• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendugaan ukuran populasi dan sebaran Macaca cohreata brunnescens, Matschie 1901 di kawasan hutan Lambusango, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pendugaan ukuran populasi dan sebaran Macaca cohreata brunnescens, Matschie 1901 di kawasan hutan Lambusango, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

Macaca ochreata brunnescens

, Matschie 1901

DI KAWASAN HUTAN LAMBUSANGO, KABUPATEN BUTON

PROPINSI SULAWESI TENGGARA

AMBANG WIJAYA

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

(2)

RINGKASAN

Ambang Wijaya. E34101042. Pendugaan Ukuran Populasi dan Sebaran Macaca ochreata brunnescens, Matschie 1901 di Kawasan Hutan Lambusango, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Dibimbing oleh Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si dan Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc.

Kawasan hutan Lambusango di Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara, telah mengalami kerusakan skala sedang sebagai akibat adanya kegiatan illegal logging, penambangan aspal, pengambilan rotan dan perambahan hutan (Purwanto, 2005). Secara ekologis, kerusakan hutan berdampak negatif pada keseimbangan fungsi ekosistem, diantaranya adalah ancaman terhadap kelestarian populasi satwaliar. Salah satu jenis satwa yang mengalami gangguan akibat kerusakan hutan adalah Macaca ochreata brunnescens. Primata ini merupakan sub-spesies endemik Pulau Buton dan Muna. Menurut IUCN Red List Threatened Species (2004), spesies ini dikategorikan sebagai vulnerable species

(rawan), yakni jenis satwaliar yang tidak segera terancam punah, akan tetapi terdapat dalam jumlah yang sedikit. CITES (Convention on International Trade Endangered Species of Wild Fauna and Flora) memasukkan jenis primata ini kedalam Appendix II (Soehartono dan Mardiastuti, 2003).

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan ukuran populasi dan sebaran spasial M.o. brunnescens pada beberapa tipe penutupan lahan di kawasan hutan Lambusango. Data primer yang dikumpulkan meliputi: jumlah individu satwa, jarak satwa terhadap pengamat, titik koordinat transek dan tinggi pohon tempat satwa ditemukan. Pengumpulan data karakteristik populasi satwa dilakukan dengan menggunakan metode transek garis (line transect) pada enam tipe penutupan lahan, yakni hutan primer tidak terganggu, hutan primer terganggu, hutan sekunder tidak terganggu dan hutan sekunder terganggu. Penarikan contoh dilakukan secara acak berlapis (stratified random sampling) dengan mempertimbangkan kondisi lapangan.

Kawasan hutan Lambusango merupakan salah satu kawasan yang sedang dikaji untuk dijadikan kawasan taman nasional baru oleh Departemen Kehutanan (Handadhari, 2004). Luas areal kawasan hutan Lambusango adalah + 65.000 ha, yang terbagi kedalam hutan Suaka Margasatwa Lambusango seluas + 28.510 ha, Cagar Alam Kakinawe seluas + 810 ha dan Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas + 35.000 ha (Purwanto, 2005). Luas areal Lambusango berdasarkan hasil klasifikasi citra Landsat dalam penelitian ini adalah 86.997,29 ha, dengan penutupan lahan berupa hutan primer tidak terganggu (25.542,3 ha), hutan primer terganggu (5737,59 ha), hutan sekunder tidak terganggu (18.049 ha), hutan sekunder terganggu (14.552 ha), semak belukar (7192,89 ha), areal bukan hutan (6284,61 ha), awan dan bayangan awan (tidak terdefinisikan) seluas 9668,88 ha.

(3)

Pendugaan ukuran populasi dan sebaran satwa dilakukan pada empat tipe penutupan hutan, yaitu hutan primer tidak terganggu (HPTT), hutan primer terganggu (HPT), hutan sekunder tidak terganggu (HSTT) dan hutan sekunder terganggu (HST). Ukuran populasi total adalah sebesar 57.176,3 + 2216,5 ekor dengan kepadatan 89,5 + 3,46 ekor/km2. Ukuran kelompok M.o. brunnescens berdasarkan hasil habituasi pada satu petak grid adalah sebanyak 7-30 ekor/kelompok dengan dugaan jumlah kelompok total adalah 1905,8 + 73,8 kelompok.

(4)

PENDUGAAN UKURAN POPULASI DAN SEBARAN

Macaca ochreata brunnescens

, Matschie 1901

DI KAWASAN

HUTAN LAMBUSANGO, KABUPATEN BUTON

PROPINSI SULAWESI TENGGARA

Oleh :

AMBANG WIJAYA

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat

untuk mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

(5)

Judul Skripsi : PENDUGAAN UKURAN POPULASI DAN SEBARAN Macaca ochreata brunnescens, Matschie 1901 DI KAWASAN HUTAN LAMBUSANGO, KABUPATEN BUTON, PROPINSI SULAWESI TENGGARA.

Nama Mahasiswa : Ambang Wijaya

NRP : E34101042

Departemen : Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

Fakultas : Kehutanan

Disetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Ir. Agus P. Kartono, MSi Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, MSc. NIP. 131 953 388 NIP. 131 760 841

Mengetahui

Dekan Fakultas Kehutanan

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS NIP. 131 430 799

(6)

RIWAYAT HIDUP

AMBANG WIJAYA dilahirkan di Ciamis pada tanggal 26 April 1983.

Penulis merupakan anak terakhir dari 4 bersaudara keluarga Kimun Haryanto dan

Enok Saoti Swastika. Awal pendidikan formal dimulai pada tahun 1988 di TK.

Sejahtera I Kertahayu dan lulus pada tahun 1989. Pendidikan dasar di Sekolah

Dasar Negeri (SDN) Kertahayu I, lulus pada tahun 1995. Pendidikan menengah

pertama di SMPN I Banjar, lulus pada tahun 1998 dan meneruskan pendidikan

menengah umum di SMUN I Banjar, lulus pada tahun 2001. Pada tahun 2001

penulis diterima sebagai mahasiswa program Sarjana pada Departemen

Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, yang

kini berubah nama menjadi Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan

Ekowisata, melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Pada tahun 2004, penulis melaksanakan Praktek Pengenalan dan

Pengelolaan Hutan (P3H) di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Kuningan,

Perum Perhutani Unit III Jawa barat, selama + 2 bulan. Penulis juga telah

melaksanakan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Bali

Barat (TNBB) Gilimanuk-Bali pada bulan Februari–April 2005. Selama

menempuh pendidikan di Fakultas Kehutanan IPB, penulis aktif di beberapa

organisasi kampus, antara lain: Asean Forestry Students Association (AFSA)-LC IPB, Rimbawan Pecinta Alam (RIMPALA-Fahutan IPB), Himpunan Mahasiswa

Konservasi Sumberdaya Hutan (HIMAKOVA-KSH IPB) dan UKM Uni

Konservasi Fauna (UKF-IPB).

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada

Fakultas Kehutanan IPB, penulis melakukan penelitian berjudul ”Pendugaan

Ukuran Populasi dan Sebaran Macaca ochreata brunnescens, Matschie 1901 Di Hutan Lambusango, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara”,

dibimbing oleh Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si dan Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo,

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan ke-Hadirat Allah SWT, yang telah

memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga praktek khusus dan

skripsi dapat diselesaikan. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk

meperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya

Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Penelitian ”Pendugaan Ukuran Populasi dan Sebaran Macaca ochreata brunnescens, Matschie 1901 Di Kawasan Hutan Lambusango, Kabupaten Buton Propinsi Sulawesi Tenggara ” yang disajikan dalam skripsi

ini memuat tentang dugaan ukuran populasi dan sebaran spasial M.o. brunnescens

di beberapa tipe penutupan lahan kawasan hutan Lambusango. Skripsi ini

membahas juga tentang kondisi penutupan lahan hutan, preferensi satwa terhadap

penggunaan tajuk pohon dan jumlah perjumpaan satwa, sehingga dapat dijadikan

bahan pertimbangan dalam upaya pelestarian M.o. brunnescens. Skripsi ini tidak memuat paramater demografi satwa secara keseluruhan, sehingga pembahasan isi

skripsi lebih dititikberatkan kepada aspek ukuran populasi dan sebaran spasial

satwa.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh

karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi

kesempurnaan penelitian selanjutnya.

Bogor, Januari 2006

(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini, izinkanlah penulis menghaturkan rasa terima kasih

yang tulus kepada:

1. Ir. Agus Priyono Kartono, MSi dan Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, MSc, selaku

pembimbing skripsi, atas bimbingan dan arahannya, dari mulai tahap

penyusunan proposal sampai dengan terselesaikannya skripsi ini.

2. Ir. Emi Karminarsih, MS dan Effendi Tri Bahtiar, S.Hut selaku dosen penguji

wakil Departemen Manajemen Hutan dan Departemen Hasil Hutan.

3. Dr. Edi Purwanto, MSc, selaku Project Manager World Bank/Global

Environmental Facility (GEF) Lambusango Forest Conservation Project dan

seluruh Staf GEF Buton, atas bantuan hibah dana penelitian ” Undergraduate Biodiversity Assessment Research Grant 2005” yang telah diberikan.

4. Dr. Philip Wheeler (University of Hull), Dr. Nancy Priston (Universitry of

Cambridge), Dr. Bruce Carlisle (University of Northumbria), Atiek Widayati,

MSc (ICRAF) dan Diah Asri Dwiyahreni, MSc (WCS-IP), selaku Supervisor

dan pembimbing lapang atas sumbangan pemikiran dan pendampingannya

kepada penulis selama penelitian berlangsung.

5. Kedua Orang Tua (Mamah dan Apih) serta keluarga besar tercinta (Ang

Candra, Ang Indra dan Wisnu), atas doa dan kasih sayang yang telah diberikan.

6. Seluruh Scientist, Staff, Guide dan Porter yang tergabung dalam Operation Wallacea Team 2005, atas fasilitas dan bantuan teknis yang telah diberikan.

7. Om La Marini, La Rasiu dan La Au, atas bantuan pendampingan selama

penelitian berlangsung.

Bogor, Januari 2006

(9)

DAFTAR ISI

2.3. Habitat, Sumber Pakan dan Aktivitas Makan 2.3.1. Habitat ... 7

2.3.2. Sumber Pakan dan Aktivitas Makan ... 8

(10)

4.4. Metode Pengumpulan Data 4.4.1. Data Primer

4.4.1.1. Penutupan Lahan ... 21

4.4.1.2. Inventarisasi Satwa ... 23

4.4.2. Data Sekunder ... 24

4.5. Analisis Data 4.5.1. Pola Sebaran Spasial Vertikal ... 26

4.5.2. Jumlah Perjumpaan Satwa ... 26

4.5.3. Pendugaan Parameter Demografi 4.5.3.1. Ukuran dan Kepadatan Populasi ... 27

4.5.3.2. Ukuran dan Kepadatan Kelompok ... 28

4.5.3.3. Seks Rasio dan Struktur Umur ... 28

4.5.3.4. Pola Sebaran Spasial ... 28

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Penutupan Lahan ... 30

5.2. Pola Sebaran Spasial Vertikal ... 33

5.3. Perjumpaan Satwa ... 35

5.4. Ukuran dan Kepadatan Populasi ... 37

5.5. Ukuran dan Kepadatan Kelompok ... 40

5.6. Struktur Umur ... 44

5.7. Seks Rasio ... 44

5.8. Sebaran Spasial Populasi ... 45

5.8.1. Sebaran Spasial Horisontal ... 45

5.8.2. Sebaran Spasial Vertikal ... 46

VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 47

6.2. Saran ... 47

DAFTAR PUSTAKA... 50

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Kepadatan Populasi dan Ukuran Kelompok M.o. brunnescens ... 6

2. Aplikasi dan Saluran Spektral (Band) Thematic Mapper ... 16

3. Ketinggian Lokasi Stasiun Penelitian (Opwall, 2004) ... 20

4. Klasifikasi Penutupan Lahan di Hutan Lambusango ... 31

5. Rata-rata Ketinggian Posisi Satwa dari Permukaan Tanah ... 34

6. Rata-rata Tinggi Pohon pada Enam Lokasi Penelitian ... 34

7. Nilai Total dan Rata-rata Perjumpaan Satwa (sighting rates) Pada Empat Tipe Penutupan Lahan ... 36

8. Rata-rata Total Kepadatan Satwa pada 4 Tipe Penutupan Lahan... 38

9. Dugaan Ukuran Populasi Satwa di Empat Tipe Penutupan Lahan ……… 39

10. Nilai Angka Kepadatan (density) Satwa pada 4 Tipe Penutupan Lahan ... 40

11. Ukuran Populasi Setiap Kelompok M.o.brunnescens di kawasan Hutan Lambusango ... 41

12. Analisis Pola Sebaran Spasial Horisontal ... 46

13. Analisis Pola Sebaran Spasial Vertikal ... 47

(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Individu Betina Dewasa M.o. brunnescens ... 12

2. Individu Jantan Dewasa M.o. brunnescens ... 12

3. Individu Muda M.o. brunnescens ... 13

4. Individu Remaja M.o. brunnescens ... 13

5. Proses Pengolahan Citra Landsat ... 23

6. Inventarisasi Satwa Menggunakan Metode Transek Garis ... 24

7. Peta Jalur Pengamatan ... 25

8. Areal Hutan Lambusango pada Tahun 2004 ... 31

9. Peta Penutupan Lahan Kawasan Penelitian Hutan Lambusango ... 32

10.Grafik Angka Perjumpaan M.o. brunnescens ... 37

11.Grafik Distribusi Waktu Perjumpaan M.o. brunnescens ... 37

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Analisis Klasifikasi Dua Arah Frekuensi Perjumpaan

(14)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Primata merupakan salah satu komponen ekosistem yang memiliki nilai

penting bagi kelangsungan keberadaan hutan dan kehidupan manusia. Peran

primata bagi kelestarian ekosistem hutan antara lain sebagai pemencar biji

vegetasi hutan, mediator penyerbukan dan penambah volume humus untuk

kesuburan tanah. Berdasarkan anatomi, primata memiliki kemiripan dengan

manusia, sehingga sering digunakan sebagai bahan penelitian biomedis.

Sulawesi merupakan pulau yang sangat unik di Indonesia, karena terletak

di antara garis Webber dan garis Wallace, yaitu kawasan biogeografi di antara

Australia dan Asia. Sulawesi memiliki tingkat endemisitas paling tinggi di

kepulauan Indonesia dengan jenis mamalia endemik sebanyak 62%, yang akan

bertambah menjadi 98% bila jenis-jenis kelelawar ikut diperhitungkan (Whitten et al. 1987). Sulawesi merupakan habitat bagi tujuh sub-spesies primata dari genus

Macaca.

Monyet Buton atau yang biasa disebut sebagai andoke (Macaca ochreata brunnescens), merupakan salah satu dari tujuh sub-spesies primata genus Macaca yang ada di Sulawesi. Primata endemik ini hanya dapat ditemukan di Pulau Muna

dan Buton. Monyet ini merupakan jenis satwa dilindungi karena telah

dikategorikan kedalam status Vulnarable (IUCN, 2004) dan CITES (Convention on International Trade Endangered Species of Wild Fauna and Flora) menggolongkan spesies ini kedalam Appendix II (Soehartono dan Mardiastuti,

2003).

Berkurang atau rusaknya habitat primata termasuk habitat M.o. brunnescens, diperkirakan telah menyebabkan penurunan jumlah populasi monyet di alam bebas. Kecenderungan ini menyebabkan populasi terancam kepunahan.

Kekhawatiran akan kepunahan M.o. brunnescens didasarkan atas tingkat kerentanan ekosistem hutan hujan dataran rendah sebagai habitatnya dari kegiatan

(15)

Kerusakan hutan diperkirakan akan menurunkan kualitas habitat M.o. brunnescens. Perambahan kawasan hutan Lambusango, baik berupa perubahan penutupan lahan maupun pengambilan rotan, mengakibatkan rusaknya habitat

satwa yang hidup di dalamnya.

Fluktuasi dugaan ukuran populasi tiap tahun, dapat dijadikan salah satu

instrumen untuk mengetahui kondisi populasi M.o. brunnescens. Data ukuran populasi dan pola sebaran spasial M.o. brunnescens yang diambil setiap tahunnya, dapat dijadikan sebuah data kontinyu (time series data) untuk menilai kondisi populasi di alam. Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan data dugaan

ukuran populasi dan pola sebaran M.o. brunnescens pada tahun 2005, yang dapat digabungkan dengan penelitian sebelumnya untuk menyusun sebuah data time series

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan ukuran populasi dan pola

sebaran spasial M.o. brunnescens di kawasan hutan Lambusango.

1.3. Manfaat

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai

ukuran kelompok ataupun ukuran populasi, komposisi umur, seks rasio, dan pola

(16)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Taksonomi dan Morfologi

2.1.1. Taksonomi

Sistematika atau urutan taksonomi monyet Sulawesi saat ini masih dalam

perdebatan (Muskita, 1988). Napier dan Napier (1967) membagi monyet Sulawesi

menjadi dua jenis yaitu Macaca maura dan Cynopithecus nigra. Fooden (1969)

dalam Groves (1980), memasukan monyet Sulawesi ke dalam satu marga yang mencakup tujuh jenis, yaitu :

1. Macaca maura (Schinz, 1825)

2. Macaca brunnescens (Matschie, 1901) 3. Macaca ochreata (Ogilby, 1841) 4. Macaca tonkeana (Meyer, 1899) 5. Macaca nigrescens (Temminck, 1895) 6. Macaca heckii (Matschie, 1901) 7. Macaca nigra (Desmarest, 1822)

Menurut Groves (1980), monyet Sulawesi dibagi menjadi 4 jenis yang

tergabung ke dalam marga Macaca. Keempat jenis tersebut adalah: M. maura, M. ochreata, M. tonkeana, dan M. nigra, dengan anak jenis sebagai berikut:

1. M. nigra: a. M.n. nigra b. M.n. nigrescens 2. M. tonkeana: a. M.t. tonkeana

b. M.t. heckii 3. M. maura: a. M. maura

4. M. ochreata: a. M.o. ochreata b. M.o. brunnescens

(17)

konsep tujuh jenis. Menurut Cooper (2001), berdasarkan hasil penelitian terhadap

morfologi tubuh Macaca yang hidup endemik di Pulau Buton dan Muna, maka pengklasifikasian satwa tersebut ke dalam jenis M. brunnescens adalah tidak tepat dan sudah tidak berlaku lagi. Satwa tersebut lebih tepat dimasukan sebagai

sub-spesies dari M. ochreata dengan nama M.o. brunnescens. Whitten (2002) menyatakan bahwa dengan mengacu pada teori Groves (1980), maka pada saat ini

akan lebih masuk akal bila memasukan M.o. brunnescens sebagai sub-spesies dari M. ochreata.

Untuk sub-spesies M.o. brunnescens telah diklasifikasikan secara lengkap sampai pada tingkat spesies oleh Fooden (1969) dalam Muskita (1988) ke dalam taksonomi sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Phyllum : Chordata

Sub-phyllum : Vertebrata

Class : Mammalia

Ordo : Primata (Linnaeus, 1958)

Sub ordo : Anthropoidea

Famili : Cercopithecidae

Sub famili : Cercopithecinae

Genus : Macaca

Spesies : Macaca ochreata

Sub-spesies : Macaca ochreata brunnescens (Matschie, 1901).

2.1.2. Morfologi

M.o. brunnescens adalah monyet yang memiliki ukuran morfometris tubuh sebagai berikut: panjang tubuh termasuk kepala berkisar antara 39,50 cm sampai

dengan 40,47 cm untuk individu betina dewasa. Data ini diambil dari sampel 3

individu betina dewasa yang berasal dari Pulau Labuan blanda. Sedangkan pada

individu jantan dewasa yang berasal dari Pulau Buton, diperoleh data morfometrik

panjang tubuh sebesar 47,50 cm sampai dengan 49,50 cm (Fooden, 1969 dalam

(18)

M.o. brunnescens memiliki rambut berwarna cokelat sampai cokelat kehitaman di permukaan tubuhnya. Bagian muka dari monyet tersebut berwarna

hitam, dengan atau tanpa ditutupi rambut halus kehitaman. Permukaan luar bagian

bawah tangan sampai siku ditutupi bulu berwarna cokelat kelabu hingga cokelat,

serta permukaan luar sebelah belakang dari kaki sampai paha berwarna kelabu

sampai dengan cokelat kehitaman (Fooden, 1969 dalam Supriyadi, 1990).

Eisenberg (1972) dalam Supriyadi (1990), menyatakan bahwa pada individu M.o. brunnescens dewasa memiliki ukuran tubuh besar, sedangkan pada individu yang masih remaja relatif lebih kecil daripada individu dewasa. Individu

M.o. brunnescens betina dewasa mempunyai ukuran tubuh sedikit lebih kecil daripada jantan dewasanya, akan tetapi masih lebih besar dari ukuran tubuh

monyet remaja. Monyet yang tergolong kelas umur anak mempunyai ukuran

tubuh yang relatif kecil.

Perbedaan yang mudah teramati antara individu monyet jantan dan monyet

betina pada jenis M.o. brunnescens ini adalah kelenjar susu dan bentuk bantalan duduknya (ischial callosities). Menurut Eisenberg (1972) dalam Supriyadi (1990), pada individu betina dewasa, kelenjar susunya berkembang baik, sedangkan pada

individu jantan tidak berkembang. Menurut van Noordwijk (1983) dalam

Supriyadi (1990), individu jantan akan memiliki gigi taring yang lebih panjang

daripada gigi taring pada individu betina. Perbedaan ini akan terlihat jelas ketika

individu telah menginjak usia dewasa. Pada individu M.o. brunnescens yang masih anak dan remaja, masih sulit untuk dapat membedakan jenis kelaminnya

dan juga masih sulit untuk membedakan ukuran tubuhnya.

Fooden (1969) dalam Supriyadi (1990) menyatakan bahwa M.o. brunnescens memiliki bantalan duduk (ischial callosities) yang berbentuk menyerupai ginjal. Pada monyet jantan, bantalan duduk sebelah kiri akan bersatu

dengan bantalan sebelah kanan, sedangkan pada individu betina dewasa, bantalan

duduk akan terpisah oleh vagina. Bantalan duduk individu betina dewasa

(19)

2.2. Populasi dan Penyebaran

2.2.1. Populasi

Alikodra (2002) memberikan definisi populasi sebagai kelompok

organisme yang terdiri atas individu-individu satu spesies yang mampu

menghasilkan keturunan yang sama dengan tetuanya. Populasi ini dapat

menempati wilayah yang sempit sampai dengan luas, tergantung pada spesies

satwa dan kondisi daya dukung habitatnya. Tarumingkeng (1994) mendefinisikan

populasi sebagai sehimpunan individu atau kelompok individu suatu jenis

makhluk hidup yang tergolong dalam satu spesies (atau kelompok lain yang dapat

melangsungkan interaksi genetik dengan individu yang bersangkutan), dan

menghuni suatu wilayah atau ruang tertentu pada waktu tertentu.

Menurut Supriyadi (1990), kepadatan populasi M.o. brunnescens di Suaka Margasatwa Buton utara sebanyak 36,9 ekor/km2, dengan ukuran kelompok antara

13–21 ekor per kelompok. Perbandingan jumlah individu jantan dewasa terhadap

betina dewasa rata-rata adalah 1,4:1, pada setiap kelompok. Menurut Supriatna

(1988), angka kepadatan populasi dan ukuran kelompok M.o. brunnescens di beberapa tempat di Propinsi Sulawesi Tenggara, seperti disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kepadatan Populasi dan Ukuran Kelompok M.o. brunnescens

Lokasi Kepadatan

Groves (1980) menyatakan bahwa diduga seluruh monyet Sulawesi

berasal dari satu tetua yang sama yang kemudian menyebar, berdiferensiasi, dan

terisolasi satu sama lain dengan spesifikasi yang sangat kuat. Populasi tetua

(20)

Albrecht (1978) dalam Muskita (1988), tetua tersebut kemungkinan berasal dari Kalimantan, yaitu dari jenis M. nemestrina.

Menurut Fooden (1969), dalam Muskita (1988), monyet Sulawesi berasal dari jenis M. silanus-nemestrina. Diperkirakan kelompok monyet ini menyebrang Selat makasar pada zaman Pleistosen yang relatif lebih dangkal apabila

dibandingkan dengan sekarang. Monyet ini kemudian menyebar ke seluruh

Sulawesi (Kawamoto, 1982 dan Albrecht, 1978 dalam Muskita (1988). Untuk sub-jenis M.o. brunnescens selanjutnya menempati habitat di hutan-hutan yang berada di Pulau Buton dan Pulau Muna (Supriatna, 2000).

Fooden (1969) dalam Supriyadi (1990) menyatakan bahwa penyebaran

M.o. brunnescens terbatas hanya di Pulau Buton, Muna, dan Labuan Blanda. Supriatna (1988), menyatakan di Pulau muna, M.o. brunnescens ini hanya dapat dijumpai pada hutan-hutan produksi di bagian tengah dan timur dan juga di Cagar

Alam Napabalano sebelah utara. Penyebaran M.o. brunnescens di Pulau Buton dapat ditemukan di bagian tengah ke utara pulau, yaitu di Suaka Margasatwa

Buton Utara dan di Taman Rekreasi Air jatuh dan hutan-hutan produksi di sebelah

selatan.

2.3. Habitat, Sumber Pakan dan Aktivitas Makan

2.3.1. Habitat

Habitat adalah suatu tempat dimana organisme atau individu dapat

ditemukan. Suatu habitat merupakan hasil interaksi antara beberapa komponen

fisik, yang terdiri atas air, tanah, topografi, iklim, serta komponen biologis yang

terdiri atas manusia, satwa dan vegetasi (Smiet, 1986 dalam Alita, 1993). Napier dan Napier (1985) menyebutkan bahwa primata dapat ditemukan dalam 3 tipe

besar komunitas vegetasi, yaitu pada hutan tropis, padang rumput tropis, dan

daerah peralihan antara dua tipe ekosistem dan biasanya berupa savana berhutan.

Hutan tropis termasuk di dalamnya hutan primer dan hutan sekunder, rawa, hutan mangrove, hutan pegunungan dan hutan musim.

Monyet Sulawesi biasa hidup di areal hutan hujan tropika, terutama pada

hutan-hutan yang memiliki penutupan tajuk rapat (Takenaka dan Brotoisworo,

(21)

besarnya persediaan sumber pakan dan penyebarannya, serta interval pergantian

musim buah. Setiap jenis primata memiliki spesialisasi dalam hal mengeksploitasi

sumber pakan maupun dalam hal memanfaatkan stratifikasi hutan sebagai sub

komunitasnya (Chivers, 1974 dalam Supriyadi, 1990). Napier dan Napier (1985) membagi lapisan vertikal hutan hujan tropika kedalam 4 lapisan, yaitu: lapisan

semak, lapisan bawah, lapisan tengah dan lapisan atas.

2.3.2. Sumber Pakan dan Aktivitas Makan

Pakan dan tingkah laku makan primata merupakan salah satu dasar untuk

mendeterminasi organisasi sosial primata dan tingkah laku lainnya (Chivers, 1972

dalam Muskita 1988). Potensi pakan yang terdapat pada suatu tempat sangat menentukan pertumbuhan suatu populasi yang erat hubungannya dengan keadaan

habitat, keragaman jenis tumbuhan yang membangun habitat tersebut sebagai

faktor lingkungan biotiknya (Gaulen et al. 1980, dalam Mustika 1988). Napier dan Napier (1985) menyatakan bahwa hampir kebanyakan jenis primata adalah

omnivora. Monyet yang hidup secara arboreal di daerah Afrika, Asia dan Amerika

selatan biasa memakan buah-buahan dan dedaunan dan kadang memangsa

serangga, burung, telur, katak pohon, tempoyak dan getah tumbuh-tumbuhan.

Monyet cenderung untuk memilih jenis makanannya dan tidak tergantung pada

beberapa jenis makanan saja.

Tobing (1995) menyatakan bahwa jenis makanan yang paling banyak

dikonsumsi oleh kebanyakan primata adalah tumbuhan, yaitu bagian daun dan

buah. Akan tetapi bagian tumbuhan lainnya seperti tangkai daun, batang maupun

bunga serta umbut juga biasa dimakan dengan proporsi yang berbeda-beda untuk

tiap jenis primata. Menurut Supriatna et al. (1988), monyet Sulawesi biasa memakan buah-buahan, daun-daunan, bunga, serangga, telur, terutama telur

burung dan vertebrata kecil. Salah satu jenis pohon yang biasa menjadi pakan

monyet adalah jenis Ficus sp. Kerapatan jenis pohon tersebut serta kerapatan pohon pakan lainnya pada daerah jelajah primata sangat berpengaruh terhadap

jumlah anggota kelompok dan kerapatan populasi (Gaulen et al. 1980 dalam

(22)

ada hubungannya dengan selalu tersediannya buah dalam jumlah besar dan

mengandung zat-zat yang diperlukan oleh hewan tersebut.

2.4. Perilaku dan Struktur Sosial

2.4.1. Perilaku Sosial

Soeratmo (1979) dalam Alita (1993), meyatakan bahwa tingkah laku binatang atau animal behaviour dapat diartikan sebagai ekspresi suatu binatang yang disebabkan (ditimbulkan) oleh semua faktor yang mempengaruhinya.

Wheatley (1976) dalam Alita (1993), membagi tipe aktivitas menjadi beberapa macam, yaitu:

1. Makan: Aktivitas makan meliputi memungut makanan dan prosesnya,

termasuk mulai dari mengumpulkan makanan pada pohon yang dilakukan

pada pohon yang sama. Aktivitas makan dibatasi ketika satwa berhenti makan

atau meninggalkan pohon; kejadian ini dihitung sebagai satu unit aktivitas

makan.

2. Penjelajahan: Merupakan pergerakan di antara sumber makanan, biasanya

antar pohon.

3. Istirahat: Aktivitas diam di atas pohon atau tanah dan kadang-kadang terdapat

perilaku grooming.

4. Berkelahi: Aktivitas yang ditandai dengan ancaman mimik muka atau gerakan

badan, menyerang dan memburu serta biasa terjadi baku hantam.

5. Grooming: Aktivitas mencari kotoran atau ekto-parasit dari tubuh sendiri atau tubuh individu lainnya.

6. Kawin: Hubungan seksual yang dimulai dari pengejaran terhadap betina dan

diakhiri dengan turunnya jantan dari betina setelah terjadi kopulasi.

7. Bermain: Aktivitas latihan baku hantam terhadap individu lain, terjadi biasa

pada kelas umur anak-anak (juvenil).

Pada bangsa primata, perilaku yang terjadi pada tiap-tiap individu

merupakan hasil proses belajar, dan perilaku yang bersifat naluriah lebih jarang

(23)

hewan-hewan tingkat tinggi dibandingkan pada hewan-hewan tingkat rendah

(Tobing, 1995).

2.4.2. Struktur Sosial

Tobing (1995) menyatakan bahwa primata merupakan hewan yang hidup

dalam sistem sosial tertentu, sehingga anggota-anggota kelompok saling memberi

perhatian satu sama lain. Keadaan yang pertama kali dirasakan oleh primata muda

dalam hidupnya adalah sistem sosial, baik dalam hal makanan, grooming, ataupun perlindungan dan pengasuhan oleh induk sepanjang hari, yang merupakan

kebutuhan pokok bagi individu yang baru dilahirkan.

Pengasuhan anak yang baru lahir atau individu muda lainnya pada primata,

tidak hanya dilakukan oleh induk betina tetapi juga oleh induk jantan atau

individu yang merupakan anggota kelompok (Napier dan Napier, 1985). Oleh

karena itu spesies-spesies primata memiliki perilaku yang sangat terkait dengan

sifat sosial terutama terhadap anggota kelompoknya.

Teori Carpenter (1971) dalam Alita (1993) menyatakan tentang struktur sosial primata dapat disimpulkan sebagai berikut:

a. Kelompok primata cenderung memiliki home range yang terpisah (exclusive home range).

b. Rata-rata ukuran kelompok cenderung menjadi ciri khusus dari spesies

primata. Komposisi kelompok yang menekankan pada proporsi dari jenis

kelamin dan kelas umur, cenderung relatif tidak berubah, tergantung pada

ukuran kelompok.

c. Hampir pada semua spesies dimana betina dewasa lebih banyak dari jantan

dewasa dalam satu kelompok.

Fungsi jantan dewasa, sendiri atau dalam kumpulan dengan jantan lain

adalah sebagai berikut:

a. Menjaga jarak dengan kelompok tetangganya dari spesies yang sama.

b. Mengurangi adanya kompetisi dalam kelompok dengan mengusir keluar

jantan-jantan muda.

(24)

Untuk setiap jenis monyet Sulawesi, jumlah individu yang menyusun

sebuah kelompok pada habitat alami cenderung stabil. Pada daerah-daerah yang

dekat dengan perkebunan dan perladangan penduduk, jumlah anggota kelompok

akan membesar. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya pakan yang berlebihan dari

perkebunan atau perladangan penduduk (Supriatna et al. 1988).

Monyet Sulawesi biasa hidup berkelompok dengan jumlah anggota

kelompok berkisar antara 10 sampai dengan 40 monyet atau lebih, tergantung dari

tipe habitatnya. Jumlah anak dibandingkan dengan jumlah betina dewasa pada

kelompok yang tidak terganggu habitatnya tidak kurang dari 1:4. Sering kali ada

kelompok yang tidak memiliki bayi ataupun anak yang mungkin disebabkan oleh

terganggunya kelompok oleh adanya kebakaran hutan dan kekeringan ataupun

oleh karena adanya perburuan dan peracunan (Supriatna et al. 1988).

2.5. Hirarki dan Status Sosial Individu

Chalmers (1980) dalam Alita (1993) mengemukakan bahwa satwa yang mempunyai hirarki paling atas biasanya seekor jantan dewasa yang biasa disebut

sebagai alpha male. Secara umum kekuasaan satwa dalam kelompok ditentukan oleh peringkatnya. Peringkat tertinggi dari satwa tersebut juga sebagai satwa

dominan dan peringkat paling bawah disebut sebagai satwa kalah. Indikator untuk

yang menang, biasanya memiliki ciri-ciri seperti memegang telinganya dan

membuka mulutnya selama pengancaman. Indikator kekalahan, dicirikan oleh

adanya grimace, yaitu aktivitas menyeringai sambil gemeretak gigi serta mimik muka yang lebih komplek.

Komposisi kelompok yang ada di dalam populasi monyet terdiri atas 4

kelas umur individu. Muhtar (1982) dalam Alita (1993) menyatakan bahwa ke- empat kelas umur tersebut adalah:

a. Dewasa (Adult): terdiri dari jantan dan betina dewasa. Jantan dewasa (JD) memiliki ukuran paling besar dengan scrotum terlihat jelas. Betina dewasa (BD) tubuhnya lebih kecil dari jantan dewasa dengan puting susu yang terlihat

(25)

Gambar 1. Individu Betina Dewasa M.o. brunnescens (Opwall, 2004)

Gambar 2. Individu Jantan Dewasa M.o. brunnescens (Opwall, 2004)

b. Muda (Sub-Adult): merupakan monyet hampir dewasa yang sudah dapat berdiri sendiri dalam kelompoknya. Ukuran tubuhnya hampir sama dengan

monyet dewasa tapi dapat dibedakan dari kelakuannya, yaitu monyet tersebut

masih dalam tahap belajar dalam melakukan aktivitas kawin dan lebih banyak

(26)

Gambar 3. Individu Muda M.o. brunnescens (Opwall, 2004)

c. Remaja (Juvenil): monyet muda yang sudah dapat berdiri sendiri pada waktu makan, tetapi kalau tidur dekat dengan induknya dan masih suka bermain.

Ukuran tubuh lebih kecil dari sub-adult.

Gambar 4. Individu Remaja M.o. brunnescens (Opwall, 2004)

(27)

2.6. Daerah Jelajah dan Teritori

Daerah jelajah (Home range), merupakan daerah tempat tinggal suatu jenis satwa yang tidak dipertahankan oleh satwa tersebut terhadap masuknya satwa lain

yang sama spesiesnya ke dalam daerahnya (Suratmo 1979 dalam Syarifuddin 1991). Menurut Bismark (1982) dalam Syarifuddin (1991), kelompok Macaca sp

dalam jumlah individu yang besar akan memerlukan jumlah makanan yang lebih

besar. Untuk itu mereka akan berjalan lebih jauh pada home range yang luas Daerah jelajah Macaca sp tergantung dari karakteristik tingkah lakunya dan sifat fisik habitat (Moen 1973 dalam Syarifuddin 1991). Batasan home range

menurut Chalmers (1980) dalam Syarifuddin (1991) adalah suatu daerah dimana satwa biasanya mengadakan perjalanan dalam melaksanakan aktivitas rutinnya,

dan daerah jelajah bisa mengalami perubahan luasan menurut musim. Napier dan

Napier (1985) menyatakan bahwa daerah jelajah kelompok Macaca sp adalah total dari luas pengembaraannya setiap tahun dan berdasarkan pada

sumber-sumber pakan yang penting.

Kelompok monyet Sulawesi setiap hari melakukan aktivitasnya didalam

suatu daerah tertentu, yang disebut daerah jelajah. Besar daerah jelajah tergantung

pada jumlah anggota didalam kelompok, tipe habitat, penyebaran, pakan, dan

iklim. Pada kelompok monyet dengan jumlah anggota besar akan mempunyai

daerah jelajah yang cenderung lebih luas. Begitupun dengan jumlah pakan yang

tersedia, makin langka jumlah pakan yang tersedia maka akan makin luas pula

daerah jelajahnya. Pada habitat yang terganggu daerah jelajah akan bervariasi

sesuai dengan iklim (Supriatna et al. 1988).

Watanabe dan Brotoisworo (1982), mengatakan bahwa jenis monyet yang

termasuk dalam marga Macaca, biasanya mempunyai daerah jelajah yang relatif sama. Setiap kelompok telah mempunyai rute tertentu yang rutin dilewati setiap

hari. Supriatna et al. (1988) mengatakan bahwa kegiatan harian kelompok monyet dilakukan mulai dari pagi hingga sore hari, yang selalu dipimpin oleh jantan

dewasa dengan menggunakan suaranya.

Setiap kelompok monyet mempunyai tempat tidur tertentu, biasanya pada

pohon tinggi dengan percabangan yang agak mendatar, yang memungkinkan

(28)

banyak dipilih untuk tempat tidur. Selain ketinggian pohon, faktor lain yang

menentukan sebagai syarat pohon tidur adalah kelebatan daun, arsitektur,

elastisitas cabang dan ranting, kemiringan pohon dan keadaan di lingkungan

pohon tidur tersebut.

2.7. Penginderaan Jauh

2.7. 1. Pengertian dan Sejarah Penginderaan Jauh

Menurut Lo (1995), penginderaan jauh merupakan suatu tekhnik untuk

mengumpulkan informasi mengenai obyek dan lingkungannya dari jarak jauh

tanpa sentuhan fisik. Manual of Remote Sensing (1983) dalam Hastuti (1998), menyatakan pengertian penginderaan jauh yang digunakan sampai saat in adalah

sebagai ilmu dan seni pengukuran atau mendapatkan informasi suatu obyek atau

fenomena suatu alat perekam dari suatu kejauhan, dimana pengukuran dilakukan

tanpa melakukan kontak secara fisik dengan obyek atau fenomena yang diukur

atau diamati.

Teknologi penginderaan jauh pertama kali dikenal pada abad XIX yang

dimulai dari pembuatan potret udara bentang alam (lanskap) pertama tahun 1838.

Perkembangan penginderaan jauh selanjutnya adalah pembuatan potret udara

hutan dari balon udara pada tahun 1887 dan dari atas pesawat udara tahun 1919

(Hastuti, 1998). Perkembangan selanjutnya teknologi penginderaan jauh mulai

menerapkan sistem satelit sebagai wahananya dan secara efektif dimulai pada

tahun 1972, yaitu sejak diluncurkannya Teknologi Satelit Sumberdaya Bumi

Amerika Serikat (Earth Resource Technological Satellite/ERTS-1). Menurut Lillesand dan Kiefer (1990), satelit tersebut dikenal dengan sebutan Landsat,

yang memuat sensor MSS (Multi Spectral Scanner).

2.7. 2. Teknologi Penginderaan Jauh

Menurut Paine (1993), pengertian yang lebih tepat tentang penginderaan

jauh adalah teknik yang digunakan untuk perekaman dan evolusi deteksi energi

elektromagnetik, yang dipantulkan atau dipancarkan sebuah obyek pada suatu

jarak yang jauh tanpa sentuhan fisik. Lillesand dan Kiefer (1990) menyebutkan

(29)

pengumpulan data dan proses analisis. Dalam pengumpulan data, alat

penginderaan jauh dapat memperoleh data baik dengan cara-cara fotografis

maupun elektronis. Sensor-sensor fotografis memanfaatkan reaksi kimia pada

lapiasan emulsi film untuk mendeteksi, menyimpan dan memperagakan

veriasi-variasi energi di dalam suatu pemandangan. Sensor elektronik akan menimbulkan

pulsa-pulsa listrik yang sesuai dengan variasi energi dalam suatu pemandangan.

Pulsa listrik ini biasa disimpan pada pita komputer magnetik di mana pulsa listrik

tersebut dirubah menjadi gambar digital (Paine, 1993).

Tabel 2. Aplikasi dan Saluran Spektral (Band) Thematic Mapper (Lo, 1995)

Saluran

1 0,45 – 0,52 Dirancang untuk penetrasi tubuh air, sehingga bermanfaat untuk

pemetaan perairan pantai. Berguna juga untuk membedakan antara tanah dengan vegetasi, tumbuhan berdaun lebar dan berdaun jarum.

2 0,52 – 0,60 Dirancang untuk mengukur puncak pantulan hijau saluran

tampak bagi vegetasi guna penilaian ketahanan.

3 0,63 – 0,69 Saluran absorpsi klorofil yang penting untuk diskriminasi

vegetasi

4 0,76 – 0,90 Bermanfaat untuk menentukan kandungan biomassa dan untuk

delineasi tubuh air.

5 1,55 – 1,75 Menunjukan kandungan kelembaban vegetasi dan kelembaban

tanah, dan bermanfaat untuk membedakan salju dan awan.

6 2,08 – 2,35 Saluran inframerah termal yang penggunaannya untuk

perekaman vegetasi, diskriminasi kelembaban tanah dan pemetaan termal.

7 10,45 – 12,50 Saluran yang diseleksi karena potensinya untuk membedakan

tipe batuan dan untuk pemetaan hidrotermal.

2.7. 3. Analisis Digital Data Landsat

Sejumlah informasi dapat diperoleh dari data landsat dalam format salinan

kertas (fotografik), volume data landsat yang melimpah dan berbentuk digital

menjadikan data tersebut lebih cocok dianalisis dengan bantuan komputer

(Lillesand dan Kiefer, 1990). Menurut Townshend (1992) dalam Kusumaningtyas (1998), analisis digital dilakukan terhadap setiap pixel dan melalui cara ini

informasi yang diperoleh akan menjadi lebih banyak karena dapat

(30)

Lillesand dan Kiefer (1990) menyatakan penganalisaan data landsat

dengan menggunakan komputer dapat dikelompokan sebagai berikut:

1. Pemulihan Citra (Image Restoration), tujuan dari pemulihan citra ini adalah untuk memperbaiki data citra yang mengalami distorsi ke arah gambaran yang

lebih sesuai dengan gambar aslinya. Kegiatan pemulihan citra ini meliputi

pengkoreksian berbagai distorsi radiometrik dan geometrik yang mungkin ada

pada data citra asli.

2. Penajaman Citra (Image Enhancement), proses penajaman citra dilakukan untuk menguatkan tampilan kontras antar obyek pada sebuah citra. Pada

berbagai terapan, langkah ini dapat meningkatkan jumlah informasi yang

dapat diinterpretasi secara visual dari data citra.

3. Klasifikasi Citra (Image classification).

Teknik kuantitatif dapat diterapkan untuk interpretasi secara otomatik data

citra digital. Tiap pengamatan pixel (picture element) di evaluasi dan ditetapkan pada suatu kelompok informasi. Jaya (1996) dalam Hastuti (1998), mengatakan bahwa klasifikasi dapat diartikan sebagai suatu proses pengelompokan pixel-pixel

kedalam kelas-kelas atau kategori-kategori yang telah ditentukan berdasarkan

nilai kecerahan/brightness value (bv) atau digital number (DN) dari pixel yang bersangkutan. Berdasarkan tekhniknya, klasifikasi dapat dibedakan kedalam

klasifikasi manual dan klasifikasi kuantitatif. Pada klasifikasi manual,

pengelompokan pixel kedalam suatu kelas yang telah ditetapkan dilakukan oleh

seorang interpreter secara manual berdasarkan nilai kecerahan (bv), dan contoh

yang diambil disebut sebagai area contoh.

Klasifikasi citra menurut Lillesand dan Kiefer (1990) dibagi kedalam dua

pendekatan, yaitu klasifikasi terbimbing (supervised classification) dan klasifikasi tak terbimbing (unsupervised classification). Pada klasifikasi terbimbing proses pengklasifikasian dilakukan dengan prosedur pengenalan pola spektral dengan

memilih kelompok atau kelas-kelas informasi yang diinginkan dan selanjutnya

memilih contoh-contoh kelas (training area) yang mewakili setiap kelompok. Kemudian dilakukan perhitungan statistik terhadap contoh-contoh kelas yang

(31)

Pada klasifikasi tak terbimbing, proses pengklasifikasian dimulai dengan

pemerikasaan seluruh pixel dan membagi kedalam kelas-kelas berdasarkan pada pengelompokan nilai-nilai citra seperti apa adanya. Hasil dari pengklasifikasian

ini disebut kelas spektral, yang kemudian akan dibandingkan dengan

kelas-kelas data referensi untuk menentukan identitas dari nilai informasi kelas-kelas spektral

tersebut.

2. 8. Sistem Informasi Geografis (SIG)

Prahasta (2001) menjelaskan bahwa sejak pertengahan tahun 1970, telah

dikembangkan sistem-sistem khusus yang dibuat untuk menangani masalah

informasi yang bereferensi geografis dengan berbagai cara dan bentuk. Sebutan

umum untuk sistem yang menangani masalah tersebut adalah sistem informasi

geografis (SIG). Dalam beberapa literatur SIG dipandang sebagai hasil dari

perpaduan antara sistem komputer untuk bidang kartografi (CAC) atau sistem

komputer untuk bidang perencanaan (CAD), dengan tekhnologi basis data

(database). Permasalahan tersebut meliputi: (1)Pengorganisasian data dan

informasi, (2) Menempatkan informai pada tempat tertentu, (3) Melakukan

komputasi, dengan memberikan ilustrasi keterhubungan satu sama lainnya,

beserta analisa-analisa spasial lainnya.

Secara garis besar pengertian dari SIG yang telah beredar di berbagai

pustaka, antara lain merupakan sistem informasi yang dirancang untuk bekerja

dengan data yang tererferensi secara spaial atau koordinat-koordinat geografi.

Dengan kata lain SIG merupakan sistem basis data dengan

kemampuan-kemampuan khusus untuk data yang tereferensi secara geografi, berikut

sekumpulan operasi-operasi yang mengelola data tersebut (Foote, 1995 dalam

(32)

III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

3.1. Sejarah Kawasan

Kawasan hutan Lambusango seluas 28.510 ha yang terletak di Kabupaten

Dati II Buton diperuntukkan sebagai kawasan hutan dengan fungsi suaka alam

berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang telah disahkan oleh

Menteri Pertanian pada tanggal 1 September 1982 dengan SK Nomor

639/Kpts/9/Um/1982.

Secara geografis kawasan ini terletak diantara 05°13'-05°24' LS dan

122°47'-122°56' BT. Secara administrasi pemerintahan, kawasan hutan

Lambusango termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Kapontori, Lasalimu dan

Pasarwajo sedangkan secara administratif kehutanan termasuk wilayah RPH

Pasarwajo (BKPH Buton Barat), RPH Lasalimu dan RPH Kapontori (BKPH

Buton Timur), KPH Buton.

Status kawasan hutan Lambusango masih belum ditetapkan secara pasti

(definitif). Permasalahan yang terjadi di kawasan Lambusango ini diantaranya

adalah belum adanya fasilitas pengelolaan, perburuan, penebangan liar, dan

pemungutan hasil hutan bukan kayu, antara lain pengambilan rotan dan madu

hutan.

Beberapa kegiatan yang ditujukan untuk pengelolaan kawasan telah

dilaksanakan oleh Departemen Kehutanan ataupun Pemerintah Daerah, antara lain

penetapan tata batas oleh Sub. BIPHUT Kendari, serta pembinaan daerah

penyangga di desa Lambusango oleh Sub Balai KSDA Sulawesi Tenggara, berupa

pemberian bibit mangga dan jeruk kepada masyarakat Desa Lambusango pada

tahun 1997. Desa-desa yang berbatasan langsung dengan kawasan adalah desa

Barangka, Wakalambe, Lambusango, Wakangka, Lawele dan Kapontori, dengan

mata pencaharian penduduknya sebagai petani/kebun, nelayan, dan pedagang.

3.2. Ketinggian Tempat

Suaka Margasatwa Lambusango (SM Lambusango) secara umum terletak

pada ketinggian 5 - 700 m (dpl), dengan topografi datar hingga berbukit. Kelas

(33)

daratan berkisar antara 5 hingga 30% dengan jenis tanah dominan mediteranian.

Tipe iklim D menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson, dengan curah hujan

rata-rata tahunan 1.980 mm. Bulan-bulan terkering adalah Agustus, September,

Oktober, dan Nopember. Suhu udara tahunan berkisar antara 20° hingga 34° C

dengan kelembaban relatif tahunan sebesar 80%.

Tabel 3. Ketinggian Lokasi Stasiun Penelitian (Opwall, 2004)

No Stasiun Penelitian Selang Ketinggian Tempat (m dpl)

1

Potensi flora dan fauna hutan Lambusango cukup tinggi. Jenis-jenis

tumbuhan yang ditemukan di dalam kawasan antara lain kayu besi (Metrocideros petiolata), kuma (Palaquium obovatum), wola (Vitex copassus), bayan (Intsia bijuga), cendana (Santalum album), bangkali (Anthocephallus macrophyllus), kayu angin (Casuarina rumpiana), sengon (Paraserianthes falcataria), dan rotan (Calamus spp.). Satwaliar yang menempati habitat di dalam kawasan antara lain anoa (Bubalus depresicornis), monyet buton (Macaca ochreata brunescens), rusa (Cervus timorensis), kus-kus (Phalanger ursinus), sapi liar (Bos sp), biawak (Varanus salvator), merpati hutan putih dan abu-abu, musang tenggarong (Vivera tangalunga), serindit Sulawesi, dan lain-lain.

3.4. Aksesibilitas

Untuk mencapai SM Lambusango dapat ditempuh melalui jalan darat dari

Bau-Bau sampai Lambusango dengan jarak ± 30 km, waktu tempuh ± 1 jam.

Kondisi jalan beraspal. Akses lanilla dapat melalui laut dari pelabuhan Bau-Bau

menuju lokasi dengan speed boat atau perahu dalam waktu 2 jam. Penginapan terdekat berada di Bau-Bau. Izin masuk kawasan dapat diperoleh di kantor Sub

Seksi KSDA Buton di Bau-Bau, atau Sub Balai KSDA Sulawesi Tenggara di

(34)

IV. METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di kawasan hutan Lambusango, Kabupaten Buton,

Sulawesi Tenggara. Pengambilan data dilakukan dari mulai tanggal 29 Juni 2005

sampai dengan 7 September 2005.

4. 2. Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: peta kawasan,

kompas brunton, teropong binokuler, pita meteran, stop watch, tambang plastik,

kamera foto, GPS (Global Positioning System), dan tally sheet. Bahan yang digunakan adalah Citra landsat 7 ETM+ (Band 5,4,3; Path 112, Row 064) tahun

2004. Perangkat lunak untuk mengolah peta adalah ERDAS Imagine 8.5 dan

ArcView GIS 3.2.

4. 3. Jenis Data yang Dikumpulkan

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan

data sekunder. Data primer diperoleh dari pengamatan secara langsung di

lapangan, sedangkan data sekunder diperoleh dari studi pustaka dan wawancara

dengan berbagai pihak terkait. Data primer meliputi ukuran/jumlah populasi dan

kepadatan populasi individu maupun kelompok). Sedangkan data sekunder

meliputi data mengenai bio-ekologi M.o. brunnescens, kondisi umum habitat dan data mengenai karakteristik habitat (ketinggian tiap stasiun penelitian, kondisi

penutupan lahan dan data vegetasi).

4.4. Metode Pengumpulan Data

4.4.1. Data Primer

4.4.1.1. Penutupan Lahan

Pengambilan titik koordinat dilakukan di titik-titik transek setiap stasiun

penelitian. Areal penelitian dibagi menjadi empat tipe penutupan lahan, yaitu:

hutan primer tidak terganggu, hutan primer terganggu, hutan sekunder tidak

(35)

Pembagian hutan menjadi empat kategori tersebut bertujuan untuk

mengetahui kondisi populasi M.o. brunnescens pada areal hutan yang relatif masih asli (hutan primer) dan membandingkannya dengan tipe hutan bekas

kegiatan perladangan penduduk (hutan sekunder). Pengelompokan tipe penutupan lahan ke dalam ada atau tidak adanya gangguan manusia yang berupa kegiatan

pengambilan rotan bertujuan untuk mengetahui ada atau tidak adanya pengaruh

pengambilan rotan terhadap kondisi populasi M.o. brunnescens di alam. Klasifikasi lahan dilakukan dengan menggunakan metode interpretasi tak

terbimbing (unsupervised classification), dengan menggunakan citra Landsat ETM+ tahun 2004 dan mengacu pada peta penutupan lahan kabupaten Buton hasil

klasifikasi citra oleh Carlisle (2003) dalam Opwall (2004).

Pemetaan penutupan lahan (land cover) merupakan suatu upaya untuk menyajikan informasi tentang pola penggunaan lahan atau tutupan lahan di suatu

wilayah secara spasial. Informasi mengenai penutupan lahan pada penelitian ini

diperoleh dengan melakukan penafsiran citra Landsat ETM+ tahun 2004.

Klasifikasi penutupan lahan di wilayah penelitian dikelompokkan menjadi enam

kelas yaitu hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, areal bukan hutan, awan

dan bayangan awan.

Pengolahan citra merupakan suatu cara untuk memperoleh data mengenai

penutupan lahan yang dilakukan dengan menggunakan software ERDAS Imagine

8.5. Skema proses pengolahan citra untuk memperoleh peta penutupan lahan

(36)

Gambar 5. Proses pengolahan Citra Landsat

4.4.1.2. Inventarisasi Satwa

Inventarisasi satwa dilakukan dengan menggunakan metode transek garis

(line transect) yang tersedia pada setiap lokasi stasiun penelitian. Tiap stasiun penelitian (Camp), memiliki 4 jalur pengamatan. Penarikan contoh pada lokasi penelitian dilakukan secara acak berlapis (stratified random sampling) dengan alokasi proporsional. Panjang jalur transek + 3000 m. Untuk menghindari double counting, maka dibuat jarak antar jalur sebesar 1000 m (Gambar 6).

Pengamatan dilakukan dengan berjalan pada kecepatan yang konstan di

setiap jalur transek, dan berhenti pada setiap tipe perjumpaan untuk

mengidentifikasi populasi. Pengamatan dilakukan sekali ulangan, yaitu pada pagi

hari (pukul 07.00–12.00). Pengambilan titik koordinat transek dan satwa

dilakukan pada saat perjalanan pulang menuju starting point.

Peta batas Kabupaten Buton Koreksi Geometri

Citra Landsat ETM Tahun 2004

Citra terkoreksi

Peta digital ( jalan dan sungai)

Subset image

Klasifikasi citra tak terbimbing (Unsupervised Classification)

overlay

Citra lokasi penelitian

Citra hasil klasifikasi

(37)

Gambar 6. Inventarisasi Satwa Menggunakan Metode Transek Garis

Keterangan : x = posisi pengamat * = satwaliar

α = sudut antara posisi pengamat dengan satwa. r = jarak antara satwa dan pengamat.

Areal pengamatan dibagi ke dalam 4 tipe penutupan hutan, yaitu hutan

primer tidak terganggu (Camp La Solo dan Wabalamba), hutan primer terganggu (Camp Balanophora), hutan sekunder tidak terganggu (Camp Anoa) dan hutan sekunder terganggu (Camp Wahalaka dan Lapago). Luas keseluruhan areal Hutan Lambusango adalah 65.000 ha atau 650 km2, akan tetapi wilayah hutan yang

diteliti hanya sekitar 28.510 ha, atau 285,1 km2. Penelitian ini menggunakan

intensitas sampling sebesar 11,4%. Jalur transek dibuat sebanyak 24 jalur dengan

panjang rata-rata 3 km (Gambar 7).

Data yang dicatat dalam pengamatan ini meliputi sudut kontak pengamat

dengan satwa, jarak pengamat dengan satwa, jumlah individu, dan posisi satwa

sesuai dengan GPS. Satwa yang dicatat hanya merupakan satwa yang berada di

dalam jalur pengamatan.

4.4.2. Data Sekunder

Data sekunder dikumpulkan melalui studi literatur. Data sekunder

merupakan data pendukung yang sangat penting dan dikumpulkan dari berbagai

sumber antara lain dokumentasi Suaka Margasatwa Lambusango, buku teks,

jurnal, dan sumber lainnya.

X Arah jalur

d r

α α

α

r d

r

α

(38)
(39)

4.5. Analisis Data

4.5.1. Pola Sebaran Spasial Vertikal

Untuk menentukan strata penggunaan ketinggian pohon oleh satwa yang

diamati, dilakukan dengan menentukan rata-rata pemanfaatan tiap strata

ketinggian oleh satwa yang dijumpai pada jalur transek, pada setiap tipe

penutupan lahan yang diamati. Rata-rata ketinggian dihitung pada dua waktu

pengamatan yaitu pengamatan yang masuk ke dalam kategori pagi hari, yaitu

pukul 07.00–09.00 dan pengamatan yang masuk ke dalam kategori siang hari,

pukul 09.01–12.00. Setelah diketahui nilai rata-rata ketinggian pemakaian strata

tajuk oleh satwa, dilakukan analisis deskriptif mengenai strata mana yang paling

disukai satwa untuk melakukan aktivitas hariannya.

Uji beda dengan metode klasifikasi dua arah digunakan untuk menguji ada

tidaknya pengaruh perbedaan tipe hutan dan waktu pengamatan terhadap pola

penggunaan ketinggian pohon. Kriteria uji yang digunakan adalah jika Fhitung > F

tabel, maka tolak Ho’, sedangkan jika Fhitung < F tabel, maka terima Ho.

4.5.2. Perjumpaan Satwa

Analisis terhadap perjumpaan satwa (sighting rates) dilakukan untuk mengetahui pengaruh perbedaan waktu pengamatan (pagi dan siang hari) dan

pengaruh perbedaan tipe penutupan lahan hutan, terhadap angka perjumpaan

satwa pada tiap jalur yang diamati. Dari hasil analisis tersebut selanjutnya

dilakukan pengujian hipotesis terhadap faktor yang mempengaruhi jumlah

perjumpaan satwa baik waktu pengamatan maupun tipe penutupan lahan yang

menjadi habitat satwa tersebut.

Uji beda dengan metode klasifikasi dua arah digunakan untuk menguji ada

tidaknya pengaruh perbedaan tipe hutan dan waktu pengamatan terhadap jumlah

perjumpaan satwa (sighting rates). Kriteria uji yang digunakan adalah jika Fhitung > F tabel, maka tolak Ho, sedangkan jika Fhitung < F tabel, maka terima Ho.

(40)

Perhitungan parameter demografi M.o. brunnescens dilakukan pada ke-empat tipe penutupan lahan yag ada. Masing-masing tipe penutupan lahan terdiri

atas satu sampai dengan 2 areal hutan yang diteliti (stasiun penelitian). Tiap

stasiun penelitian terdiri atas empat jalur transek, sehingga total jalur transek yang

dihitung adalah sebanyak 24 jalur. Luas masing-masing stasiun penelitian yang

ditentukan dengan menjumlah luas tiap jalur yang ada.

4.5.3.1. Ukuran dan Kepadatan Populasi

Data yang diperoleh dari hasil pengamatan selanjutnya dihitung ukuran

dan kepadatan populasinya. Data yang digunakan untuk menghitung pendugaan

ukuran kepadatan populasi adalah data yang diperoleh dari perjumpaan langsung

dengan satwa. Terlebih dahulu dihitung dugaan ukuran dan kepadatan populasi

untuk masing-masing areal hutan yang ada dengan menggunakan metode

Distance. Tahapannya adalah sebagai berikut:

Intensitas Sampling (f)

f = luas jalur yang diamati luas areal pengamatan

Nilai Kepadatan Per Stasiun Penelitian (dhi/km2)

Dhi max = Jumlah Individu ditemukan tiap Camp Minimum Area Survey (MAS)

dimana, MAS = Panjang Transek x ( 2 x lebar minimum pengamatan)

Dhi min = Jumlah Individu ditemukan tiap Camp Maksimum Area Survey (MxAS)

dimana, MxAS = Panjang transek x ( 2x lebar maksimum pengamatan)

___

(41)

Ukuran dan kepadatan kelompok ditentukan dengan menganalisis data

primer hasil pengamatan dalam 24 jalur transek yang diamati. Ukuran dan

kepadatan kelompok juga dapat ditentukan dengan menganalisa data hasil

pengamatan habituasi terhadap satu kelompok M.o. brunnescens yang diamati secara intensif selama 2 hari. Untuk mengetahui ukuran kelompok monyet dari

hasil pengamatan dalam jalur transek, data diperoleh dengan cara membagi

jumlah seluruh individu yang ditemukan selama pengamatan dengan jumlah

perjumpaan (sighting rates).

4.5.3.3. Seks Rasio dan Struktur Umur

Pendugaan seks rasio dan struktur umur satwa dilakukan hanya pada

individu jantan dan individu betina dewasa dari hasil pengamatan habituasi,

dengan alasan sulitnya menentukan jenis kelamin satwa dalam jalur transek.

Untuk menghitung dugaan seks rasio, dilakukan penghitungan sebagai berikut:

Dugaan Seks Rasio

S = Jumlah individu Jantan Dewasa Hasil Pengamatan Habituasi Jumlah individu Betina Dewasa Hasil Pengamatan Habituasi

Struktur umur ditentukan dengan mengidentifikasi jumlah individu yang

tergolong kedalam kelompok kelas umur bayi (new born), anak (juvenile), muda (sub-adult), dan dewasa (adult), dari satu kelompok satwa yang diamati selama dua hari pengamatan, dari mulai pagi (05.30) sampai sore hari (18.00).

4.5.3.4. Analisis Pola Sebaran Spasial

Pola sebaran spasial suatu komunitas ekologi dapat ditentukan dengan

berbagai macam indeks penyebaran (dispersion index), yaitu: indeks dispersi (ID), indeks Agregatif (IC), dan Indeks Greens (GI). Dalam analisis ini, indeks yang

(42)

x S ID

2

=

Keterangan: S2 = keragaman contoh x = rata-rata contoh.

Pola penyebaran spasial diketahui dengan menggunakan uji Chi-Square.

Uji Chi-Square yang digunakan untuk N<30, adalah persamaan λ2 = ID (N-1),

dimana N adalah jumlah kontak dengan satwa. Kriteria uji yang digunakan

adalah:

1. Jika λ2 < λ20.975, maka pola sebaran yang terjadi adalah seragam.

2. Jika λ20.975 ≤λ2 ≤λ20.025, maka pola sebaran yang terjadi adalah acak.

3. Jika λ2 > λ20.025, maka pola sebaran yang terjadi adalah kelompok.

(43)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Kondisi Penutupan Lahan

Areal lokasi penelitian merupakan areal hutan yang masuk ke dalam

kelompok hutan Lambusango dengan luas keseluruhan + 65.000 ha, yang

merupakan tipe hutan hujan dataran rendah (lowland evergreen rainforest) dan terletak di Kabupaten Buton. Areal hutan Lambusango terdiri atas beberapa status

hutan, yaitu Suaka Margasatwa (SM) Lambusango seluas 28.510 ha, Cagar Alam

(CA) Kakinauwe seluas + 810 ha, Hutan Lindung dan Hutan Produksi Terbatas

(HPT) seluas + 35.000 ha (Purwanto, 2005).

Dalam penelitian ini areal hutan diklasifikasikan menjadi delapan tipe

penutupan lahan, yaitu: hutan primer tidak terganggu, hutan primer terganggu,

hutan sekunder tidak terganggu, hutan sekunder terganggu, areal bukan hutan,

semak belukar, awan dan bayangan awan. Pada areal hutan primer, habitat

terancam oleh adanya kegiatan illegal logging terutama hutan sekitar Camp La Solo dan Wabalamba. Terdapat kurang lebih 3 titik illegal logging di sekitar hutan La Solo, dan kurang lebih 25 titik illegal logging pada areal sekitar hutan Wabalamba (BKSDA pers.comm, 2005). Pada areal hutan sekunder, habitat terganggu (terfragmentasi) oleh adanya kegiatan perladangan dan pengambilan

rotan oleh masyarakat sekitar hutan. Tipe hutan tersebut secara umum berbatasan

langsung dengan ladang penduduk sekitar hutan. Kondisi penutupan lahan

wilayah hutan Lambusango disajikan pada Gambar 9.

Dari hasil klasifikasi lahan dengan menggunakan metoda klasifikasi tak

terbimbing, diperoleh data luas areal lokasi penelitian sebagaimana disajikan pada

Tabel 4. Kawasan bukan hutan yang tampak dari hasil klasifikasi lahan,

merupakan areal perladangan penduduk dan pemukiman, sehingga tampak secara

umum lokasinya mengelilingi kawasan hutan Lambusango. Penafsiran citra ini

mengacu pada hasil klasifikasi citra kabupaten Buton oleh Carlisle (2003) dalam

Opwall (2004), dengan mencocokan wilayah dan warna spektral hasil klasifikasi

(44)

Tabel 4. Klasifikasi Penutupan Lahan di Hutan Lambusango

No Tipe Penutupan Lahan Luas (ha) Persentase (%)

1

Bila melihat data luas areal hutan Lambusango hasil klasifikasi citra

dengan data dari Departemen Kehutanan, mengenai total luas hutan Lambusango,

maka terdapat selisih perbedaan luas areal sebesar + 24.997 ha. Hal tersebut

disebabkan luas areal hasil klasifikasi citra tidak hanya meliputi areal hutan

Lambusango awal (Gambar 8), akan tetapi meliputi juga hutan-hutan sekitar

Lambusango, yang semula berstatus hutan produksi.

Gambar 8. Areal Hutan Lambusango pada Tahun 2004 (Opwall, 2004)

Dari Gambar 9, dapat dilihat bahwa tipe penutupan hutan primer tidak

terganggu ditunjukan dengan warna spektral hijau tua yang memiliki luas areal

sebesar 25.524,3 ha, dengan persentase luasan sebesar 29,35%. Areal hutan

primer terganggu ditunjukan dengan warna hijau muda, dengan luas areal 5737,9

ha. Awan dan bayangan awan dikelompokan kedalam tipe penutupan lahan tidak

(45)
(46)

5.2. Pola Sebaran Spasial Vertikal

Strata penggunaan ketinggian pohon merupakan suatu lokasi dimana pada

ketinggian tertentu (di atas permukaan tanah) satwa memilih untuk beraktivitas

pada saat terdeteksi dalam suatu pengamatan. M.o. brunnescens di lokasi hutan primer menempati ketinggian 18,8 m di atas pohon pada waktu pagi hari, kurang

lebih 3 meter lebih tinggi dibandingkan pada siang hari (Tabel 5). Hasil analisis

uji beda pada taraf nyata 0,05 memberikan kesimpulan hipotesis bahwa tidak

terdapat perbedaan dalam hal pola penggunaan ketinggian pohon oleh satwa yang

diakibatkan pengaruh perbedaan tipe klasifikasi hutan, dimana Fhit = 3,49 lebih

kecil dibandingkan F(0,05:3) = 9,28. Perbedaan waktu pengamatan juga tidak

berpengaruh terhadap pola penggunaan ketinggian pohon, dengan nilai Fhit =0,90,

lebih kecil dari F(0,05:1) = 10,13.

Perbedaan posisi ketinggian di atas pohon lebih disebabkan oleh urutan

pemanfaatan pakan oleh monyet yang cenderung mengambil pakan dari strata

paling bawah terlebih dahulu dan kemudian berangsur-angsur naik ke strata yang

lebih atas. Pada strata tajuk bawah dimana kerapatan tajuk dan dahan masih

rendah, banyak jenis burung pemakan biji seperti julang Sulawesi (Aceros cassidix) dan burung-burung lainnya ikut memanfaatkan pakan monyet secara bersama-sama. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya pengusiran burung oleh

monyet, dan mendorong monyet untuk naik ke lapisan pohon yang lebih tinggi.

Di areal tipe penutupan lahan hutan primer tidak terganggu, hutan

sekunder tidak terganggu dan hutan sekunder terganggu, M.o. brunnescens

cenderung memiliki posisi yang lebih tinggi pada pagi hari dibandingkan dengan

siang hari. Di tipe penutupan lahan hutan primer terganggu, posisi satwa pada

siang hari justru lebih tinggi dibandingan dengan waktu pagi hari (Tabel 5).

Oates (1987) dalam Supriatna et al. (1990), menyatakan bahwa pada komunitas hutan sekunder, seperti pada areal hutan bekas ladang dan hutan

dengan kegiatan pengambilan rotan, memiliki pohon-pohon yang tumbuh kurang

rapat dan sumber pakan yang dimilikinya tersebar. Pada komunitas hutan

sekunder jarang dijumpai adanya pohon pakan yang bermutu tinggi. Keadaan

demikian tentunya memaksa hewan-hewan tersebut untuk berjalan lebih jauh

Gambar

Tabel 1. Kepadatan Populasi dan Ukuran Kelompok M.o. brunnescens
Gambar 2. Individu  Jantan Dewasa M.o. brunnescens (Opwall, 2004)
Gambar 3. Individu Muda M.o. brunnescens (Opwall, 2004)
Tabel 2. Aplikasi dan Saluran Spektral (Band) Thematic Mapper (Lo, 1995)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Multikolonieritas dapat dilihat dari nilai Tolerance dan Variance Inflation Factor (VIF). Kedua ukuran ini menunjukkan setiap variabel bebas manakah yang dijelaskan

NPL yang tidak berpengaruh dikarenakan pada hasil pengolahan data didapatkan hasil bahwa sebanyak 80 data yang diolah sebesar 100 % dari data termasuk dalam kriteria sehat (

Sonra Anna oğlunun yoluna bakarak oturdu ve onun gelişini gözetlerken (oğlunun) babasına: 'Oğlunun gelişini ve kendisi ile giden adamı gör' dedi. Sonra Anna ileri

Seberapa besar pengaruh repressive kontrol (pengendalian setelah terjadi penyimpangan) dalam pengendalian bangunan oleh Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya terhadap efektivitas

poslije Krista od Rimljana te posljedično širenje Židova u četiri ugla zemlje iz Palestine (eng. Destruction of the Second Temple in 70 AD by the Romans and the consequent

The main problem is the effectiveness of using guessing game technique on student‟s vocabulary mastery at the seventh grade of Mts Nusantara Indramayu. This

Tjilik Riwut km.18 Warna Hitam Pekat Bongkahan pasir yang berasal dari penambangan jalan Tjilik Riwut km.18 , pada bagian berwarna hitam pekat memiliki 3 komponen terdiri dari

gk produksi Surabaya dan Sidoa{o lebih kecil dari toleransi The Extra Pharmacopoeia sedangkan kadar Hg dalam terasi tanpa merek produksi Surabaya dan Sidoarjo lebih besar