• Tidak ada hasil yang ditemukan

AVAILABILITAS ASAM AMINO PADA UNGGAS

2. Metode penentuan availabilitay asam amino

2.1. In Vivo.

2.2. 1. Growth assay (uji pertumbuhan).

Parameter global dalam percobaan ini adalah tingkat penggunaan asam amino yang berasal dari pakan (dietary amino acid) untuk pertumbuhan. Prinsip dari percobaan uji pertumbuhan ini adalah mengukkur kemampuan protein (yang diteliti availabilitasnya) untuk mengganti fungsi asam amino tertentu pada pertumbuhan. Laju pertumbuhan ayam yang

Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 53 diberi pakan yang kekurangan (defisien) akan asam amino yang duikur availabilitasnya dibandingkan dengan laju pertumbuhan dari ayam yang diberi pakan dimana asam amino yang kekurangan sudah dipenuhi dengan penambahan asam amino sintesis, dengan asumsi bahwa availabilitas dari asam amino sintesis tersebut adalah 100%. Perhitungan availabilitas berdasarkan hubungan antara laju pertumbuhan dengan kandungan asam amino dalam pakan percobaan.

Metode ini mempunyai beberapa kelemahan antara lain bahwa pertumbuhan itu sendiri dipengaruhi oleh beberapa factor antara lain tingkat konsumsi, kandungan protein dalam pakan dan interaksi antar asam amino. Disamping itu kriteria yang digunakan untuk menentukan availabilitas, apakah laju pertumbuhan, konversi pakan, kenaikan protein dalam karkas atau jumlah nitrogen yang diretensi masih membuka peluang untuk diskusi lebih jauh. Selanjutnya percobaan dengan menggunakan metode ini sangat mahal dan menghabiskan waktu, karena hanya dapat diterapkan untuk menentukan satu jenis asam amino setiap percobaan. Bahkan kadang-kadang tidak mungkin membuat suatu formula (dari bahan-bahan makanan yang umum digunakan) yang benar-benar defisien akan asam amino yang akan diteliti. Seringkali penggantian bahan makanan yang ditest menimbulkan penurunan kandungan energi. Penambahan asam amino melebihi kebutuhan untuk simulasi protein yang ditest telah dibuktikan menghasilkan depresi pertumbuhan dan pada akhirnya menghasilkan tingkat availabilitas yang tinggi, yang kadang-kadang mencapai angka diatas 100%.

Koefisien availabilitas yang diperoleh bervariasi tergantung dari cara menentukan availabilitas tersebut. estimasi menggunakan parameter laju pertumbuhan akan berbeda dengan estimasi menggunakan parameter konversi pakan. Juga dibuktikan bahwa laju pertumbuhan adalah berkorelasi lebih baik dengan konsumsi asam amino daripada kandungan asam amino dalam pakan.

Beberapa factor lain yang mempengaruhi hasil availabilitas dengan metode uji pertumbuhan ini adalah tempertaur llingkungan, kandungan energi dalam pakan dan interaksi antara asam amino dengan beberapa mineral seperti natrium, kalium, chlor.

2.1.2 Kandungan asam amino bebas dalam darah.

Asam amino yang dihasilkan dari proses pencernaan akan diserap oleh dinding usus dan dikirim ke jaringan-jaringan mealui aliran darah. Oleh karena itu jumlah asam amino

Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 54 dalam darah dapat dipakai sebagai indikator availabilitasnya.namun demikian, seperti diketahui, jumlah asam amino dalam darah tidak hanya tergantung dari jumlah asam amino dalam makanan tetapi juga dipengaruhi status nutrisi dari hewan. Pembentukan protein jaringan (anabolisme) akan menghasilkan pengambilan asam amino dari aliran darah, sedangkan katabolisme protein akan meningkatkan kandungan asam amio dalam darah. 2.1.3. Daya cerna (digestibility method)

Prinsip dari metode ini adalah availabilitas dapat ditentukan dari daya cerna (digestibility). Yang dimaksud dengan daya cerna dalam hal ini adalah perbedaan antara jumlah asam amino yang dikonsumsi dengan jumlah asam amino yang terdapat dalam faeces. Metode ini mempunyai beberapa kelemahan. Dua diantaranya yang menonjol ialah: asam amino endogen (endogenous amino acid) dan mikroorganisme. Jika akan menentukan daya cerna asam amino maka kontribusi asam amino endogen harus diperhatikan. Sumber asam amino endogen adalah sel-sel yang telah mati dan sekresi dari saluran gastro intestinal. Sekresi dari glandula salivaris, perut, hati, pancreas, dan mukosa sel yang berguna dalam proses pencernaan adalah pada umumnya berupa enzyme. Enzyme ini sebenarnya adalah berbentuk protein atau mucoprotein.

Efek mikroorganisme pada pencernaan protein. Enzyme dari mokroorganisme mungkin akan dicerna dan diserap sehingga dapat digunakan oleh hewan. Tetapi mikroorganisme juga mempunyai kemampuan memecah protein dan menggunakan asam amino untuk kehidupannya. Sebagai tambahan mikroorganisme bukan saja sebagai konsumen asam amino, tetapi mikroorganisme dapat juga bertindak sebagai produsen asam amino. Penelitian menunjukkan bahwa sebagian asam amino dalam faeces adalah berasal dari bakteri. Kontribusi asam amino oleh mikroorganisme dalam faeces kira-kira sebesar 25%. Hal ini dapat dibuktikan dengan perbedaan nilai daya cerna asam amino yang ditentukan dengan menganalisa faeces yang diambil dari ileum dan dari seluruh saluran pencernaan. Pada hampir semua kasus perbedaan ini besarnya dapat mencapai 10%.

Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 55 2.2.In Vitro

2.2.1 Uji Kimia ( chemical assay)

Carpenter (1960) mengukur availabilitas asam amino secara kimia berdasarkan pengukuran presentase gugus amino epsilon beas daro lysine yang dapat diikat oleh flurodinitribenzene (FDHB). Availabilitas lysine dapat juga diukur dengan dye binding atau dengan reaksi quanidin. Untuk availabilitas methionine dapat ditentukan dengan gas chromatography.

2.2.2 Metode Enzimatis

Beberapa usaha telah dilakukan untuk membuat simulasi pencernaan secara in vitro. Dengan metode ini lysine dapat diisolasi dari bahan makanan setelah dicerna dengan pronase dan lysine – decarboxylase dan cystine digunakan pancreatin.

2.2.3 Metode Mikrobiologis

Penentuan availabilitas asam amino secara mikrobiologis adalah berdasarkan kenyataan bahwa beberapa mikroorganosme mempunyai kemampuan proteolitik. Mikroorganisme yang sudah biasa digunakan untuk test adalah Streptococcus zymogenes,

Tetrahymena pyriformis, streptococcus faecalis, streptococcus durens, Lactobacillus arabinosus, dan Eschirichia coli.

3.Faktor – factor yang mempengaruhi availabilitas asa, amino dari bahan makanan.

3.1. protease in hibitor

Protease in hibitor adalah protein dalam tumbuh – tumbuhan yang mempengaruhi kerja enzim proteolitik pada hewan. Protease inhibitor yang telah umum dikenal adalah yang terdapat dalam biji kedelai. Protease in hibitor akan bergabung dengan enzim pencernaan, sehingga enzim ini tidak dapat berfungsi. Dengan demikian protein makanan, protein enzim dan protein ini hibitor akan melewati saja saluran gastrointestinal dan keluar lewat feses.

Protease in hibitor dalam biji kedelai akan mengurangi availabilitas methionine dan cystin lebi daripada asam amino yang lain. Dengan demikian hewan yang diberi makan kedelai yang mengandung protease in hibitor maka pancreas akan bekerja lebih berat untuk memproduksi enzim pencernaan lebih banyak. Kita tahu bahwa enzim pencernaan itu sendiri

Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 56 adalah kaya akan cystine. Dengan demikian hewan tidak saja kehilangan cystine dari protein makanan melainkan juga kehilangan cystine dari tubuhnya lewat enzim pencernaan. Selanjutnya methionine dari makanan akan dengan cepat diubah menjadi cystine untuk memenuhi kebutuhan cystine untuk produksi enzim pencernaan. Dengan demikian jumlah metionin yang dapat dipakai oleh hewan juga menjadi berkurang.

Bahan makanan lain seperti jagung, padi, gandum, dan barley juga mengadung protease in hibitor, tetapi jumlahnya sangat kecil sehingga keberadaannya tidak menimbulkan gangguan pada pencernaan.

3.2. lectin

Lectin adalah suatu glucoprotein yang mempunyai berat molekul antara 91.000 – 130.000. lectin juga biasa disebut phytohaemaglutinin dan mempunyai kemampuan untuk menggumpalkan butir darah merah. Lectin menempel pada mukosa sel pada usus kecil dan menyebabkan kerusakan sel. Dengan demikian kemampuan dinding usus untuk menyerap zat makanan menjadi berkurang atau hilang sama sekali, sehingga asam amino hasil digesti protein tidak dapat diserap. Disamping itu lecin juga menyebabkan peningkatan katabolisme protein jaringan. Sebagai konsekuensi penggunaan seluruh asam amino akan menurun.

Lectin terdapat banyak dalam biji – biji leguminosa,tetapi dalam jumlah kecil juga terdapat pada butir – butiran seperti padi, jagung dan sebagainya. Aktivitas lectin akan rusak oleh pengaruh panas.

3.3. letak protein dalam biji – bijian

Availabilitas asam amino dari biji – bijian dipengaruhi oleh letak protein didalam biji tersebut. protein dari barley dan gandum yang terletak pada endosperm lebih mudah dicerna daripada protein yang terletak pada lapisan aleuron. Ini disebabkan karena protein dalam lapisan aleuron terletak berdekatan dengan kulit biji dan bertaut erat pada matriks selulosa. Oleh karena itu pada barley dan gandum lysine merupakan asam amino yang tingkat availabilitasnya paling rendah, karena protein yang kaya akan lysine (yaitu albumin dan globulin) pada barley dan gandum terletak pada lapisan aleuron.

Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 57 3.4. serat kasar

Pada penentuan nilai availabilitas asam amino, serat kasar dalam bahan makanan ternyata mengurangi availabilitas asam amino dan mempertinggi kehilangan asam amino endogen. Diduga serat kasar mempertinggi produksi mucus. Adapun mekanisme penurunan availabilitas asam amino , diduga serat kasar membentuk semacam gel disekitar asam amino atau dengan jalan menyerap enzim pencernaan.

3.5. Daya larut protein

Protein diklasifikasikan kedalam beberapa golongan antara lain berdasarkan sifat kelarutannya. Protein yang lebih mudah larut pada umumnya lebih mudah dicerna. Fibrous protein cenderung untuk tidak mudah larut, oleh karena itu sukar dicerna. Contoh protein yang masuk golongan ini adalah collagen, keratin dan elastin. Sedangkan globular protein cenderung untuk mudah larut, oleh karena itu sangat mudah dicerna. Contoh protein yang termasuk dalam golongan ini adalah albumin, globulin, prolamin dan glutenin. Protein dalam kedelai adalah terstruktur sehingga daya cernanya rendah. Pemanasan akan merubah struktur protein, sehingga memperbaiki daya cerna. Protein dengan kandungan cystine dalam jumlah tinggi dan ikatan disulfide biasanya sebagian tahan terhadap enzyme pencernaan. Zein, protein dalam jagung, mempunyai daya cerna rendah karena daya larutnya dalam cairan perut rendah.

3.6. Reaksi mailard

Reaksi ini terjadi bila karbohidrat yang mereduksi bergabung dengan gugus amino bebas dari protein. Reaksi ini dipercepat dengan adanya panas. Dengan terjadinya ikatan tersebut maka enzim pencernaan tidak dapat memecah protein. Gugus epsilon amino bebas dari lysine adalah tempat utama dalam protein dimana karbohidrat akan bergabung selama terjadinya reaksi. Dengan terjadinya ikatan tersebut maka daya cerna protein menjadi rendah, karena kemampuan tripsin untuk memecah ikatan peptida terganggu. Kemampuan hewan untuk dapat menyerap ikatan karbohidrat-asam amino dapat diserap oleh hewan tetapi asam aminonya tidak dapat digunakan dan akan hilang lewat urine.

Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 58 3.7. Oksidasi Lemak

Oksidasi lemak yang terjadi dalam bahan makanan mungkin akan menghasilkan ikatan carbonyl seperti aldehid dan keton yang dapat bereaksi dengan gugus amino bebas seperti pada Mailard. Oksidasi lemak dan pembentukan ikatan amino-carbonyl dipercepat dengan adanya panas. Problem utama adalah dengan lemak tidak jenuh yang mempunyai kecenderungan untuk dapat mengadakan oksidasi sendiri (auto oksidasi) dan menghasilkan panas. Proses oksidasi ini dapat dihambat dengan menggunakan anti oksidan.

3.8. Gugus karbonyi bebas

Gugus carbonyl bebas dari asam aspartat dan asam glutamat dalam protein mungkin bergabung dengan gugus amino bebas dari protein yang sama atau dari protein lain. Reaksi ini juga dipercepat dengan adanya panas dan akan menurunkan daya cerna protein seperti halnya reaksi Millard.

Hilangnya availabilitas asam amino dari protein hewani terutama disebabkan karena adanya interaksi antar protein. Oleh karena itu saat ini pada proses pembuatan bahan makanan hewani (misal tepung darah) ditambahkan lemak sebagai “protecting agent” untuk mengurangi kemungkinan terjadinya interaksi antar protein.

4.Kesimpulan

Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa uji pertumbuhan (growth assay) untuk penentuan availabilitas asam amino pada ayam merupakan satu alternatif yang terus digalakkan. Beberapa ahli berpendapat bahwa uji pertumbuhan sebaiknya digunakan sebagai referensi untuk membandingkan dengan uji biologis yang lain.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa daya cerna asam amino yang ditentukan dengan metode “total collection” adalah sesuai dengan hasil dari uji pertumbuhan. Kontribusi “urinary amino acid” pada daya cerna protein adalah kecil sekali. Dengan demikian penggunaan ayam yang diambil colonnya untuk penentuan daya cerna kelihatannya tidak perlu. Namun demikian untuk mendapatkan estimasi yang tepat dari asam amino endogen yang hilang lewat urine, ransum percobaan sebaiknya disusun tanpa mengandung nitrogen.

Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 59 LEMBARAN KERJA

NAMA MAHASISWA : ……… DISETUJUI OLEH : ………..

NIM : ……… TGL : …………

ACARA : MENENTUKAN AVAILABILITAS ASAM AMINO

DENGAN MENGGUNAKAN METODE SLOPE-RATIO

1. Ayam.

2. Asam amino yang ditest : METHIONINE PADA KACANG HIJAU. 3. Susunan ransum basal (defisien akan methionin)

Bahan Makanan Jumlah

4. Ransum perlakuan yaitu satu kelompok ransum yang terdiri dari 5 macam ransum yang mengandung methionine yang berbeda yang diperoleh dengan cara menambah methionine sintetis pada ransum basal dalam jumlah yang berbeda dan satu kelompok ransum (II) terdiri dari 5 macam ransum yang mengandung methionine yang sama dengan kelompok ransum I yang diperoleh dengan cara menambahkan kacang hijau pada ransum basal dalam jumlah yang berbeda.

No. Keterangan Kelompok I Kelompok II

Methionine (%) Kacang hijau (%) 1 Basal ditambah

2 Basal ditambah 3 Basal ditambah 4 Basal ditambah 5 Basal ditambah

Buku Petunjuk Praktikum Ilmu Nutrisi Non Ruminansia 60 5. Menentukan Availabilitas Asam Amino dengan Menggunakan Metode Slope-Ratio

Jika kebutuhan metionin pada ayam pedaging finisher adalah 0,45 %. Susunlah ransum basal yang mengandung metionin sebesar 0.40 %. Buat 2 kelompok ransum yang pertama mengandung metionin sintetis dan yang kedua mengandung bahan Kacang Hijau dengan presentase metionin 81 % dan 1.5 % (Masing-masing ransum dalam tiap kelompok mengandung metionin secara berjenjang mulai dibawah kebutuhan sampai diatas kebutuhan, yaitu 0.400 %, 0.425 %, 0,450 %, 0,475 %, dan 0,500 %). Dengan penambahan metionin sintetis didapatkan data rata-rata konsumsi pakan ransum tes (kelompok metionin) secara berurutan adalah 122, 124, 127, 128, dan 129 dengan penambahan rata-rata bobot badan secara berurutan adalah 98, 99, 102, 105, dan 106. Sedangkan kelompok kacang kedelai secara berurutan rata konsumsi pakan adalah 116, 117, 118, 119, dan 120 dengan rata-rata pertambahan bobot badan 98, 99, 101, 102 dan 104. Hitunglah availabilitas metionin dalam kacang hijau!

RUMUS REGRESI LINEAR SEDERHANA

Dokumen terkait