Metode sejarah bertujuan untuk memastikan dan menganalisis serta mengungkapkan kembali fakta-fakta masa lampau. Untuk menjadikan suatu tulisan sejarah yang ilmiah maka penulisan sejarah menggunakan metode sejarah. Sejumlah sistematika penulisan yang terangkum didalam metode sejarah sangat membantu setiap penelitian didalam rekonstruksi kejadian pada masa lampau. Metode sejarah terdiri dari beberapa tahap, yaitu Heuristik (pengumpulan sumber), Verifikasi (kritik intern dan kritik ekstern), Interpretasi (analisis), dan terakhir Historiografi (penulisan).9
1. Heuristik
Heuristik merupakan tahapan awal dalam metode sejarah untuk mencari dan menemukan sumber yang diperlukan. Pada tahapan ini peneliti akan mencari data-data melalui dua cara, yaitu studi lapangan (field research) dan studi kepustakaan (library research). Pada studi lapangan (field research) nantinya peneliti akan lebih menekankan pada metode wawancara. Hal ini dapat dilakukan karena masih terdapatnya informan yang memahami perkembangan fakultas kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Studi kepustakaan dilakukan dengan mencari referensi sebanyak mungkin seperti buku-buku, arsip yang berhubungan dengan masalah penelitian di
9Kuntowijoyo, “Pengantar Ilmu Sejarah”, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya,1995. hlm.89
perpustakaan, misalnya perpustakaan Universitas Sumatera Utara, perpustakaan Fakultas Kedokteran USU, Perpustakaan FKM USU, Perpustakaan Tengku Lukman Sinar, Perpustakaan Pemerintah Daerah di Kota Medan, dan juga buku-buku pedoman FK USU. Selain dari pada itu juga dilakukan melalui wawancara dengan informan dari instansi-instansi yang terkait, seperti: IKA Fakultas Kedokteran USU, PEMA FK USU, Dll.
2. Verifikasi
Verifikasi atau kritik sumber merupakan tahapan kedua dalam penelitian sejarah. Pada tahapan kedua ini, peneliti harus menyeleksi sumber atau bahan yang dikumpulkan, sehingga akan dihasilkan suatu nilai kebenaran dan keaslian sumber.
Dengan kata lain sumber atau data-data akan objektif.
Dalam tahap ini sumber-sumber yang telah dikumpulkan akan melalui proses kritik internal, data-data yang di dapat baik dari sumber lisan maupun tulisan akan diklasifikasikan menjadi sumber primer atau sumber sekunder. Selanjutnya sumber primer dan sekunder melalui proses kritik eksternal, yaitu pengujian untuk menentukan keaslian sumber baik dari buku maupun wawancara narasumber. Hal ini dilakukan demi menjaga keobjektifan suatu data.
Dengan demikian kritik intern maupun kritik ekstern merupakan bagian penting dalam proses penelitian sumber sejarah. Sehingga dari proses penilaian tersebut dapat diperoleh keaslian dan kebenaran terhadap sumber sejarah baik yang berhubungan dengan isi atau materi maupun bahan yang akan digunakannya.
3. Interpretasi
Interpretasi merupakan tahapan ketiga dalam metode sejarah. Setelah fakta untuk mengungkap dan membahas masalah yang diteliti cukup memadai, kemudian dilakukan interpretasi, yaitu penafsiran atau penganalisisan terhadap hasil kritik sumber. Dalam tahap ini, data primer dan sekunder akan dianalisis secara mendalam untuk mendapatkan keobjektifan sumber.
4. Historiografi
Historiografi penulisan sejarah merupakan tahapan akhir dari seluruh rangkaian metode sejarah. Peneliti menuliskan hasil penelitian ini secara sistematis, sehingga menghasilkan penulisan sejarah mengenai perkembangan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dari tahun 1952 sampai 2012 secara kritis dan ilmiah.
BAB II
GAMBARAN UMUM PENDIDIKAN DI SUMATERA UTARA
2.1 Gambaran Wilayah Sumatera Utara
Nama Sumatera Utara, yang kemudian juga dipakai sebagai nama Universitas Sumatera Utara baru dikenal pada sejak tahun 1948. Penggunaan nama Sumatera Utara pertama kali dipakai untuk menyebutkan nama Provinsi, yaitu Provinsi Sumatera Utara salah satu dari tiga Provinsi yang dibentuk saat itu selain Provinsi Sumatera Tengah dan Provinsi Sumatera Selatan. Sebelumnya hanya dikenal satu Provinsi di Sumatera pada awal proklamasi, yakni Provinsi Sumatera yang dikepalai oleh Mr. T. Moehammad Hassan.10
Awal pembentukan Provinsi Sumatera Utara yang berkedudukan di Medan adalah mencakup wilayah keresidenan Sumatera Timur, keresidenan Tapanuli, dan keresidenan Aceh. Ketiga keresidenan ini sudah terbentuk pada tanggal 1 Januari 1950. Pada tanggal 14 Agustus 1950, Provinsi ini kemudian di kembalikan menjadi Provinsi Sumatera Utara yang meliputi Sumatera Timur, Tapanuli, dan Aceh.
Komposisi ini tidak berubah hingga dikeluarkannya UU No. 24/1956 tentang pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh. Meskipun demikian, karena situasi keamanan akibat peristiwa DI/TII, secara efektif aturan ini baru berjalan setelah dikeluarkannya keputusan Perdana Menteri RI No. 1/Missi/1959, tertanggal 26 Mei
10Suprayitno, Mencoba (Lagi) Menjadi Indonesia; dari Federalisme ke Unitarisme:Studi Tentang Sumatera Timur 1947-1950. Yogyakarta : Yayasan Untuk Indonesia, 2001.
1959 tentang penetapan Daerah Swantantra Tingkat 1 Aceh sebagai Daerah istimewa.
Sejak dikeluarkannya peraturan-peraturan itu, wilayah Provinsi Sumatera Utara hanya meliputi wilayah eksekusi Keresidenan Sumatera Timur, dan Keresidenan Tapanuli.11
Wilayah Medan yang berada di Sumatera Timur awalnya didiami oleh masyarakat Melayu, Simalungun, dan Karo. Komposisi etnik ini berubah ketika wilayah ini dijadikan kawasan onderneming (perkebunan) sejak tahun 1860-an. Sejak saat itu, wilayah ini berubah menjadi wilayah yang paling maju secara ekonomi, diluar pulau Jawa. Sehingga Kebutuhan tenaga kerja khususnya kuli kontrak Cina, India, dan Jawa, serta adanya gelombang migrasi dari penduduk luar keresidenan, terutama dari Tapanuli. Bukan saja menambah jumlah penduduk, tetapi juga merubah
Keresidenan Sumatera Timur yang termasuk dalam Provinsi Sumatera Utara adalah merupakan kelanjutan wilayah administratif masa kolonial, mencakup afdeling-afdeling Langkat, Deli, dan Serdang, Simalungun dan Tanah Karo, Asahan, Labuhan Batu, ditambah dengan wilayah pemerintahan kota (Gemeente) yaitu Medan, Binjai, Tebing Tinggi, Pematang Siantar, dan Tanjung Balai. Saat ini wilayah eks Keresidenan Sumatera Timur sudah dimekarkan menjadi beberapa pemerintah Kabupaten dan pemerintah Kota, yakni Kabupaten Langkat, Kota Binjai, Kota Medan, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Serdang Bedagai, Kota Tebing Tinggi, Kabupaten Karo, Kabupaten Simalungun, Kota Pematang Siantar, Kabupaten Batu Bara, Kabupaten Asahan, Kota Tanjung Balai, Kabupaten Labuhan Batu Utara, Kabupaten Labuhan Batu, dan Kabupaten Labuhan Batu Selatan.
11Ibid,
komposisi etnik yang ada di wilayah ini. Ditambah dengan muncul dan berkembangnya kota-kota baru, serta pembangunan jalan raya dan kereta api yang menghubungkan Sumatera Timur dengan wilayah di luar keresidenan. Menjadikan wilayah ini maju dengan pesatnya. Medan sebagai pusatnya menjadi salah satu kota Plural di Indonesia, di mana berdiam berbagai kelompok etnis. Sementara itu, wilayah eks keresidenan Tapanuli, pada masa kolonial terdiri dari empat afdeling, yakni: Sibolga, Padang Sidimpuan, Batak Landen (Tanah-Tanah Batak), dan Pulau Nias. Saat ini, wilayah-wilayah yang termasuk eks keresidenan Tapanuli sudah mengalami pemekaran, dan terdapat beberapa pemerintahan dan kota, yakni Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Samosir, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Tengah, Kota Sibolga, Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Padang Lawas Utara, Kabuaten Padang Lawas Selatan, Kabupaten Mandailing Natal, Kabuaten Dairi, Kabupaten Pak-pak Barat, Kabupaten Nias, dan Kabupaten Nias Selatan.
Tapanuli dengan pusatnya Sibolga, merupakan wilayah yang didiami oleh orang-orang Mandailing di bagaian Selatan, Sipirok-Angkola di bagian Tengah, Toba di bagian Utara, Pak-pak di Dairi, dan Nias di Pulau Nias. Wilayah ini lebih dahulu mendapat pengaruh Barat daripada Sumatera Timur. Kawasan Selatan dan Tengah Tapanuli, karena secara geografis berdekatan dengan Sumatera Barat, mendapat pengaruh Islam dari orang-orang Minangkabau. Wilayah ini juga merupakan kawasan yang pertama sekali dikuasi Belanda di tahun 1830-an terkait dengan penumpasan Gerakan Padri. Sementara itu bagian Utara Tapanuli termasuk Dairi awalnya
bersentuhan dengan budaya Barat melalui Kristenisasi yang kemudian diikuti oleh penetrasi Belanda. Dimulai oleh sebuah zending Inggris di tahun 1820-an, dan mulai berhasil di tahun 1860-an, bukan oleh zending Inggris ataupun Belanda melainkan oleh zending Jerman yakni Rheinische Mission Gesellschaft (RMG). Akhirnya Pulau Nias yang terletak di Pantai Barat Sumatera, meskipun berdekatan dengan Sumatera Barat tetapi pengaruh Barat dan Kristen lebih kuat dibandingkan dengan Islam.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa walaupun awalnya Sumatera Utara Khususnya Medan didiami oleh etnik-etnik Melayu, Simalungun, dan Karo Akan tetapi akhirnya diwarnai nuansa berbagai etnik yang berasal dari Tapanuli, disisi lain juga perlu diperhatikan ketika ide mendirikan Perguruan Tinggi dicetuskan pada tahun 1951, Sumatera Utara baru terintegrasi kembali setelah dibubarkannya Negara Sumatera Timur yang dipimpin oleh dr.T. Mansoer di tahun 1950. Sementara itu pada saat yang sama Aceh juga masih menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Utara.
Ditengah situasi seperti itu pendirian sebuah Universitas yang kemudian dinamakan Universitas Sumatera Utara diikhtiarkan guna untuk merangkul semua elemen, eksponen, dan komponen masyarakat yang ada di Provinsi Sumatera Utara.
2.2 Pendidikan di Sumatera Timur tahun 1930-an
Pendidikan merupakan salah satu upaya bagi manusia untuk mencapai suatu tingkat kemajuan, sebagai sarana untuk membebaskan dirinya dari keterbelakangan, dan berbagai belenggu sosial yang menghambat tercapainya kesejahteraan bersama.12
Pada masa penjajahan Belanda Sumatera Utara terdiri dari dua keresidenan, yaitu keresidenan Sumatera Timur dan keresidenan Tapanuli. Medan merupakan ibu kota propinsi Sumatera. Di Medan berkedudukan seorang inspektur yang mengurus masalah pendidikan untuk Sumatera atau Inspecteur Van Onderwijs en Eeredienst. Di Sumatera Timur dan Tapanuli ditempatkan seorang Hoofd der Schoolopziener yang Perkembangan pendidikan di Indonesia tidak terlepas dari politik etis setelah berkuasanya Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia, maka di bangunlah sekolah-sekolah sehubungan dengan politik etis tersebut. Kebijakan politik etis ini sangat berpengaruh dalam bidang pendidikan khususnya di Sumatera Timur. Pada abad ke-19 perkebunan-perkebunan Belanda terus mengalami perkembangan sehingga kekuasan wilayahnya semakin luas. Disamping berkembangnya kekuasaan, Belanda mendirikan sekolah-sekolah diberbagai tempat yang masih dalam area perkebunan.
Sekolah ini dibangun bagi para anak-anak Bumi putera dan anak-anak Belanda.
Tujuan didirikan sekolah bagi anak Bumi putera supaya berpendidikan, mempunyai tenaga terlatih dan terdidik untuk dipekerjakan di pekerbunan milik Kolonial Belanda.
12Masjkuri dan Sutrisno Kutoyo, Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Utara, Medan:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1981, hal 10.
membawahi para schoolopziener sebagai petugas yang mengelola pendidikan di Afdeling. Schoolopzienerbertugas mengawasi sekolah-sekolah penduduk Bumiputera atau sekolah-sekolah yang memakai pengantar bahasa Melayu. Adapun sekolah yang didirikan Belanda di Sumatera Timur yaitu HIS (Hollandsch Inlandsch School), ELS (Europese Lagere School), MULO (Meer Uitgebreid Lagere Onderwiijs), HBS (Hogere Burger School).13
Perkembangan pendidikan di Sumatera Utara dimulai di Tapanuli bagian Selatan saat penguasaan kolonial Belanda terkait dengan penumpasan gerakan padri
Untuk sekolah-sekolah yang memakai bahasa Belanda berada di bawah pengawasan Inspektur.
Dibandingkan dengan Sumatera Timur, Tapanuli Terlebih dahulu mengenal pendidikan, baik melalui Islam dan Kristenisasi, maupun pendidikan kolonial.
Dimulai dari Tapanuli bagian Selatan melalui pendidikan Islam dan Barat di pertengahan abad ke-19, dan diikuti pendidikan zending dan Barat di bagian lain, masyarakat Tapanuli mengalami perkembangan pesat. Adanya kebutuhan akan tenaga berlatar belakang pendidikan Barat untuk bekerja di perkebunan, pemerintahan, guru, dan pekerjaan lainnya. Maka banyak diantaranya yang kemudian bermigrasi ke Sumatera Timur, terutama Medan. Di sisi lain, penduduk di Sumatera Timur lebih tertinggal sekitar 40 tahun di bidang pendidikan dibandingkan dengan Tapanuli. Akibatnya, tenaga kerja berlatarbelakang pendidikan Barat dari daerah Tapanuli banyak yang mengisi ruang-ruang kosong yang tersedia di Sumatera Timur.
13Ibid.hal 51-52 .
pada tahun 1830-an. Tidak lama sesudahnya, di wilayah ini sudah dibangun sekolah dengan mendatangkan guru-guru dari Sumatera Barat. Pada tahun 1857 sudah terdapat empat sekolah yang disebut Sekolah Kelas Dua (Scholen der Tweede Klasse). Sekolah ini diperuntukkan bagi masyarakat pribumi, dan belum menggunakan pengantar bahasa Belanda, tetapi bahasa Melayu.
Pada masa Pendudukan Jepang di Indonesia tahun 1942, banyak mengalami perubahan terutama dalam bidang pendidikan, bahasa-bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar dihapuskan. Dan sekolah pada masa Belanda yang bermacam-macam seperti Sekolah Dasar: Europese Lagere School (ELS), Hollandsch Inlandsch School (HIS), Volkschool, Vervolgschool, Schakelschool , semua dihapuskan dan beralih menjadi Sekolah Dasar atau disebut sebagai Sekolah Rendah umum. Lama pendidikannya adalah 6 tahun, dan begitu juga Sekolah Menengah Pertama (SMP) pada masa Belanda seperti: Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), Hogere Burger School (HBS) beralih menjadi Sekolah Umum (Cu Gakko).
Penggunaan bahasa pengantar dalam pendidikan pada masa Pendudukan Jepang ialah bahasa Indonesia, dan bahasa kedua ialaah bahasa Jepang. Pendidikan pada masa Pendudukan Jepang lebih banyak diarahkan sistem pendidikan kemiliteran. Berakhirnya kekuasaan penjajah di Indonesia yaitu dengan lahirnya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, maka pendidikan pada awal Kemerdekaan tidak berjalan dengan maksimal. Makakemajuan pendidikan mulai dirasakan setelah tahun 1950 di Sumatera Utara. Karena pada waktu itu kurangnya tenaga guru setelah penjajah meninggalkan daerah Sumatera Utara.
2.3 Pendidikan Kesehatan di Sumatera Utara
Sebelum ilmu kesehatan barat masuk dalam lingkungan Indonesia, dalam masyarakat kita telah lama digunakan cara-cara pengobatan yang lazim disebut pengobatan asli atau pengobatan tradisional, yakni pengobatan yang berdasarkan tradisi dan turun-temurun dari generasi ke generasi, sehingga sampai sekarang pun masih digunakan tradisi tersebut. Pengobatan tradisional tersebut mengandung unsur-unsur spiritual dan kegaiban serta unsur-unsur-unsur-unsur materi berupa ramuan daun-daun, akar-akar, kulit kayu dan lain-lain yang secara empirik telah dikenal khasiatnya. Di samping itu ada unsur fisik yang antara lain digunakan untuk menanggulangi patah-tulang, lelah otot dan sebagainya.
Dukun-dukun bayi di mana-mana terkenal sebagai orang-orang yang sangat diperlukan dalam membantu kelahiran anak, tetapi mereka juga mengenal ramuan-ramuan yang diperlukan oleh sang ibu yang melahirkan.
Obat-obat asli atau jamu-jamu di Indonesia merupakan unsur penting dalam kehidupan masyarakat dan sampai sekarang masih digunakan di samping obat-obat modern, misalnya; penjual jamu gendong tidak hanya terdapat di desa-desa, tetapi banyak terlihat di kota metropolitan rnengedarkan obat minuman secara eceran.
Mereka berjalan kaki dari rumah ke rumah dengan membawa bakul penuh dengan botol-botol yang cukup banyak jumlahnya. Selain penjual jamu gendong tersebut terdapat ahli-ahli patah tulang, ahli-ahli pijat dan toko-toko obat tradisional baik yang menjual obat-obat asli Indonesia, obat-obat asli Cina maupun asli India. Sehubungan
dengan kekayaan akan obat-obat tradisional tersebut, maka Departemen Kesehatan mempunyai suatu Direktorat khusus untuk pengawasan, penelitian dan pengembangan obat-obat tradisional.
Pada masa penjajahan Belanda ilmu kedokteran dari Eropa dibawa ke Indonesia oleh dokter-dokter yang didatangkan untuk melayani kesatuan-kesatuan militer Belanda dan dipergunakan pula untuk pegawai-pegawai sipil mereka.
Kekhawatiran tentang penjalaran penyakit cacar yang sangat berbahaya mendesak Belanda untuk mendidik tenaga pembantu untuk melaksanakan vaksinasi cacar, yakni
"vaccinateur" atau juru-cacar.14
Pendidikan Dokter Atas prakarsa Kepala Jawatan Kesehatan (Tentara dan Sipil) pada waktu itu, Dr W. Bosch, pada tanggal 1 Januari 1851 didirikan di Weltevreden (sekarang Jakarta-Pusat), di bawah pimpinan Dr. P. Bleeker, sebuah sekolah untuk mendidik pemuda-pemuda Jawa menjadi "Dokter Jawa", yang lamanya pendidikan 2 (dua) tahun, untuk dipekerjakan sebagai dokter pembantu (hulp- geneesheer) dan bertugas memberi pengobatan dan vaksinasi cacar. Dalam tahun 1856 mulai diterima masuk pendidikan pemuda-pemuda pribumi lainnya. Pada tahun 1864 pendidikan diperpanjang menjadi 3 (tiga) tahun. Di tahun 1875 pendidikan Di dalam pendidikan dokter, yang pertama dididik oleh "dokter djawa school"
atau sekolah dokter jawa adalah "vaccinateur". Vaccinateur tersebut diberi pendidikan sederhana untuk pengobatan orang sakit, sehingga kemudian nanti ia akan dapat berfungsi sebagai "dokter jawa".
14Notoatmodjo, Soekidjo. Ilmu Kesehatan Masyarakat. 2003. Jakarta: PT Rineka Cipta. Hal:3
dijadikan 7 (tujuh) tahun terdiri dari 2 tahun bagian persiapan dan 5 tahun bagian kedokteran, dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar, yang sebelumnya adalah bahasa Melayu (induk dari bahasa Indonesia kita sekarang). Dalam tahun 1881 lamanya bagian persiapan dijadikan 3 tahun. Mulai tahun 1890 para calon murid harus sudah lulus Sekolah Dasar Belanda (Europeesche Lagere School). Di tahun 1902 bagian kedokteran dari 5 tahun dijadikan 6 tahun, hingga seluruh pendidikan lamanya 9 (sembilan) tahun; nama sekolah diganti dengan "School tot Opleiding van Inlandsche Artsen"(STOVIA), dan lulusannya mendapat gelar "Inlandsch Arts" yang artinya adalah "Dokter Hindia".
Pada tahun 1913 dibuka sekolah dokter kedua di Surabaya dengan diberi nama "Nederlandsch Indische Artsen school' disingkat NIAS. Sekaligus lamanya pendidikan bagian kedokteran untuk kedua perguruan itu ditambah dengan satu tahun, hingga lamanya pendidikan dokter seluruhnya menjadi 10 (sepuluh) tahun sesudah Sekolah Dasar Belanda. Mulai tahun itu, kedua perguruan terbuka bagi semua bangsa, tidak hanya bumiputera saja.
Hal ini terjadi karena desakan IEV "Indo Europeesch Verbond", yaitu suatu perkumpulan orang-orang pranakan Belanda dan lulusannya mendapat gelar "Indisch Arts" artinya "Dokter Hindia". Mulai tahun 1924, baik STOVIA maupun NIAS tidak lagi menerima siswa lulusan sekolah dasar, tetapi dari sekolah lanjutan pertama, yang dinamakan MULO (Singkatan dari "Meer Uitgebreid Lager Onderwijs"), dan lamanya seluruh pendidikan dijadikan 8 (delapan) tahun. Bahkan mulai tahun 1928 lamanya pendidikan di NIAS (STOVIA sudah diganti oleh
Geneeskundi-Hoogeschool) adalah 9 (sembilan) tahun sesudah MULO, tanpa penggunaan istilah bagian persiapan lagi (Marsaid). Pada tanggal 16 Agustus 1927 dibuka Geneeskundige Hoogeschool (Sekolah Tinggi Kedokteran) untuk mengganti STOVIA. STOVIA sendiri tidak lagi menerima siswa baru, tetapi menyelesaikan pendidikan para siswanya yang sudah ada; sebagai lulusan terakhir adalah dokter Sanjoto yang lulus dalam tahun 1934, dan pada waktu itu pula dengan resmi STOVIA ditutup.
Lamanya pendidikan di Geneeskundi~Hoogeschool adalah 7 (tujuh) tahun sesudah Sekolah Lanjutan Atas (AMS) atau Sekolah Menengah Belanda (HBS).
Secara resmi nilai ijasah GH Betawi ditetapkan tidak berbeda dari ijazah fakultas-fakultas kedokteran di negeri Belanda.
Dalam iklim kolonial hak penjajah menganggap bangsa kita lebih rendah Dari padanya, juga dalam kecerdasan dan tata-susila; lagi pula pola pendidikan yang diberikan kepada anak-anak pribumi pada dasarnya hanya mempunyai tujuan untuk menghasilkan pekerja-pekerja pembantu dalam roda pemerintahan dan perdagangan mereka, yang berarti harus dibatasi. Mengingat hal itu perkembangan pendidikan dokter seperti yang diuraikan di atas, terutama dalam taraf meningkatkannya menjadi perguruan tinggi, tidaklah terlepas dari romantik perjuangan.
Dalam rangka ini baik sekiranya disebutkan beberapa peristiwa. Untuk menghalang-halangi bangsa Indonesia mencapai kedudukan dokter keluaran suatu perguruan tinggi, pada suatu saat "Bond van Europeesche Geneesheren" (lkatan Dokter Eropa) mengemukakan pendapat, bahwa seorang dokter akademikus
Indonesia: "hanya akan bermain-main dengan pasien wanitanya sebagai pengisi waktu dan akan melakukan abortus sebagai usaha mencari nafkah yang mudah”. Pada tahun 1908, menghadapi reorganisasi Jawatan Kesehatan Sipil, ada usaha untuk menurunkan pendidikan di STOVIA dan dengan demikian sekaligus menutup kesempatan bagi lulusannya untuk mendapatkan fasilitas melanjutkan pelajarannya di universitas di negeri Belanda guna mencapai gelar Arts. Padahal fasilitas ini adalah hasil perjuangan Dr. Abdul Rivai dalam tahun 1904, yang untuk pertama kalinya digunakan oleh Dr. Asmaoen, disusul oleh Dr. Abdul Rivai sendiri sebagai orang kedua, kemudian disusul oleh dokter-dokter M.J. Boenjamin, J.E. Tehupeiory, W.K.
Tehupeiory, R. Tumbelaka, R. Radjiman, P. Laoh, H.F. Lumentut, H.J.P. Apituley, J.A. Kawilarang, M. Salih, dll. Sebagai perintis, semuanya dengan hasil gemilang.
Tidak jadinya penurunan pendidikan STOVIA adalah hasil perjuangan Dr. W .K. Tehupeiory dan Dr. H.F. Roll, direktur STOVIA pada waktu itu, dibantu oleh Dr.
H. Noordhoek Hegt penggantinya. Berdirinya Perguruan Tinggi Kedokteran pada tahun 1927 adalah juga hasil perjuangan para dokter Indonesia dengan pendapat-pendapat yang menyokong dari direktur dan mantan direktur STOVIA dan NIAS.
Yang melontarkan kata pertama ialah Dr. Abdul Rivai di hadapan sidang
"Volksraad" (sebuah parlemen kolonial Hindia Belanda) pada tahun 1918; di sana ia mengusulkan diadakannya pendidikan universitet di Indonesia. Dari pihak "Indische Artsen Bond" (lkatan Dokter Indonesia) yang menjadi ”Panitia Penasehat Pendirian Perguruan Tinggi Kedokteran" adalah dokter-dokter J. Kajadoe, Abdoel Rasjid dan R. Soetomo.
Meskipun laporan hasil kerja panitia termaksud, yang mendesak didirikannya sebuah Perguruan Tinggi Kedokteran di Salemba, diterbitkan dalam tahun 1922, tetapi barulah di tahun 1927 menjadi kenyataan. Berkat perjuangan dokter-dokter Indonesia ijazah Perguruan Tinggi Kedokteran Betawi disamakan dengan ijazah fakultas-fakultas kedokteran di negeri Belanda.
Dalam rangka pendidikan dokter tersebut perlu disebutkan didirikannya sebuah Sekolah Dokter Gigi (School tot Opleiding van Indische Tardartsen, disingkat STOVIT) di Surabaya pada tahun 1928, yang lamanya pendidikan 5 tahun sesudah MULO, dan lulusannya mendapat gelar "Indisch Tandarts" (Dokter Gigi Hindia).
Sesuai dengan ketentuan kolonial, nilai ijazah Dokter Gigi Hindia ini dibuat lebih rendah daripada ijazah Dokter Gigi Belanda, seperti dualisme yang berlaku bagi dokter umum keluaran STOVIA dan NIAS.
Kerjasama dengan berbagai Negara Pada tahun 1953 oleh WHO didatangkan suatu “visiting team” yang terdiri dari ahli-ahli ilmu kedokteran yang dikumpulkan dari bermacam negara untuk memberi pencerahan terhadap universitas-universitas di Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Medan dan beberapa kota besar lainnya. Sejak itu keengganan untuk kerjasama dengan negara-negara lain dapat dihilangkan dan mulailah program-program afiliasi dari universitas di Indonesia dengan universitas di luar negeri, yang kemudian disusul oleh program-program kerjasama lainnya.
Dengan demikian pertukaran ahli dapat dilaksanakan dengan mudah dan pendidikan spesialis dalam berbagai bidang dapat dipercepat. Sistem pendidikan dokter yang tadinya sangat sedikit hasilnya dapat diperbaharui, hingga jumlah
hasilnya dapat dilipat-gandakan. Penambahan jumlah fakultas kedokteran yang
hasilnya dapat dilipat-gandakan. Penambahan jumlah fakultas kedokteran yang