• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian dilaksanakan di pabrik percobaan dan Laboratorium Fisika Balai Penelitian Teknologi Karet Bogor dari bulan Juli hingga Desember 2006. Kegiatan penelitian diuraikan sebagai berikut.

1. Pembuatan Kompon Lateks

Kompon lateks adalah campuran antara lateks pekat dengan bahan-bahan kimia. Bahan-bahan kimia tersebut pada umumnya berupa padatan atau cairan yang tidak larut dalam air. Agar dapat bercampur secara homogen dengan partikel karet di dalam lateks pekat, bahan-bahan kimia padat dicampur dalam bentuk dispersi. Pembuatan dispersi bahan kimia dilakukan dengan ball mill (Lampiran 16 a). Pembuatan larutan dan dispersi bahan-bahan kimia adalah sebagai berikut.

• Pembuatan larutan KOH 10% dilakukan dengan melarutkan 10 gram KOH padatan dengan 90 ml akuades.

• Pembuatan larutan kalium laurat 20% dilakukan dengan mereaksikan KOH padatan sebanyak 47,06 gram dengan 168,07 gram asam laurat dan 784,87 ml akuades, lalu diaduk dengan mixer selama 25-30 menit.

• Bahan-bahan kimia padatan dalam dispersi 50%, yaitu ZDEC, ZMBT, ZnO, Ionol dan sulfur. Pembuatan bahan dispersi dilakukan melalui pencampuran bahan-bahan kimia dengan air, kemudian dihaluskan dan diaduk dalam ballmill selama 3 x 8 jam. Formula pembuatan bahan dispersi 50% ditunjukkan pada Tabel 5.

Tabel 5. Formula pembuatan bahan dispersi 50%

Nama bahan Jumlah (gram) Bahan kimia padatan 100 Aluminium silikat (Bentonit) 0,5 Natrium sulfonat (Darvan) 4,5

Akuades 95

Jenis dan formulasi bahan kimia untuk pembuatan kompon lateks ditunjukkan pada Tabel 6.

Tabel 6. Formula kompon lateks untuk sebutret

Jenis bahan Bagian per berat basah [(w/w)(gram)] Lateks pekat sentrifusi (KKK 60%) 167 Kalium laurat (larutan 20%) 4 Kalium hidroksida (larutan 10%) 3 ZDEC (dispersi 50%) 3 ZMBT (dispersi 50%) 2 Seng oksida (dispersi 50%) 10 Ionol (dispersi 50%) 2 Sulfur (dispersi 50%) 5 Sumber : Sinurat et al., (2001)

Pencampuran lateks pekat dengan bahan-bahan kimia dispersi dilakukan dengan mengikuti formulasi pada Tabel 6. Agar dapat menghasilkan produk yang mempunyai sifat baik, kompon lateks memerlukan masa pemeraman atau penyimpanan selama 3 hari. Selama pemeraman kemungkinan terjadi pengendapan dispersi bahan kimia. Untuk mencegah kemungkinan ini, setiap hari selama pemeraman campuran harus diaduk perlahan-lahan selama 3 menit.

2. Penelitian Tahap I

Penelitian tahap I bertujuan untuk mengetahui pengaruh cara pengeritingan serat sabut kelapa terhadap karakteristik sebutret. Penelitian ini meliputi pengeritingan serat, pembuatan sampel sebutret, pengujian sifat fisik sebutret, dan penentuan cara pengeritingan terbaik.

a. Pengeritingan Serat

Tujuan pengeritingan serat adalah agar serat-serat keriting yang dihasilkan memiliki rongga udara dengan sifat kepegasan yang lebih baik sehingga dapat meningkatkan ketinggian lentur produk sebutret yang dihasilkan. Susunan atau tumpukan serat keriting dalam produk memiliki ikatan antar serat yang lebih kuat dan lebih elastis dibandingkan tumpukan serat lurus. Pengeritingan serat meliputi pemintalan serat, pengeringan, pemeraman, dan penguraian pintalan serat yang bertujuan mengubah serat lurus menjadi serat berbentuk keriting (bergelombang) yang sinusoidal. Sebelum dipintal, serat kelapa dibersihkan terlebih dahulu dari kotoran dan gabus. Kemudian serat kelapa dipintal secara manual menggunakan alat pemintal (Lampiran 16 b). Pintalan dijadikan tambang dan digulung. Pembentukan tambang (Gambar 4) bertujuan agar pintalan serat menjadi terikat keras serta tidak ada kecenderungan menjadi longgar atau kembali ke posisi semula.

Gambar 4. Pintalan serat (tambang)

Pembuatan serat keriting dilakukan dengan tiga cara yang berbeda dalam pengolahan pintalan serat.

• Proses Kering

Pada proses kering, serat kelapa dipintal membentuk tambang, kemudian dikeringkan dalam oven. Selanjutnya pintalan serat kering diperam lebih dari 24 jam pada suhu kamar sebelum diurai menjadi serat-serat keriting. Dalam penelitian ini, pengeritingan serat dengan proses kering disebut sebagai cara I.

• Proses Basah

Pada proses basah, serat kelapa dibasahi dengan sedikit air hingga lembab agar pada saat dipintal serat menjadi lemas dan mengikuti jalinan pintalan serat, kemudian serat dipintal membentuk tambang, selanjutnya dikeringkan dalam oven. Pintalan serat kering diurai menjadi serat-serat keriting setelah mengalami pemeraman selama lebih dari 24 jam pada suhu kamar. Pengeritingan serat dengan proses basah disebut sebagai cara II.

• Pemanasan Pintalan Serat oleh Uap Air Mendidih

Pada proses pemanasan pintalan serat oleh uap, serat kelapa yang dipintal membentuk tambang dimasukkan ke dalam tangki air berisi air mendidih atau menghasilkan uap. Pintalan serat diletakkan di atas rak yang dipasang pada permukaan air di dalam tangki air. Tambang akan menyerap panas dari uap air mendidih, proses ini berlangsung selama 15-20 menit. Setelah penguapan, serat dikeringkan dalam oven. Pintalan serat kering didinginkan dan diperam lebih dari 24 jam pada suhu kamar sebelum diurai menjadi serat-serat keriting. Pengeritingan serat dengan pemanasan pintalan serat oleh uap air disebut sebagai cara III.

Pengeringan pintalan serat pada masing-masing cara pengeritingan dilakukan pada tiga variasi suhu yaitu 60, 80, dan 100 °C. Pada masing-masing suhu dilakukan penentuan waktu optimal pengeringan melalui pengukuran bobot pintalan serat (tambang) setiap selang waktu 5 menit sampai diperoleh bobot konstan atau kadar air 20

nol. Tambang dibuat dengan bobot sekitar 100 gram pada cara I dan III, dan 150 gram pada cara II. Waktu optimal ditetapkan sebagai waktu pada saat pintalan serat mencapai bobot konstan, sedangkan kadar air awal ditentukan dengan cara menentukan persentase perbandingan selisih bobot awal dan bobot akhir terhadap bobot awal. Agar bentuk keriting yang dihasilkan lebih permanen, tambang hasil pengeringan diperam pada suhu kamar selama lebih dari 24 jam hingga tercapai kadar air keseimbangan. Tambang kering hasil pemeraman dibuka dan diurai secara manual menjadi serat-serat keriting (bergelombang).

Pada penelitian ini serat keriting yang dihasilkan melalui ketiga cara pengeritingan diatas selanjutnya disebut sebagai serat keriting I (cara I), serat keriting II (cara II), dan serat keriting III (cara III). Serat keriting yang terbaik dari hasil pengeringan dan pemeraman ditentukan berdasarkan waktu pengeringan yang lebih singkat, memiliki nilai bulk density yang lebih rendah dan bentuk gelombang yang lebih permanen.

b. Pembuatan Sampel Sebutret

• Persiapan Serat Keriting

Serat-serat keriting disusun dalam cetakan berukuran 25 cm x 25 cm x 4 cm (Lampiran 17 a) dengan ketebalan yang bervariasi antara 4-6 cm untuk membentuk sit tipis. Pada penelitian ini dibuat sampel berukuran 25 cm x 25 cm x 6 cm. Jumlah serat yang dibutuhkan untuk membuat sampel tersebut adalah 40 gram.

• Persiapan Kompon Lateks

Kandungan karet dalam kompon lateks yang diperlukan untuk penyemprotan lapisan serat keriting yaitu 40 gram karet untuk 40 gram serat. Jumlah kompon lateks yang diperlukan untuk menghasilkan karet pengikat atau pembalut serat ditentukan berdasarkan persamaan menurut Sinurat (2002) sebagai berikut.

Jka Jko =

KKK x ηsp

Jko = jumlah kompon lateks

Jka = jumlah karet

KKK = kadar karet kering ≈ 60%

ηsp = efisiensi penyemprotan ≈ 60%

• Penyemprotan Kompon Lateks

Kompon lateks disemprotkan agar serat-serat keriting saling terikat. Penyemprotan dilakukan dengan menggunakan alat engine cleaning sprayer yang dihubungkan dengan kompresor udara (Lampiran 17 b) pada tekanan 5-8 bar dan kecepatan penyemprotan 0,22 m/detik. Perbandingan jumlah karet dan serat untuk membuat sampel sebutret adalah 40 gram karet untuk 40 gram serat. Jumlah kompon lateks yang disemprotkan sebanyak 115 gram. Penyemprotan kompon lateks pada lapisan serat keriting (sit) dilakukan sebanyak tiga kali, sebagai berikut.

- Penyemprotan Awal

Penyemprotan awal merupakan pengikatan antar serat oleh lapisan karet agar menjadi lebih kuat. Jumlah kompon lateks yang disemprotkan sebanyak 30 persen dari kompon total. Jarak antara ujung nozzle alat penyemprot dengan sit sekitar 20-30 cm. Penyemprotan awal yang terlalu dekat dapat menyebabkan tumpukan serat keriting yang sudah tersusun menjadi pipih dan tidak beraturan. Selanjutnya, sit basah yang baru disemprot dikeringkan awal pada suhu kamar selama 5 menit.

- Penyemprotan Kedua

Penyemprotan kedua adalah proses pelapisan dan pembalutan serat-serat oleh karet mulai dari permukaan hingga bagian dalam sit. Penyemprotan pada kedua permukaan atas dan

bawah lapisan sit dilakukan untuk menguatkan ikatan serat keriting sit, dan terjadi pembalutan serat-serat keriting dalam sit. Jarak ujung nozzle alat penyemprot dengan sit sekitar 3-5 cm. Jumlah kompon yang disemprotkan sekitar 35 persen dari jumlah kompon total. Selanjutnya sit dikeringkan dalam oven dengan suhu 70-80 °C selama 15 menit.

- Penyemprotan Akhir

Penyemprotan akhir dilakukan sama seperti penyemprotan kedua, yaitu dilakukan dengan jarak ujung nozzle alat penyemprot pada sit sekitar 3-5 cm. Jumlah kompon yang disemprotkan sekitar 35 persen dari jumlah kompon total. Setelah penyemprotan, sit tipis dalam cetakan ditekan dengan cetakan penjepit secara perlahan dengan tangan atau alat tekan untuk memperoleh ketebalan sit yang diinginkan serta meningkatkan kerapatan sit. Kemudian kedua belah bagian atas dan bawah cetakan dikunci atau diikat dengan kawat pengikat yang dipasang pada cetakan. Selanjutnya cetakan yang berisi sit tersebut dimasukan ke dalam oven vulkanisasi (Lampiran 17 c). Proses vulkanisasi berlangsung pada suhu 100-110 °C selama 60 menit, dengan kecepatan aliran udara panas di dalam oven pemvulkanisasi antara 0,125-0,213 m/det. Setelah proses vulkanisasi, dilakukan penimbangan sampel produk (vulkanisat).

• Pemotongan Sampel

Sebagai tahap akhir pengolahan, dilakukan pemotongan bagian samping produk hasil vulkanisasi dengan menggunakan alat potong sebutret. Selanjutnya sebutret yang dihasilkan dari ketiga cara pengeritingan diatas, masing-masing disebut sebagai Sebutret I (cara I), Sebutret II (cara II), dan Sebutret III (cara III).

c. Uji Sifat Fisik Sampel Sebutret

Pengujian sifat fisik dilakukan untuk mengetahui karakteristik sampel sebutret. Pengujian dilakukan di Laboratorium Fisika Balai

Penelitian Teknologi Karet Bogor. Sifat-sifat fisika yang diuji yaitu bobot jenis, pampatan tetap 50% (compression set of 50%) dan tegangan pampat 50% (compressive strength of 50%). Pengukuran bobot jenis dilakukan untuk mengetahui bobot sampel pada satuan volume tertentu. Uji pampatan tetap dilakukan untuk mengetahui selisih nilai ketebalan sebutret setelah dibebani sampai ketinggian 50 persen dari tinggi awal, pengujian dilakukan selama 24 jam pada suhu ruangan. Uji pampatan tetap merupakan salah satu parameter elastisitas. Nilai pampatan tetap yang rendah menunjukkan tingkat elastisitas produk yang tinggi.

Uji tegangan pampat menunjukkan kemampuan sampel untuk menahan suatu beban dengan bobot tertentu pada satuan luas tertentu. Uji tegangan pampat 50% digunakan untuk mengetahui beban yang dapat dikenakan pada sampel pada penurunan ketinggian tertentu yaitu 50% dari tebal semula. Nilai tegangan pampat yang besar menunjukkan kemampuan produk menahan beban pampat tinggi. Besarnya beban pampat yang dapat ditahan dengan compression set tertentu menunjukkan elastisitas dan kekuatan produk. Makin besar beban pampat yang dapat ditahan dengan compression set yang rendah, menunjukkan elastisitas dan kekuatan produk makin tinggi. Metode pengujian sifat fisik sampel sebutret ditunjukkan pada Lampiran 7.

d. Penentuan Cara Pengeritingan Serat Terbaik

Berdasarkan hasil pengujian bulk density dan sifat fisik sampel sebutret dilakukan seleksi cara pengeritingan terbaik dengan mempertimbangkan mutu dan faktor ekonomi pada masing-masing cara. Selanjutnya cara pengeritingan terbaik hasil seleksi digunakan dalam pembuatan sampel sebutret pada penelitian tahap II. Diagram alir penelitian tahap I diperlihatkan pada Gambar 5.

Serat basah Dibasahi dengan sedikit air (25 g) Pemintalan serat (pembuatan tambang) Serat kotor

Penyortiran dan pembersihan serat

Serat bersih

Pengeringan tambang dalam oven dengan suhu 60, 80 dan 100 °C

dan pengujian karakteristik pengeringan

Pintalan kering

Penguraian pintalan

Serat keriting I, II dan III Pemeraman tambang Pemintalan serat (pembuatan tambang) Pintalan serat (tambang)

Dilalukan uap air mendidih selama15-20 menit A Pintalan serat (tambang) Pintalan serat (tambang) Pemintalan serat (pembuatan tambang) 25

mm

Gambar 5. Diagram alir penelitian tahap I

Pengadukan 2-3 menit

Kompon lateks Pengujian bulk density

A

Pencetakan

Lapisan tipis serat-serat keriting

Penyemprotan awal pada permukaan atas dan bawah lapisan tipis serat keriting

Pengeringan pada suhu 70-80 °C selama 15 menit

Pengeringan awal pada suhu ruang selama 5 menit

Penyemprotan kedua

Penyemprotan akhir

Vulkanisasi pada suhu 100 °C selama 60 menit

Pengujian bobot jenis, pampatan tetap, dan tegangan pampat

Seleksi cara pengeritingan terbaik Sebutret I, II, III

3. Penelitian Tahap II

Penelitian tahap II bertujuan untuk mengetahui pengaruh jumlah karet yang mengikat dan membalut serat terhadap karakteristik sebutret. Metode penelitian secara umum sama seperti penelitian tahap I.

a. Pengeritingan Serat

Pengeritingan serat dilakukan dengan cara pengeritingan terbaik pada penelitian tahap I, yang memiliki karakteristik yang baik dan menghasilkan produk akhir yang paling baik.

b. Pembuatan Sampel Sebutret

Pada pembuatan sampel sebutret dilakukan variasi jumlah karet yang mengikat dan membalut 40 gram serat, yaitu 50 gram, 60 gram dan 70 gram, sehingga perbandingan jumlah karet dengan serat adalah 50:40, 60:40, dan 70:40. Jumlah kompon lateks yang disemprotkan masing-masing sebanyak 140 gram, 167 gram, dan 195 gram. Selanjutnya produk akhir yang dihasilkan dengan variasi jumlah karet disebut sebagai Sebutret 50, Sebutret 60 dan Sebutret 70.

c. Uji Sifat Fisik Sampel Sebutret

Produk akhir yang dihasilkan diuji sifat fisiknya dengan pengujian yang sama dengan penelitian tahap I, yaitu bobot jenis, pampatan tetap 50% (compression set of 50%), dan tegangan pampat 50% (compressive strength of 50%). Hasil pengujian sifat fisik sampel sebutret yang diperoleh dibandingkan dengan hasil pengujian sifat fisik sebutret hasil cara pengeritingan terbaik pada penelitian tahap I karena proses pengeritingan seratnya menggunakan cara yang sama (cara II). Pada penelitian tahap II ini, sampel sebutret penelitian tahap I disebut sebagai Sebutret 40, karena kandungan karet dalam kompon lateks yang digunakan pada pembuatan sampel Sebutret 40 adalah sebanyak 40 gram. Diagram alir penelitian tahap II ditunjukkan pada Gambar 6.

Keterangan :

Kompon lateks A, B, C : Kompon lateks masing-masing sebanyak 140 gram, 167 gram, dan 195 gram dan mengandung karet 50 gram, 60 gram dan 70 gram.

Gambar 6. Diagram alir penelitian tahap II Pencetakan

Lapisan serat-serat keriting (sit), ketebalan 3-5 cm

Penyemprotan awal pada permukaan atas dan bawah sit

Pengeringan pada suhu 70-80 °C selama 15 menit

Pengeringan awal pada suhu ruang selama 5 menit

Penyemprotan kedua

Penyemprotan akhir

Vulkanisasi pada suhu 100 °C selama 60 menit

Pengujian bobot jenis, pampatan tetap 50%, dan

tegangan pampat 50% Kompon lateks A, B, C Serat keriting hasil cara

pengeritingan terbaik penelitian tahap I

Sebutret 50, 60, 70

D. RANCANGAN PERCOBAAN

Rancangan percobaan yang digunakan untuk mengetahui pengaruh cara pengeritingan serat sabut kelapa dan jumlah karet terhadap karakteristik sebutret adalah rancangan acak lengkap dengan faktor tunggal. Jika hasil analisis keragaman menunjukkan perbedaan yang nyata, maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji lanjut Duncan. Model rancangan percobaan (Sudjana, 1994) adalah sebagai berikut.

Yij = µ + τi + εij

Yijk = Variabel yang diukur µ = Rata-rata umum

τi = Pengaruh cara pengeritingan atau jumlah karet

εk (ij) = Galat

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PENELITIAN TAHAP I

Penelitian tahap I bertujuan untuk mengetahui pengaruh bentuk serat keriting terhadap karakteristik sebutret. Pada penelitian ini dilakukan pengujian karakteristik pengeringan pintalan serat, pengukuran bulk density serat keriting dan pengujian sifat fisik sampel sebutret.

1. Karakteristik Pengeringan Pintalan Serat

Pengujian karakteristik pengeringan dilakukan untuk mengetahui waktu optimal yang dibutuhkan untuk mengeringkan pintalan serat (tambang). Pengeringan masing-masing pintalan serat dilakukan pada tiga variasi suhu yaitu 60 °C, 80 °C, dan 100 °C. Penurunan bobot pintalan serat selama proses pengeringan diukur setiap selang waktu 5 menit sampai diperoleh bobot konstan atau kadar air nol. Waktu optimal pengeringan ditetapkan sebagai waktu pada saat masing-masing pintalan serat mencapai bobot akhir yang sama dan konstan. Grafik proses pengeringan pintalan serat pada suhu 60 °C, 80 °C, dan 100 °C pada cara pengeritingan I, II dan III ditunjukkan masing-masing pada Gambar 7, Gambar 8 dan Gambar 9.

Gambar 7. Grafik penurunan bobot pintalan serat selama pengeringan pada cara pengeritingan I

88 90 92 94 96 98 100 102 0 25 50 75 100 125 150 175 Waktu (menit) B obot (gra m )

Waktu optimal pengeringan pintalan serat dengan cara pengeritingan I pada suhu 60 °C adalah 130 menit (2,17 jam), pada suhu 80 °C adalah 90 menit (1,5 jam), dan pada suhu 100 °C adalah 45 menit (0,75 jam). Setelah pengeringan, dilakukan pengukuran bobot akhir. Kadar air ditentukan dengan membandingkan jumlah air yang diuapkan dengan bobot awalnya. Bobot akhir pengeringan pintalan serat adalah 89,35 gram dan kadar air awal pintalan serat pada cara pengeritingan I adalah 10,65%.

Gambar 8. Grafik penurunan bobot pintalan serat selama pengeringan pada cara pengeritingan II

Waktu optimal pengeringan pintalan serat dengan cara pengeritingan II yaitu 405 menit (6,75 jam), 275 menit (4,58 jam), dan 205 menit (3,42 jam), masing-masing untuk suhu pengeringan 60 °C, 80 °C, dan 100 °C. Bobot akhir pengeringan pintalan serat adalah 79,41 gram dan kadar air awal pintalan serat adalah 20,59%.

Waktu optimal pengeringan pintalan serat dengan cara pengeritingan III pada suhu 60 °C, 80 °C, dan 100 °C, berturut-turut adalah 165 menit (2,75 jam), 120 menit (2 jam) dan 65 menit (1,08 jam). Bobot akhir pengeringan pintalan serat adalah 91,07 gram dan kadar air awal pintalan serat adalah 12,43%.

60 70 80 90 100 110 120 130 140 150 160 0 100 200 300 400 500 Waktu (menit) Bo b o t (g ram)

Suhu 60 °C Suhu 80 °C Suhu 100 °C

Gambar 9. Grafik penurunan bobot pintalan serat selama pengeringan pada cara pengeritingan III

Hasil analisis ragam (Lampiran 10 c) menunjukkan bahwa suhu pengeringan sebesar 60 °C, 80 °C, dan 100 °C tidak berpengaruh nyata (α=0,05) terhadap lama pengeringan. Waktu yang dibutuhkan untuk mengeringkan serat dengan cara pengeritingan I relatif lebih cepat dibandingkan pada cara pengeritingan II dan III karena serat dikeringkan dalam kondisi alaminya (kering), sedangkan pada cara pengeritingan II dan III serat dikeringkan dalam kondisi agak basah.

2. Bulk Density Serat Keriting

Serat keriting diperoleh dari hasil penguraian pintalan serat yang telah dikeringkan dan diperam selama lebih dari 24 jam. Makin lama waktu pemeraman, bentuk keriting yang dihasilkan akan makin baik dan permanen. Serat keriting yang diperoleh dari cara pengeritingan I, II dan III masing-masing disebut sebagai serat keriting I, serat keriting II, dan serat keriting III. Pengukuran bulk density serat keriting bertujuan untuk mengetahui pengaruh cara pengeritingan terhadap bentuk serat keriting yang dihasilkan. Bulk density merupakan parameter yang menunjukkan perbandingan bobot serat keriting dengan volumenya (kg/m3). Pengukuran

90 92 94 96 98 100 102 104 106 0 50 100 150 200 250 Waktu (menit) Bo bot (gra m)

Suhu 60 °C Suhu 80 °C Suhu 100 °C

dilakukan dengan mengukur bobot serat keriting pada volume tertentu. Makin tinggi bobot serat keriting per satuan volume, makin tinggi pula bulk density nya. Serat keriting yang diperoleh melalui cara pengeritingan I (serat keriting I) memiliki nilai bulk density 6,38 kg/m3, 6,05 kg/m3, dan 5,82 kg/m3, masing-masing untuk suhu pengeringan 60 °C, 80 °C, dan 100 °C, serat keriting yang diperoleh melalui cara pengeritingan II (serat keriting II) memiliki nilai bulk density 6,45 kg/m3, 6,33 kg/m3, dan 6,10 kg/m3 berturut-turut pada suhu pengeringan 60 °C, 80 °C, dan 100 °C, sedangkan serat keriting yang diperoleh melalui cara pengeritingan III (serat keriting III) memiliki nilai bulk density yaitu 7,16 kg/m3 , 6,61 kg/m3, dan 6,24 kg/m3 berturut-turut pada suhu pengeringan 60 °C, 80 °C, dan 100 °C. Grafik pengaruh suhu pengeringan pintalan serat terhadap nilai bulk density serat keriting ditunjukkan pada Gambar 10.

Gambar 10. Grafik perbedaan bulk density serat keriting karena perbedaan cara pengeritingan serat dan suhu pengeringan

Nilai bulk density tertinggi terdapat pada serat keriting yang diperoleh dengan cara pengeritingan III (serat keriting III), yaitu antara 6,24 kg/m3 sampai 6,76 kg/m3. Nilai bulk density yang lebih tinggi menunjukkan tumpukan serat keriting yang lebih padat, karena memiliki kerapatan yang tinggi dan serat-serat keriting memiliki rongga yang lebih kecil dibandingkan dengan tumpukan serat keriting dengan bulk density

5.5 6.0 6.5 7.0 7.5 60 80 100 Suhu (°C) Bulk density (k g/ m 3 )

Cara I C ara II C ara III

yang lebih rendah. Dalam volume ruang yang sama, kerapatan yang tinggi pada serat keriting memungkinkan penempatan ruang dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan serat yang lebih mengembang. Hasil analisis ragam (Lampiran 11 a), menunjukkan bahwa suhu pengeringan 60 °C, 80 °C, dan 100 °C memberikan pengaruh yang tidak nyata (α=0,05) terhadap nilai bulk density. Pengeringan pintalan serat pada suhu 60 °C, 80 °C, dan 100 °C menghasilkan perbedaan nilai bulk density yang tidak signifikan. Ketiga cara pengeritingan menunjukkan kecenderungan yang sama, yaitu makin rendah suhu pengeringan, nilai bulk density makin tinggi meskipun bobot akhir pengeringannya hampir sama. Diperkirakan hal ini disebabkan oleh perbedaan lama pemeraman atau penyimpanan pintalan serat sebelum dilakukan pengukuran bulk density. Pengeringan pintalan serat pada masing-masing cara pengeritingan dilakukan berurutan mulai pada suhu 60 °C , 80 °C lalu 100 °C. Pintalan serat yang dikeringkan pada suhu 60 °C mengalami pemeraman lebih lama dari pintalan serat yang dikeringkan pada suhu 80 °C dan 100 °C. Selama pemeraman, pintalan serat akan menyerap uap air dari udara sekitar hingga tercapai kadar air keseimbangan. Akibatnya bobot pintalan serat meningkat dan nilai bulk density juga menjadi bertambah.

Bulk density serat keriting hasil pengeringan pintalan serat pada suhu 60 °C, 80 °C dan 100 °C yang berbeda diperkirakan juga merupakan akibat terjadinya ekspansi (pemuaian) pintalan serat pada saat pengeringan (pemanasan). Suhu yang lebih tinggi memungkinkan terjadinya pemuaian yang lebih besar sehingga bahan yang dikeringkan pada suhu yang lebih tinggi cenderung mengalami pemuluran yang lebih besar. Hal ini mengakibatkan nilai bulk density serat keriting pada suhu 100 °C paling rendah disebabkan rongga tumpukan yang besar.

Bentuk serat keriting hasil penguraian pintalan serat (Gambar 11) diamati dan dibandingkan secara visual berdasarkan cara pengeritingan serat. Perbandingan ketiga bentuk atau geometri serat keriting ditunjukkan pada Lampiran 8 b.

Serat Keriting I Serat Keriting II Serat Keriting III

Gambar 11. Serat keriting hasil penguraian pintalan serat

Pengamatan secara visual pada serat-serat keriting hasil penguraian pintalan serat menunjukkan serat keriting yang diperoleh melalui cara pengeritingan II (serat keriting II) dan cara pengeritingan III (serat keriting III) memiliki bentuk geometri yang hampir sama, sedangkan serat keriting hasil cara pengeritingan I (serat keriting I) cenderung lebih mengembang. Serat keriting II dan III memiliki bentuk atau geometri yang lebih baik dan bentuk keritingnya lebih permanen dibandingkan serat keriting I. Pada cara pengeritingan II serat dipintal dalam keadaan basah, sedangkan pada cara pengeritingan III pintalan serat dilalukan dengan uap air mendidih, kedua perlakuan tersebut mengakibatkan serat lebih plastis pada awal pengeringan dan mengikuti bentuk pintalan atau jalinan antar serat, akan tetapi menjadi elastis lagi setelah dikeringkan dengan bentuk keriting yang lebih permanen (Lampiran 8 b). Sifat atau bentuk serat keriting dipengaruhi pula oleh kepadatan atau kekerasan dan lama pemeraman pintalan serat atau tambang. Makin keras pintalan serat atau tambang hasil pemintalan, makin

Dokumen terkait