Macaca ochreata brunnescens
, Matschie 1901
DI KAWASAN HUTAN LAMBUSANGO, KABUPATEN BUTON
PROPINSI SULAWESI TENGGARA
AMBANG WIJAYA
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
RINGKASAN
Ambang Wijaya. E34101042. Pendugaan Ukuran Populasi dan Sebaran Macaca ochreata brunnescens, Matschie 1901 di Kawasan Hutan Lambusango, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Dibimbing oleh Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si dan Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc.
Kawasan hutan Lambusango di Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara, telah mengalami kerusakan skala sedang sebagai akibat adanya kegiatan illegal logging, penambangan aspal, pengambilan rotan dan perambahan hutan (Purwanto, 2005). Secara ekologis, kerusakan hutan berdampak negatif pada keseimbangan fungsi ekosistem, diantaranya adalah ancaman terhadap kelestarian populasi satwaliar. Salah satu jenis satwa yang mengalami gangguan akibat kerusakan hutan adalah Macaca ochreata brunnescens. Primata ini merupakan sub-spesies endemik Pulau Buton dan Muna. Menurut IUCN Red List Threatened Species (2004), spesies ini dikategorikan sebagai vulnerable species
(rawan), yakni jenis satwaliar yang tidak segera terancam punah, akan tetapi terdapat dalam jumlah yang sedikit. CITES (Convention on International Trade Endangered Species of Wild Fauna and Flora) memasukkan jenis primata ini kedalam Appendix II (Soehartono dan Mardiastuti, 2003).
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan ukuran populasi dan sebaran spasial M.o. brunnescens pada beberapa tipe penutupan lahan di kawasan hutan Lambusango. Data primer yang dikumpulkan meliputi: jumlah individu satwa, jarak satwa terhadap pengamat, titik koordinat transek dan tinggi pohon tempat satwa ditemukan. Pengumpulan data karakteristik populasi satwa dilakukan dengan menggunakan metode transek garis (line transect) pada enam tipe penutupan lahan, yakni hutan primer tidak terganggu, hutan primer terganggu, hutan sekunder tidak terganggu dan hutan sekunder terganggu. Penarikan contoh dilakukan secara acak berlapis (stratified random sampling) dengan mempertimbangkan kondisi lapangan.
Kawasan hutan Lambusango merupakan salah satu kawasan yang sedang dikaji untuk dijadikan kawasan taman nasional baru oleh Departemen Kehutanan (Handadhari, 2004). Luas areal kawasan hutan Lambusango adalah + 65.000 ha, yang terbagi kedalam hutan Suaka Margasatwa Lambusango seluas + 28.510 ha, Cagar Alam Kakinawe seluas + 810 ha dan Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas + 35.000 ha (Purwanto, 2005). Luas areal Lambusango berdasarkan hasil klasifikasi citra Landsat dalam penelitian ini adalah 86.997,29 ha, dengan penutupan lahan berupa hutan primer tidak terganggu (25.542,3 ha), hutan primer terganggu (5737,59 ha), hutan sekunder tidak terganggu (18.049 ha), hutan sekunder terganggu (14.552 ha), semak belukar (7192,89 ha), areal bukan hutan (6284,61 ha), awan dan bayangan awan (tidak terdefinisikan) seluas 9668,88 ha.
Pendugaan ukuran populasi dan sebaran satwa dilakukan pada empat tipe penutupan hutan, yaitu hutan primer tidak terganggu (HPTT), hutan primer terganggu (HPT), hutan sekunder tidak terganggu (HSTT) dan hutan sekunder terganggu (HST). Ukuran populasi total adalah sebesar 57.176,3 + 2216,5 ekor dengan kepadatan 89,5 + 3,46 ekor/km2. Ukuran kelompok M.o. brunnescens berdasarkan hasil habituasi pada satu petak grid adalah sebanyak 7-30 ekor/kelompok dengan dugaan jumlah kelompok total adalah 1905,8 + 73,8 kelompok.
PENDUGAAN UKURAN POPULASI DAN SEBARAN
Macaca ochreata brunnescens
, Matschie 1901
DI KAWASAN
HUTAN LAMBUSANGO, KABUPATEN BUTON
PROPINSI SULAWESI TENGGARA
Oleh :
AMBANG WIJAYA
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat
untuk mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
Judul Skripsi : PENDUGAAN UKURAN POPULASI DAN SEBARAN Macaca ochreata brunnescens, Matschie 1901 DI KAWASAN HUTAN LAMBUSANGO, KABUPATEN BUTON, PROPINSI SULAWESI TENGGARA.
Nama Mahasiswa : Ambang Wijaya
NRP : E34101042
Departemen : Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
Fakultas : Kehutanan
Disetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Ir. Agus P. Kartono, MSi Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, MSc. NIP. 131 953 388 NIP. 131 760 841
Mengetahui
Dekan Fakultas Kehutanan
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS NIP. 131 430 799
RIWAYAT HIDUP
AMBANG WIJAYA dilahirkan di Ciamis pada tanggal 26 April 1983.
Penulis merupakan anak terakhir dari 4 bersaudara keluarga Kimun Haryanto dan
Enok Saoti Swastika. Awal pendidikan formal dimulai pada tahun 1988 di TK.
Sejahtera I Kertahayu dan lulus pada tahun 1989. Pendidikan dasar di Sekolah
Dasar Negeri (SDN) Kertahayu I, lulus pada tahun 1995. Pendidikan menengah
pertama di SMPN I Banjar, lulus pada tahun 1998 dan meneruskan pendidikan
menengah umum di SMUN I Banjar, lulus pada tahun 2001. Pada tahun 2001
penulis diterima sebagai mahasiswa program Sarjana pada Departemen
Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, yang
kini berubah nama menjadi Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata, melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Pada tahun 2004, penulis melaksanakan Praktek Pengenalan dan
Pengelolaan Hutan (P3H) di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Kuningan,
Perum Perhutani Unit III Jawa barat, selama + 2 bulan. Penulis juga telah
melaksanakan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Bali
Barat (TNBB) Gilimanuk-Bali pada bulan Februari–April 2005. Selama
menempuh pendidikan di Fakultas Kehutanan IPB, penulis aktif di beberapa
organisasi kampus, antara lain: Asean Forestry Students Association (AFSA)-LC IPB, Rimbawan Pecinta Alam (RIMPALA-Fahutan IPB), Himpunan Mahasiswa
Konservasi Sumberdaya Hutan (HIMAKOVA-KSH IPB) dan UKM Uni
Konservasi Fauna (UKF-IPB).
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada
Fakultas Kehutanan IPB, penulis melakukan penelitian berjudul ”Pendugaan
Ukuran Populasi dan Sebaran Macaca ochreata brunnescens, Matschie 1901 Di Hutan Lambusango, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara”,
dibimbing oleh Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si dan Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo,
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur dipanjatkan ke-Hadirat Allah SWT, yang telah
memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga praktek khusus dan
skripsi dapat diselesaikan. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
meperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya
Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Penelitian ”Pendugaan Ukuran Populasi dan Sebaran Macaca ochreata brunnescens, Matschie 1901 Di Kawasan Hutan Lambusango, Kabupaten Buton Propinsi Sulawesi Tenggara ” yang disajikan dalam skripsi
ini memuat tentang dugaan ukuran populasi dan sebaran spasial M.o. brunnescens
di beberapa tipe penutupan lahan kawasan hutan Lambusango. Skripsi ini
membahas juga tentang kondisi penutupan lahan hutan, preferensi satwa terhadap
penggunaan tajuk pohon dan jumlah perjumpaan satwa, sehingga dapat dijadikan
bahan pertimbangan dalam upaya pelestarian M.o. brunnescens. Skripsi ini tidak memuat paramater demografi satwa secara keseluruhan, sehingga pembahasan isi
skripsi lebih dititikberatkan kepada aspek ukuran populasi dan sebaran spasial
satwa.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi
kesempurnaan penelitian selanjutnya.
Bogor, Januari 2006
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini, izinkanlah penulis menghaturkan rasa terima kasih
yang tulus kepada:
1. Ir. Agus Priyono Kartono, MSi dan Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, MSc, selaku
pembimbing skripsi, atas bimbingan dan arahannya, dari mulai tahap
penyusunan proposal sampai dengan terselesaikannya skripsi ini.
2. Ir. Emi Karminarsih, MS dan Effendi Tri Bahtiar, S.Hut selaku dosen penguji
wakil Departemen Manajemen Hutan dan Departemen Hasil Hutan.
3. Dr. Edi Purwanto, MSc, selaku Project Manager World Bank/Global
Environmental Facility (GEF) Lambusango Forest Conservation Project dan
seluruh Staf GEF Buton, atas bantuan hibah dana penelitian ” Undergraduate Biodiversity Assessment Research Grant 2005” yang telah diberikan.
4. Dr. Philip Wheeler (University of Hull), Dr. Nancy Priston (Universitry of
Cambridge), Dr. Bruce Carlisle (University of Northumbria), Atiek Widayati,
MSc (ICRAF) dan Diah Asri Dwiyahreni, MSc (WCS-IP), selaku Supervisor
dan pembimbing lapang atas sumbangan pemikiran dan pendampingannya
kepada penulis selama penelitian berlangsung.
5. Kedua Orang Tua (Mamah dan Apih) serta keluarga besar tercinta (Ang
Candra, Ang Indra dan Wisnu), atas doa dan kasih sayang yang telah diberikan.
6. Seluruh Scientist, Staff, Guide dan Porter yang tergabung dalam Operation Wallacea Team 2005, atas fasilitas dan bantuan teknis yang telah diberikan.
7. Om La Marini, La Rasiu dan La Au, atas bantuan pendampingan selama
penelitian berlangsung.
Bogor, Januari 2006
DAFTAR ISI
2.3. Habitat, Sumber Pakan dan Aktivitas Makan 2.3.1. Habitat ... 7
2.3.2. Sumber Pakan dan Aktivitas Makan ... 8
4.4. Metode Pengumpulan Data 4.4.1. Data Primer
4.4.1.1. Penutupan Lahan ... 21
4.4.1.2. Inventarisasi Satwa ... 23
4.4.2. Data Sekunder ... 24
4.5. Analisis Data 4.5.1. Pola Sebaran Spasial Vertikal ... 26
4.5.2. Jumlah Perjumpaan Satwa ... 26
4.5.3. Pendugaan Parameter Demografi 4.5.3.1. Ukuran dan Kepadatan Populasi ... 27
4.5.3.2. Ukuran dan Kepadatan Kelompok ... 28
4.5.3.3. Seks Rasio dan Struktur Umur ... 28
4.5.3.4. Pola Sebaran Spasial ... 28
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Penutupan Lahan ... 30
5.2. Pola Sebaran Spasial Vertikal ... 33
5.3. Perjumpaan Satwa ... 35
5.4. Ukuran dan Kepadatan Populasi ... 37
5.5. Ukuran dan Kepadatan Kelompok ... 40
5.6. Struktur Umur ... 44
5.7. Seks Rasio ... 44
5.8. Sebaran Spasial Populasi ... 45
5.8.1. Sebaran Spasial Horisontal ... 45
5.8.2. Sebaran Spasial Vertikal ... 46
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 47
6.2. Saran ... 47
DAFTAR PUSTAKA... 50
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Kepadatan Populasi dan Ukuran Kelompok M.o. brunnescens ... 6
2. Aplikasi dan Saluran Spektral (Band) Thematic Mapper ... 16
3. Ketinggian Lokasi Stasiun Penelitian (Opwall, 2004) ... 20
4. Klasifikasi Penutupan Lahan di Hutan Lambusango ... 31
5. Rata-rata Ketinggian Posisi Satwa dari Permukaan Tanah ... 34
6. Rata-rata Tinggi Pohon pada Enam Lokasi Penelitian ... 34
7. Nilai Total dan Rata-rata Perjumpaan Satwa (sighting rates) Pada Empat Tipe Penutupan Lahan ... 36
8. Rata-rata Total Kepadatan Satwa pada 4 Tipe Penutupan Lahan... 38
9. Dugaan Ukuran Populasi Satwa di Empat Tipe Penutupan Lahan ……… 39
10. Nilai Angka Kepadatan (density) Satwa pada 4 Tipe Penutupan Lahan ... 40
11. Ukuran Populasi Setiap Kelompok M.o.brunnescens di kawasan Hutan Lambusango ... 41
12. Analisis Pola Sebaran Spasial Horisontal ... 46
13. Analisis Pola Sebaran Spasial Vertikal ... 47
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Individu Betina Dewasa M.o. brunnescens ... 12
2. Individu Jantan Dewasa M.o. brunnescens ... 12
3. Individu Muda M.o. brunnescens ... 13
4. Individu Remaja M.o. brunnescens ... 13
5. Proses Pengolahan Citra Landsat ... 23
6. Inventarisasi Satwa Menggunakan Metode Transek Garis ... 24
7. Peta Jalur Pengamatan ... 25
8. Areal Hutan Lambusango pada Tahun 2004 ... 31
9. Peta Penutupan Lahan Kawasan Penelitian Hutan Lambusango ... 32
10.Grafik Angka Perjumpaan M.o. brunnescens ... 37
11.Grafik Distribusi Waktu Perjumpaan M.o. brunnescens ... 37
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Analisis Klasifikasi Dua Arah Frekuensi Perjumpaan
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Primata merupakan salah satu komponen ekosistem yang memiliki nilai
penting bagi kelangsungan keberadaan hutan dan kehidupan manusia. Peran
primata bagi kelestarian ekosistem hutan antara lain sebagai pemencar biji
vegetasi hutan, mediator penyerbukan dan penambah volume humus untuk
kesuburan tanah. Berdasarkan anatomi, primata memiliki kemiripan dengan
manusia, sehingga sering digunakan sebagai bahan penelitian biomedis.
Sulawesi merupakan pulau yang sangat unik di Indonesia, karena terletak
di antara garis Webber dan garis Wallace, yaitu kawasan biogeografi di antara
Australia dan Asia. Sulawesi memiliki tingkat endemisitas paling tinggi di
kepulauan Indonesia dengan jenis mamalia endemik sebanyak 62%, yang akan
bertambah menjadi 98% bila jenis-jenis kelelawar ikut diperhitungkan (Whitten et al. 1987). Sulawesi merupakan habitat bagi tujuh sub-spesies primata dari genus
Macaca.
Monyet Buton atau yang biasa disebut sebagai andoke (Macaca ochreata brunnescens), merupakan salah satu dari tujuh sub-spesies primata genus Macaca yang ada di Sulawesi. Primata endemik ini hanya dapat ditemukan di Pulau Muna
dan Buton. Monyet ini merupakan jenis satwa dilindungi karena telah
dikategorikan kedalam status Vulnarable (IUCN, 2004) dan CITES (Convention on International Trade Endangered Species of Wild Fauna and Flora) menggolongkan spesies ini kedalam Appendix II (Soehartono dan Mardiastuti,
2003).
Berkurang atau rusaknya habitat primata termasuk habitat M.o. brunnescens, diperkirakan telah menyebabkan penurunan jumlah populasi monyet di alam bebas. Kecenderungan ini menyebabkan populasi terancam kepunahan.
Kekhawatiran akan kepunahan M.o. brunnescens didasarkan atas tingkat kerentanan ekosistem hutan hujan dataran rendah sebagai habitatnya dari kegiatan
Kerusakan hutan diperkirakan akan menurunkan kualitas habitat M.o. brunnescens. Perambahan kawasan hutan Lambusango, baik berupa perubahan penutupan lahan maupun pengambilan rotan, mengakibatkan rusaknya habitat
satwa yang hidup di dalamnya.
Fluktuasi dugaan ukuran populasi tiap tahun, dapat dijadikan salah satu
instrumen untuk mengetahui kondisi populasi M.o. brunnescens. Data ukuran populasi dan pola sebaran spasial M.o. brunnescens yang diambil setiap tahunnya, dapat dijadikan sebuah data kontinyu (time series data) untuk menilai kondisi populasi di alam. Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan data dugaan
ukuran populasi dan pola sebaran M.o. brunnescens pada tahun 2005, yang dapat digabungkan dengan penelitian sebelumnya untuk menyusun sebuah data time series
1.2. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan ukuran populasi dan pola
sebaran spasial M.o. brunnescens di kawasan hutan Lambusango.
1.3. Manfaat
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai
ukuran kelompok ataupun ukuran populasi, komposisi umur, seks rasio, dan pola
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Taksonomi dan Morfologi
2.1.1. Taksonomi
Sistematika atau urutan taksonomi monyet Sulawesi saat ini masih dalam
perdebatan (Muskita, 1988). Napier dan Napier (1967) membagi monyet Sulawesi
menjadi dua jenis yaitu Macaca maura dan Cynopithecus nigra. Fooden (1969)
dalam Groves (1980), memasukan monyet Sulawesi ke dalam satu marga yang mencakup tujuh jenis, yaitu :
1. Macaca maura (Schinz, 1825)
2. Macaca brunnescens (Matschie, 1901) 3. Macaca ochreata (Ogilby, 1841) 4. Macaca tonkeana (Meyer, 1899) 5. Macaca nigrescens (Temminck, 1895) 6. Macaca heckii (Matschie, 1901) 7. Macaca nigra (Desmarest, 1822)
Menurut Groves (1980), monyet Sulawesi dibagi menjadi 4 jenis yang
tergabung ke dalam marga Macaca. Keempat jenis tersebut adalah: M. maura, M. ochreata, M. tonkeana, dan M. nigra, dengan anak jenis sebagai berikut:
1. M. nigra: a. M.n. nigra b. M.n. nigrescens 2. M. tonkeana: a. M.t. tonkeana
b. M.t. heckii 3. M. maura: a. M. maura
4. M. ochreata: a. M.o. ochreata b. M.o. brunnescens
konsep tujuh jenis. Menurut Cooper (2001), berdasarkan hasil penelitian terhadap
morfologi tubuh Macaca yang hidup endemik di Pulau Buton dan Muna, maka pengklasifikasian satwa tersebut ke dalam jenis M. brunnescens adalah tidak tepat dan sudah tidak berlaku lagi. Satwa tersebut lebih tepat dimasukan sebagai
sub-spesies dari M. ochreata dengan nama M.o. brunnescens. Whitten (2002) menyatakan bahwa dengan mengacu pada teori Groves (1980), maka pada saat ini
akan lebih masuk akal bila memasukan M.o. brunnescens sebagai sub-spesies dari M. ochreata.
Untuk sub-spesies M.o. brunnescens telah diklasifikasikan secara lengkap sampai pada tingkat spesies oleh Fooden (1969) dalam Muskita (1988) ke dalam taksonomi sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phyllum : Chordata
Sub-phyllum : Vertebrata
Class : Mammalia
Ordo : Primata (Linnaeus, 1958)
Sub ordo : Anthropoidea
Famili : Cercopithecidae
Sub famili : Cercopithecinae
Genus : Macaca
Spesies : Macaca ochreata
Sub-spesies : Macaca ochreata brunnescens (Matschie, 1901).
2.1.2. Morfologi
M.o. brunnescens adalah monyet yang memiliki ukuran morfometris tubuh sebagai berikut: panjang tubuh termasuk kepala berkisar antara 39,50 cm sampai
dengan 40,47 cm untuk individu betina dewasa. Data ini diambil dari sampel 3
individu betina dewasa yang berasal dari Pulau Labuan blanda. Sedangkan pada
individu jantan dewasa yang berasal dari Pulau Buton, diperoleh data morfometrik
panjang tubuh sebesar 47,50 cm sampai dengan 49,50 cm (Fooden, 1969 dalam
M.o. brunnescens memiliki rambut berwarna cokelat sampai cokelat kehitaman di permukaan tubuhnya. Bagian muka dari monyet tersebut berwarna
hitam, dengan atau tanpa ditutupi rambut halus kehitaman. Permukaan luar bagian
bawah tangan sampai siku ditutupi bulu berwarna cokelat kelabu hingga cokelat,
serta permukaan luar sebelah belakang dari kaki sampai paha berwarna kelabu
sampai dengan cokelat kehitaman (Fooden, 1969 dalam Supriyadi, 1990).
Eisenberg (1972) dalam Supriyadi (1990), menyatakan bahwa pada individu M.o. brunnescens dewasa memiliki ukuran tubuh besar, sedangkan pada individu yang masih remaja relatif lebih kecil daripada individu dewasa. Individu
M.o. brunnescens betina dewasa mempunyai ukuran tubuh sedikit lebih kecil daripada jantan dewasanya, akan tetapi masih lebih besar dari ukuran tubuh
monyet remaja. Monyet yang tergolong kelas umur anak mempunyai ukuran
tubuh yang relatif kecil.
Perbedaan yang mudah teramati antara individu monyet jantan dan monyet
betina pada jenis M.o. brunnescens ini adalah kelenjar susu dan bentuk bantalan duduknya (ischial callosities). Menurut Eisenberg (1972) dalam Supriyadi (1990), pada individu betina dewasa, kelenjar susunya berkembang baik, sedangkan pada
individu jantan tidak berkembang. Menurut van Noordwijk (1983) dalam
Supriyadi (1990), individu jantan akan memiliki gigi taring yang lebih panjang
daripada gigi taring pada individu betina. Perbedaan ini akan terlihat jelas ketika
individu telah menginjak usia dewasa. Pada individu M.o. brunnescens yang masih anak dan remaja, masih sulit untuk dapat membedakan jenis kelaminnya
dan juga masih sulit untuk membedakan ukuran tubuhnya.
Fooden (1969) dalam Supriyadi (1990) menyatakan bahwa M.o. brunnescens memiliki bantalan duduk (ischial callosities) yang berbentuk menyerupai ginjal. Pada monyet jantan, bantalan duduk sebelah kiri akan bersatu
dengan bantalan sebelah kanan, sedangkan pada individu betina dewasa, bantalan
duduk akan terpisah oleh vagina. Bantalan duduk individu betina dewasa
2.2. Populasi dan Penyebaran
2.2.1. Populasi
Alikodra (2002) memberikan definisi populasi sebagai kelompok
organisme yang terdiri atas individu-individu satu spesies yang mampu
menghasilkan keturunan yang sama dengan tetuanya. Populasi ini dapat
menempati wilayah yang sempit sampai dengan luas, tergantung pada spesies
satwa dan kondisi daya dukung habitatnya. Tarumingkeng (1994) mendefinisikan
populasi sebagai sehimpunan individu atau kelompok individu suatu jenis
makhluk hidup yang tergolong dalam satu spesies (atau kelompok lain yang dapat
melangsungkan interaksi genetik dengan individu yang bersangkutan), dan
menghuni suatu wilayah atau ruang tertentu pada waktu tertentu.
Menurut Supriyadi (1990), kepadatan populasi M.o. brunnescens di Suaka Margasatwa Buton utara sebanyak 36,9 ekor/km2, dengan ukuran kelompok antara
13–21 ekor per kelompok. Perbandingan jumlah individu jantan dewasa terhadap
betina dewasa rata-rata adalah 1,4:1, pada setiap kelompok. Menurut Supriatna
(1988), angka kepadatan populasi dan ukuran kelompok M.o. brunnescens di beberapa tempat di Propinsi Sulawesi Tenggara, seperti disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kepadatan Populasi dan Ukuran Kelompok M.o. brunnescens
Lokasi Kepadatan
Groves (1980) menyatakan bahwa diduga seluruh monyet Sulawesi
berasal dari satu tetua yang sama yang kemudian menyebar, berdiferensiasi, dan
terisolasi satu sama lain dengan spesifikasi yang sangat kuat. Populasi tetua
Albrecht (1978) dalam Muskita (1988), tetua tersebut kemungkinan berasal dari Kalimantan, yaitu dari jenis M. nemestrina.
Menurut Fooden (1969), dalam Muskita (1988), monyet Sulawesi berasal dari jenis M. silanus-nemestrina. Diperkirakan kelompok monyet ini menyebrang Selat makasar pada zaman Pleistosen yang relatif lebih dangkal apabila
dibandingkan dengan sekarang. Monyet ini kemudian menyebar ke seluruh
Sulawesi (Kawamoto, 1982 dan Albrecht, 1978 dalam Muskita (1988). Untuk sub-jenis M.o. brunnescens selanjutnya menempati habitat di hutan-hutan yang berada di Pulau Buton dan Pulau Muna (Supriatna, 2000).
Fooden (1969) dalam Supriyadi (1990) menyatakan bahwa penyebaran
M.o. brunnescens terbatas hanya di Pulau Buton, Muna, dan Labuan Blanda. Supriatna (1988), menyatakan di Pulau muna, M.o. brunnescens ini hanya dapat dijumpai pada hutan-hutan produksi di bagian tengah dan timur dan juga di Cagar
Alam Napabalano sebelah utara. Penyebaran M.o. brunnescens di Pulau Buton dapat ditemukan di bagian tengah ke utara pulau, yaitu di Suaka Margasatwa
Buton Utara dan di Taman Rekreasi Air jatuh dan hutan-hutan produksi di sebelah
selatan.
2.3. Habitat, Sumber Pakan dan Aktivitas Makan
2.3.1. Habitat
Habitat adalah suatu tempat dimana organisme atau individu dapat
ditemukan. Suatu habitat merupakan hasil interaksi antara beberapa komponen
fisik, yang terdiri atas air, tanah, topografi, iklim, serta komponen biologis yang
terdiri atas manusia, satwa dan vegetasi (Smiet, 1986 dalam Alita, 1993). Napier dan Napier (1985) menyebutkan bahwa primata dapat ditemukan dalam 3 tipe
besar komunitas vegetasi, yaitu pada hutan tropis, padang rumput tropis, dan
daerah peralihan antara dua tipe ekosistem dan biasanya berupa savana berhutan.
Hutan tropis termasuk di dalamnya hutan primer dan hutan sekunder, rawa, hutan mangrove, hutan pegunungan dan hutan musim.
Monyet Sulawesi biasa hidup di areal hutan hujan tropika, terutama pada
hutan-hutan yang memiliki penutupan tajuk rapat (Takenaka dan Brotoisworo,
besarnya persediaan sumber pakan dan penyebarannya, serta interval pergantian
musim buah. Setiap jenis primata memiliki spesialisasi dalam hal mengeksploitasi
sumber pakan maupun dalam hal memanfaatkan stratifikasi hutan sebagai sub
komunitasnya (Chivers, 1974 dalam Supriyadi, 1990). Napier dan Napier (1985) membagi lapisan vertikal hutan hujan tropika kedalam 4 lapisan, yaitu: lapisan
semak, lapisan bawah, lapisan tengah dan lapisan atas.
2.3.2. Sumber Pakan dan Aktivitas Makan
Pakan dan tingkah laku makan primata merupakan salah satu dasar untuk
mendeterminasi organisasi sosial primata dan tingkah laku lainnya (Chivers, 1972
dalam Muskita 1988). Potensi pakan yang terdapat pada suatu tempat sangat menentukan pertumbuhan suatu populasi yang erat hubungannya dengan keadaan
habitat, keragaman jenis tumbuhan yang membangun habitat tersebut sebagai
faktor lingkungan biotiknya (Gaulen et al. 1980, dalam Mustika 1988). Napier dan Napier (1985) menyatakan bahwa hampir kebanyakan jenis primata adalah
omnivora. Monyet yang hidup secara arboreal di daerah Afrika, Asia dan Amerika
selatan biasa memakan buah-buahan dan dedaunan dan kadang memangsa
serangga, burung, telur, katak pohon, tempoyak dan getah tumbuh-tumbuhan.
Monyet cenderung untuk memilih jenis makanannya dan tidak tergantung pada
beberapa jenis makanan saja.
Tobing (1995) menyatakan bahwa jenis makanan yang paling banyak
dikonsumsi oleh kebanyakan primata adalah tumbuhan, yaitu bagian daun dan
buah. Akan tetapi bagian tumbuhan lainnya seperti tangkai daun, batang maupun
bunga serta umbut juga biasa dimakan dengan proporsi yang berbeda-beda untuk
tiap jenis primata. Menurut Supriatna et al. (1988), monyet Sulawesi biasa memakan buah-buahan, daun-daunan, bunga, serangga, telur, terutama telur
burung dan vertebrata kecil. Salah satu jenis pohon yang biasa menjadi pakan
monyet adalah jenis Ficus sp. Kerapatan jenis pohon tersebut serta kerapatan pohon pakan lainnya pada daerah jelajah primata sangat berpengaruh terhadap
jumlah anggota kelompok dan kerapatan populasi (Gaulen et al. 1980 dalam
ada hubungannya dengan selalu tersediannya buah dalam jumlah besar dan
mengandung zat-zat yang diperlukan oleh hewan tersebut.
2.4. Perilaku dan Struktur Sosial
2.4.1. Perilaku Sosial
Soeratmo (1979) dalam Alita (1993), meyatakan bahwa tingkah laku binatang atau animal behaviour dapat diartikan sebagai ekspresi suatu binatang yang disebabkan (ditimbulkan) oleh semua faktor yang mempengaruhinya.
Wheatley (1976) dalam Alita (1993), membagi tipe aktivitas menjadi beberapa macam, yaitu:
1. Makan: Aktivitas makan meliputi memungut makanan dan prosesnya,
termasuk mulai dari mengumpulkan makanan pada pohon yang dilakukan
pada pohon yang sama. Aktivitas makan dibatasi ketika satwa berhenti makan
atau meninggalkan pohon; kejadian ini dihitung sebagai satu unit aktivitas
makan.
2. Penjelajahan: Merupakan pergerakan di antara sumber makanan, biasanya
antar pohon.
3. Istirahat: Aktivitas diam di atas pohon atau tanah dan kadang-kadang terdapat
perilaku grooming.
4. Berkelahi: Aktivitas yang ditandai dengan ancaman mimik muka atau gerakan
badan, menyerang dan memburu serta biasa terjadi baku hantam.
5. Grooming: Aktivitas mencari kotoran atau ekto-parasit dari tubuh sendiri atau tubuh individu lainnya.
6. Kawin: Hubungan seksual yang dimulai dari pengejaran terhadap betina dan
diakhiri dengan turunnya jantan dari betina setelah terjadi kopulasi.
7. Bermain: Aktivitas latihan baku hantam terhadap individu lain, terjadi biasa
pada kelas umur anak-anak (juvenil).
Pada bangsa primata, perilaku yang terjadi pada tiap-tiap individu
merupakan hasil proses belajar, dan perilaku yang bersifat naluriah lebih jarang
hewan-hewan tingkat tinggi dibandingkan pada hewan-hewan tingkat rendah
(Tobing, 1995).
2.4.2. Struktur Sosial
Tobing (1995) menyatakan bahwa primata merupakan hewan yang hidup
dalam sistem sosial tertentu, sehingga anggota-anggota kelompok saling memberi
perhatian satu sama lain. Keadaan yang pertama kali dirasakan oleh primata muda
dalam hidupnya adalah sistem sosial, baik dalam hal makanan, grooming, ataupun perlindungan dan pengasuhan oleh induk sepanjang hari, yang merupakan
kebutuhan pokok bagi individu yang baru dilahirkan.
Pengasuhan anak yang baru lahir atau individu muda lainnya pada primata,
tidak hanya dilakukan oleh induk betina tetapi juga oleh induk jantan atau
individu yang merupakan anggota kelompok (Napier dan Napier, 1985). Oleh
karena itu spesies-spesies primata memiliki perilaku yang sangat terkait dengan
sifat sosial terutama terhadap anggota kelompoknya.
Teori Carpenter (1971) dalam Alita (1993) menyatakan tentang struktur sosial primata dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Kelompok primata cenderung memiliki home range yang terpisah (exclusive home range).
b. Rata-rata ukuran kelompok cenderung menjadi ciri khusus dari spesies
primata. Komposisi kelompok yang menekankan pada proporsi dari jenis
kelamin dan kelas umur, cenderung relatif tidak berubah, tergantung pada
ukuran kelompok.
c. Hampir pada semua spesies dimana betina dewasa lebih banyak dari jantan
dewasa dalam satu kelompok.
Fungsi jantan dewasa, sendiri atau dalam kumpulan dengan jantan lain
adalah sebagai berikut:
a. Menjaga jarak dengan kelompok tetangganya dari spesies yang sama.
b. Mengurangi adanya kompetisi dalam kelompok dengan mengusir keluar
jantan-jantan muda.
Untuk setiap jenis monyet Sulawesi, jumlah individu yang menyusun
sebuah kelompok pada habitat alami cenderung stabil. Pada daerah-daerah yang
dekat dengan perkebunan dan perladangan penduduk, jumlah anggota kelompok
akan membesar. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya pakan yang berlebihan dari
perkebunan atau perladangan penduduk (Supriatna et al. 1988).
Monyet Sulawesi biasa hidup berkelompok dengan jumlah anggota
kelompok berkisar antara 10 sampai dengan 40 monyet atau lebih, tergantung dari
tipe habitatnya. Jumlah anak dibandingkan dengan jumlah betina dewasa pada
kelompok yang tidak terganggu habitatnya tidak kurang dari 1:4. Sering kali ada
kelompok yang tidak memiliki bayi ataupun anak yang mungkin disebabkan oleh
terganggunya kelompok oleh adanya kebakaran hutan dan kekeringan ataupun
oleh karena adanya perburuan dan peracunan (Supriatna et al. 1988).
2.5. Hirarki dan Status Sosial Individu
Chalmers (1980) dalam Alita (1993) mengemukakan bahwa satwa yang mempunyai hirarki paling atas biasanya seekor jantan dewasa yang biasa disebut
sebagai alpha male. Secara umum kekuasaan satwa dalam kelompok ditentukan oleh peringkatnya. Peringkat tertinggi dari satwa tersebut juga sebagai satwa
dominan dan peringkat paling bawah disebut sebagai satwa kalah. Indikator untuk
yang menang, biasanya memiliki ciri-ciri seperti memegang telinganya dan
membuka mulutnya selama pengancaman. Indikator kekalahan, dicirikan oleh
adanya grimace, yaitu aktivitas menyeringai sambil gemeretak gigi serta mimik muka yang lebih komplek.
Komposisi kelompok yang ada di dalam populasi monyet terdiri atas 4
kelas umur individu. Muhtar (1982) dalam Alita (1993) menyatakan bahwa ke- empat kelas umur tersebut adalah:
a. Dewasa (Adult): terdiri dari jantan dan betina dewasa. Jantan dewasa (JD) memiliki ukuran paling besar dengan scrotum terlihat jelas. Betina dewasa (BD) tubuhnya lebih kecil dari jantan dewasa dengan puting susu yang terlihat
Gambar 1. Individu Betina Dewasa M.o. brunnescens (Opwall, 2004)
Gambar 2. Individu Jantan Dewasa M.o. brunnescens (Opwall, 2004)
b. Muda (Sub-Adult): merupakan monyet hampir dewasa yang sudah dapat berdiri sendiri dalam kelompoknya. Ukuran tubuhnya hampir sama dengan
monyet dewasa tapi dapat dibedakan dari kelakuannya, yaitu monyet tersebut
masih dalam tahap belajar dalam melakukan aktivitas kawin dan lebih banyak
Gambar 3. Individu Muda M.o. brunnescens (Opwall, 2004)
c. Remaja (Juvenil): monyet muda yang sudah dapat berdiri sendiri pada waktu makan, tetapi kalau tidur dekat dengan induknya dan masih suka bermain.
Ukuran tubuh lebih kecil dari sub-adult.
Gambar 4. Individu Remaja M.o. brunnescens (Opwall, 2004)
2.6. Daerah Jelajah dan Teritori
Daerah jelajah (Home range), merupakan daerah tempat tinggal suatu jenis satwa yang tidak dipertahankan oleh satwa tersebut terhadap masuknya satwa lain
yang sama spesiesnya ke dalam daerahnya (Suratmo 1979 dalam Syarifuddin 1991). Menurut Bismark (1982) dalam Syarifuddin (1991), kelompok Macaca sp
dalam jumlah individu yang besar akan memerlukan jumlah makanan yang lebih
besar. Untuk itu mereka akan berjalan lebih jauh pada home range yang luas Daerah jelajah Macaca sp tergantung dari karakteristik tingkah lakunya dan sifat fisik habitat (Moen 1973 dalam Syarifuddin 1991). Batasan home range
menurut Chalmers (1980) dalam Syarifuddin (1991) adalah suatu daerah dimana satwa biasanya mengadakan perjalanan dalam melaksanakan aktivitas rutinnya,
dan daerah jelajah bisa mengalami perubahan luasan menurut musim. Napier dan
Napier (1985) menyatakan bahwa daerah jelajah kelompok Macaca sp adalah total dari luas pengembaraannya setiap tahun dan berdasarkan pada
sumber-sumber pakan yang penting.
Kelompok monyet Sulawesi setiap hari melakukan aktivitasnya didalam
suatu daerah tertentu, yang disebut daerah jelajah. Besar daerah jelajah tergantung
pada jumlah anggota didalam kelompok, tipe habitat, penyebaran, pakan, dan
iklim. Pada kelompok monyet dengan jumlah anggota besar akan mempunyai
daerah jelajah yang cenderung lebih luas. Begitupun dengan jumlah pakan yang
tersedia, makin langka jumlah pakan yang tersedia maka akan makin luas pula
daerah jelajahnya. Pada habitat yang terganggu daerah jelajah akan bervariasi
sesuai dengan iklim (Supriatna et al. 1988).
Watanabe dan Brotoisworo (1982), mengatakan bahwa jenis monyet yang
termasuk dalam marga Macaca, biasanya mempunyai daerah jelajah yang relatif sama. Setiap kelompok telah mempunyai rute tertentu yang rutin dilewati setiap
hari. Supriatna et al. (1988) mengatakan bahwa kegiatan harian kelompok monyet dilakukan mulai dari pagi hingga sore hari, yang selalu dipimpin oleh jantan
dewasa dengan menggunakan suaranya.
Setiap kelompok monyet mempunyai tempat tidur tertentu, biasanya pada
pohon tinggi dengan percabangan yang agak mendatar, yang memungkinkan
banyak dipilih untuk tempat tidur. Selain ketinggian pohon, faktor lain yang
menentukan sebagai syarat pohon tidur adalah kelebatan daun, arsitektur,
elastisitas cabang dan ranting, kemiringan pohon dan keadaan di lingkungan
pohon tidur tersebut.
2.7. Penginderaan Jauh
2.7. 1. Pengertian dan Sejarah Penginderaan Jauh
Menurut Lo (1995), penginderaan jauh merupakan suatu tekhnik untuk
mengumpulkan informasi mengenai obyek dan lingkungannya dari jarak jauh
tanpa sentuhan fisik. Manual of Remote Sensing (1983) dalam Hastuti (1998), menyatakan pengertian penginderaan jauh yang digunakan sampai saat in adalah
sebagai ilmu dan seni pengukuran atau mendapatkan informasi suatu obyek atau
fenomena suatu alat perekam dari suatu kejauhan, dimana pengukuran dilakukan
tanpa melakukan kontak secara fisik dengan obyek atau fenomena yang diukur
atau diamati.
Teknologi penginderaan jauh pertama kali dikenal pada abad XIX yang
dimulai dari pembuatan potret udara bentang alam (lanskap) pertama tahun 1838.
Perkembangan penginderaan jauh selanjutnya adalah pembuatan potret udara
hutan dari balon udara pada tahun 1887 dan dari atas pesawat udara tahun 1919
(Hastuti, 1998). Perkembangan selanjutnya teknologi penginderaan jauh mulai
menerapkan sistem satelit sebagai wahananya dan secara efektif dimulai pada
tahun 1972, yaitu sejak diluncurkannya Teknologi Satelit Sumberdaya Bumi
Amerika Serikat (Earth Resource Technological Satellite/ERTS-1). Menurut Lillesand dan Kiefer (1990), satelit tersebut dikenal dengan sebutan Landsat,
yang memuat sensor MSS (Multi Spectral Scanner).
2.7. 2. Teknologi Penginderaan Jauh
Menurut Paine (1993), pengertian yang lebih tepat tentang penginderaan
jauh adalah teknik yang digunakan untuk perekaman dan evolusi deteksi energi
elektromagnetik, yang dipantulkan atau dipancarkan sebuah obyek pada suatu
jarak yang jauh tanpa sentuhan fisik. Lillesand dan Kiefer (1990) menyebutkan
pengumpulan data dan proses analisis. Dalam pengumpulan data, alat
penginderaan jauh dapat memperoleh data baik dengan cara-cara fotografis
maupun elektronis. Sensor-sensor fotografis memanfaatkan reaksi kimia pada
lapiasan emulsi film untuk mendeteksi, menyimpan dan memperagakan
veriasi-variasi energi di dalam suatu pemandangan. Sensor elektronik akan menimbulkan
pulsa-pulsa listrik yang sesuai dengan variasi energi dalam suatu pemandangan.
Pulsa listrik ini biasa disimpan pada pita komputer magnetik di mana pulsa listrik
tersebut dirubah menjadi gambar digital (Paine, 1993).
Tabel 2. Aplikasi dan Saluran Spektral (Band) Thematic Mapper (Lo, 1995)
Saluran
1 0,45 – 0,52 Dirancang untuk penetrasi tubuh air, sehingga bermanfaat untuk
pemetaan perairan pantai. Berguna juga untuk membedakan antara tanah dengan vegetasi, tumbuhan berdaun lebar dan berdaun jarum.
2 0,52 – 0,60 Dirancang untuk mengukur puncak pantulan hijau saluran
tampak bagi vegetasi guna penilaian ketahanan.
3 0,63 – 0,69 Saluran absorpsi klorofil yang penting untuk diskriminasi
vegetasi
4 0,76 – 0,90 Bermanfaat untuk menentukan kandungan biomassa dan untuk
delineasi tubuh air.
5 1,55 – 1,75 Menunjukan kandungan kelembaban vegetasi dan kelembaban
tanah, dan bermanfaat untuk membedakan salju dan awan.
6 2,08 – 2,35 Saluran inframerah termal yang penggunaannya untuk
perekaman vegetasi, diskriminasi kelembaban tanah dan pemetaan termal.
7 10,45 – 12,50 Saluran yang diseleksi karena potensinya untuk membedakan
tipe batuan dan untuk pemetaan hidrotermal.
2.7. 3. Analisis Digital Data Landsat
Sejumlah informasi dapat diperoleh dari data landsat dalam format salinan
kertas (fotografik), volume data landsat yang melimpah dan berbentuk digital
menjadikan data tersebut lebih cocok dianalisis dengan bantuan komputer
(Lillesand dan Kiefer, 1990). Menurut Townshend (1992) dalam Kusumaningtyas (1998), analisis digital dilakukan terhadap setiap pixel dan melalui cara ini
informasi yang diperoleh akan menjadi lebih banyak karena dapat
Lillesand dan Kiefer (1990) menyatakan penganalisaan data landsat
dengan menggunakan komputer dapat dikelompokan sebagai berikut:
1. Pemulihan Citra (Image Restoration), tujuan dari pemulihan citra ini adalah untuk memperbaiki data citra yang mengalami distorsi ke arah gambaran yang
lebih sesuai dengan gambar aslinya. Kegiatan pemulihan citra ini meliputi
pengkoreksian berbagai distorsi radiometrik dan geometrik yang mungkin ada
pada data citra asli.
2. Penajaman Citra (Image Enhancement), proses penajaman citra dilakukan untuk menguatkan tampilan kontras antar obyek pada sebuah citra. Pada
berbagai terapan, langkah ini dapat meningkatkan jumlah informasi yang
dapat diinterpretasi secara visual dari data citra.
3. Klasifikasi Citra (Image classification).
Teknik kuantitatif dapat diterapkan untuk interpretasi secara otomatik data
citra digital. Tiap pengamatan pixel (picture element) di evaluasi dan ditetapkan pada suatu kelompok informasi. Jaya (1996) dalam Hastuti (1998), mengatakan bahwa klasifikasi dapat diartikan sebagai suatu proses pengelompokan pixel-pixel
kedalam kelas-kelas atau kategori-kategori yang telah ditentukan berdasarkan
nilai kecerahan/brightness value (bv) atau digital number (DN) dari pixel yang bersangkutan. Berdasarkan tekhniknya, klasifikasi dapat dibedakan kedalam
klasifikasi manual dan klasifikasi kuantitatif. Pada klasifikasi manual,
pengelompokan pixel kedalam suatu kelas yang telah ditetapkan dilakukan oleh
seorang interpreter secara manual berdasarkan nilai kecerahan (bv), dan contoh
yang diambil disebut sebagai area contoh.
Klasifikasi citra menurut Lillesand dan Kiefer (1990) dibagi kedalam dua
pendekatan, yaitu klasifikasi terbimbing (supervised classification) dan klasifikasi tak terbimbing (unsupervised classification). Pada klasifikasi terbimbing proses pengklasifikasian dilakukan dengan prosedur pengenalan pola spektral dengan
memilih kelompok atau kelas-kelas informasi yang diinginkan dan selanjutnya
memilih contoh-contoh kelas (training area) yang mewakili setiap kelompok. Kemudian dilakukan perhitungan statistik terhadap contoh-contoh kelas yang
Pada klasifikasi tak terbimbing, proses pengklasifikasian dimulai dengan
pemerikasaan seluruh pixel dan membagi kedalam kelas-kelas berdasarkan pada pengelompokan nilai-nilai citra seperti apa adanya. Hasil dari pengklasifikasian
ini disebut kelas spektral, yang kemudian akan dibandingkan dengan
kelas-kelas data referensi untuk menentukan identitas dari nilai informasi kelas-kelas spektral
tersebut.
2. 8. Sistem Informasi Geografis (SIG)
Prahasta (2001) menjelaskan bahwa sejak pertengahan tahun 1970, telah
dikembangkan sistem-sistem khusus yang dibuat untuk menangani masalah
informasi yang bereferensi geografis dengan berbagai cara dan bentuk. Sebutan
umum untuk sistem yang menangani masalah tersebut adalah sistem informasi
geografis (SIG). Dalam beberapa literatur SIG dipandang sebagai hasil dari
perpaduan antara sistem komputer untuk bidang kartografi (CAC) atau sistem
komputer untuk bidang perencanaan (CAD), dengan tekhnologi basis data
(database). Permasalahan tersebut meliputi: (1)Pengorganisasian data dan
informasi, (2) Menempatkan informai pada tempat tertentu, (3) Melakukan
komputasi, dengan memberikan ilustrasi keterhubungan satu sama lainnya,
beserta analisa-analisa spasial lainnya.
Secara garis besar pengertian dari SIG yang telah beredar di berbagai
pustaka, antara lain merupakan sistem informasi yang dirancang untuk bekerja
dengan data yang tererferensi secara spaial atau koordinat-koordinat geografi.
Dengan kata lain SIG merupakan sistem basis data dengan
kemampuan-kemampuan khusus untuk data yang tereferensi secara geografi, berikut
sekumpulan operasi-operasi yang mengelola data tersebut (Foote, 1995 dalam
III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
3.1. Sejarah Kawasan
Kawasan hutan Lambusango seluas 28.510 ha yang terletak di Kabupaten
Dati II Buton diperuntukkan sebagai kawasan hutan dengan fungsi suaka alam
berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang telah disahkan oleh
Menteri Pertanian pada tanggal 1 September 1982 dengan SK Nomor
639/Kpts/9/Um/1982.
Secara geografis kawasan ini terletak diantara 05°13'-05°24' LS dan
122°47'-122°56' BT. Secara administrasi pemerintahan, kawasan hutan
Lambusango termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Kapontori, Lasalimu dan
Pasarwajo sedangkan secara administratif kehutanan termasuk wilayah RPH
Pasarwajo (BKPH Buton Barat), RPH Lasalimu dan RPH Kapontori (BKPH
Buton Timur), KPH Buton.
Status kawasan hutan Lambusango masih belum ditetapkan secara pasti
(definitif). Permasalahan yang terjadi di kawasan Lambusango ini diantaranya
adalah belum adanya fasilitas pengelolaan, perburuan, penebangan liar, dan
pemungutan hasil hutan bukan kayu, antara lain pengambilan rotan dan madu
hutan.
Beberapa kegiatan yang ditujukan untuk pengelolaan kawasan telah
dilaksanakan oleh Departemen Kehutanan ataupun Pemerintah Daerah, antara lain
penetapan tata batas oleh Sub. BIPHUT Kendari, serta pembinaan daerah
penyangga di desa Lambusango oleh Sub Balai KSDA Sulawesi Tenggara, berupa
pemberian bibit mangga dan jeruk kepada masyarakat Desa Lambusango pada
tahun 1997. Desa-desa yang berbatasan langsung dengan kawasan adalah desa
Barangka, Wakalambe, Lambusango, Wakangka, Lawele dan Kapontori, dengan
mata pencaharian penduduknya sebagai petani/kebun, nelayan, dan pedagang.
3.2. Ketinggian Tempat
Suaka Margasatwa Lambusango (SM Lambusango) secara umum terletak
pada ketinggian 5 - 700 m (dpl), dengan topografi datar hingga berbukit. Kelas
daratan berkisar antara 5 hingga 30% dengan jenis tanah dominan mediteranian.
Tipe iklim D menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson, dengan curah hujan
rata-rata tahunan 1.980 mm. Bulan-bulan terkering adalah Agustus, September,
Oktober, dan Nopember. Suhu udara tahunan berkisar antara 20° hingga 34° C
dengan kelembaban relatif tahunan sebesar 80%.
Tabel 3. Ketinggian Lokasi Stasiun Penelitian (Opwall, 2004)
No Stasiun Penelitian Selang Ketinggian Tempat (m dpl)
1
Potensi flora dan fauna hutan Lambusango cukup tinggi. Jenis-jenis
tumbuhan yang ditemukan di dalam kawasan antara lain kayu besi (Metrocideros petiolata), kuma (Palaquium obovatum), wola (Vitex copassus), bayan (Intsia bijuga), cendana (Santalum album), bangkali (Anthocephallus macrophyllus), kayu angin (Casuarina rumpiana), sengon (Paraserianthes falcataria), dan rotan (Calamus spp.). Satwaliar yang menempati habitat di dalam kawasan antara lain anoa (Bubalus depresicornis), monyet buton (Macaca ochreata brunescens), rusa (Cervus timorensis), kus-kus (Phalanger ursinus), sapi liar (Bos sp), biawak (Varanus salvator), merpati hutan putih dan abu-abu, musang tenggarong (Vivera tangalunga), serindit Sulawesi, dan lain-lain.
3.4. Aksesibilitas
Untuk mencapai SM Lambusango dapat ditempuh melalui jalan darat dari
Bau-Bau sampai Lambusango dengan jarak ± 30 km, waktu tempuh ± 1 jam.
Kondisi jalan beraspal. Akses lanilla dapat melalui laut dari pelabuhan Bau-Bau
menuju lokasi dengan speed boat atau perahu dalam waktu 2 jam. Penginapan terdekat berada di Bau-Bau. Izin masuk kawasan dapat diperoleh di kantor Sub
Seksi KSDA Buton di Bau-Bau, atau Sub Balai KSDA Sulawesi Tenggara di
IV. METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di kawasan hutan Lambusango, Kabupaten Buton,
Sulawesi Tenggara. Pengambilan data dilakukan dari mulai tanggal 29 Juni 2005
sampai dengan 7 September 2005.
4. 2. Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: peta kawasan,
kompas brunton, teropong binokuler, pita meteran, stop watch, tambang plastik,
kamera foto, GPS (Global Positioning System), dan tally sheet. Bahan yang digunakan adalah Citra landsat 7 ETM+ (Band 5,4,3; Path 112, Row 064) tahun
2004. Perangkat lunak untuk mengolah peta adalah ERDAS Imagine 8.5 dan
ArcView GIS 3.2.
4. 3. Jenis Data yang Dikumpulkan
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan
data sekunder. Data primer diperoleh dari pengamatan secara langsung di
lapangan, sedangkan data sekunder diperoleh dari studi pustaka dan wawancara
dengan berbagai pihak terkait. Data primer meliputi ukuran/jumlah populasi dan
kepadatan populasi individu maupun kelompok). Sedangkan data sekunder
meliputi data mengenai bio-ekologi M.o. brunnescens, kondisi umum habitat dan data mengenai karakteristik habitat (ketinggian tiap stasiun penelitian, kondisi
penutupan lahan dan data vegetasi).
4.4. Metode Pengumpulan Data
4.4.1. Data Primer
4.4.1.1. Penutupan Lahan
Pengambilan titik koordinat dilakukan di titik-titik transek setiap stasiun
penelitian. Areal penelitian dibagi menjadi empat tipe penutupan lahan, yaitu:
hutan primer tidak terganggu, hutan primer terganggu, hutan sekunder tidak
Pembagian hutan menjadi empat kategori tersebut bertujuan untuk
mengetahui kondisi populasi M.o. brunnescens pada areal hutan yang relatif masih asli (hutan primer) dan membandingkannya dengan tipe hutan bekas
kegiatan perladangan penduduk (hutan sekunder). Pengelompokan tipe penutupan lahan ke dalam ada atau tidak adanya gangguan manusia yang berupa kegiatan
pengambilan rotan bertujuan untuk mengetahui ada atau tidak adanya pengaruh
pengambilan rotan terhadap kondisi populasi M.o. brunnescens di alam. Klasifikasi lahan dilakukan dengan menggunakan metode interpretasi tak
terbimbing (unsupervised classification), dengan menggunakan citra Landsat ETM+ tahun 2004 dan mengacu pada peta penutupan lahan kabupaten Buton hasil
klasifikasi citra oleh Carlisle (2003) dalam Opwall (2004).
Pemetaan penutupan lahan (land cover) merupakan suatu upaya untuk menyajikan informasi tentang pola penggunaan lahan atau tutupan lahan di suatu
wilayah secara spasial. Informasi mengenai penutupan lahan pada penelitian ini
diperoleh dengan melakukan penafsiran citra Landsat ETM+ tahun 2004.
Klasifikasi penutupan lahan di wilayah penelitian dikelompokkan menjadi enam
kelas yaitu hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, areal bukan hutan, awan
dan bayangan awan.
Pengolahan citra merupakan suatu cara untuk memperoleh data mengenai
penutupan lahan yang dilakukan dengan menggunakan software ERDAS Imagine
8.5. Skema proses pengolahan citra untuk memperoleh peta penutupan lahan
Gambar 5. Proses pengolahan Citra Landsat
4.4.1.2. Inventarisasi Satwa
Inventarisasi satwa dilakukan dengan menggunakan metode transek garis
(line transect) yang tersedia pada setiap lokasi stasiun penelitian. Tiap stasiun penelitian (Camp), memiliki 4 jalur pengamatan. Penarikan contoh pada lokasi penelitian dilakukan secara acak berlapis (stratified random sampling) dengan alokasi proporsional. Panjang jalur transek + 3000 m. Untuk menghindari double counting, maka dibuat jarak antar jalur sebesar 1000 m (Gambar 6).
Pengamatan dilakukan dengan berjalan pada kecepatan yang konstan di
setiap jalur transek, dan berhenti pada setiap tipe perjumpaan untuk
mengidentifikasi populasi. Pengamatan dilakukan sekali ulangan, yaitu pada pagi
hari (pukul 07.00–12.00). Pengambilan titik koordinat transek dan satwa
dilakukan pada saat perjalanan pulang menuju starting point.
Peta batas Kabupaten Buton Koreksi Geometri
Citra Landsat ETM Tahun 2004
Citra terkoreksi
Peta digital ( jalan dan sungai)
Subset image
Klasifikasi citra tak terbimbing (Unsupervised Classification)
overlay
Citra lokasi penelitian
Citra hasil klasifikasi
Gambar 6. Inventarisasi Satwa Menggunakan Metode Transek Garis
Keterangan : x = posisi pengamat * = satwaliar
α = sudut antara posisi pengamat dengan satwa. r = jarak antara satwa dan pengamat.
Areal pengamatan dibagi ke dalam 4 tipe penutupan hutan, yaitu hutan
primer tidak terganggu (Camp La Solo dan Wabalamba), hutan primer terganggu (Camp Balanophora), hutan sekunder tidak terganggu (Camp Anoa) dan hutan sekunder terganggu (Camp Wahalaka dan Lapago). Luas keseluruhan areal Hutan Lambusango adalah 65.000 ha atau 650 km2, akan tetapi wilayah hutan yang
diteliti hanya sekitar 28.510 ha, atau 285,1 km2. Penelitian ini menggunakan
intensitas sampling sebesar 11,4%. Jalur transek dibuat sebanyak 24 jalur dengan
panjang rata-rata 3 km (Gambar 7).
Data yang dicatat dalam pengamatan ini meliputi sudut kontak pengamat
dengan satwa, jarak pengamat dengan satwa, jumlah individu, dan posisi satwa
sesuai dengan GPS. Satwa yang dicatat hanya merupakan satwa yang berada di
dalam jalur pengamatan.
4.4.2. Data Sekunder
Data sekunder dikumpulkan melalui studi literatur. Data sekunder
merupakan data pendukung yang sangat penting dan dikumpulkan dari berbagai
sumber antara lain dokumentasi Suaka Margasatwa Lambusango, buku teks,
jurnal, dan sumber lainnya.
X Arah jalur
d r
α α
α
r d
r
α
4.5. Analisis Data
4.5.1. Pola Sebaran Spasial Vertikal
Untuk menentukan strata penggunaan ketinggian pohon oleh satwa yang
diamati, dilakukan dengan menentukan rata-rata pemanfaatan tiap strata
ketinggian oleh satwa yang dijumpai pada jalur transek, pada setiap tipe
penutupan lahan yang diamati. Rata-rata ketinggian dihitung pada dua waktu
pengamatan yaitu pengamatan yang masuk ke dalam kategori pagi hari, yaitu
pukul 07.00–09.00 dan pengamatan yang masuk ke dalam kategori siang hari,
pukul 09.01–12.00. Setelah diketahui nilai rata-rata ketinggian pemakaian strata
tajuk oleh satwa, dilakukan analisis deskriptif mengenai strata mana yang paling
disukai satwa untuk melakukan aktivitas hariannya.
Uji beda dengan metode klasifikasi dua arah digunakan untuk menguji ada
tidaknya pengaruh perbedaan tipe hutan dan waktu pengamatan terhadap pola
penggunaan ketinggian pohon. Kriteria uji yang digunakan adalah jika Fhitung > F
tabel, maka tolak Ho’, sedangkan jika Fhitung < F tabel, maka terima Ho.
4.5.2. Perjumpaan Satwa
Analisis terhadap perjumpaan satwa (sighting rates) dilakukan untuk mengetahui pengaruh perbedaan waktu pengamatan (pagi dan siang hari) dan
pengaruh perbedaan tipe penutupan lahan hutan, terhadap angka perjumpaan
satwa pada tiap jalur yang diamati. Dari hasil analisis tersebut selanjutnya
dilakukan pengujian hipotesis terhadap faktor yang mempengaruhi jumlah
perjumpaan satwa baik waktu pengamatan maupun tipe penutupan lahan yang
menjadi habitat satwa tersebut.
Uji beda dengan metode klasifikasi dua arah digunakan untuk menguji ada
tidaknya pengaruh perbedaan tipe hutan dan waktu pengamatan terhadap jumlah
perjumpaan satwa (sighting rates). Kriteria uji yang digunakan adalah jika Fhitung > F tabel, maka tolak Ho, sedangkan jika Fhitung < F tabel, maka terima Ho.
Perhitungan parameter demografi M.o. brunnescens dilakukan pada ke-empat tipe penutupan lahan yag ada. Masing-masing tipe penutupan lahan terdiri
atas satu sampai dengan 2 areal hutan yang diteliti (stasiun penelitian). Tiap
stasiun penelitian terdiri atas empat jalur transek, sehingga total jalur transek yang
dihitung adalah sebanyak 24 jalur. Luas masing-masing stasiun penelitian yang
ditentukan dengan menjumlah luas tiap jalur yang ada.
4.5.3.1. Ukuran dan Kepadatan Populasi
Data yang diperoleh dari hasil pengamatan selanjutnya dihitung ukuran
dan kepadatan populasinya. Data yang digunakan untuk menghitung pendugaan
ukuran kepadatan populasi adalah data yang diperoleh dari perjumpaan langsung
dengan satwa. Terlebih dahulu dihitung dugaan ukuran dan kepadatan populasi
untuk masing-masing areal hutan yang ada dengan menggunakan metode
Distance. Tahapannya adalah sebagai berikut:
Intensitas Sampling (f)
f = luas jalur yang diamati luas areal pengamatan
Nilai Kepadatan Per Stasiun Penelitian (dhi/km2)
Dhi max = Jumlah Individu ditemukan tiap Camp Minimum Area Survey (MAS)
dimana, MAS = Panjang Transek x ( 2 x lebar minimum pengamatan)
Dhi min = Jumlah Individu ditemukan tiap Camp Maksimum Area Survey (MxAS)
dimana, MxAS = Panjang transek x ( 2x lebar maksimum pengamatan)
___
Ukuran dan kepadatan kelompok ditentukan dengan menganalisis data
primer hasil pengamatan dalam 24 jalur transek yang diamati. Ukuran dan
kepadatan kelompok juga dapat ditentukan dengan menganalisa data hasil
pengamatan habituasi terhadap satu kelompok M.o. brunnescens yang diamati secara intensif selama 2 hari. Untuk mengetahui ukuran kelompok monyet dari
hasil pengamatan dalam jalur transek, data diperoleh dengan cara membagi
jumlah seluruh individu yang ditemukan selama pengamatan dengan jumlah
perjumpaan (sighting rates).
4.5.3.3. Seks Rasio dan Struktur Umur
Pendugaan seks rasio dan struktur umur satwa dilakukan hanya pada
individu jantan dan individu betina dewasa dari hasil pengamatan habituasi,
dengan alasan sulitnya menentukan jenis kelamin satwa dalam jalur transek.
Untuk menghitung dugaan seks rasio, dilakukan penghitungan sebagai berikut:
Dugaan Seks Rasio
S = Jumlah individu Jantan Dewasa Hasil Pengamatan Habituasi Jumlah individu Betina Dewasa Hasil Pengamatan Habituasi
Struktur umur ditentukan dengan mengidentifikasi jumlah individu yang
tergolong kedalam kelompok kelas umur bayi (new born), anak (juvenile), muda (sub-adult), dan dewasa (adult), dari satu kelompok satwa yang diamati selama dua hari pengamatan, dari mulai pagi (05.30) sampai sore hari (18.00).
4.5.3.4. Analisis Pola Sebaran Spasial
Pola sebaran spasial suatu komunitas ekologi dapat ditentukan dengan
berbagai macam indeks penyebaran (dispersion index), yaitu: indeks dispersi (ID), indeks Agregatif (IC), dan Indeks Greens (GI). Dalam analisis ini, indeks yang
x S ID
2
=
Keterangan: S2 = keragaman contoh x = rata-rata contoh.
Pola penyebaran spasial diketahui dengan menggunakan uji Chi-Square.
Uji Chi-Square yang digunakan untuk N<30, adalah persamaan λ2 = ID (N-1),
dimana N adalah jumlah kontak dengan satwa. Kriteria uji yang digunakan
adalah:
1. Jika λ2 < λ20.975, maka pola sebaran yang terjadi adalah seragam.
2. Jika λ20.975 ≤λ2 ≤λ20.025, maka pola sebaran yang terjadi adalah acak.
3. Jika λ2 > λ20.025, maka pola sebaran yang terjadi adalah kelompok.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Kondisi Penutupan Lahan
Areal lokasi penelitian merupakan areal hutan yang masuk ke dalam
kelompok hutan Lambusango dengan luas keseluruhan + 65.000 ha, yang
merupakan tipe hutan hujan dataran rendah (lowland evergreen rainforest) dan terletak di Kabupaten Buton. Areal hutan Lambusango terdiri atas beberapa status
hutan, yaitu Suaka Margasatwa (SM) Lambusango seluas 28.510 ha, Cagar Alam
(CA) Kakinauwe seluas + 810 ha, Hutan Lindung dan Hutan Produksi Terbatas
(HPT) seluas + 35.000 ha (Purwanto, 2005).
Dalam penelitian ini areal hutan diklasifikasikan menjadi delapan tipe
penutupan lahan, yaitu: hutan primer tidak terganggu, hutan primer terganggu,
hutan sekunder tidak terganggu, hutan sekunder terganggu, areal bukan hutan,
semak belukar, awan dan bayangan awan. Pada areal hutan primer, habitat
terancam oleh adanya kegiatan illegal logging terutama hutan sekitar Camp La Solo dan Wabalamba. Terdapat kurang lebih 3 titik illegal logging di sekitar hutan La Solo, dan kurang lebih 25 titik illegal logging pada areal sekitar hutan Wabalamba (BKSDA pers.comm, 2005). Pada areal hutan sekunder, habitat terganggu (terfragmentasi) oleh adanya kegiatan perladangan dan pengambilan
rotan oleh masyarakat sekitar hutan. Tipe hutan tersebut secara umum berbatasan
langsung dengan ladang penduduk sekitar hutan. Kondisi penutupan lahan
wilayah hutan Lambusango disajikan pada Gambar 9.
Dari hasil klasifikasi lahan dengan menggunakan metoda klasifikasi tak
terbimbing, diperoleh data luas areal lokasi penelitian sebagaimana disajikan pada
Tabel 4. Kawasan bukan hutan yang tampak dari hasil klasifikasi lahan,
merupakan areal perladangan penduduk dan pemukiman, sehingga tampak secara
umum lokasinya mengelilingi kawasan hutan Lambusango. Penafsiran citra ini
mengacu pada hasil klasifikasi citra kabupaten Buton oleh Carlisle (2003) dalam
Opwall (2004), dengan mencocokan wilayah dan warna spektral hasil klasifikasi
Tabel 4. Klasifikasi Penutupan Lahan di Hutan Lambusango
No Tipe Penutupan Lahan Luas (ha) Persentase (%)
1
Bila melihat data luas areal hutan Lambusango hasil klasifikasi citra
dengan data dari Departemen Kehutanan, mengenai total luas hutan Lambusango,
maka terdapat selisih perbedaan luas areal sebesar + 24.997 ha. Hal tersebut
disebabkan luas areal hasil klasifikasi citra tidak hanya meliputi areal hutan
Lambusango awal (Gambar 8), akan tetapi meliputi juga hutan-hutan sekitar
Lambusango, yang semula berstatus hutan produksi.
Gambar 8. Areal Hutan Lambusango pada Tahun 2004 (Opwall, 2004)
Dari Gambar 9, dapat dilihat bahwa tipe penutupan hutan primer tidak
terganggu ditunjukan dengan warna spektral hijau tua yang memiliki luas areal
sebesar 25.524,3 ha, dengan persentase luasan sebesar 29,35%. Areal hutan
primer terganggu ditunjukan dengan warna hijau muda, dengan luas areal 5737,9
ha. Awan dan bayangan awan dikelompokan kedalam tipe penutupan lahan tidak
5.2. Pola Sebaran Spasial Vertikal
Strata penggunaan ketinggian pohon merupakan suatu lokasi dimana pada
ketinggian tertentu (di atas permukaan tanah) satwa memilih untuk beraktivitas
pada saat terdeteksi dalam suatu pengamatan. M.o. brunnescens di lokasi hutan primer menempati ketinggian 18,8 m di atas pohon pada waktu pagi hari, kurang
lebih 3 meter lebih tinggi dibandingkan pada siang hari (Tabel 5). Hasil analisis
uji beda pada taraf nyata 0,05 memberikan kesimpulan hipotesis bahwa tidak
terdapat perbedaan dalam hal pola penggunaan ketinggian pohon oleh satwa yang
diakibatkan pengaruh perbedaan tipe klasifikasi hutan, dimana Fhit = 3,49 lebih
kecil dibandingkan F(0,05:3) = 9,28. Perbedaan waktu pengamatan juga tidak
berpengaruh terhadap pola penggunaan ketinggian pohon, dengan nilai Fhit =0,90,
lebih kecil dari F(0,05:1) = 10,13.
Perbedaan posisi ketinggian di atas pohon lebih disebabkan oleh urutan
pemanfaatan pakan oleh monyet yang cenderung mengambil pakan dari strata
paling bawah terlebih dahulu dan kemudian berangsur-angsur naik ke strata yang
lebih atas. Pada strata tajuk bawah dimana kerapatan tajuk dan dahan masih
rendah, banyak jenis burung pemakan biji seperti julang Sulawesi (Aceros cassidix) dan burung-burung lainnya ikut memanfaatkan pakan monyet secara bersama-sama. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya pengusiran burung oleh
monyet, dan mendorong monyet untuk naik ke lapisan pohon yang lebih tinggi.
Di areal tipe penutupan lahan hutan primer tidak terganggu, hutan
sekunder tidak terganggu dan hutan sekunder terganggu, M.o. brunnescens
cenderung memiliki posisi yang lebih tinggi pada pagi hari dibandingkan dengan
siang hari. Di tipe penutupan lahan hutan primer terganggu, posisi satwa pada
siang hari justru lebih tinggi dibandingan dengan waktu pagi hari (Tabel 5).
Oates (1987) dalam Supriatna et al. (1990), menyatakan bahwa pada komunitas hutan sekunder, seperti pada areal hutan bekas ladang dan hutan
dengan kegiatan pengambilan rotan, memiliki pohon-pohon yang tumbuh kurang
rapat dan sumber pakan yang dimilikinya tersebar. Pada komunitas hutan
sekunder jarang dijumpai adanya pohon pakan yang bermutu tinggi. Keadaan
demikian tentunya memaksa hewan-hewan tersebut untuk berjalan lebih jauh