RANTAI NILAI (VALUE CHAIN)
MEBEL KAYU MAHONI JEPARA
NUNUNG PARLINAH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Rantai Nilai (Value Chain) Mebel Kayu Mahoni Jepara adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Pebruari 2010
Nunung Parlinah
ABSTRACT
PARLINAH, N. Value Chain of Jepara Mahogany Furniture. Under direction of HERRY PURNOMO and BRAMASTO NUGROHO.
Furniture industries have an important role in foreign exchange revenue in Jepara district. This study proposes to determine the policy scenarios that can encourage the sustainability of furniture industries in Jepara by applying dynamic models. The specific objectives of this research are to (1) analyze the added value distribution along the mahogany furniture value chain, (2) identify the institutions along the mahogany furniture value chain, and (3) analyze the added value distribution which is more equitable along the chain. This study utilizes secondary and primary data. The secondary data were obtained from literature reviews and statistical reports while the primary data were collected through a survey using a structured questionnaire. The analyses of data involve identification of actors and institutions in the chains, distribution of added value, and benefit cost analysis consisting of Net Present Value, Benefit Cost Ratio and Internal Rate of Return. The software, i.e. Stella 8 is applied in modeling and simulation processes. The
results indicates that (1) there is imbalance of value added distribution per m3
raw material along the value chain; (2) the small and medium enterprises (as agent) produce the furniture relied more on buyer (as principal) orders. In such situation asymmetric information happens causing the position of craftsman and mahogany growers as price takers; (3) the values of NPV, BCR and IRR are not similar for each actor, but those values show that the principal-agent relationship among each actor tends to be effective. There are three scenarios which are possible to be applied, i.e. (1) efficiency in furniture production followed by improving capacity building on the marketing system; (2) the increase of the plantation investment in Perhutani area combined with reducing of forest pressurse and incentive policies on community forest; and (3) fair trade scenario through collective action.
PARLINAH, N. Rantai Nilai (Value Chain) Mebel Kayu Mahoni Jepara. Dibimbing oleh HERRY PURNOMO dan BRAMASTO NUGROHO
Industri mebel umumnya termasuk dalam industri kecil dan menengah. Penerimaan negara yang berasal dari ekspor mebel terus mengalami peningkatan selama tahun 2000 – 2005 sebesar 17%, dimana pada tahun 2005 jumlah ekspor mencapai US$ 1,01 milyar - 1,78 milyar. Mebel kayu termasuk mebel kayu mahoni merupakan 75% dari nilai ekspor tersebut. Dalam perdagangan global selama tahun 2003 - 2005, mebel Indonesia menguasai 2,5% dari pangsa pasar dunia. Dengan masuknya semua jenis mahoni dalam Appendix CITES (the
Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and
Flora) II yang berimplikasi terhadap pembatasan pemanenan mahoni di tempat
tumbuh aslinya, maka kondisi ini merupakan peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan produksi mebel mahoni dalam rangka memenuhi pasar.
Bisnis di bidang mebel ini juga menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat, dimana pada tahun 2005 jumlah industri mebel di Jepara, sebagai sentra industri mebel, mencapai 15.271 dengan jumlah tenaga kerja 176.470 orang. Pada tahun 2006, sektor industri pengolahan memberikan kontribusi paling tinggi terhadap Produk Domestik Regional Bruto) PDRB Kabupaten Jepara yaitu sebesar 27%, dimana 84,8% dari sektor tersebut berasal dari industri kayu dan hasil hutan lainnya. Banyaknya industri mebel di Jepara telah mengakibatkan terjadinya persaingan antar pelaku yang terlibat dalam bisnis mebel. Tantangan yang dihadapi oleh sektor industri mebel antara lain turunnya ketersediaan kayu kualitas bagus serta mekanisme distribusi dan pemasaran kayu, distribusi pendapatan yang tidak seimbang dan tekanan pada kelestarian tanaman. Adanya hubungan principal (pemberi kepercayaan) – agent (penerima kepercayaan) yang terjadi antar aktor atau pelaku di dalam rantai juga menentukan besarnya distribusi keuntungan yang diperoleh oleh masing-masing pelaku di sepanjang rantai nilai. Pendekatan rantai nilai dapat menjelaskan distribusi keuntungan yang terjadi dalam suatu rantai, sehingga dapat mengidentifikasi kebijakan yang sesuai untuk memperoleh keuntungan yang lebih baik. Berdasarkan kondisi tersebut, maka tujuan umum dari penelitian adalah mencari skenario kebijakan yang dapat mendorong kelangsungan industri mebel melalui pendekatan sistim dinamik. Sedangkan tujuan khusus dari penelitian adalah (1) mengetahui besarnya nilai tambah dan distribusinya sepanjang rantai nilai mebel mahoni; (2) mengetahui kelembagaan yang berlaku sepanjang rantai nilai; dan (3) mengetahui distribusi nilai tambah yang lebih ”adil”
Penelitian dilakukan pada bulan Juni sampai Nopember 2008 di Kabupaten Jepara – Propinsi Jawa Tengah, Kabupaten Sumedang – Propinsi Jawa Barat dan Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Pati – Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Rantai nilai untuk industri mebel termasuk dalam kategori buyer
driven sehingga penelitian ini dilakukan secara backward yaitu melihat
keterkaitannya ke belakang. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode snowball, dengan para pelaku yang menjadi responden adalah eksportir, pengecer (retailer) domestik, perusahaan jasa finishing, pengrajin, perusahaan jasa
penggergajian, pedagang kayu di Jepara, pedagang kayu di Sumedang, petani di Sumedang dan Perhutani KPH Pati.
Analisis data yang dilakukan meliputi: (1) identifikasi para pelaku atau aktor dalam rantai nilai mebel mahoni; (2) analisis distribusi nilai tambah ;(3) identifikasi kelembagaan di sepanjang rantai nilai yang terjadi yang berpengaruh terhadap hubungan principal-agent; (4) analisis manfaat biaya berupa analisis Net
Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (BCR) dan Internal rate of return (IRR)
dan (5) analisis sistem (pemodelan) dan simulasi menggunakan software Stella 8. Para pelaku yang terlibat dalam rantai nilai mebel kayu mahoni Jepara pada pasar domestik dan pasar ekspor adalah petani penanam kayu di Sumedang, Perhutani KPH Pati, pedagang kayu di Sumedang, pedagang kayu Jepara, jasa penggergajian, pengrajin, eksportir (+finishing), jasa finishing, dan pengecer/toko domestik (+finishing) dimana para pelaku tersebut memberikan nilai tambah pada
setiap prosesnya. Adapun besarnya pertambahan nilai total per m3 bahan baku
pada pasar domestik adalah Rp 1.477.000 yang terdistribusi secara tidak merata yaitu 49,83% pengecer/toko (+finishing), pengrajin mebel 27,62%, pedagang kayu di Jepara 9,21%, petani kayu di Sumedang 7,38%, pedagang kayu di Sumedang 3,72%, dan penggergajian 2,23%.
Pada pasar ekspor, besarnya pertambahan nilai total per m3 bahan baku
untuk kayu yang berasal dari rakyat adalah Rp 1.938.000, dimana nilai tambah terbesar diperoleh eksportir yaitu 36,79%. Selanjutnya pengrajin 28,48%, pedagang kayu Jepara 16,67%, petani 11,30%, pedagang kayu Sumedang 5,06% dan penggergajian 1,70%. Sedangkan untuk pasar ekspor dengan bahan baku
yang berasal dari Perhutani, total pertambahan nilai per m3 bahan baku adalah Rp.
2.300.000 dengan eksportir masih memperoleh bagian nilai tambah paling besar yaitu 31%. Selanjutnya diikuti oleh Perhutani 27,74%, pengrajin 24%, pedagang kayu Jepara 15,83% dan penggergajian 1,43%. Nilai tambah yang diperoleh Perhutani lebih tinggi dibandingkan nilai tambah yang diperoleh petani kayu karena pengelolaan yang lebih intensif. Pada kedua pasar tersebut yaitu pasar domestik dan ekspor, yang paling sedikit memperoleh nilai tambah adalah pemberi jasa penggergajian.
Banyaknya pelaku yang terlibat dalam rantai nilai mebel kayu mahoni Jepara telah menempatkan pengrajin dan petani pada posisi sebagai price taker. Rantai nilai yang terjadi bersifat buyer driven, dimana para pengrajin (agent) memproduksi mebelnya lebih didasarkan pada order yang spesifikasi produk dan harganya lebih banyak ditentukan oleh principal yaitu pembeli baik pengecer/toko domestik maupun eksportir. Pengrajin sebagai price taker tidak hanya terjadi dalam penjualan produk, tetapi juga terjadi pada pembelian bahan baku dan bahan penolong lainnya. Informasi asimetris yang terjadi antara pedagang kayu dan petani juga telah mengakibatkan posisi petani sebagai price taker.
Hasil analisis manfaat dan biaya, pelaku yang paling tinggi nilai NPV nya adalah eksportir dengan nilai Rp 2.567.456.657, diikuti oleh penggergajian Rp. 843.384.315, pedagang kayu Jepara Rp. 666.892.355, pedagang kayu di Sumedang Rp. 437.007.283 pengecer domestik Rp. 325.926.522, jasa finishing Rp. 251.887.097, pengrajin pada pasar ekspor Rp. 215.861.212, pengrajin pada pasar domestik Rp. 48.818.390, Perhutani KPH Pati Rp. 43.112.510 dan petani Rp. 315.109. Untuk nilai BCR yang paling tinggi adalah penggergajian 1,73, jasa
1,14, pedagang kayu Sumedang (1,09), dan Perhutani (1,08). Sedangkan parameter IRR menunjukkan seluruh kegiatan masih layak diusahakan pada tingkat suku bunga 18%. Besarnya nilai NPV yang diterima oleh eksportir berkaitan dengan besarnya skala usaha yang dijalankan dibandingkan dengan kegiatan yang lain. Apabila dilihat dari parameter BCR, maka kegiatan usaha yang paling menguntungkan adalah jasa penggergajian. Sedangkan parameter IRR menunjukkan bahwa tingkat pengembalian atas investasi pada kegiatan jasa
finishing paling tinggi dibandingkan kegiatan yang lain. Dari hasil tersebut
menunjukkan bahwa pola kemitraan yang terjadi antar pelaku di dalam rantai nilai mebel mahoni yang terjadi selama ini sudah efektif.
Simulasi dasar terhadap model menunjukkan bahwa nilai tambah total pada pasar domestik mengalami peningkatan, sementara nilai tambah total pada pasar ekspor mengalami penurunan. Peningkatan nilai tambah pada pasar domestik terjadi karena peningkatan volume produksi kayu mahoni yang berasal dari hutan rakyat sebagai bahan baku mebel untuk pasar domestik. Sedangkan penurunan yang terjadi pada pasar ekspor disebabkan adanya penurunan volume produksi kayu mahoni yang berasal dari Perhutani, dimana kayu yang berasal dari Perhutani tersebut seluruhnya dipakai untuk bahan baku mebel pasar ekspor. Besarnya kebutuhan kayu untuk industri mebel ini seharusnya merupakan peluang bagi pengembangan usaha kehutanan.
Simulasi skenario kebijakan yang dilakukan adalah: (1) peningkatan efisiensi produksi pada proses penggergajian dan proses pembuatan mebel di tingkat pengrajin; (2) peningkatan volume tebang kayu Perhutani melalui penanaman lahan kosong milik Perhutani; (3) penerapan fair trade melalui penghilangan biaya transaksi. Skenario yang paling besar memberikan nilai tambah pada akhir tahun simulasi untuk pasar domestik adalah meningkatkan efisiensi produksi (Rp. 6,70 milyar), diikuti dengan fair trade (Rp. 4,26 milyar). Sedangkan untuk pasar ekspor, skenario yang paling besar memberikan nilai tambah pada akhir tahun simulasi secara berturut-turut adalah penanaman lahan kosong di areal Perhutani (Rp 81,21 milyar), peningkatan efisiensi (Rp. 73,21 milyar) dan fair trade (Rp. 48,99 milyar).
Berdasarkan hasil simulasi tersebut, beberapa kebijakan yang dapat diterapkan adalah: (1) Efisiensi pada proses pembuatan mebel melalui diversifikasi produk disertai dengan peningkatan kemampuan pengrajin di bidang pemasaran; (2) Peningkatan volume produksi kayu melalui penanaman lahan kosong di Perhutani disertai dengan penerapan kebijakan pengelolaan yang tepat untuk mengurangi tekanan terhadap hutan. Untuk usaha hutan rakyat perlu kebijakan yang bersifat insentif serta dapat meningkatkan faktor endowment dari petani sehingga bagian keuntungan yang diterima petani dapat meningkat; (3) Penerapan fair trade melalui aksi kolektif (collective action) untuk memanfaatkan pasar mebel dengan harga premium. Aksi kolektif juga dapat diterapkan untuk memperkuat posisi jual pengrajin melalui pengendalian harga jual mebel oleh asosiasi yang telah terbentuk. Pemerintah memiliki peranan penting sebagai pengendali karena aksi kolektif sangat rentan terhadap perilaku oportunis.
©Hak cipta milik IPB, tahun 2010
Hak cipta dilindungi undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
MEBEL KAYU MAHONI JEPARA
NUNUNG PARLINAH
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Departemen Manajemen Hutan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
Judul Tesis : Rantai Nilai (Value Chain) Mebel Kayu Mahoni Jepara
Nama : Nunung Parlinah
NIM : E 051060381
Disetujui Komisi Pembimbing:
Dr. Ir. Herry Purnomo, MComp Ketua
Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS Anggota
Diketahui:
Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
(Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS)
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
(Prof. Dr. Ir. Kairil A. Notodiputro, MS)
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Judul penelitian ” Rantai Nilai (Value Chain) Mebel Kayu Mahoni Jepara” ini dilaksanakan pada bulan Juni – Nopember 2008 di Kabupaten Jepara, Kabupaten Sumedang dan KPH Pati.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp dan Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS. selaku komisi pembimbing, yang telah banyak memberikan pengarahan serta bimbingan dalam penelitian. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Departemen Kehutanan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi, serta kepada Center for
International Forestry Research (CIFOR) dan Australian Centre for International
Agricultural Research (ACIAR) Project No. FST/2007/119 (CIFOR Project code:
R-LIV-220-1-ACI16) “Mahogany and teak furniture: action research to improve
value chain efficiency and enhance livelihoods” yang telah banyak memfasilitasi
penelitian ini. Tidak lupa ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah, KPH Pati, Pemerintah Kabupaten Jepara dan Pemerintah Kabupaten Sumedang atas ijin yang diberikan.
Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan. Semoga tesis ini dapat bermanfaat.
Bogor, Pebruari 2010
Penulis dilahirkan di Sumedang pada tanggal 14 Pebruari 1974 dari Bapak Omo Tarsamihardja dan Ibu Katminah. Penulis merupakan putri kedua dari empat bersaudara. Pada tahun 1998 penulis menikah dengan Burhanudin Hadisiswoyo dan dikaruniai dua orang putri yaitu Belanida Aldinisalma dan Ghina Ridhatusalma
Pendidikan sarjana ditempuh di jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun 1997. Kesempatan untuk melanjutkan program master diperoleh pada tahun 2006 pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan diperoleh dari Departemen Kehutanan.
Pada tahun 2000, penulis bekerja di Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumedang sampai dengan tahun 2001. Pada tahun 2002 sampai dengan saat ini penulis bekerja sebagai peneliti di Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Perumusan Masalah ... 3 Tujuan Penelitian ... 5 Hipotesis ... 5 Manfaat Penelitian ... 6
Ruang Lingkup Penelitian ... 6
TINJAUAN PUSTAKA ... 7
Mebel ... 7
Potensi, Produksi dan Perdagangan Mahoni ... 10
Rantai nilai ... 12
Nilai Tambah... 15
Teori Kemitraan dan Biaya Transaksi ... 16
Pendekatan Sistem ... 18
METODE PENELITIAN ... 20
Kerangka Pemikiran ... 20
Lokasi dan Waktu Penelitian ... 22
Pengumpulan Data ... 22
Analisis Data ... 24
KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN ... 31
Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan Pati ... 31
Kabupaten Jepara... 33
Kabupaten Sumedang ... 35
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 39
Identifikasi Aktor ... 39
Distribusi Nilai Tambah... 42
Kelembagaan dan Analisis Pola Kemitraan dalam Rantai nilai... 48
Analisis Manfaat dan Biaya (Benefit Cost Analysis) ... 55
Analisis Perusahaan Pemimpin ... 58
KESIMPULAN DAN SARAN ... 77
Kesimpulan ... 77
Saran ... 78
DAFTAR PUSTAKA ... 80
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Produksi kayu mahoni Perhutani ... 10
2 Perkembangan luas hutan rakyat di Kabupaten Sumedang ... 36
3 Peredaran kayu rakyat dari Kabupaten Sumedang tahun 2007 ... 37
4 Distribusi nilai tambah kayu mahoni untuk pasar domestik ... 43
5 Distribusi nilai tambah kayu mahoni untuk pasar ekspor dari kayu rakyat 45 6 Distribusi nilai tambah kayu mahoni untuk pasar ekspor dari kayu Perhutani... 46
7 Hubungan antar pelaku yang terjadi dalam rantai nilai mebel mahoni ... 54
8 Hasil analisis NPV, BCR dan IRR petani, Perhutani dan pedagang kayu. 55 9. Hasil analisis NPV, BCR dan IRR pada penggergajian, pengrajin pasar domestik, pengrajin pasar ekspor dan jasa finishing... 56
10. Hasil analisis NPV, BCR dan IRR pada eksportir dan pengecer domestik 57 11 Distribusi nilai tambah pasar domestik pada simulasi dasar... 66
12 Distribusi nilai tambah pasar domestik pada skenario efisiensi produksi . 67 13 Distribusi nilai tambah pasar ekspor pada simulasi dasar... 67
14 Distribusi nilai tambah pasar ekspor pada skenario efisiensi produksi ... 68
15 Luas lahan yang ditanami mahoni pada skenario penanaman lahan kosong ... 69
16 Distribusi nilai tambah pasar ekspor pada skenario penanaman lahan kosong ... 71
17 Distribusi nilai tambah pasar domestik pada skenario fair trade ... 72
18 Distribusi nilai tambah pasar ekspor pada skenario fair trade... 73
19 Nilai tambah total pasar domestik dan pasar ekspor pada skenario fair trade... 73
Halaman
1 Nilai ekspor mebel kayu Indonesia tahun 2000 – 2006 ... 8
2 Rantai nilai secara umum ... 13
3 Rantai nilai sederhana ... 14
4 Rantai nilai industri mebel kayu... 15
5 Kerangka pemikiran penelitian ... 21
6 Pencurian pohon di KPH Pati tahun 2003 – 2007 ... 32
7 Produksi kayu di KPH Pati tahun 2002 – 2006 ... 33
8 Kontribusi sektor pada PDRB Kabupaten Jepara periode 2003 – 2006 .... 35
9 Produksi kayu rakyat di Kabupaten Sumedang... 37
10 Kontribusi sektor pada PDRB Kabupaten Sumedang periode 2002 – 2006... 38
11 Produksi mebel pesanan untuk pasar luar negeri... 40
12 Produksi mebel pesanan untuk pasar dalam negeri ... 41
13 Produksi mebel tidak berdasarkan pesanan... 42
14 Diagram sebab akibat usaha mebel kayu mahoni ... 62
15 Dinamika distribusi nilai tambah pasar ekspor (a) dan (b) simulasi dasar, (c) dan (d) skenario efisiensi produksi... 65
16 Dinamika distribusi nilai tambah pasar domestik (a) simulasi dasar, (b) skenario efisiensi produksi ... 66
17 Dinamika volume produksi kayu mahoni pada (a) simulasi dasar, (b) skenario penanaman lahan kosong ... 69
18 Dinamika distribusi nilai tambah pasar ekspor (a) dan (b) simulasi dasar, (c) dan (d) skenario penanaman lahan kosong ... 70
19 Dinamika distribusi nilai tambah pasar domestik (a) simulasi dasar, (b) skenario fair trade... 72
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Susunan kelas hutan KPH Pati ... 85
2 Analisis finansial petani penanam pohon mahoni ... 86
3 Analisis finansial Perhutani... 88
4 Analisis finansial pedagang kayu Sumedang ... 90
5 Analisis finansial pedagang kayu Jepara ... 92
6 Analisis finansial industri gergaji ... 94
7 Analisis finansial pengrajin (domestik) ... 96
8 Analisis finansial pengrajin (ekspor) ... 98
9 Analisis finansial industri finishing ... 100
10 Analisis finansial eksportir... 102
11 Analisis finansial toko/pengecer domestik... 104
12 Simulasi analisis finansial pengrajin (domestik) ... 106
13. Simulasi analisis finansial pengrajin (ekspor)... 108
14 Analisis nilai tambah pengecer luar negeri ... 110
15 Analisis Indeks Herfindal untuk pasar ekspor mebel Jepara (Berdasarkan data ekspor periode Januari 2007 - September 2007)... 111
16 Model utama rantai nilai mebel kayu mahoni Jepara ... 112
17 Spesifikasi model... 113
18 Persamaan model dinamika sistem simulasi dasar ... 119
Latar Belakang
Industri kecil dan menengah, termasuk industri mebel merupakan hal yang penting bagi Indonesia karena selain memberikan kontribusi bagi penerimaan devisa, juga menciptakan lapangan kerja, serta mensubstitusi barang impor dengan harga murah (Tambunan 2006). Selama tahun 2000 – 2005, penerimaan negara yang berasal dari ekspor mebel terus mengalami peningkatan yaitu sebesar 17%, dengan nilai ekspor mebel pada tahun 2005 mencapai US$ 1,78 milyar (ASMINDO dalam USAID-SENADA 2007). Kontribusi terbesar dari ekspor mebel tersebut berasal dari mebel kayu yaitu sebesar 75%, sementara mebel rotan dan logam/plastik masing-masing 20% dan 5% (ASMINDO Komda Jepara 2008). Apabila dibandingkan dengan nilai total ekspor mebel dunia pada tahun 2005 yaitu sebesar US$ 82 milyar (ITTO 2006), maka pangsa pasar mebel Indonesia
sebesar 2,17%. Data ekspor mebel kayu1 COMTRADE (2007) menunjukkan nilai
yang berbeda, dimana pada tahun 2005 nilai ekspor mebel kayu Indonesia
mencapai US$ 1,01 milyar atau sebesar 0,36% 2 dari total Produk Domestik
Bruto (PDB) Indonesia pada tahun 2005 yaitu sebesar Rp. 2.729.708,2 milyar (BPS 2006). Pada tahun 2006, devisa mebel kayu tersebut mengalami peningkatan sebesar 4,06% atau menjadi US$ 1,051 milyar (COMTRADE 2007). Untuk tahun yang sama, volume perdagangan mebel yang berasal dari Kabupaten Jepara mencapai 55.765,74 ton dan menghasilkan devisa sebesar US$ 111,84 juta (BPS Kabupaten Jepara 2007).
Kegiatan di bidang mebel ini tidak hanya menghasilkan devisa, tetapi juga menumbuhkan industri serta menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat antara lain sektor pengusahaan hutan (tanaman dan alam), perdagangan log, industri penggergajian, industri mebel, finishing company, dan ekspor. Menurut Roda et
al. (2007), pada tahun 2005 jumlah industri mebel di Jepara, sebagai sentra
industri mebel, paling sedikitnya terdapat 15.271 unit industri dengan menyerap
1 Yang termasuk dalam furniture ini adalah office furniture woodenness (HS 940330), kitchen
furniture woodenness (HS 940340), bedroom furniture woodenness (HS 940350) dan furniture woodenness (HS 940360).
2 176.470 orang tenaga kerja. BPS Kabupaten Jepara (2007) melaporkan bahwa pada tahun 2006, jumlah eksportir mebel sebanyak 265 yang mencakup 68 negara tujuan ekspor.
Banyaknya jumlah industri tersebut berimplikasi terhadap besarnya konsumsi bahan baku yang dibutuhkan. Menurut Roda et al. (2007) konsumsi kayu di Jepara mencapai 1,5 – 2,2 juta m³ per tahun dengan jenis-jenis kayu yang digunakan antara lain meliputi kayu jati, mahoni, akasia dan kayu dari hutan alam. Banyaknya konsumsi bahan baku yang diperlukan dalam industri ini, tidak hanya menyediakan lapangan pekerjaan di sektor industri dan perdagangan tetapi juga merupakan peluang bagi pengembangan usaha kehutanan.
Konsekuensi lain dari banyaknya industri mebel juga mengakibatkan terjadinya persaingan tidak hanya berupa persaingan antar perusahaan di dalam klaster, tetapi juga persaingan dengan perusahaan pada klaster di tempat yang berbeda. Dengan demikian, keberhasilan suatu perusahaan semakin tergantung pada spesialisasi dan kerjasama dengan perusahaan lainnya di dalam klaster tersebut, untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing (Roda et al. 2007). Dalam perdagangan global, persaingan terjadi bukan hanya antar perusahaan tetapi persaingan juga mencakup seluruh sistem pendukungnya termasuk kebijakan pemerintah, keputusan-keputusan yang dibuat oleh perusahaan pemimpin dan kebijakan lainnya yang berpengaruh terhadap hubungan principal – agent antar pelaku dalam rantai. Kaplinsky dan Morris (2000) mengemukakan bahwa untuk dapat sukses dalam perdagangan global, efisiensi saja tidak cukup, tetapi kesuksesan juga dipengaruhi oleh akses terhadap pasar akhir, kebijakan di pasar akhir dan keputusan dari perusahaan pemimpin di dalam rantai perdagangan.
Dengan melihat besarnya peranan industri mebel bagi penerimaan negara, banyaknya pihak yang terkait di sektor lain seperti kehutanan, perdagangan dan industri, serta semakin pentingnya persaingan yang sistematis, maka perlu upaya untuk menjamin kelangsungan industri mebel termasuk kelangsungan dari segi pasokan bahan baku. Di sini analisis rantai nilai (value chain) memiliki peranan penting, dimana seluruh siklus produksi diperhatikan termasuk hubungan dengan
pasar akhir. Pendekatan rantai nilai berperan dalam membantu menjelaskan
mengidentifikasi kebijakan mana yang sesuai agar memperoleh bagian keuntungan yang lebih baik (Kaplinsky dan Morris 2000).
Perumusan Masalah
Dalam perdagangan global, mebel Indonesia selama tahun 2003 sampai 2005 menguasai 2,5 % dari pangsa pasar dunia (USAID-SENADA 2007), sementara perkembangan pangsa pasar China meningkat dari 3% pada tahun 1995 menjadi 17% di tahun 2005 (ITTO 2006). Pesatnya perkembangan mebel China tersebut akan berpengaruh terhadap penurunan pangsa pasar mebel Indonesia. Sementara itu, perkembangan permintaan mebel yang diperkirakan meningkat sebesar lebih dari 3% di beberapa negara (ITTO 2006), merupakan peluang bagi Indonesia untuk terus meningkatkan pangsa pasar produk mebel termasuk mebel mahoni.
Di lain pihak, semua jenis mahoni yaitu Switenia macrophylla, S. mahagoni dan S. humilis masuk dalam Appendix CITES II yang berimplikasi pada perlunya ijin ekspor dari negara asal kayu dan perlunya ijin impor di beberapa negara tujuan (CITES 2007). Kondisi ini menjadi peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan produksi mebel mahoni dalam rangka memenuhi pasar, karena pemanenan kayu mahoni di tempat tumbuh aslinya yaitu Benua Amerika dibatasi. Peluang Indonesia tersebut didukung dengan besarnya potensi produksi mahoni yang ada. Walaupun jumlah produksi kayu mahoni dari Perhutani terus
mengalami penurunan dimana pada tahun 2000 sebesar 95.049 m3 menjadi 47.383
m3 pada tahun 2004 (Perhutani 2005), namun potensi produksi mahoni dari hutan
rakyat sangat besar. Untuk tahun 2006, produksi kayu mahoni rakyat di Jawa
Tengah sebesar 148.349,97 m3 (Dishut Prov. Jateng 2008), dan Propinsi DIY
15.361,25 m3 (Dishut Propinsi DIY 2006, diacu dalam Hudaya 2006). Sedangkan
produksi kayu pertukangan mahoni di lima kabupaten di Jawa Barat (Sukabumi, Ciamis, Tasikmalaya, Kuningan dan Majalengka) pada tahun 2003 sebesar
50.822,07 m3 (Pasaribu dan Roliadi 2006).
Akan tetapi besarnya peluang pemasaran dari mebel kayu mahoni tersebut mengalami kendala karena adanya kenaikan harga bahan baku kayu yang berasal
4 dari Perhutani. Hal ini akan berpengaruh pada peningkatan harga bahan baku kayu secara keseluruhan termasuk yang berasal dari hutan rakyat.
Bisnis di bidang mebel merupakan sumber mata pencaharian bagi banyak pekerja di Jepara. Pada masa krisis tahun 1997, industri mebel di Jawa Tengah mengalami peningkatan, dimana peningkatan tersebut tidak hanya meliputi tersedianya lapangan kerja, tetapi juga telah meningkatkan pendapatan. Sayangnya, keuntungan yang diperoleh pekerja dan industri tersebut tidak berkelanjutan karena kegiatan ekspor tergantung pada bahan baku yang sebagian berasal dari sumber yang illegal yang mengancam bagi kelestarian hutan (Loebis dan Schmitz 2005). Turunnya ketersediaan kayu kualitas bagus serta mekanisme distribusi dan pemasaran kayu juga merupakan tantangan yang dihadapi sektor mebel kayu di Jawa Tengah (Ewasechko 2005) disamping terjadinya distribusi pendapatan yang tidak seimbang di sepanjang rantai nilai mebel (jati) dan adanya tekanan pada kelestarian tanaman (Purnomo 2006).
Nilai tambah yang diberikan oleh masing-masing pelaku sepanjang rantai nilai jati tersebut terdistribusi tidak merata dimana yang terkecil memperoleh adalah drying kiln 0,2%, dan yang terbesar adalah pengecer internasional 46,7%. Sedangkan petani jati sebesar 5,6%, pedagang kayu 0,9%, penggergajian 0,6%, pengrajin 3,6%, finishing mebel 3,2%, eksportir 11,4%, eksportir di luar negeri
6,1% dan pedagang besar internasional 21,9% (Purnomo 2006).
Ketidakseimbangan distribusi margin keuntungan ini tidak hanya terjadi di dalam rantai nilai mebel, tetapi juga terjadi di dalam rantai nilai rotan di Philipina, dimana yang terbesar memperoleh keuntungan adalah industri (14,05 peso/batang), dan yang terkecil adalah organisasi masyarakat dan pemilik ijin pemanenan (0,42 peso/batang). Sedangkan pemungut rotan memperoleh 10,00 peso/batang, dimana mereka memperoleh rotan di hutan sehingga modal yang dikeluarkan hanya berupa tenaga kerja dan waktu (IRG 2006).
Besarnya distribusi keuntungan yang diperoleh oleh masing-masing pelaku di sepanjang rantai nilai antara lain ditentukan oleh bentuk hubungan principal (pemberi kepercayaan) – agent (penerima kepercayaan) yang terjadi antar aktor di dalam rantai. Hal tersebut terjadi karena masing-masing pelaku ingin
mengemukakan bahwa munculnya ketidaksepadanan informasi antara penjual dan pembeli mengakibatkan kemitraan rentan terhadap perilaku oportunistis. Kondisi ini akan menentukan kelembagaan yang terjadi di dalam rantai nilai, sehingga akan berpengaruh pada daya saing produk mebel dalam perdagangan global.
Melihat banyaknya pelaku di sepanjang rantai nilai mebel mahoni dan banyaknya tenaga kerja yang hidupnya tergantung dari keberlangsungan pasokan bahan baku, maka perlu dicari skenario kebijakan yang akan mendorong bagi peningkatan kegiatan penanaman mahoni baik di masyarakat maupun Perhutani, keberlangsungan industri tetap terjamin dan hutan tetap lestari. Beberapa hal yang ingin dijawab dari penelitian ini adalah: (1) bagaimana distribusi nilai tambah di sepanjang rantai nilai mebel mahoni?, (2) bagaimana kelembagaan dalam rantai nilai mebel mahoni? (3) skenario kebijakan apa yang mendorong bagi kelangsungan industri mebel dan kelestarian penanaman mahoni (kelestarian hutan)
Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan dari penelitian mengenai rantai nilai dengan sistim dinamik adalah mencari skenario kebijakan yang mendorong bagi kelangsungan industri mebel dan kelestarian penanaman mahoni. Secara khusus penelitian bertujuan untuk:
(1) Mengetahui besarnya nilai tambah serta distribusi nilai tambah di sepanjang
rantai nilai mebel mahoni
(2) Mengetahui kelembagaan yang berlaku dalam rantai nilai industri mebel
mahoni
(3) Mengetahui besarnya distribusi nilai tambah yang lebih “adil” bagi para
pelaku dalam rantai nilai mebel mahoni
Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah:
1. Terjadi distribusi nilai tambah yang tidak seimbang di sepanjang rantai nilai
mebel mahoni
6
3. Distribusi nilai tambah mebel kayu mahoni yang lebih ”adil” dapat menjadi
insentif bagi kelangsungan industri mebel dan upaya pelestarian mahoni.
Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan alternatif kebijakan dalam upaya mendorong kelangsungan industri mebel dan kelestarian tanaman mahoni.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian mengenai rantai nilai mebel kayu mahoni Jepara adalah keterkaitan kebelakang mulai dari penjual akhir dari mebel kayu mahoni Jepara yang ada di Jepara sampai ke petani yang menanam mahoni dan Perhutani. Aspek yang diteliti adalah aliran fisik kayu, distribusi nilai tambah sepanjang rantai nilai dan kelembagaan yang terjadi disepanjang rantai nilai.
Mebel
Mebel merupakan salah satu komoditi yang diproduksi dan diperdagangkan secara global. Menurut ITTO (2006), nilai produksi mebel dunia pada tahun 2005 berdasarkan pada data statistik dari 60 negara adalah sebesar US$ 267 milyar, dengan produsen terbesar USA yaitu mencapai US$ 57,4 milyar. Produsen terbesar berikutnya adalah China US$ 37,9 milyar, Italy US$ 23,7 milyar, Jerman US$ 18,9 milyar, Jepang US$ 12,4 milyar, Kanada US$ 11,7 milyar, Inggris US$ 10,1 milyar dan Prancis US$ 9,2 milyar. Kurang lebih 55% dari nilai total produksi mebel dunia tersebut diproduksi oleh negara maju (tidak termasuk China).
Negara tertinggi dalam mengkonsumsi mebel per kapita adalah Norwegia, Kanada, Austria, Switzerland, Denmark dan Finlandia. Sedangkan konsumen mebel terbesar pada tahun 2005 adalah USA (US$ 78,2 milyar), China (US$ 24,9 milyar), Jerman (US$20,5 milyar), Inggris (US$15,5 milyar) dan Jepang (US$ 15,5 milyar) (ITTO 2006).
Dalam hal perdagangan, 54% ekspor mebel dunia berasal dari negara maju, namun sejak tahun 1990-an, pangsa pasar ini menurun sebesar 22%, dan diambil alih oleh negara-negara penting lain seperti Polandia, Malaysia, Indonesia dan Meksiko. Adapun negara pengekspor mebel terbesar di dunia adalah China, dengan nilai ekspor pada tahun 2005 US$ 13,5 milyar dan besarnya tingkat pertumbuhan ekspor pada tahun 2007 meningkat sebesar 17% (ITTO 2006). Sedangkan mebel Indonesia hanya menguasai 2,5% dari pangsa pasar dunia. Pasar ekspor terbesar bagi Indonesia adalah Amerika Serikat sebesar 29,3%, Jepang 9,6%, Belanda dan Inggris masing-masing 6,47%, dan Jerman 5,79% (USAID-SENADA 2007).
Industri mebel di Indonesia sebagian besar termasuk dalam industri kecil dan menengah, telah menyumbangkan devisa yang tidak sedikit. Hal ini dapat dilihat dari besarnya nilai ekspor mebel yang terus mengalami peningkatan, dimana selama tahun 2000 – 2005 meningkat 17% dan benilai US$ 1,78 milyar
8 pada tahun 2005. Sebagian besar ekspor tersebut berasal dari mebel kayu (75%), sementara mebel rotan 20% dan mebel logam/plastik 5% (ASMINDO 2007 dalam USAID-SENADA 2007). Data ASMINDO Komda Jepara (2008) menunjukkan bahwa ekspor mebel kayu Indonesia pada tahun 2005 hampir mencapai US$ 1,351 milyar. Pada tahun-tahun berikutnya, nilai ekspor mebel terus mengalami peningkatan seperti terlihat pada Gambar 1.
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 N il a i (J ut a U S $ ) 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Tahun
Sumber: ASMINDO Komda Jepara (2008)
Gambar 1 Nilai ekspor mebel kayu Indonesia tahun 2000 – 2006.
Selain kontribusinya dalam penerimaan devisa Negara, industri mebel ini juga memiliki peranan yang sangat penting bagi penerimaan daerah terutama di Kabupaten Jepara. Pada tahun 2006, volume perdagangan mebel yang berasal dari Kabupaten Jepara mencapai 55.765,73 ton dan menghasilkan devisa sebesar US$ 111,84 juta (BPS Kabupaten Jepara 2007). Sedangkan Roda et al. (2007) melaporkan bahwa aliran tunai industri mebel di Jepara disinyalir mencapai Rp. 11.971 – 12.255 milyar per tahun.
Disamping besarnya penerimaan daerah dari hasil ekspor mebel, kegiatan ini juga telah menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Menurut data Dinas
Perindustrian Kabupaten Jepara dalam Loebis dan Schmitz (2005), pada tahun 1997 sebanyak 38.264 tenaga kerja diserap oleh 2.439 industri, dan pada tahun 2002 jumlah tersebut meningkat menjadi 3.700 industri dengan menyerap 58.210 tenaga kerja. Data yang berbeda dikemukakan oleh Roda et al. (2007), dimana pada tahun 2002 paling tidak terdapat 12.000 industri dan menyerap 140.000 orang tenaga kerja. Selanjutnya dikatakan bahwa pada tahun 2005 paling sedikit terdapat 15.271 unit industri dengan menyerap 176.470 orang tenaga kerja. Jumlah eksportir mebel di Kabupaten ini sebanyak 265 yang mencakup 68 negara tujuan ekspor (BPS Kabupaten Jepara 2007).
Menurut Roda et al. (2007), hampir semua perusahaan di Jepara mempunyai satu atau lebih perusahaan mitra, sehingga perusahaan sangat terkait satu sama lain melalui ikatan bisnis. Perusahaan di Jepara dapat dikategorikan dalam tiga kelompok yaitu: (1) perusahaan terpadu yang menghasilkan produk jadi atau setengah jadi dari kayu bulat yang belum diolah; (2) perusahaan (tempat penimbunan kayu dan tempat penggergajian kayu) yang berfokus pada pengolahan awal bahan baku kayu dan menghasilkan kayu gergajian untuk keperluan kelompok ketiga; (3) bengkel yang menggunakan kayu gergajian serta berbagai komponen dan menghasilkan produk jadi. Berdasarkan sumber bahan baku, industri lokal dapat dikelompokkan menjadi (1) bengkel yang memperoleh bahan baku secara langsung dari luar Jepara; (2) bengkel yang memperoleh bahan baku secara tidak langsung dengan membelinya dari tempat penimbunan kayu atau penjual di Jepara. Kelompok kedua ini umumnya tidak memiliki modal untuk membeli semua bahan baku, mereka memperoleh pinjaman dari pembelinya. Bahan baku kayu bulat yang telah dibeli tersebut selanjutnya di sub kontrakkan ke penggergajian awal kemudian membawanya ke tempat kerjanya.
Banyaknya jumlah industri mebel tersebut telah mengakibatkan banyaknya bahan baku yang dibutuhkan. Menurut Roda et al. (2007) konsumsi kayu untuk industri mebel di Jepara mencapai 1,5 – 2,2 juta m³ per tahun. Dengan demikian, kelangsungan dari industri-industri tersebut sangat tergantung dari kelangsungan bahan bakunya itu sendiri.
10
Potensi, Produksi dan Perdagangan Mahoni
Adapun jenis-jenis kayu yang biasa digunakan dalam membuat mebel di Jepara antara lain Jati (Tectona grandis), kayu mahoni (Swietenia macrophylla), sonokeling, waru, mangga, suren, duren, akasia dan rimba lainnya (Ewasechko 2005; DEPERIN 2006; Roda et al. 2007). Kayu-kayu tersebut antara lain berasal dari hutan Perhutani, hutan rakyat di Jawa dan hutan di Luar Jawa (Ewasechko 2005; DEPERIN 2006; USAID-SENADA 2007).
Mahoni sebagai salah satu jenis kayu yang banyak digunakan dalam pembuatan mebel di Jepara, memiliki potensi yang cukup tinggi. Luas hutan produksi Perum Perhutani adalah 1.943.449,55 Ha dimana 3,89% atau 75.537,98 Ha merupakan hutan produksi mahoni. Namun demikian, berdasarkan data statistik Perhutani tahun 2005, volume produksi kayu mahoni terus mengalami penurunan seperti terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Produksi kayu mahoni Perhutani
Tahun Produksi (m3) 2000 95.049 2001 73.599 2002 86.931 2003 65.774 2004 47.383 Sumber: Perhutani (2005)
Penurunan produksi kayu mahoni Perhutani tersebut menjadikan kayu mahoni dari hutan rakyat sebagai alternatif bahan baku. Berdasarkan data dari Departemen Kehutanan (2004), potensi kayu mahoni masyarakat tahun 2003 sebanyak 45,26 juta pohon yang dikuasai oleh 2,31 juta rumah tangga. Tanaman mahoni ini merupakan tanaman ketiga terbesar yang dikuasai oleh masyarakat setelah jati (79,71 juta pohon) dan sengon (59,83 juta pohon). Adapun yang menjadi daerah potensi utama mahoni adalah Jawa Tengah (39,04%), Jawa Barat (27,56%) dan Jawa Timur (11,63%).
Produksi kayu rakyat di Jawa Tengah tahun 2006 adalah sebesar
1.139.723,57 m3, dimana produksi kayu mahoni sebesar 148.349,97 m3 (13%)
Propinsi DIY tahun 2006 adalah 128.980,43 m3, dan 11,9% (15.361,25 m3 ) dari kayu tersebut adalah mahoni (Dishut Prov DIY 2006, diacu dalam Hudaya 2008). Sedangkan potensi mahoni rakyat di lima kabupaten di Jawa Barat (Sukabumi, Ciamis, Tasikmalaya, Kuningan dan Majalengka) pada tahun 2003 seluas
17.875,63 ha yang menghasilkan kayu pertukangan mahoni sebesar 50.822,07 m3
(Pasaribu dan Roliadi 2006).
Dalam perdagangan mahoni dunia, kebanyakan kayu yang diperdagangkan berasal dari hutan alam dan sebagian kecil berasal dari hutan tanaman. Ekportir utama kayu ini adalah Brazil, Bolivia dan Peru, dan importir yang paling utama adalah Amerika dan Inggris. Perdagangan kayu mahoni dari hutan tanaman di Asia Tenggara yaitu berasal dari Malaysia, Indonesia dan Philippina (Soerianegara dan Lemmens 1994). Dengan masuknya seluruh jenis mahoni dalam appendix II CITES yaitu Swietenia macrophylla King (mahoni daun besar) pada tahun 2003, S. mahagoni tahun 1992, Jacq (mahoni daun kecil) dan S.
humilis Zucc tahun 1975 (CITES 2007; Burley et al. 2004; Grogan dan Barreto
2005), mengandung konsekuensi bahwa perdagangan internasional dari mahoni perlu adanya verifikasi yang menjamin penebangan kayu secara legal dan dengan cara yang tidak menimbulkan kerusakan ekosistemnya (Grogan dan Barreto 2005). Kondisi ini merupakan peluang bagi Indonesia untuk memenuhi permintaan pasar. Hal ini disebabkan tanaman mahoni di Indonesia merupakan tanaman eksotis.
Tanaman mahoni (Swietenia) termasuk dalam famili Meliaceae, secara alami terdapat di daerah tropis Amerika antara 20° LU dan 18° LS. Terdapat di Mexico tengah melalui Amerika Tengah dan India Barat termasuk Florida bagian Barat menuju Bolivia, Peru dan Brazil (Soerianegara dan Lemmens 1994). Tanaman mahoni yang ada di Indonesia terdiri dari dua jenis yaitu S. macrophylla King dan S. mahagoni Jacq.
Besarnya ketergantungan industri mebel terhadap pasokan bahan baku sementara produksi kayu dari Perhutani yang semakin menurun walaupun diimbangi dengan meningkatnya produksi kayu rakyat, telah mengakibatkan persaingan yang tinggi antar pelaku bisnis mebel untuk memperoleh bahan baku yang diperlukannya. Persaingan tersebut tidak hanya terjadi dalam upaya
12 pemenuhan bahan baku, tetapi persaingan juga terjadi dalam hal penjualan produk mebel yang dihasilkannya. Kondisi ini telah membentuk para pelaku berhubungan satu sama lain dalam jaringan yang kompleks seperti yang dikemukakan oleh Kaplinsky et al. (2003) mengenai rantai nilai industri mebel kayu.
Rantai Nilai
Istilah rantai nilai (value chain) banyak digunakan dalam berbagai bidang penelitian dengan menggunakan berbagai terminologi yang berbeda. Istilah-istilah seperti global commodity chains, value chains, value systems, production
network dan value networks merupakan istilah yang banyak digunakan oleh para
peneliti (Gereffi et al. 2001). Penggunaan istilah rantai nilai ini tergantung dari konteks yang digunakan. Menurut Kaplinsky dan Morris (2000) telah terjadi tumpang tindih dengan konsep sejenis yang digunakan dalam konteks yang lain. Rantai nilai ini bervariasi tergantung dari skala kegiatan organisasi (Sturgeon 2001).
Istilah rantai nilai pertama kali dikemukakan oleh Michael E. Porter pada tahun 1985 dalam bukunya “Competitive Advatage: Creating and Sustaining
Superior Performance”. Menurut Porter, rantai nilai merupakan alat untuk
menguji seluruh kegiatan perusahaan secara sistematik serta bagaimana hubungannya untuk menganalisis daya saing perusahaan. Porter membedakan dua elemen penting dari analisis rantai nilai yaitu (Porter 1985; Kaplinsky dan Morris 2000):
a. Berbagai kegiatan yang diselenggarakan dalam hubungan rantai tertentu. Di
sini menggambarkan kegiatan transformasi input menjadi output (inbound logistik, operasional, outbound logistik, pemasaran dan penjualan, dan jasa) serta berbagai jasa pendukung perusahaan (infrastuktur perusahaan, sumberdaya manusia, pengembangan teknologi, dan pengadaan) untuk menyelesaikan pekerjaannya. Kegiatan intra-link ini disebut sebagai rantai nilai (value chain).
Sumber: Porter (1985)
Gambar 2 Rantai nilai secara umum.
b. Konsep rantai nilai multi-link yang disebut sebagai value system. Value
system pada dasarnya merupakan pengembangan dari rantai nilai intra link
menjadi hubungan inter-link.
Sedangkan Womack dan Jones menggunakan frase value stream untuk merujuk pada istilah rantai nilai (Kaplinsky dan Morris 2000). Konsep lain yang hampir sama mengenai rantai nilai adalah filiere yang digunakan untuk menggambarkan aliran input secara fisik dan jasa dalam memproduksi suatu produk akhir yang intinya tidak ada perbedaan antara Porter atau Womack dan Jones.
Konsep rantai nilai yang ketiga adalah yang dikemukanan oleh Gereffi selama pertengahan 1990-an, dimana rantai nilai digambarkan sebagai global
commodity chain. Konsep ini memfokuskan pada koordinasi penyebaran global
dari sistem produksi (Kaplinsky dan Morris 2000). Gereffi mengemukakan bahwa beberapa rantai terkarakterisasi oleh anggota atau beberapa anggota yang dominan, sehingga anggota tersebut menentukan karakter dari rantai. Sebagai perusahaan pemimpin, mereka menjadi bertanggung jawab untuk meningkatkan kegiatan hubungan individu dan mengkoordinasikan interkasi antar link.
Disamping terdapat istilah yang berbeda mengenai rantai nilai, Kaplinsky dan Morris (2000) membedakan rantai nilai menjadi rantai nilai sederhana dan
Kegiatan Pendukung Infrastruktur Perusahaan Pengembangan Teknologi Manajemen SDM Inbound Logistic Operasi Outbound Logistic Procurement Penjualan & Pemasaran K e u n t u n g a n Pelayanan Kegiatan Utama
14 rantai nilai kompleks. Dalam hal ini, Kaplinsky dan Morris (2000) mendefinisikan rantai nilai sebagai gambaran kegiatan yang diperlukan untuk menghasilkan suatu barang atau jasa, dimana barang dan jasa tersebut bermula dari sebuah gagasan, selanjutnya melalui beberapa tahap produksi yang berbeda untuk kemudian dibawa ke konsumen dan akhirnya didaur ulang setelah dipergunakan. Gambar dari sebuah rantai nilai sederhana seperti tersaji pada Gambar 3.
Sumber: Kaplinsky dan Morris (2000)
Gambar 3 Rantai nilai sederhana.
Berdasarkan gambar di atas, proses pembuatan sebuah produk bermula dari kegiatan desain dilanjutkan dengan proses produksi untuk kemudian dipasarkan, sehingga produk yang dihasilkan dapat dinikmati oleh konsumen. Produk tersebut pada akhirnya didaur ulang setelah dipergunakan. Dalam dunia sesungguhnya, tentu saja rantai nilai tidak sesederhana seperti yang diilustrasikan pada Gambar 3. Pada dunia nyata, rantai nilai cenderung lebih kompleks dan banyak link yang saling berhubungan, seperti yang terjadi pada rantai nilai industri mebel kayu yang dikemukakan oleh Kaplinsky dan Morris (2000); Kaplinsky et al. (2003) pada gambar berikut:
Disain dan pengembangan produk Produksi -logistik -transformasi -input -pengemasan -dll
Pemasaran Pemakaian/ daur
ulang
Disain Produksi Pemasaran Pemakaian/ daur
Sumber: Kaplinsky dan Morris (2000); Kaplinsky et al. (2003), dimodifikasi
Gambar 4 Rantai nilai industri mebel kayu.
Nilai Tambah
Masing-masing pelaku yang terlibat dalam rantai nilai mebel tersebut memberikan nilai tambah dalam setiap prosesnya. Nilai tambah adalah selisih antara pendapatan yang diperoleh dari penjualan barang atau jasa dan biaya untuk pembelian barang atau jasa yang diperlukan untuk menghasilkan barang atau jasa (Anonim 1997, diacu dalam Susanty 2000)
Pengertian nilai tambah adalah perbedaan antara harga pembelian bahan mentah atau bagian-bagian yang selesai dikerjakan dalam proses produksi dan harga penjualan produk yang bersangkutan. Dalam pengertian nilai tambah di sini, dikenal dua metode untuk menghitung nilai tambah yaitu (1) nilai tambah
Bibit Kimia Disain Mesin Mesin Logistik,k ualitas Mesin Air Kehutanan Penggergajian Industri mebel Cat, perekat, dll Pembeli Pedagang besar dalam negeri Pedagang pengecer domestik Pedagang besar luar negeri Pedagang pengecer luar negeri Konsumen
16 kotor (gross value added), adalah berdasarkan nilai tambah produk yang dicapai dari penjualan pada suatu periode dikurangi harga pokok penjualannya (Sudarsono 1992, diacu dalam Sumaryuwono 2001); (2) nilai tambah bersih (net
value added), besarnya nilai tambah ini, sama dengan pendapatan yang berasal
dari hasil penjualan suatu produk, dikurangi dengan pengeluaran untuk memiliki/menghasilkan produk tersebut, yang terdiri dari harga pokok penjualan, biaya pemasaran, penyusutan, bunga pinjaman dan pajak pemerintah (Aliludin 1993 dalam Sumaryuwono 2001).
Besarnya nilai tambah yang diperoleh masing-masing pelaku dalam rantai nilai mebel menurut Purnomo (2006) terdistribusi tidak merata, dimana yang terkecil memperoleh adalah drying kiln 0,2%, dan yang terbesar adalah pengecer internasional 46,7%. Besarnya keuntungan yang diperoleh masing-masing pelaku tersebut dipengaruhi oleh hubungan kemitraan yaitu hubungan principal – agent antar pelaku yang membentuk aturan main (kelembagaan) dan karakteristik dari rantai nilai yang ada.
Teori Kemitraan dan Biaya Transaksi
Persaingan dalam industri mebel tidak hanya terjadi antar perusahaan di dalam klaster, tetapi persaingan juga terjadi dengan perusahaan lain pada klaster yang berbeda. Dengan demikian maka keberhasilan dalam persaingan tidak hanya ditentukan oleh perusahaan itu sendiri, tetapi juga ditentukan oleh sistem pendukungnya termasuk kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, kebijakan dari perusahaan pemimpin, dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak lain seperti tuntutan adanya sertifikasi (menurut Kaplinsky dan Morris (2000) fungsi ini termasuk dalam fungsi legislatif). Kebijakan-kebijakan tersebut berpengaruh terhadap hubungan kemitraan antar pelaku di dalam rantai sehingga membentuk kelembagaan dan peta kekuatan yang ada di dalam rantai.
Untuk memaksimumkan keuntungan para pelaku yang terlibat, ke dalam perusahaan mengalami permasalahan jaringan kontrak antara pemilik modal dan manajernya, serta manajer dan bawahannya. Ke luar perusahaan menghadapi permasalahan hubungan atau jaringan kontrak antara perusahaan dengan mitra pemasok input (supplier) dan pembeli output (buyer) (Nugroho 2003). Salah satu
pendekatan yang digunakan untuk mempelajari teori kemitraan adalah pendekatan hubungan yang memberi kepercayaan (principal) dan yang menerima kepercayaan (agents) atau secara umum disebut principal-agent relationship. Analisis principal – agent ini merupakan alat yang populer dan sangat berguna dalam ilmu sosial sejak awal 1970-an terutama dalam akutansi, ekonomi, keuangan, management, teori organisasi dan sosiologi (Munro 2001).
Eggertsson (1990), diacu dalam Nugroho (2003) menyebutkan bahwa teori kemitraan merupakan teori yang biasanya digunakan utuk menjelaskan hubungan hirarkis, tetapi secara umum dapat dimanfaatkan pula untuk menjelaskan berbagai bentuk pertukaran (exchange). Dalam hubungan hirarkis yang kompleks seseorang dapat memainkan peranan secara simultan baik sebagai agent bagi
principal di atasnya, dan sebagai principal bagi agent di bawahnya (Whynes
1993). Hubungan kemitraan yang mungkin terjadi di dalam rantai nilai mebel yaitu antara pembeli produk mebel dengan industri pembuatnya, dan antara pedagang log dengan industri dan petani. Hubungan antara principal (pemberi kepercayaan) dan agent (penerima kepercayaan) selalu memunculkan masalah ketidaksepadanan informasi antara penjual dan pembeli mengakibatkan kemitraan rentan terhadap perilaku oportunitis (Nugroho 2003). Selanjutnya dikatakan bahwa hubungan principal-agent akan efisien jika tingkat harapan keuntungan (reward) kedua belah pihak seimbang dengan korbanan masing-masing serta biaya transaksi sehubungan dengan pembuatan kontrak atau kesepakatan dapat diminimumkan. Hubungan principal-agent yang efisien mejadi sesuatu yang kompleks untuk dipecahkan, karena munculnya informasi asimetris (asymentric
information) dan sangat ditentukan oleh derajat penolakan terhadap resiko.
Derajat penerimaan terhadap resiko dapat dikelompokkan menjadi: (1) kelompok yang menyukai resiko (risk lover), (2) tidak menyukai resiko (risk averter) dan (3) netral terhadap resiko (risk neutral) (Varian 1992; Silberberg 1990; Beaty dan Taylor 1984; dan Eggertsson 1990, diacu dalam Nugroho 2003).
Menurut North (1990), biaya transaksi ialah biaya untuk mengukur nilai atribut barang dan jasa (information cost), biaya untuk melindungi hak atas barang (exclusion cost), biaya untuk menetapkan kontrak (contractual cost) dan biaya untuk menjalankan perjanjian (policing cost). Ostrom et al. (1993),
18 mengemukkan bahwa biaya transaksi meliputi: (1) biaya koordinasi (coordination
cost) yaitu biaya untuk waktu, dana dan personel dalam negosiasi, pengawasan
dan penegakan kesepakatan; (2) biaya informasi (information cost) yaitu biaya untuk mencari dan mengorganisasi data termasuk biaya atas kesalahan informasi; (3) biaya strategis (strategic cost) biaya yang diakibatkan oleh kepemilikan informasi, kekuasaan dan sumberdaya yang tidak sepadan diantara pelaku, umumnya untuk membiayai aktivitas free riding, rent seeking dan corruption.
Kegiatan pembuatan mebel yang banyak melibatkan para pelaku (aktor) mulai dari hulu (petani), industri, pedagang sampai pada konsumen, adanya hubungan principal – agent dan distribusi nilai tambah yang tidak seimbang antar pelaku menyebabkan perumusan menjadi kompleks. Menurut Eriyatno (2003), karakteristik permasalahan tersebut memerlukan pendekatan sistem, karena pemikiran sistem selalu mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh.
Pendekatan Sistem
Menurut Manetsch dan Park (1979), diacu dalam Eriyatno (2003), secara definitif sistem adalah suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan-tujuan. Sedangkan Grant et al. (1997) mendefinisikan sistem sebagai kumpulan komponen-komponen fisik yang terorganisasi dan saling berhubungan yang dicirikan oleh suatu batasan dan kesatuan fungsional atau dapat didefinisikan sebagai kumpulan materi-materi dan proses yang saling berhubungan dan bersama-sama membentuk satu set fungsi. Analisis sistem merupakan kesatuan dari teori-teori dan teknik untuk mempelajari, menggambarkan, dan membuat prediksi tentang sesuatu yang kompleks, dimana analisis sistem menekankan pendekatan holistik pada pemecahan masalah dan penggunaan model matematis untuk mengidentifikasi serta mensimulasikan karakter-karakter dalam suatu sistem yang kompleks (Grant et al. 1997).
Pemodelan adalah proses membangun sebuah model dari sistem nyata dalam bahasa formal tertentu. Model itu sendiri menurut Simatupang (1994) adalah suatu representasi atau formalisasi dalam bahasa tertentu dari suatu sistem nyata.
Melalui simulasi, pengkaji dapat menarik kesimpulan-kesimpulan tentang perilaku dari suatu sistem, dengan menelaah perilaku dari model yang selaras, dimana hubungan sebab akibatnya sama dengan atau seperti yang ada pada sistem yang sebenarnya (Eriyatno 1999). Simulasi menurut Grant et al. (1997) adalah proses penggunaan model untuk meniru atau menggambarkan secara bertahap sistem yang dipelajari. Model simulasi terbentuk dari suatu susunan operasi matematik dan logika yang bersama-sama mewakili struktur dan perilaku dari ruang lingkup sistem. Model-model simulasi tersebut termasuk model dinamis dimana model ini menggambarkan hubungan yang bervariasi oleh waktu. Purnomo (2006) mengemukakan bahwa sistem dinamik adalah metodologi umum yang digunakan terutama untuk mempelajari perilaku dinamis dari berbagai sistem kompleks.
METODE PENELITIAN
Kerangka Pemikiran
Industri mebel merupakan industri yang memiliki peranan penting dalam penerimaan devisa negara dan penerimaan daerah, terutama Kabupaten Jepara, disamping peranannya dalam penyerapan tenaga kerja. Dari sisi pasokan bahan baku, kelangsungan industri mebel sangat dipengaruhi oleh harga dan kelangsungan dari bahan baku itu sendiri. Bahan baku tersebut selain berasal dari Perhutani juga berasal dari hutan rakyat. Dari sisi penjualan, tujuan penjualan produk mebel dapat berupa pasar domestik dan pasar ekspor.
Rantai nilai mebel dapat digolongkan sebagai buyer driven yaitu rantai nilai dimana pengecer atau pedagang besar mendominasi aturan-aturan dalam sistem produksi. Sistem produksi yang dikendalikan antara lain model dan spesifikasi dari produk yang akan dibuat. Karakteristik lain dari rantai nilai mebel adalah banyaknya pelaku atau aktor yang terlibat dalam kegiatan bisnis mebel. Para pelaku berhubungan satu sama lain, sehingga membentuk jaringan yang kompleks.
Selain adanya aliran dan perubahan fisik kayu di sepanjang rantai nilai mebel kayu mahoni Jepara (dimana dalam penelitian ini dibatasi dari petani dan Perhutani sampai kepada eksportir dan pengecer domestik yang berlokasi di Jepara), setiap pelaku di sepanjang rantai nilai juga memberikan nilai tambah pada setiap prosesnya. Sedangkan besarnya keuntungan yang diperoleh masing-masing pelaku sepanjang rantai nilai dan kelayakan finansial dari masing-masing tahap produksi dipengaruhi oleh hubungan principal – agent antar pelaku dan membentuk kelembagaan yang terjadi di sepanjang rantai nilai. Besarnya distribusi dari nilai tambah tersebut dapat mempengaruhi pada kelestarian usaha mebel dan kelestarian hutan. Dengan melihat adanya keterkaitan berbagai faktor yang mempengaruhi kelangsungan industri mebel, maka dikembangkan model dinamik dari luas tanaman mahoni dan produksi kayu mahoni sebagai sumber bahan baku, perdagangan kayu (aliran fisik) dan distribusi nilai tambah. Secara
ringkas, kerangka pemikiran dari penelitian rantai nilai mebel mahoni seperti terlihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Kerangka pemikiran penelitian.
Pemetaan aktor dalam rantai nilai mebel
Karakteristik Rantai nilai mebel
Identifikasi aktor Analisis distribusi nilai tambah Analisis pola kemitraan Kelayakan finansial Distribusi nilai tambah Kelembagaan (institusi) Skenario Kebijakan Analisis manfaat biaya
Distribusi nilai tambah seimbang Posisi tawar seimbang Kegiatan usaha menguntungkan
Analisis perusahaan pemimpin
Analisis sistem (pemodelan) ya tidak Industri mebel dan hutan lestari Industri mebel dan hutan tidak lestari Dipertahankan
22
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Jepara – Propinsi Jawa Tengah, Kabupaten Sumedang – Propinsi Jawa Barat, dan KPH Pati – Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Adapun waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai bulan Nopember 2008. Kabupaten Jepara dipilih sebagai lokasi penelitian karena Jepara merupakan sentra industri mebel, sedangkan Kabupaten Sumedang merupakan salah satu kabupaten yang menjadi sumber bahan baku industri mebel di Jepara. Untuk KPH Pati selain merupakan sumber bahan baku bagi industri mebel di Jepara, KPH Pati secara administratif termasuk dalam lima kabupaten yang salah satunya adalah Kabupaten Jepara.
Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder.
(1) Data primer diperoleh melalui wawancara dengan responden, antara lain
meliputi: (a) identitas responden; (b) identifikasi unit manajemen; (c) data volume pembelian dan penjualan produk, serta data biaya input dan harga penjualan produk; (d) asal pembelian bahan baku dan tujuan penjualan produk; dan (e) informasi mengenai aturan-aturan yang berlaku di sepanjang rantai nilai mebel mahoni Jepara. Adapun langkah-langkah yang dilakukan untuk memperoleh data primer adalah sebagai berikut:
Menurut Kaplinsky dan Morris (2000); Kaplinsky et al. (2003), rantai nilai untuk industri mebel termasuk dalam kategori buyer driven. Dengan asumsi ini, maka penelitian dilakukan dengan cara backward yaitu melihat keterkaitannya ke belakang. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode snowball (tidak termasuk KPH Pati dan petani), dimana aktor-aktor yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah:
1. Eksportir (+finishing) sebanyak 3 responden.
2. Pengecer/toko domestik (+finishing) sebanyak 3 responden.
3. Perusahaan jasa finishing sebanyak 3 responden.
4. Pengrajin mebel sebanyak 15 responden. Pengrajin tersebut terbagi
pasar domestik dan pengrajin yang memproduksi mebel untuk pasar ekspor.
5. Perusahaan jasa penggergajian sebanyak 3 responden. Sampel yang
diambil adalah perusahaan jasa penggergajian yang lokasinya berdekatan dengan lokasi pengrajin.
6. Pedagang kayu sebanyak 8 responden (3 responden pedagang kayu di
Jepara, dan 5 responden pedagang kayu di Sumedang). Sampel pedagang kayu di Jepara adalah pedagang kayu yang lokasinya dekat dengan penggergajian. Sedangkan sampel pedagang kayu di Sumedang adalah pedagang kayu yang memasok mahoni ke Jepara.
7. Petani yang menanam mahoni di Kabupaten Sumedang sebanyak 21
responden. Pengambilan sampel untuk masyarakat diwilayah ini dilakukan secara purposive terhadap masyarakat yang memiliki tanaman mahoni.
8. Perhutani yang menjadi sampel adalah Perhutani KPH Pati. KPH Pati
merupakan salah satu sumber bahan baku bagi industri mebel di Jepara selain secara administratif sebagian dari wilayah KPH Pati merupakan bagian dari Kabupaten Jepara.
(2) Data sekunder yang digunakan dalam penelitian antara lain meliputi: (a)
data volume dan nilai penjualan mebel di Kabupaten Jepara; (b) data tujuan penjualan mebel dari Kabupaten Jepara; (c) data potensi tegakan mahoni Perhutani KPH Pati; (d) data potensi tegakan mahoni yang berasal dari rakyat di Kabupaten Sumedang. Seluruh data sekunder dan informasi yang diperlukan dalam penelitian ini dilakukan dengan kegiatan pencatatan. Data tersebut berasal dari instansi terkait antara lain Dinas Perindustrian Perdagangan, Koperasi dan Penanaman Modal Kabupaten Jepara, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Jepara, Biro Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Jepara, Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah, Perhutani KPH Pati, Dinas Kehutanan Sumberdaya Mineral dan Energi Kabupaten Sumedang, dan BPS Kabupaten Sumedang.
24
Analisis Data
Untuk memahami dinamika rantai nilai dari mebel kayu mahoni Jepara, dalam penelitian ini dilakukan identifikasi para pelaku yang terlibat dalam rantai nilai mebel, analisis mengenai distribusi nilai tambah, identifikasi kelembagaan yang ada di sepanjang rantai nilai dan analisis manfaat dan biaya (benefit cost
analysis) disetiap kegiatan. Dari hasil analisis tersebut selanjutnya dilakukan
analisis mengenai perusahaan pemimpin (leading firm) dalam rantai nilai mebel dan menerapkan berbagai skenario kebijakan dengan menggunakan model dinamik (dynamic modelling).
Identifikasi para pelaku (aktor)
Identifikasi aktor sepanjang rantai nilai mebel dilakukan melalui penelusuran dan keterkaitan ke belakang dimulai dari eksportir dan pengecer/toko domestik sampai ke penanam mahoni yaitu petani dan Perhutani. Selanjutnya memetakan hubungan antar aktor yang terlibat dalam sebuah diagram.
Analisis distribusi nilai tambah
Untuk mengetahui besarnya distribusi nilai tambah yang diterima masing-masing aktor sepanjang rantai nilai mebel mahoni Jepara, maka dilakukan analisis dengan tahapan sebagai berikut:
(1) Analisis aliran produk di setiap pelaku antara lain meliputi: a) nilai output
kotor, b) nilai output bersih, c) aliran fisik dari barang, dan d) tujuan pemasaraan.
(2) Langkah berikutnya adalah analisis nilai tambah dan distribusi nilai
tambah. Margin keuntungan yang diterima oleh masing-masing aktor (lembaga pemasaran) dirumuskan sebagai berikut:
π = Ps – Pb – C
Dimana,
π = Keuntungan yang diterima oleh setiap pelaku (aktor)
Ps = Harga jual produk di setiap pelaku
Pb = Harga beli produk di setiap pelaku
Untuk mengetahui distribusi dari margin keuntungan, selanjutnya dilakukan perhitungan berdasarkan persentase keuntungan masing-masing lembaga pemasaran terhadap keuntungan total seluruh lembaga pemasaran
Identifikasi kelembagaan
Identifikasi kelembagaan atau aturan-aturan yang ada di sepanjang rantai nilai mebel mahoni Jepara. Identifikasi ini dilakukan terhadap kebijakan dari perusahaan pemimpin dan kebijakan lainnya yang berpengaruh terhadap hubungan antar aktor berupa hubungan principal – agent yang terlibat di dalam rantai nilai.
Analisis manfaat dan biaya (benefit cost analysis)
Analisis manfaat biaya yang dilakukan dalam penelitian adalah nilai kini manfaat bersih (Net Present Value – NPV), rasio manfaat dan biaya (Benefit Cost
Ratio – BCR), dan tingkat pengembalian internal (Internal rate of return – IRR)
(Davis et al. 2001).
1. Nilai kini manfaat bersih (NPV). Menghitung nilai kini manfaat dikurangi
biaya pada periode analisis dan tingkat bunga tertentu
Rumus:
∑
==
n tNPV
1 (Rt – Ct) (1 + i)-tKeterangan: i = tingkat suku bunga
t = periode analisis
Rt = manfaat pada akhir setiap periode t
Ct = biaya pada akhir setiap periode t
n = jumlah periode pendiskontoan (periode analisis) Dengan kriteria ini, proyek dinyatakan layak dijalankan apabila NPV ≥ 0
2. Rasio manfaat dan biaya (BCR), adalah perbandingan antara manfaat dengan
biaya saat ini dari aliran kas, pada tingkat bunga dan periode analisis tertentu
Rumus: