• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerangka Pemikiran

Industri mebel merupakan industri yang memiliki peranan penting dalam penerimaan devisa negara dan penerimaan daerah, terutama Kabupaten Jepara, disamping peranannya dalam penyerapan tenaga kerja. Dari sisi pasokan bahan baku, kelangsungan industri mebel sangat dipengaruhi oleh harga dan kelangsungan dari bahan baku itu sendiri. Bahan baku tersebut selain berasal dari Perhutani juga berasal dari hutan rakyat. Dari sisi penjualan, tujuan penjualan produk mebel dapat berupa pasar domestik dan pasar ekspor.

Rantai nilai mebel dapat digolongkan sebagai buyer driven yaitu rantai nilai dimana pengecer atau pedagang besar mendominasi aturan-aturan dalam sistem produksi. Sistem produksi yang dikendalikan antara lain model dan spesifikasi dari produk yang akan dibuat. Karakteristik lain dari rantai nilai mebel adalah banyaknya pelaku atau aktor yang terlibat dalam kegiatan bisnis mebel. Para pelaku berhubungan satu sama lain, sehingga membentuk jaringan yang kompleks.

Selain adanya aliran dan perubahan fisik kayu di sepanjang rantai nilai mebel kayu mahoni Jepara (dimana dalam penelitian ini dibatasi dari petani dan Perhutani sampai kepada eksportir dan pengecer domestik yang berlokasi di Jepara), setiap pelaku di sepanjang rantai nilai juga memberikan nilai tambah pada setiap prosesnya. Sedangkan besarnya keuntungan yang diperoleh masing-masing pelaku sepanjang rantai nilai dan kelayakan finansial dari masing-masing tahap produksi dipengaruhi oleh hubungan principal – agent antar pelaku dan membentuk kelembagaan yang terjadi di sepanjang rantai nilai. Besarnya distribusi dari nilai tambah tersebut dapat mempengaruhi pada kelestarian usaha mebel dan kelestarian hutan. Dengan melihat adanya keterkaitan berbagai faktor yang mempengaruhi kelangsungan industri mebel, maka dikembangkan model dinamik dari luas tanaman mahoni dan produksi kayu mahoni sebagai sumber bahan baku, perdagangan kayu (aliran fisik) dan distribusi nilai tambah. Secara

ringkas, kerangka pemikiran dari penelitian rantai nilai mebel mahoni seperti terlihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Kerangka pemikiran penelitian.

Pemetaan aktor dalam rantai nilai mebel

Karakteristik Rantai nilai mebel

Identifikasi aktor Analisis distribusi nilai tambah Analisis pola kemitraan Kelayakan finansial Distribusi nilai tambah Kelembagaan (institusi) Skenario Kebijakan Analisis manfaat biaya

Distribusi nilai tambah seimbang Posisi tawar seimbang Kegiatan usaha menguntungkan

Analisis perusahaan pemimpin

Analisis sistem (pemodelan) ya tidak Industri mebel dan hutan lestari Industri mebel dan hutan tidak lestari Dipertahankan

22

Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Jepara – Propinsi Jawa Tengah, Kabupaten Sumedang – Propinsi Jawa Barat, dan KPH Pati – Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Adapun waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai bulan Nopember 2008. Kabupaten Jepara dipilih sebagai lokasi penelitian karena Jepara merupakan sentra industri mebel, sedangkan Kabupaten Sumedang merupakan salah satu kabupaten yang menjadi sumber bahan baku industri mebel di Jepara. Untuk KPH Pati selain merupakan sumber bahan baku bagi industri mebel di Jepara, KPH Pati secara administratif termasuk dalam lima kabupaten yang salah satunya adalah Kabupaten Jepara.

Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder.

(1) Data primer diperoleh melalui wawancara dengan responden, antara lain

meliputi: (a) identitas responden; (b) identifikasi unit manajemen; (c) data volume pembelian dan penjualan produk, serta data biaya input dan harga penjualan produk; (d) asal pembelian bahan baku dan tujuan penjualan produk; dan (e) informasi mengenai aturan-aturan yang berlaku di sepanjang rantai nilai mebel mahoni Jepara. Adapun langkah-langkah yang dilakukan untuk memperoleh data primer adalah sebagai berikut:

Menurut Kaplinsky dan Morris (2000); Kaplinsky et al. (2003), rantai nilai untuk industri mebel termasuk dalam kategori buyer driven. Dengan asumsi ini, maka penelitian dilakukan dengan cara backward yaitu melihat keterkaitannya ke belakang. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode snowball (tidak termasuk KPH Pati dan petani), dimana aktor-aktor yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah:

1. Eksportir (+finishing) sebanyak 3 responden.

2. Pengecer/toko domestik (+finishing) sebanyak 3 responden.

3. Perusahaan jasa finishing sebanyak 3 responden.

4. Pengrajin mebel sebanyak 15 responden. Pengrajin tersebut terbagi

pasar domestik dan pengrajin yang memproduksi mebel untuk pasar ekspor.

5. Perusahaan jasa penggergajian sebanyak 3 responden. Sampel yang

diambil adalah perusahaan jasa penggergajian yang lokasinya berdekatan dengan lokasi pengrajin.

6. Pedagang kayu sebanyak 8 responden (3 responden pedagang kayu di

Jepara, dan 5 responden pedagang kayu di Sumedang). Sampel pedagang kayu di Jepara adalah pedagang kayu yang lokasinya dekat dengan penggergajian. Sedangkan sampel pedagang kayu di Sumedang adalah pedagang kayu yang memasok mahoni ke Jepara.

7. Petani yang menanam mahoni di Kabupaten Sumedang sebanyak 21

responden. Pengambilan sampel untuk masyarakat diwilayah ini dilakukan secara purposive terhadap masyarakat yang memiliki tanaman mahoni.

8. Perhutani yang menjadi sampel adalah Perhutani KPH Pati. KPH Pati

merupakan salah satu sumber bahan baku bagi industri mebel di Jepara selain secara administratif sebagian dari wilayah KPH Pati merupakan bagian dari Kabupaten Jepara.

(2) Data sekunder yang digunakan dalam penelitian antara lain meliputi: (a)

data volume dan nilai penjualan mebel di Kabupaten Jepara; (b) data tujuan penjualan mebel dari Kabupaten Jepara; (c) data potensi tegakan mahoni Perhutani KPH Pati; (d) data potensi tegakan mahoni yang berasal dari rakyat di Kabupaten Sumedang. Seluruh data sekunder dan informasi yang diperlukan dalam penelitian ini dilakukan dengan kegiatan pencatatan. Data tersebut berasal dari instansi terkait antara lain Dinas Perindustrian Perdagangan, Koperasi dan Penanaman Modal Kabupaten Jepara, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Jepara, Biro Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Jepara, Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah, Perhutani KPH Pati, Dinas Kehutanan Sumberdaya Mineral dan Energi Kabupaten Sumedang, dan BPS Kabupaten Sumedang.

24

Analisis Data

Untuk memahami dinamika rantai nilai dari mebel kayu mahoni Jepara, dalam penelitian ini dilakukan identifikasi para pelaku yang terlibat dalam rantai nilai mebel, analisis mengenai distribusi nilai tambah, identifikasi kelembagaan yang ada di sepanjang rantai nilai dan analisis manfaat dan biaya (benefit cost

analysis) disetiap kegiatan. Dari hasil analisis tersebut selanjutnya dilakukan

analisis mengenai perusahaan pemimpin (leading firm) dalam rantai nilai mebel dan menerapkan berbagai skenario kebijakan dengan menggunakan model dinamik (dynamic modelling).

Identifikasi para pelaku (aktor)

Identifikasi aktor sepanjang rantai nilai mebel dilakukan melalui penelusuran dan keterkaitan ke belakang dimulai dari eksportir dan pengecer/toko domestik sampai ke penanam mahoni yaitu petani dan Perhutani. Selanjutnya memetakan hubungan antar aktor yang terlibat dalam sebuah diagram.

Analisis distribusi nilai tambah

Untuk mengetahui besarnya distribusi nilai tambah yang diterima masing-masing aktor sepanjang rantai nilai mebel mahoni Jepara, maka dilakukan analisis dengan tahapan sebagai berikut:

(1) Analisis aliran produk di setiap pelaku antara lain meliputi: a) nilai output

kotor, b) nilai output bersih, c) aliran fisik dari barang, dan d) tujuan pemasaraan.

(2) Langkah berikutnya adalah analisis nilai tambah dan distribusi nilai

tambah. Margin keuntungan yang diterima oleh masing-masing aktor (lembaga pemasaran) dirumuskan sebagai berikut:

π = Ps – Pb – C

Dimana,

π = Keuntungan yang diterima oleh setiap pelaku (aktor)

Ps = Harga jual produk di setiap pelaku

Pb = Harga beli produk di setiap pelaku

Untuk mengetahui distribusi dari margin keuntungan, selanjutnya dilakukan perhitungan berdasarkan persentase keuntungan masing-masing lembaga pemasaran terhadap keuntungan total seluruh lembaga pemasaran

Identifikasi kelembagaan

Identifikasi kelembagaan atau aturan-aturan yang ada di sepanjang rantai nilai mebel mahoni Jepara. Identifikasi ini dilakukan terhadap kebijakan dari perusahaan pemimpin dan kebijakan lainnya yang berpengaruh terhadap hubungan antar aktor berupa hubungan principal – agent yang terlibat di dalam rantai nilai.

Analisis manfaat dan biaya (benefit cost analysis)

Analisis manfaat biaya yang dilakukan dalam penelitian adalah nilai kini manfaat bersih (Net Present Value – NPV), rasio manfaat dan biaya (Benefit Cost

Ratio – BCR), dan tingkat pengembalian internal (Internal rate of return – IRR)

(Davis et al. 2001).

1. Nilai kini manfaat bersih (NPV). Menghitung nilai kini manfaat dikurangi

biaya pada periode analisis dan tingkat bunga tertentu

Rumus:

=

=

n t

NPV

1 (Rt – Ct) (1 + i)-t

Keterangan: i = tingkat suku bunga

t = periode analisis

Rt = manfaat pada akhir setiap periode t

Ct = biaya pada akhir setiap periode t

n = jumlah periode pendiskontoan (periode analisis) Dengan kriteria ini, proyek dinyatakan layak dijalankan apabila NPV ≥ 0

2. Rasio manfaat dan biaya (BCR), adalah perbandingan antara manfaat dengan

biaya saat ini dari aliran kas, pada tingkat bunga dan periode analisis tertentu

Rumus:

=

=

n t

BCR

0 Rt (1 + i)-t/

= n t 0 Ct (1 + i)-t

26 Keterangan: i = tingkat suku bunga

t = periode analisis

Rt = manfaat pada akhir setiap periode t

Ct = biaya pada akhir setiap periode t

n = jumlah periode pendiskontoan (periode analisis) Dengan kriteria ini, proyek dinyatakan layak dijalankan apabila BCR ≥ 1

3. Tingkat pengembalian internal (IRR), adalah tingkat pengembalian (pada

tingkat suku bunga tertentu) yang menyebabkan NPV = 0

Rumus:

= n t 0 Rt (1 + i)-t =

= n t 0 Ct (1 + i)-t

Keterangan: i = tingkat suku bunga

t = periode analisis

Rt = manfaat pada akhir setiap periode t

Ct = biaya pada akhir setiap periode t

n = jumlah periode pendiskontoan (periode analisis)

Dengan kriteria ini, proyek dinyatakan layak dijalankan apabila IRR ≥ tingkat suku bunga yang berlaku.

Analisis sistem (pemodelan)

Untuk mengetahui dinamika dari rantai nilai mebel mahoni Jepara, tahap analisis berikutnya adalah analisis sistem dan simulasi dengan menggunakan perangkat lunak Stella 8. Adapun langkah-langkah yang digunakan dalam analisis sistem adalah (Purnomo 2005, 2006; Grant et al. 1997):

Identifikasi isu, tujuan dan batasan

Tujuan dari tahap ini adalah mengidentifikasi isu-isu permasalahan serta menentukan tujuan dari pemodelan yang dikembangkan. Setelah ditentukan komponen-komponen sistem yang berkaitan dengan pencapaian tujuan model tersebut serta mengidentifikasi keterkaitannya, kemudian merepresentasikan model tersebut dalam diagram kotak-panah (box-arrow).

Berdasarkan beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa

keberlangsungan industri mebel (pengrajin) mengalami tekanan, baik dari sisi harga jual, spesifikasi produksi maupun dari sisi harga bahan baku. Selain

pengrajin mebel, petani mahoni juga mengalami tekanan dari pedagang kayu. Hal ini tidak terlepas dari adanya informasi yang tidak seimbang yang membentuk aturan-aturan yang berlaku yang berimplikasi terhadap distribusi pendapatan yang tidak seimbang di sepanjang rantai nilai dari mebel. Sesuai dengan permasalahan dan tujuan dari penelitian, maka penyusunan model ditujukan untuk mendorong upaya mempertahankan kelangsungan industri mebel.

Perumusan model konseptual dan spesifikasi model kuantitatif

Tahapan ini bertujuan untuk membangun pemahaman terhadap sistem yang diamati, kemudian dituangkan dalam sebuah konsep untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh tentang model yang dibuat. Tahap selanjutnya adalah membentuk model kuantitatif dari konsep model yang telah ditetapkan, yang terbagi menjadi beberapa sub model

Luas hutan mahoni:

Analisis luas tanaman mahoni Perhutani diproyeksikan sebagai berikut: Ap,t+1 = Ap,t + Rp +Op – Mp – Lp – IAp

Dimana:

Ap,t+1 = Luas areal pada masing-masing kelas umur setelah t+1 di Perhutani

Ap,t = Luas areal pada masing-masing kelas umur pada tahun ke t di

Perhutani

Rp = Luas areal yang masuk ke dalam kelas umur tertentu (karena adanya

penanaman) di Perhutani

Op = Luas areal yang pindah dari kelas umur tertentu ke kelas umur yang

lebih besar karena adanya pertumbuhan di Perhutani

Mp = Luas areal yang keluar dari kelas umur tertentu dimana tegakannya

mati karena kebakaran dan bencana alam di Perhutani

Lp = Luas areal yang dipanen di Perhutani

IAp = Luas areal yang mengalami gangguan seperti kegiatan penebangan

ilegal, penyerobotan lahan, penggembalaan liar di Perhutani Sedangkan proyeksi luas tanaman mahoni rakyat adalah sebagai berikut: Ar,t+1 = Ar,t + Rr – Lr

Dimana:

Ar,t+1 = Luas areal tanaman mahoni setelah t+1 di hutan rakyat (ha)

28

Rr = Penambahan luas areal tanaman mahoni per tahun di hutan rakyat

(ha/tahun)

Lr = Luas areal tanaman mahoni yang di panen di hutan rakyat (ha/tahun)

Struktur tegakan

Dinamika struktur tegakan ditujukan untuk menggambarkan banyaknya pohon mahoni yang berasal dari Perhutani pada setiap kelas umur. Jumlah pohon mahoni pada masing-masing kelas umur setiap tahunnya mengalami perubahan, dimana jumlah pohon tersebut dipengaruhi oleh jumlah pohon yang keluar dan masuk dalam kelas umur tertentu. Adapun struktur tegakan dari kayu mahoni Perhutani adalah sebagi berikut:

Pp,t+1 = Pp,t + RPp +OPp – MPp – LPp – IAPp Dimana:

Pp,t+1 = Jumlah pohon pada masing-masing kelas umur setelah t+1 di Perhutani

Pp,t = Jumlah pohon pada masing-masing kelas umur pada tahun ke t di

Perhutani

RPp = Jumlah pohon yang masuk ke dalam kelas umur tertentu (karena

adanya penanaman) di Perhutani

OPp = Jumlah pohon yang pindah dari kelas umur tertentu ke kelas umur

yang lebih besar karena adanya pertumbuhan di Perhutani

MPp = jumlah pohon yang keluar dari kelas umur tertentu dimana

tegakannya mati karena kebakaran dan bencana alam di Perhutani

LPp = Jumlah pohon yang dipanen di Perhutani

IAPp = Jumlah pohon yang mengalami gangguan seperti kegiatan

penebangan ilegal, penyerobotan lahan, penggembalaan liar di Perhutani

Pengaturan hasil (produksi)

Perhitungan proyeksi luas tebangan (etat luas) yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan Metode Burn dengan mempertimbangkan gangguan hutan. Sedangkan proyeksi produksi per tahun merupakan hasil dari etat luas dikalikan dengan potensi volume tebang kayu aktual

Etat luas :

D

L

El =

Dimana :

L = Luas areal produktif (ha)

D = Daur (tahun)

Sedangkan proyeksi produksi kayu mahoni yang berasal dari hutan rakyat dihitung sebagai berikut:

Vr,t+1 = Vr, t + (VPr x Lr) Dimana :

Vr,t+1 = Volume produksi kayu mahoni rakyat setelah t+1 (m3)

Vr, t = Volume produksi kayu mahoni rakyat pada tahun ke-t (m3)

VPr = Potensi produksi kayu mahoni rakyat (m3/ha/tahun)

Lr = Luas areal tanaman mahoni yang di panen di hutan rakyat (ha/tahun)

Aliran fisik dari kayu (perdagangan kayu dan mebel mahoni) adalah: Vind,t+1 = Vind,t + Vi – ((1- RD) x Vi)

Dimana,

Vind,t+1 = Volume kayu setiap tahap produksi setelah t+1 (m3) Vind,t = Volume kayu setiap tahap produksi pada tahun ke-t (m3)

Vi = Volume kayu yang masuk ke setiap tahap produksi (m3)

RD = Rendemen di setiap tahap produksi

Evaluasi model

Tujuan dari tahap ini adalah mengetahui keterandalan model yang dibuat dalam menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Proses pengujian dilakukan dengan mengamati kelogisan model dan membandingkan dengan dunia nyata atau model andal yang serupa.

Penggunaan model

Model yang telah dibentuk digunakan untuk mencapai tujuan pembentukannya yaitu mempertahankan kelangsungan industri mebel dan kelestarian penanaman mahoni. Kegiatan pertama yang dilakukan adalah membuat daftar terhadap semua alternatif (skenario) yang mungkin dapat dibuat dari model yang telah dikembangkan. Semua skenario tersebut dijalankan dan hasilnya dicoba untuk dipahami. Berdasarkan hasil yang diperoleh, dilanjutkan dengan membuat daftar pendek dari skenario yang sesuai dengan tujuan pemodelan yang dikembangkan.

30 Langkah selanjutnya adalah menganalisis skenario yang sesuai dengan tujuan pembuatan model, serta membuat urutan prioritas dari skenario yang terpilih. Tahap akhir adalah merumuskan skenario tersebut menjadi sebuah alternatif atau pilihan kebijakan.

Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan Pati

Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Pati merupakan salah satu KPH yang termasuk dalam wilayah Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah, yang secara administratif termasuk dalam 5 (lima) kabupaten yaitu Kabupaten Pati, Kudus, Jepara, Rembang dan Blora (Perhutani Unit I Jawa Tengah 2007). Kawasan hutan KPH Pati memiliki luas 38.552,69 ha (SPH IV Rembang 2003), dimana seluruhnya merupakan kelas perusahaan jati. Berdasarkan hasil risalah pada tahun 1997/1998, KPH Pati terbagi dalam kelas hutan :

(1) untuk produksi kayu jati 22.065,4 ha (57,3%) terdiri dari (a) 2.2015,3 ha lahan yang cocok untuk perusahaan tebang habis seluas (15.513 ha merupakan hutan produktif, dan 6.502,3 ha merupakan hutan tidak produktif); dan (b) 50,1 ha tidak cocok untuk perusahaan tebang habis 50,1 ha.

(2) Bukan untuk produksi kayu jati 12.522,5 ha (32,5%); dan (3) bukan untuk produksi: 3.964,69 ha (10,2%)

Selama jangka perusahaan dari tahun 1999 sampai dengan 2003, terdapat perubahan dan pengurangan luas hutan produktif sekitar 23,8% menjadi kelas hutan tidak produktif karena adanya gangguan keamanan dan kegagalan dalam pembuatan tanaman. Sedangkan luas hutan tidak produktif meningkat 54,4%. Besarnya angka kerusakan per tahun sebesar 18,92% atau 2.935,05 ha. Adapun kelas hutan produktif KPH Pati yang semula 15.513 ha (40,2% dari kawasan hutan KPH Pati) menjadi 11.814,8 ha pada tahun 2003, atau hanya tinggal 30,7% dari luas kawasan hutan KPH Pati. Beberapa gangguan keamanan dan kegagalan pembuatan tanaman antara lain disebabkan oleh bencana alam, kebakaran hutan, perusakan hutan, penggembalaan dan pencurian kayu.

Luas lahan yang terkena bencana alam dan kebakaran di KPH Pati pada tahun 2006 adalah 1.367,65 ha dan 2.121,75 ha pada tahun 2007, dengan kerugian mencapai Rp 52,69 juta (2006), dan Rp 334,94 juta tahun 2007 (Perhutani Unit I Jawa Tengah 2007b). Gangguan lain adalah adanya kegiatan perusakan hutan dan penggembalaan. Pada tahun 2006 mencapai luasan 45,5 ha dengan kerugian mencapai Rp 11 juta, dan pada tahun 2007 kerugian mencapai Rp 6,18 juta.

32 Sedangkan besarnya kerugian akibat pencurian pohon selama 5 tahun terakhir (tahun 2003 – 2007) adalah sebanyak 7.700 pohon per tahun dengan kerugian mencapai Rp 390,6 juta per tahun. Besarnya kerugian maupun banyaknya pohon yang dicuri, menunjukkan kecenderungan yang makin menurun seperti terlihat pada Gambar 6. 0 5000 10000 15000 20000 25000 2003 2004 2005 2006 2207 Tahun pohon kerugian (Rpx100.000)

Sumber: Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah (2007); Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah (2007b)

Gambar 6 Pencurian pohon di KPH Pati tahun 2003 – 2007.

Jenis-jenis kayu lain yang ditanam di KPH Pati di luar kelas perusahaan jati adalah pinus, sonokeling dan mahoni. Berdasarkan Statistik Perhutani Unit I Jawa Tengah tahun 1999 – 2003, luas tanaman mahoni di KPH Pati pada tahun 2003 adalah 2.376,20 ha dan 1.177,90 ha pada tahun 2006 (Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah 2007) dengan struktur tegakan yang didominasi oleh kelas umur muda yaitu KU I dan KU II (Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah 2004). Tanaman mahoni di KPH Pati tersebut sebagian termasuk dalam kelas hutan tidak produktif berupa Tanaman Kayu Lain (TKL), dan lainnya termasuk dalam kelas hutan bukan untuk produksi kayu jati berupa Tanaman Jenis Kayu Lain (TJKL).

Produksi dari berbagai jenis kayu yang ditanam di KPH Pati setiap tahunnya berbeda, dimana produksi kayu jati rata-rata selama 5 tahun terakhir

sebesar 2.717 m3, dan produksi kayu rimba sebesar 910 m3. Dari grafik yang

ditunjukkan dalam Gambar 7, terlihat bahwa terjadi fluktuasi produksi dari 7.740

m3 pada tahun 2002 menjadi sebesar 3.791 m3 pada tahun 2003. Selanjutnya

mengalami peningkatan produksi mencapai tiga kali lipat atau 10.570 m3 tahun

2005, dan mengalami penurunan kembali pada tahun 2006 menjadi 4.331 m3.

Produksi kayu tersebut lebih banyak dihasilkan dari hasil tebangan penjarangan (tebangan E) dan tebangan karena adanya gangguan (tebangan B-D)

-2.000 4.000 6.000 8.000 10.000 12.000 2002 2003 2004 2005 2006 Tahun V o lu m e ( m 3 ) jati Rimba pinus mahoni sonokeling jenis lain Total

Sumber: Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah (2007)

Gambar 7 Produksi kayu di KPH Pati tahun 2002 – 2006.

Kabupaten Jepara

Kabupaten Jepara merupakan salah satu kabupaten yang berada di wilayah Propinsi Jawa Tengah terletak pada 5°43`20,67” sampai 6°47`25, 83” Lintang Selatan dan 110°58`37, 40” Bujur Timur. Di sebelah Barat dan Utara, Kabupaten Jepara berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Sedangkan sebelah Timur

34 berbatasan dengan Kabupaten Pati dan Kabupaten Kudus, dan sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Demak.

Jepara yang memiliki luas 100.413,189 ha, terbagi dalam 14 kecamatan. Penggunaan lahan di kabupaten ini terdiri dari tanah sawah seluas 26.408,004 ha dan tanah kering 74.005,185 ha. Menurut data dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Jepara (2007), luas hutan rakyat pada tahun 2005 – 2007 adalah 5.905,087 ha.

Pada tahun 2006, jumlah penduduk di Kabupaten Jepara sebanyak 1.058.064 jiwa yang terdiri dari 532.459 laki-laki (50.32%) dan 525.605 perempuan (49,68%) (BPS Kabupaten Jepara 2007). Sebagian besar penduduknya berusaha/bekerja di sektor industri (46,99%) dan pertanian (16,15%), selebihnya berusaha/bekerja di sektor pertambangan, listrik, konstruksi, keuangan dan jasa-jasa. Besarnya kontribusi masing-masing sektor tersebut terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Jepara selama periode 2003 – 2006 disajikan pada Gambar 8.

Sektor yang paling besar memberikan kontribusi adalah sektor industri pengolahan sebanyak 27% (barang kayu dan hasil hutan lainnya 84,8% dan industri pengolahan lainnya 15,2%), kemudian sektor pertanian (25%) dan sektor perdagangan, hotel dan pariwisata (22%). Berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) dan BPS Kabupaten Jepara (2007), PDRB Kabupaten Jepara pada tahun 2006 mencapai Rp. 5.677.316,96 juta (Rp. 5,67 triliun) menurut harga berlaku atau Rp. 3.554.051,11 juta (Rp. 3,55 triliun) menurut harga konstan tahun 2000.

25% 1% 27% 1% 4% 22% 5% 6% 9%

pertanian pertambangan dan penggalian

industri pengolahan listrik, gas dan air minum

bangunan perdagangan, hotel dan restoran

pengangkutan dan komunikasi keuangan, persewaan dan jasa perusahaan jasa-jasa

Sumber: BAPPEDA dan BPS Kabupaten Jepara (2007); Berdasarkan harga konstan tahun 2000

Gambar 8 Kontribusi sektor pada PDRB Kabupaten Jepara periode 2003 – 2006.

Kabupaten Sumedang

Secara administratif, wilayah Kabupaten Sumedang termasuk dalam Propinsi Jawa Barat. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Indramayu, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Majalengka, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Garut dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Bandung. Pada tahun 2006, jumlah penduduk di Kabupaten Sumedang sebanyak 1.091.674 jiwa yang terdiri dari 545.740 laki-laki (49,99%) dan 545.934 perempuan (50,01%) (BPS Kabupaten Sumedang 2007).

Luas Kabupaten Sumedang 152.220 ha, yang terdiri dari 26 kecamatan. Penggunaan lahan terbagi dalam tanah sawah seluas 33.426 ha dan tanah kering 118.794 ha. Penggunaan lahan terbesar berupa hutan negara seluas 45.342 ha (29,37%), sedangkan untuk hutan rakyat seluas 13.633 ha (BPS Sumedang 2007). Data yang berbeda dikemukakan oleh Dinas Kehutanan Sumberdaya Mineral dan Energi Kabupaten Sumedang dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat seperti tersaji pada Tabel 2.

36 Upaya untuk mengembangkan hutan rakyat di Kabupaten Sumedang pada tahun 2007 telah dilakukan melalui upaya pengkayaan hutan rakyat, pembuatan hutan rakyat serta pembangunan gully plug (Dinas Kehutanan Sumberdaya Mineral dan Energi 2008). Namun demikian, berdasarkan data luas hutan rakyat di Kabupaten Sumedang tidak mengalami perubahan sejak tahun 2004 sampai sekarang yaitu seluas 14.338,7 ha, seperti tersaji pada Tabel 2 berikut:

Tabel 2 Perkembangan luas hutan rakyat di Kabupaten Sumedang

Tahun Luas (ha) Produksi (m3)

2003 14.377,7 36.259,80

2004 14.338,7 43.933,70

2005 14.338,7 27.564,68

2006 14.338,7 35.445,47

2007 14.338,7 21.696,25

Sumber: http://www.jabarprov.go.id/[15 Pebruari 2009]; Dinas Kehutanan Sumberdaya Mineral dan Energi Kabupaten Sumedang. (2008)

Berdasarkan data Pemerintah Provinsi Jawa Barat, luas lahan kritis di Jawa Barat pada tahun 2003 adalah seluas 580.397 ha, yang terdiri dari lahan kritis hutan negara 26,1%, lahan kritis perkebunan besar 4,5% dan lahan kritis milik masyarakat 69,4%. Dari luas lahan kritis di Propinsi Jawa Barat tersebut, 16,4% nya merupakan lahan kritis di Kabupaten Sumedang atau seluas 23.690 ha. Penanganan lahan kritis di Jawa Barat ditempuh dengan dua program pokok yaitu dengan program gerakan rehabilitasi lahan kritis (GRLK) dan gerakan nasional

Dokumen terkait