• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di kawasan hutan Lambusango, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara. Pengambilan data dilakukan dari mulai tanggal 29 Juni 2005 sampai dengan 7 September 2005.

4. 2. Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: peta kawasan, kompas brunton, teropong binokuler, pita meteran, stop watch, tambang plastik, kamera foto, GPS (Global Positioning System), dan tally sheet. Bahan yang digunakan adalah Citra landsat 7 ETM+ (Band 5,4,3; Path 112, Row 064) tahun 2004. Perangkat lunak untuk mengolah peta adalah ERDAS Imagine 8.5 dan ArcView GIS 3.2.

4. 3. Jenis Data yang Dikumpulkan

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari pengamatan secara langsung di lapangan, sedangkan data sekunder diperoleh dari studi pustaka dan wawancara dengan berbagai pihak terkait. Data primer meliputi ukuran/jumlah populasi dan kepadatan populasi individu maupun kelompok). Sedangkan data sekunder meliputi data mengenai bio-ekologi M.o. brunnescens, kondisi umum habitat dan data mengenai karakteristik habitat (ketinggian tiap stasiun penelitian, kondisi penutupan lahan dan data vegetasi).

4.4. Metode Pengumpulan Data

4.4.1. Data Primer

4.4.1.1. Penutupan Lahan

Pengambilan titik koordinat dilakukan di titik-titik transek setiap stasiun penelitian. Areal penelitian dibagi menjadi empat tipe penutupan lahan, yaitu: hutan primer tidak terganggu, hutan primer terganggu, hutan sekunder tidak terganggu dan hutan sekunder terganggu.

Pembagian hutan menjadi empat kategori tersebut bertujuan untuk mengetahui kondisi populasi M.o. brunnescens pada areal hutan yang relatif masih asli (hutan primer) dan membandingkannya dengan tipe hutan bekas kegiatan perladangan penduduk (hutan sekunder). Pengelompokan tipe penutupan lahan ke dalam ada atau tidak adanya gangguan manusia yang berupa kegiatan pengambilan rotan bertujuan untuk mengetahui ada atau tidak adanya pengaruh pengambilan rotan terhadap kondisi populasi M.o. brunnescens di alam. Klasifikasi lahan dilakukan dengan menggunakan metode interpretasi tak terbimbing (unsupervised classification), dengan menggunakan citra Landsat ETM+ tahun 2004 dan mengacu pada peta penutupan lahan kabupaten Buton hasil klasifikasi citra oleh Carlisle (2003) dalam Opwall (2004).

Pemetaan penutupan lahan (land cover) merupakan suatu upaya untuk menyajikan informasi tentang pola penggunaan lahan atau tutupan lahan di suatu wilayah secara spasial. Informasi mengenai penutupan lahan pada penelitian ini diperoleh dengan melakukan penafsiran citra Landsat ETM+ tahun 2004. Klasifikasi penutupan lahan di wilayah penelitian dikelompokkan menjadi enam kelas yaitu hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, areal bukan hutan, awan dan bayangan awan.

Pengolahan citra merupakan suatu cara untuk memperoleh data mengenai penutupan lahan yang dilakukan dengan menggunakan software ERDAS Imagine

8.5. Skema proses pengolahan citra untuk memperoleh peta penutupan lahan disajikan dalam Gambar 5.

Gambar 5. Proses pengolahan Citra Landsat

4.4.1.2. Inventarisasi Satwa

Inventarisasi satwa dilakukan dengan menggunakan metode transek garis (line transect) yang tersedia pada setiap lokasi stasiun penelitian. Tiap stasiun penelitian (Camp), memiliki 4 jalur pengamatan. Penarikan contoh pada lokasi penelitian dilakukan secara acak berlapis (stratified random sampling) dengan alokasi proporsional. Panjang jalur transek + 3000 m. Untuk menghindari double counting, maka dibuat jarak antar jalur sebesar 1000 m (Gambar 6).

Pengamatan dilakukan dengan berjalan pada kecepatan yang konstan di setiap jalur transek, dan berhenti pada setiap tipe perjumpaan untuk mengidentifikasi populasi. Pengamatan dilakukan sekali ulangan, yaitu pada pagi hari (pukul 07.00–12.00). Pengambilan titik koordinat transek dan satwa dilakukan pada saat perjalanan pulang menuju starting point.

Peta batas Kabupaten Buton Koreksi Geometri Citra Landsat ETM Tahun 2004 Citra terkoreksi

Peta digital ( jalan dan sungai)

Subset image

Klasifikasi citra tak terbimbing (Unsupervised Classification) overlay Citra lokasi penelitian Citra hasil klasifikasi Penggunaan/penutupan lahan (Land use/land cover)

Gambar 6. Inventarisasi Satwa Menggunakan Metode Transek Garis

Keterangan : x = posisi pengamat * = satwaliar

α = sudut antara posisi pengamat dengan satwa. r = jarak antara satwa dan pengamat.

Areal pengamatan dibagi ke dalam 4 tipe penutupan hutan, yaitu hutan primer tidak terganggu (Camp La Solo dan Wabalamba), hutan primer terganggu (Camp Balanophora), hutan sekunder tidak terganggu (Camp Anoa) dan hutan sekunder terganggu (Camp Wahalaka dan Lapago). Luas keseluruhan areal Hutan Lambusango adalah 65.000 ha atau 650 km2, akan tetapi wilayah hutan yang diteliti hanya sekitar 28.510 ha, atau 285,1 km2. Penelitian ini menggunakan intensitas sampling sebesar 11,4%. Jalur transek dibuat sebanyak 24 jalur dengan panjang rata-rata 3 km (Gambar 7).

Data yang dicatat dalam pengamatan ini meliputi sudut kontak pengamat dengan satwa, jarak pengamat dengan satwa, jumlah individu, dan posisi satwa sesuai dengan GPS. Satwa yang dicatat hanya merupakan satwa yang berada di dalam jalur pengamatan.

4.4.2. Data Sekunder

Data sekunder dikumpulkan melalui studi literatur. Data sekunder merupakan data pendukung yang sangat penting dan dikumpulkan dari berbagai sumber antara lain dokumentasi Suaka Margasatwa Lambusango, buku teks, jurnal, dan sumber lainnya.

X Arah jalur d r α α α r d r α d

4.5. Analisis Data

4.5.1. Pola Sebaran Spasial Vertikal

Untuk menentukan strata penggunaan ketinggian pohon oleh satwa yang diamati, dilakukan dengan menentukan rata-rata pemanfaatan tiap strata ketinggian oleh satwa yang dijumpai pada jalur transek, pada setiap tipe penutupan lahan yang diamati. Rata-rata ketinggian dihitung pada dua waktu pengamatan yaitu pengamatan yang masuk ke dalam kategori pagi hari, yaitu pukul 07.00–09.00 dan pengamatan yang masuk ke dalam kategori siang hari, pukul 09.01–12.00. Setelah diketahui nilai rata-rata ketinggian pemakaian strata tajuk oleh satwa, dilakukan analisis deskriptif mengenai strata mana yang paling disukai satwa untuk melakukan aktivitas hariannya.

Uji beda dengan metode klasifikasi dua arah digunakan untuk menguji ada tidaknya pengaruh perbedaan tipe hutan dan waktu pengamatan terhadap pola penggunaan ketinggian pohon. Kriteria uji yang digunakan adalah jika Fhitung > F tabel, maka tolak Ho’, sedangkan jika Fhitung < F tabel, maka terima Ho.

4.5.2. Perjumpaan Satwa

Analisis terhadap perjumpaan satwa (sighting rates) dilakukan untuk mengetahui pengaruh perbedaan waktu pengamatan (pagi dan siang hari) dan pengaruh perbedaan tipe penutupan lahan hutan, terhadap angka perjumpaan satwa pada tiap jalur yang diamati. Dari hasil analisis tersebut selanjutnya dilakukan pengujian hipotesis terhadap faktor yang mempengaruhi jumlah perjumpaan satwa baik waktu pengamatan maupun tipe penutupan lahan yang menjadi habitat satwa tersebut.

Uji beda dengan metode klasifikasi dua arah digunakan untuk menguji ada tidaknya pengaruh perbedaan tipe hutan dan waktu pengamatan terhadap jumlah perjumpaan satwa (sighting rates). Kriteria uji yang digunakan adalah jika Fhitung > F tabel, maka tolak Ho, sedangkan jika Fhitung < F tabel, maka terima Ho.

Perhitungan parameter demografi M.o. brunnescens dilakukan pada ke- empat tipe penutupan lahan yag ada. Masing-masing tipe penutupan lahan terdiri atas satu sampai dengan 2 areal hutan yang diteliti (stasiun penelitian). Tiap stasiun penelitian terdiri atas empat jalur transek, sehingga total jalur transek yang dihitung adalah sebanyak 24 jalur. Luas masing-masing stasiun penelitian yang ditentukan dengan menjumlah luas tiap jalur yang ada.

4.5.3.1. Ukuran dan Kepadatan Populasi

Data yang diperoleh dari hasil pengamatan selanjutnya dihitung ukuran dan kepadatan populasinya. Data yang digunakan untuk menghitung pendugaan ukuran kepadatan populasi adalah data yang diperoleh dari perjumpaan langsung dengan satwa. Terlebih dahulu dihitung dugaan ukuran dan kepadatan populasi untuk masing-masing areal hutan yang ada dengan menggunakan metode

Distance. Tahapannya adalah sebagai berikut:

Intensitas Sampling (f)

f = luas jalur yang diamati luas areal pengamatan

Nilai Kepadatan Per Stasiun Penelitian (dhi/km2)

Dhi max = Jumlah Individu ditemukan tiap Camp Minimum Area Survey (MAS)

dimana, MAS = Panjang Transek x ( 2 x lebar minimum pengamatan) Dhi min = Jumlah Individu ditemukan tiap Camp

Maksimum Area Survey (MxAS)

dimana, MxAS = Panjang transek x ( 2x lebar maksimum pengamatan) ___

Dhi = Jumlah rata-rata kepadatan tiap perjumpaan dalam Camp ke-i Jumlah seluruh perjumpaan dalam Camp ke-i

Ukuran dan kepadatan kelompok ditentukan dengan menganalisis data primer hasil pengamatan dalam 24 jalur transek yang diamati. Ukuran dan kepadatan kelompok juga dapat ditentukan dengan menganalisa data hasil pengamatan habituasi terhadap satu kelompok M.o. brunnescens yang diamati secara intensif selama 2 hari. Untuk mengetahui ukuran kelompok monyet dari hasil pengamatan dalam jalur transek, data diperoleh dengan cara membagi jumlah seluruh individu yang ditemukan selama pengamatan dengan jumlah perjumpaan (sighting rates).

4.5.3.3. Seks Rasio dan Struktur Umur

Pendugaan seks rasio dan struktur umur satwa dilakukan hanya pada individu jantan dan individu betina dewasa dari hasil pengamatan habituasi, dengan alasan sulitnya menentukan jenis kelamin satwa dalam jalur transek. Untuk menghitung dugaan seks rasio, dilakukan penghitungan sebagai berikut:

Dugaan Seks Rasio

S = Jumlah individu Jantan Dewasa Hasil Pengamatan Habituasi Jumlah individu Betina Dewasa Hasil Pengamatan Habituasi

Struktur umur ditentukan dengan mengidentifikasi jumlah individu yang tergolong kedalam kelompok kelas umur bayi (new born), anak (juvenile), muda (sub-adult), dan dewasa (adult), dari satu kelompok satwa yang diamati selama dua hari pengamatan, dari mulai pagi (05.30) sampai sore hari (18.00).

4.5.3.4. Analisis Pola Sebaran Spasial

Pola sebaran spasial suatu komunitas ekologi dapat ditentukan dengan berbagai macam indeks penyebaran (dispersion index), yaitu: indeks dispersi (ID), indeks Agregatif (IC), dan Indeks Greens (GI). Dalam analisis ini, indeks yang digunakan adalah indeks dispersi (ID), dengan formula:

x S ID

2

=

Keterangan: S2 = keragaman contoh x = rata-rata contoh.

Pola penyebaran spasial diketahui dengan menggunakan uji Chi-Square. Uji Chi-Square yang digunakan untuk N<30, adalah persamaan λ2 = ID (N-1), dimana N adalah jumlah kontak dengan satwa. Kriteria uji yang digunakan adalah:

1. Jika λ2 < λ20.975, maka pola sebaran yang terjadi adalah seragam. 2. Jika λ20.975 ≤λ2 ≤λ20.025, maka pola sebaran yang terjadi adalah acak. 3. Jika λ2 > λ20.025, maka pola sebaran yang terjadi adalah kelompok.

Dokumen terkait