25; 25-75; 75-600 orang/km² 3. Tingkat pendidikan

(rasio siswa terhadap jumlah penduduk)

0-0.2; 0.2-0.4; 0.4-0.6; 0.6-0.8 %

4. Jarak dari

mangrove/laut

0; 0-3; 3-26 km

5. Status kawasan Kawasan hutan; kawasan budidaya - 6. Jarak darikota

kecamatan

0-7; 7-14; 14-23 km 7. Tingkat ekonomi per

kapita masyarakat (PDRB per kapita)

0-3; 3-6; 6-10 juta/orang

8. Suhu bulanan rata-rata 22-24; 24-26; 26-28 °C

9. Curah hujan tahunan 1 900-2 000; 2 000-2 100; 2 100-2 250 milimeter/th 10. Jenis tutupan lahan Hutan rawa; hutan mangrove; hutan

pegunungan; pertanian dan pemukiman; badan air; savana

11. Ketinggian (elevasi) 0-100; 100-200; 200-1100 meter 12. Kelerengan (slope) 0-8; 8-30; >30 % 13. Jarak darisungai 0-1; 1-4; 4-7; 7-19 km

4.3.4.2Penghitungan Nilai Skor

Nilai skor masing‐masing variabel dapat dihitung dengan menggunakan formula berikut :

x = ; e = Dimana :

x = skor kelas (sub faktor)

o = jumlah hotspot yang ada pada tiap kelas (observed hotspot)

e = jumlah hotspot yang diharapkan pada tiap kelas (expected hotspot) T = jumlah seluruh hotspot

F = persentase luas pada tiap kelas

Untuk melakukan perhitungan jumlah hotspot yang ada pada masing- masing kelas, digunakan ekstensi Arc GIS 9.3 Hawths Tools yang dapat di unduh secara gratis dari internet. Ekstensi ini dapat menghitung jumlah hotspot di dalam poligon kelas variabel.

4.3.4.3Penghitungan Nilai Skor Skala (Rescalling Score)

Rescalling score digunakan untuk menstandarkan nilai skor pada masing- masing variabel pada rentang niai tertentu. Salah satu cara menstandarkan skor skala adalah formula Jaya et al. (2007), dimana masing-masing kelas diberi skor pada rentang 10 sampai dengan 100 menggunakan persamaan berikut :

ScoreR = { !"#$% & !

&'(% & ! ∗(ScoreR*+ − ScoreR* -)} + ScoreR* -

Keterangan :

Score R = nilai skor hasil Rescalling

Score E-1 = nilai skor dugaan (estimated score) input

Score E* - = nilai minimal skor dugaan

Score E*+ = nilai maksimal skor dugaan

Score R*+ = nilai skor tertinggi hasil Rescalling

Score R* - = nilai skor terendah hasil Rescalling

Variabel dalam analisis ini memiliki jumlah kelas yang sedikit (umumnya 3-4 kelas) dan menghasilkan skor dugaan yang nilainya sama dengan skor aktualnya, sehingga nilai skor dugaan dalam formula ini dimodifikasi dengan skor aktual masing-masing kelas. Peta tematik variabel yang telah diberi atribut skor dan data posisi hotspot selanjutnya dikonversi menjadi data raster dengan ukuran area piksel sama yaitu 1 km x 1 km. Penyamaan ukuran area piksel ini untuk memungkinkan proses overlay. Jumlah piksel wilayah studi mencapai 3 869 piksel (1 piksel berukuran 1 km x 1 km) selanjutnya diuji untuk mendapatkan model regresi dengan nilai koefisien determinasi terbaik. Analisis hubungan antara skor setiap peubah terhadap kepadatan hotspot dilakukan melalui pendekatan analisis regresi dengan estimasi kurva. Penilaian signifikansi dan koefisien determinasi (R Square) dilakukan oleh software SPSS 16 dengan variabel bebas masing-masing peubah dan variabel terikat kepadatan hotspot pada radius 1 km.

33

4.3.4.4Pembuatan Model Komposit

Pemilihan variabel penyusun model dilakukan melalui pembuatan model komposit dengan cara mengkompositkan skor variabel-variabel penyusun faktor dengan mempertimbangkan nilai koefisien determinasi masing-masing variabel terhadap kepadatan hotspot. Variabel penyusun model akan dipilih apabila telah mencapai nilai koefisien determinasi tertinggi dengan signifikansi < 0.05.

Pembuatan model regresi linier berganda dilakukan dengan terlebih dahulu menghitung bobot makro dan bobot mikro. Regresi ini memerlukan asumsi sebaran data normal, kecuali dalam prosesnya didahului oleh analisis faktor. Santoso (2012) mengatakan bahwa penggunaan analisis faktor pada kasus multivariat tidak terlalu mementingkan asumsi kenormalan.

Analisis faktor dilakukan untuk mengelompokkan variabel-variabel menjadi beberapa faktor yang saling bebas. Dalam proses ini akan terbentuk skor faktor yang menggantikan skor-skor variabel penyusunnya. Pendekatan ini akan digunakan untuk menduga bobot makro faktor pada model regresi linier berganda. Untuk persiapan analisis faktor tersebut maka data-data yang masih berbentuk spasial diekstrak untuk menghasilkan data atribut. Data atribut berupa skor hasil Rescalling pada masing-masing variabel di run menggunakan SPSS untuk membentuk faktor-faktor baru dengan mengacu batas nilai eigen values 1.

Penentuan bobot masing-masing variabel dilakukan setelah meregresikan skor faktor terhadap variabel tak bebas kepadatan hotspot menggunakan regresi linier berganda. Data atribut kepadatan hotspot diekstrak dari data raster Kernel Density dengan radius 1 km. Bobot faktor diturunkan dari proporsi koefisien masing-masing faktor. Hasil penjumlahan masing-masing bobot akan bernilai 1.

Setelah dilakukan perhitungan bobot, maka dilakukan pembuatan model spasial kebakaran hutan dan lahan yang menggambarkan hubungan matematis antara masing-masing faktor dan variabel-variabel penyusunnya untuk menduga tingkat kerawanan kebakaran di wilayah studi melalui nilai skor komposit. Formula dalam penyusunan regresi linier berganda sebagai berikut :

Y* = ∑ F 4∑b6X68

dimana : ∑F = 1; ∑b6 = 1 Keterangan :

Y* = Skor komposit kerawanan kebakaran hutan dan lahan

F = Bobot makro skor faktor ke-i

b6 = Bobot mikro skor variabel ke-j pada faktor ke-i

X6 = Variabel ke-j pada faktor ke-i

4.3.4.5Visualisasi Formula Matematika Menjadi Model Spasial

Model yang diperoleh dari tahap-tahap sebelumnya divisualisasikan dalam bentuk peta dengan menggunakan Tool Raster Calculator pada Arc GIS 9.3. berdasarkan peta visualisasi ini maka dilakukan analisis terhadap area rawan kebakaran.

4.3.4.6Pembuatan Kelas Kerawanan Kebakaran

Kelas kerawanan kebakaran dibagi menjadi 3 kelas memanfaatkan nilai Mean dan Standar Deviasi (SD), yaitu kelas kerawanan rendah, sedang dan tinggi. Kriteria pembagian kelas ini akan menghasilkan interval skor komposit yang sempit dan luasan area yang kecil pada kelas kerawanan tinggi serta sedang sebagai salah satu pertimbangan penentuan area prioritas DALKARHUT. Luas area prioritas yang diharapkan berkisar 20-30 % dari luas seluruh kawasan. Kriteria nilai skor komposit masing-masing kelas seperti pada Tabel 14.

Tabel 14 Interval skor komposit kelas kerawanan kebakaran

No. Kelas Kerawanan Kebakaran Nilai Interval Skor Komposit (ISK) 1. Rendah ISK < Mean + SD

2. Sedang ISK antara Mean + SD dan Mean + 2SD 3. Tinggi ISK > 2SD

Keterangan : ISK = Interval Skor Komposit; SD = Standar Deviasi

4.3.4.7Validasi Model

Untuk melakukan validasi model, diperlukan data hotspot validasi yang telah dipisahkan dari hotspot pembangun model. Hotspot validasi dihasilkan dari proses pengacakan hotspot bulan November 2007-Oktober 2012 ditambah hotspot bulan Januari-Oktober 2007 dan November-Desember 2012. Validasi model dilakukan dengan meng-overlay-kan hotspot validasi terhadap peta kerawanan kebakaran dari model. Dengan mempertimbangkan luas area dan kriteria batas kelas kerawanan kebakaran, validitas yang diharapkan pada model adalah adanya minimal 50 % hotspot validasi berada pada kelas kerawanan kebakaran tinggi dan sedang, dimana kepadatan hotspot validasi kelas kerawanan kebakaran tinggi > sedang > rendah.

Perhitungan akurasi juga dilakukan dengan cara membandingkan skor komposit yang dihasilkan oleh hotspot pembangun model terhadap skor komposit yang dihasilkan oleh hotspot untuk validasi setiap piksel area (jumlah 3 872 piksel). Tujuan perhitungan ini adalah untuk menguji apakah model yang dihasilkan masih relevan atau memberikan hasil yang sama apabila diaplikasikan untuk hotspot validasi. Kriteria model yang baik mempunyai simpangan agregat berkisar -1 sampai dengan 1, simpangan rata-rata kurang dari 10 %, Root Mean Square Error (RMSE) kecil, bias rendah dan signifikan. Formula yang digunakan untuk perhitungan parameter-parameter akurasi mengacu pada Spurr (1952) dalam Puspaningsih (2011), sebagai berikut :

35

Dimana :

Y* = Skor komposit yang dihasilkan oleh model

Y+ = Skor komposit yang dihasilkan oleh validasi SA = Simpangan Agregat

SR = Simpangan Rata-rata RMSE = Root Mean Square Error e = bias

4.3.5 Analisis Kerawanan Kebakaran Menurut Tata Ruang Zonasi

Analisis resiko ekologis kebakaran hutan dan lahan kawasan TNRAW didekati dengan melakukan overlay (tumpang susun) peta potensi kejadian kebakaran dengan peta Rencana Tata Ruang Zonasi. Kawasan yang rentan secara ekologis dan memiliki fungsi lindung yang tinggi di dalam kawasan taman nasional secara berturut-turut adalah zona inti diikuti zona rimba dan zona lainnya.

4.3.6 Penyusunan Arahan Strategi Mitigasi Kebakaran

Upaya mengoptimalkan mitigasi dilakukan dengan cara menyusun arahan strategi pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Metoda yang digunakan adalah teknik SWOT. Analisis ini dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut :

4.3.6.1Tahap Pengumpulan Data

Pada tahap ini dilakukan identifikasi terhadap sumber daya yang berpengaruh terhadap pengendalian kebakaran hutan dan lahan di kawasan TNRAW. Data yang terkumpul selanjutnya diklasifikasikan ke dalam faktor internal dan eksternal. Sumber daya internal terbagi menjadi 2 yaitu : kekuatan (Strength) dan kelemahan (Weakness), sedangkan sumber daya eksternal terbagi menjadi peluang (Opportunity) dan ancaman (Threat).

Langkah selanjutnya adalah penyusunan matrik Faktor Strategi Internal (IFAS) dan Faktor Strategi Eksternal (EFAS). Masing-masing komponen faktor diberi bobot mulai dari 0 (tidak penting) sampai 1 (sangat penting). Pengisian nilai sementara oleh informan ahli menggunakan interval dengan kriteria sebagai berikut : tidak penting = 0; agak penting = 1; sedang = 2; penting = 3; sangat penting = 4. Nilai penting komponen semakin tinggi maka nilainya juga semakin tinggi pula. Nilai sementara tersebut selanjutnya dikonversi menjadi angka bobot pada selang 0 sampai 1 berdasarkan proporsi komponen masing-masing terhadap Jumlah nilai faktor strategi.

Kolom rating diisi sesuai dengan pengaruh komponen faktor tersebut terhadap kondisi organisasi. Selang nilai rating adalah 1 sampai 5. Faktor Strategi Internal (IFAS) berupa kekuatan dan kelemahan menggunakan interval dengan kriteria sebagai berikut : kelemahan utama = 1; kelemahan kecil = 2; biasa aja/standar = 3; kekuatan = 4; kekuatan utama = 5. Faktor Strategi Eksternal (EFAS) berupa peluang dan ancaman, menggunakan interval dengan kriteria

sebagai berikut : tidak berpengaruh = 1; agak berpengaruh = 2; biasa aja = 3; berpengaruh = 4; sangat berpengaruh = 5, makin berpengaruh maka nilainya makin tinggi.

Pengisian skor dihitung dengan cara mengalikan bobot dengan rating pada masing-masing komponen faktor. Nilai skor ini dimanfaatkan untuk menentukan prioritas strategi yang akan dipilih.

4.3.6.2Tahap Analisis

Pada tahap analisis dilakukan pemaduan antara faktor internal dan faktor eksternal untuk menghasilkan strategi Strength-Opportunity (SO), Strength- Threats (ST), Weakness-Opportunity (WO) dan Weakness-Threat (WT). Kriteria masing-masing strategi adalah sebagai berikut :

Strategi Strength-Opportunity (SO), apabila strategi tersebut memanfaatkan seluruh kekuatan organisasi untuk merebut dan memanfaatkan peluang sebesar-besarnya.

Strategi Strength-Threats (ST), apabila strategi tersebut memanfaatkan seluruh kekuatan organisasi untuk mengatasi ancaman dan gangguan.

Strategi Weakness-Opportunity (WO), apabila strategi digunakan untuk meminimalkan kelemahan organisasi agar dapat merebut peluang yang ada sekaligus memanfaatkan seluruh peluang yang ada untuk meminimalkan kelemahan organisasi

Strategi Weakness-Threat (WT), apabila strategi tersebut dimanfaatkan untuk meminimalkan kelemahan-kelemahan organisasi sekaligus menghindari/ mengatasi gangguan yang ada.

4.3.6.3Tahap Pemilihan Alternatif Pengambilan Keputusan

Pemilihan alternatif pengambilan keputusan menggunakan metoda Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM). Nilai skor masing-masing strategi diurutkan mulai dari yang tertinggi sampai yang terendah. Prioritas strategi yang dipilih disesuaikan dengan urutan skor nilai Total Sum of Attractiveness Score pada teknik Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM).

Tabel QSPM terdiri atas kolom faktor strategi (internal dan eksternal beserta bobot masing-masing komponennya) dan kolom alternatif strategi yang akan dievaluasi (meliputi kolom AS = Attractiveness Score dan TAS = Total Sum of Attractiveness Score). Perhitungan bobot pada tabel QSPM didasarkan pada angka bobot yang dihasilkan dari penilaian informan ahli pada analisis SWOT. Kolom nilai AS diisi dengan skor 1-4, dimana skor ini menunjukkan level ketertarikan alternatif strategi yang dievaluasi terhadap masing-masing komponen faktor strategi (internal dan eksternal). Untuk kolom nilai TAS diisi dengan hasil perkalian antara angka bobot dengan skor AS. Nilai seluruh alternatif strategi (Total Sum of Attractiveness Score) diperoleh dengan menjumlahkan ke bawah nilai TAS pada masing-masing alternatif strategi. Nilai ini dijadikan sebagai acuan nilai ranking alternatif strategi yang akan dipilih.

Dokumen terkait